Bbiimm!
Suara klakson
mobil terdengar, sedangkan waktu itu sudah menunjukkan pukul 01.27 tengah
malam.
Olivia
menguap lalu turun dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil
air minum.
Cklek!
Sambil
berdiri di depan pintu dapur, Olivia menyapa ibunya yang baru saja pulang dari
diskotik.
“Baru balik?” Sapa Olivia, sembari bersandar di gawang pintu dapur.
“Iya, kamu belum tidur?” Tanya Rani sambil melepas ikatan tali sepatu hing heelsnya.
“Udah, tapi bangun gara-gara dengar suara klakson mobil.”
“Ya ampun, maaf ya Olivia, gara-gara mommy kamu jadi terbangun.”
“Hah! Basi.” Jawab Olivia dengan nada sedikit ketus.
Rani hanya menatap kesal anaknya yang kini berjalan pergi meninggalkan dirinya.
“Dasar, anak itu nggak pernah bisa melihat ibunya senang sedikit saja.” Gumam Rani dari dalam hatinya lalu pergi menuju ke kamarnya.
Sesampainya di dalam kamar, Olivia duduk di sudut tempat tidurnya seraya bergumam, “Aku
heran sama jalan pikiran mommy, hampir setiap hari dia pulang jam segini terus. Udah tua masih aja main ke Clubbing, diskotik kalau nggak karaokean. Terus kadang pulang juga bawa laki-laki. Agh! Ibu macam apa dia!”
**
Pagi ketika dirinya akan pergi ke kampus, dia turun dari kamarnya dan berjalan menuju ke
ruang meja makan.
“Pagi non,” sapa asisten rumah tangganya.
“Pagi juga bi,”
“Mau sarapan pakai apa non? Biar saya siapkan?”
“Aku mau makan roti panggang aja, tolong buatkan dan jangan lama-lama ya bi?”
“Baik non, tunggu sebentar ya non.”
Olivia duduk di kursi menunggu sarapan datang dengan bermain gadget-nya. Lima belas menit
selesai, asisten rumah tangga lalu memberikan sepiring roti panggang yang di
minta oleh majikannya.
“Ini non, sarapan yang nona minta sudah siap.”
“Iya makasih ya bi,”
“Apa ada lagi yang nona Olivia butuhkan?”
“Enggak bi, makasih.”
“Kalau begitu saya tinggal mengerjakan tugas lainnya ya non.”
“Em, duduk di sini aja bi. Temani aku sarapan sebentar dulu.”
“Owh, baik non.”
Asisten rumah tangga itu lalu menarik kursi yang ada di samping Olivia.
“Aku lagi BT nih bi,”
“Maaf, kalau boleh tau, kenapa non?”
“Bibi lihat sendiri kan, aku selalu sarapan sendiri setiap hari.”
“Em, mau bagaimana lagi non. Lagi pula nyonya besar juga sibuk bekerja.”
“Bukannya kerja bi, tapi sibuk urus kebahagiaannya sendiri.”
Asistenpribadi itu pun terdiam, dia enggan meneruskan pembicaraan mengenai Rani.
Tak lama Olivia beranjak dari kursi dan mengambil tasnya lalu pergi.
“Loh non, non Olivia. Ini sarapannya nggak di habiskan?”
“Nggak bi, buang aja. Aku mau berangkat.”
“Susunya non?” Tanya Asisten rumah tangganya.
“Udah buang aja semuanya bi.” Seru Olivia yang berjalan menuju ke depan pintu rumahnya.
“Kasian ya non Olivia, hidup serba kecukupan, fasilitas yang dia miliki pun mewah, apa yang dia mau selalu dia dapatkan. Tapi sayang, hanya kebahagian yang selama ini belum pernah dipunyai. Kedua orang taunya bercerai, sedangkan nyonya besar sama sekali nggak pernah peduli dengan non Olivia. Hurt, kadang aku kasihan aja liat dia. Dia itu sebenarnya
butuh perhatian dan kasih sayang dari ke dua orang tuanya, sejak kecil dia selalu mengerjakan apa-apa sendiri, dan dia sama sekali tidak pernah di damping oleh kedua orang tuanya. Tapi kedua orang tuanya sama sekali nggak pernah peduli sama putrinya, yang mereka tau, kebutuhan untuk non Olivia sudah tercukupi.”Gumam asisten rumah tangganya sambil membersihkan meja makan bekas Olivia.
Sesampainya di kampus Renata sahabat baiknya datang menghampiri dirinya.
“Woi!” Sapa Renata seraya menyenggol bahu Olivia dari belakang.
“Eh, kamu Re,”
“Kenapa sih? Pagi-pagi udah murung wajahnya?”
Olivia menyunggingkan senyum dengan wajah usang.
“Mommy kamu ya?” Tanya Renata.
“Iya, siapa lagi.”
“Udah sih, nggak usah di pikirin.”
“Ya aku sebel aja Re, hampir setiap hari loh mommy selalu pulang malam. Kalau nggak
gitu, dia pasti bawa laki-laki ke rumah. Risih aku lihatnya. Maksud aku gini loh, dia itu udah tua, nggak pantas kalau dia masih sering gonta-ganti
pasangan. Apa lagi dia lebih mementingkan kebahagiaannya sendiri. Kesel banget aku rasanya, Renata. Hiks… Hiks… Hiks…” Ucap Olivia menangis dan terus memeluk sahabatnya.
“Ya ampun Olivia, cup, cup. Jangan nangis, yang sabar ya sama mommy kamu. Aku tau apa yang kamu rasakan.”
Olivia lalu melepas pelukannya dan kemudian mengusap air matanya.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kita masuk ke kelas yuk.” Ajak Olivia.
“Iya, iya yuk.”
Beberapa jam berlalu, mata kuliah kini telah usai. Olivia dan Renata berjalan menuju ke tempat parkir.
“Aku lagi butuh hiburan nih Re,”
“Gimana kalau kita nongki (nongkrong ngopi) aja yuk.” Ajak Renata.
“Nongki kemana?”
“Tempat biasa,”
“Sekarang?”
“Nanti sore aja.”
“Boleh. Ntar aku jemput kamu yah.” Ucap Olivia.
“Okey, aku tunggu.”
Tepat sore
itu di mana Olivia akan pergi bersama dengan Renata untuk nongkrong bareng. Namun, sebelum kakinya melangkah keluar dari rumah, Olivia melihat Rani pulang dengan menggandeng seorang laki-laki paruh baya. Rani lalu memperkenalkan laki-laki tersebut kepada putrinya.
“Olivia, kamu mau ke mana nak?” Tanya Rani yang berjalan masuk.
“Mau pergi!” Jawab Olivia singkat.
“Eh, sebentar Olivia, sini mommy mau kenalin kamu sama teman mommy.” Ucap Rani menarik tangan putrinya.
Wajah Olivia nampak kesal, sesungguhnya dia tak mau berkenalan dengan laki-laki yang dianggap hanyalah seorang teman saja bagi Rani.
“Owh, ini anak kamu ya mih?” Sahut laki-laki paruh baya itu yang berdiri di samping Rani.
“Iya, pih. Ini Olivia, putri semata wayang aku.”
“Hay Olivia, kenalin aku Om Jake,”
“Hem,” jawab Olivia membuang muka.
“Olivia, yang sopan dong nak?” Ucap Rani seraya menatap tajam mata anaknya.
“Udah ah mom, Oliv mau pergi, udah di tunggu sama temen-teman Oliv.” Ujar Olivia jengkel.
Oliva pun pergi meninggalkan Rani dan teman laki-lakinya begitu saja. Dia kesal karena
ini sudah yang ke puluhan kalinya Rani membawa teman laki-lakinya ke rumah.
Rani tak enak hati dengan Jake atas sikap Olivia yang di rasa kurang ajar kepada teman laki-lakinya tersebut.
“Maaf ya sayang, Olivia emang gitu anaknya. Kadang suka nggak sopan kalau sama temen-temen aku.”
“Iya nggak apa-apa, namanya juga anak muda.”
“Ya udah, kita masuk yuk.” Ajak Rani.
Olivia pergi dari rumah dengan rasa jengkel. Dalam perjalanan menuju ke rumah Renata, ia
bergumam, “Mommy emang keterlaluan, dia nggak pernah mikirin perasaan ku! Apa dia merasa nggak malu sama anaknya karena sering gonta ganti laki-laki dan membawa pulang ke rumah! Agh! Sebel aku, sebel! Kenapa sih aku harus tinggal dan hidup bersama Mommy!”
Butuh empat puluh lima menit dia sampai di Kost Renata. Selepas menjemput sahabatnya,
Olivia melanjutkan lajunya menuju ke kedai kopi tempat mereka berdua nongkrong.
Tak lama Renata dan Olivia sampai di kedai tersebut. Mereka berdua lalu mencari tempat
duduk yang di rasa nyaman. Terlihat ada seorang laki-laki yang duduk bersebrangan dengannya. Laki-laki itu nampak macho, wajahnya tampan dengan bentuk sudut pipi yang presisi.
Sedari tadi saat Olivia sampai di kedai itu, laki-laki tersebut selalu memperhatikan Olivia
dari kejauhan. Laki-laki itu melihat wajah cantik yang dimiliki Olivia. Dan selesai memesan makanan Olivia memperhatikan sekelilingnya, pandangannya terhenti di sebelah kiri tempat ia duduk. Ada seorang laki-laki yang sedang menunjukan senyum menawannya kepada Olivia.
Olivia menjadi salah tingkah, dia lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel pribadinya yang saat itu tengah dia genggamnya.
Sambil memainkan ponselnya dia bergumam dengan wajah memerah, “Siapa laki-laki yang tersenyum pada ku tadi
ya? Ganteng juga sih, tapi aku jadi salah tingkah nih jadinya.”
Beberapa menit kemudian seorang waiters datang ke meja Olivia. Ia memberikan selembar kertas dan sebatang bunga mawar putih untuknya.
Isi pesannya yaitu, “Hay cantik, boleh aku gabung?” dan di akhir pesan tersebut di tulis
oleh si penulis, “Aku yang selalu memandangi mu dari arah samping. :-)”
Selesai membaca
pesan itu, Olivia dan Renata langsung menoleh ke samping kiri tempat duduk
mereka. Laki-laki itu melambaikan tangannya sambil memberikan senyum ramahnya.
Renata sedikit kaget, dia lalu berbisik dengan Olivia.
“Siapa dia Olivia? Kamu kenal?” Tanya Renata heran.
Olivia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
“Serius?”
“Iya, aku nggak kenal dia sama sekali. Cuman tadi waktu kita sampai di sini, dia memperhatikan kita terus dari tadi.” Terang Olivia.
“Ya, ampun Oliv, dia ganteng banget loh.” Kata Renata yang terpesona dengan ketampanan
laki-laki tersebut.
Olivia hanya menggerakkan kedua pundaknya keatas dan kebawah.
“Kalau kamu mau, deketin aja sana.” Ucap Olivia.
“Beneran boleh?” Tanya Renata polos.
“Boleh, kalau kamu nggak punya harga diri sih. Ha… Ha… Ha…” Ucap Olivia bergurau.
“Woo, jahat kamu bilang gitu Oliv!” Ujar Renata kesal.
Ketika mereka berdua tengah asik berbisik-bisik, tanpa di sadari laki-laki tersebut tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua. Ia kemudian memperkenalkan dirinya.
“Hay, aku Zack.” Ucap Zack menjulurkan tangannya.
Olivia dan Renata tercenung melihat Zack yang nampak berdiri di depan mereka berdua.
Bersambung…
Karena terpesona dengan ketampanan Zack, tanpa sadar Renata mengatakan, “Astaga, cakep bener manusia di depan aku ini, aku lagi nggak mimpikan ini?” di hadapan Zack.
Zack hanya tersenyum tipis kepadanya. Olivia langsung menyenggol lengan sahabatnya.
“Heh! Malu-maluin aja sih lu.” Ucap Olive.
Renata seketika tersadar dengan sikapnya.
“Eh, maaf.” Ucap Renata mengalihkan rasa malunya.
“Iya, santai aja. Boleh aku gabung di sini?” Tanya Zack.
“Boleh, boleh, silahkan duduk.” Ucap Renata seraya mempersilahkan Zack bergabung di meja mereka.
“Apa kalian hanya berdua saja di sini?” Tanya Zack membuka percakapan.
“I—iya, kami cuman berdua aja, siapa tadi nama kamu?” Sahut Renata.
“Zack,” jawabnya.
“Iya maksud aku Zack.”
“Beneran cuman hanya berdua? Kenapa nggak sama cowok kalian?”
“Hem, ka—kami jomblo.” Ucap Renata lagi.
Olive memang tak suka banyak berbicara dengan orang yang baru saja dikenalnya. Namun, tujuan utama Zack duduk dan bergabung bersama mereka adalah ingin berkenalan dengan Olivia. Ia lalu mengulurkan tangan nya dan mengajak Olivia berkenalan.
“Hey, kamu diam aja dari tadi, aku Zack.”
“Iya tau, kamu udah bilang kok, kalau nama kamu Zack.” Kata Olivia.
Zack melebarkan senyumnya dan berkata, “Syukur deh kalau kamu denger nama aku. Kok diem sih, bicara lah sedikit. Siapa tau kita bisa jadi teman dekat gitu?”
“Dia memang seperti ini orangnya Zack. Jarang banyak bicara sama orang yang nggak terlalu dia kenal. Tapi kalau kamu udah kenal dia, dia orangnya asik kok, Aku Renata.” Pangkas Renata.
Olive lalu mengerucutkan mulutnya.
“Em, gitu ya. Tapi kalau kita sering ngobrol, kita pasti bisa cepet akrab. Bener kan?”
“Yaa, iya sih. Tapi mendingan ngobrol sama aku aja Zack. Aku tuh orangnya asik juga loh kalau di ajak kenalan.” Seru Renata melebarkan senyumnya.
Zack dan Olivia justru tertawa mendengar Renata yang nampak bergairah ingin berkenalan dengannya.
“Ha… Ha… Ha… Renata, ternyata kamu orangnya lucu juga ya. Kalau cuman ngobrol berdua kan nggak asik. Kita ngobrol sama-sama aja. Bener kan Olive?” Ucap Zack yang kemudian menatap Olivia.
Ia hanya tersenyum manis dengan wajah canggung. Zack kembali membuka pembicaraan untuk memancing Olivia berbicara dengannya.
“Owh, iya. Ngomong-ngomong habis ini kalian berdua mau ke mana?” Tanya Zack.
“Kenapa emangnya?” Tanya Olivia.
“Ya, nggak apa-apa sih. Cuman mau tanya aja.”
“Nggak tau sih Zack. Cuman rencananya tadi mau ngopi aja di sini.” Sahut Renata.
“Emm, gitu. Gimana kalau habis minum kopi kita main billiard aja? Udah pada pernah main belum?”
“Belum sih. Gimana Liv, kamu mau nggak?” Ucap Renata sambil menjawil tangan Olivia.
“Seru loh, main billiard. Aku yakin kalian berdua pasti bakal ketagihan main itu,” cakap Zack.
“Main yuk Liv, lagian kamu juga baru suntuk kan?”
“Iya, iya bawel.” Kata Olivia.
“Ha? Serius Liv, kamu mau?”
“He’em…”
“Suntuk kenapa kalau boleh tau?”
“Jadi dia tuh lagi….”
Sebelum ia menceritakan kepada Zack soal sahabatnya, Olivia langsung pura-pura batuk untuk memberikan kode pada Renata, karena ia tak mau masalah pribadinya diumbar.
“Ehem!”
Renata lalu melirik ke arah Olivia dan menundukkan kepalanya.
“Kenapa? Kok nggak jadi bicara?” Tanya Zack penasaran.
“Hem, nggak. Nggak jadi.” Ucap Renata menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Kebiasaan deh, kalau udah asih ngobrol, pasti nerocos aja mulutnya.” Sindir Olivia.
“Iya, maaf deh.” Ujar Renata.
“Kenapa sih?” Tanya Zack penasaran.
“Zack, aku kasih tau ya, kita kan baru kenalan. Belum juga satu hari kita ketemu. Jadi tolong jaga sikap kamu, jangan terlalu ingin tau soal kita berdua. Okey!” Ucap Olivia tegas.
“Owh, oke, oke, maaf kalau gitu ya.” Kata Zack.
Dalam hati Zack berkata, “Wanita ini sungguh menantang ku. Kita lihat aja, sampai kapan kamu akan bersikap sok bengis seperti ini padaku. Dia hanya belum tahu saja siapa orang yang ada di hadapannya sekarang.”
Satu jam kemudian, Zack mengajak Olivia dan Renata pergi ke Brewerkz untuk bersantai dan bersenang-senang bermain billiard di sana.
“Kita ke Brewerkz sekarang aja gimana?” ajak Zack.
“Boleh.”
“Ya udah ayuk.” Ucap Olivia.
Akhirnya mereka bertiga pergi meninggalkan kedai. Sesampainya di sana, Zack langsung mengajak Renata dan Olivia main billiard.
Zack memberikan contoh kepada mereka berdua cara bermain billiard.
“Kalian udah bisa main ini?” Tanya Zack seraya mengambil stick billiard yang ada di sampingnya.
“Alah gampang, cuman di sodok-sodok aja kan tongkatnya?” Ucap Renata dengan polosnya.
Zack hanya tertawa geli mendengar ucapan Renata. Ia kembali bertanya kepada Olivia.
“Kalau kamu Olivia, udah pernah main ini?”
Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Okey, baik lah aku akan ajari kalian berdua main billiard.”
“Serius?” tanya Renata kegirangan.
“Iya.” Jawab Zack.
Zack terlebih dulu memberikan contoh cara bermain billiard ke Renata. Ia memberikan stick billiardnya ke mereka berdua.
“Coba kamu dulu Re, habis itu baru Olivia.”
“Okey,”
“Jadi tangan kanan kamu harus berada di ujung stik, dan tangan kiri kamu menopang stick supaya mengarahkan ujung depan stik agar tepat bersentuhan dengan bolanya.”
“He.em, terus?”
“Jadi kamu harus fokus sama sodokan kamu ke bola itu agar bolanya bisa masuk ke lubang-lubang itu. Paham?”
“Okey, paham. Aku coba ya.”
Renata kemudian mempraktekan teknik yang baru saja Zack katakan. Setelah itu giliran Olivia yang menyodok bolanya.
“Bagus Renata. Sekarang giliran kamu Olivia.” Ucap Zack.
Olivia lalu berjalan mendekati meja billiard. Zack tak ingin kehilangan kesempatan itu. Ia berpura-pura memberikan arahan teknik bermain billiard dengan posisi berdiri di belakang tubuh Olivia. Perlahan ia menyentuh lembut tangan mulus milik wanita tersebut. Setelah itu, ia memberikan arahan dengan berbisik tepat di daun telinga Olivia yang membuat seluruh tubuhnya merasa mengeriap. Suara serak-serak basah dengan nada lembut terdengar jelas melewati gendang telinga Olivia. Ia malah semakin tak fokus memainkan stick billiard itu setelah senjata perkasa milik Zack menyentuh salah satu bagian tubuh belakang Olivia.
Olivia sontak membulatkan kedua matanya. Keringat dingin mulai nampak keluar di leher belakangnya. Sedangkan ruangan itu terasa dingin karena AC yang tengah menyala. Akan tetapi Zack justru semakin menggunakan kesempatan itu dengan baik. Ia sengaja menghembuskan nafasnya tepat di leher belakang Olivia yang berkeringat.
“Zack, tolong mundur sedikit.” Ucap Olivia seraya memejamkan kedua matanya.
“Kenapa Olivia?” Tanya Zack dengan suara mendesah.
“Zack!”
“Baiklah, baiklah aku suka bau aroma tubuhmu Olivia.” Bisik Zack menggoda.
“Zack!”
“Baiklah, baiklah. Aku akan mundur, sekarang coba kamu sodok stick billiard yang kamu genggam ini ke bola itu. Pasti akan sangat nikmat jika permainan ini dimainkan olehmu.” Ucap Zack kembali membuat Olivia mengeriap.
Tak ingin hanyut dalam tipu daya Zack, wanita itu langsung saja menyodok sticknya, agar Zack segera menjauh dari dirinya.
“Yea, bagus Olivia. Keren.” Pekik Renata girang.
Olivia malah di buat canggung oleh Zack, namun permainan itu terus berlanjut. Di tengah permainan, Zack menawarkan minuman kepada mereka berdua.
“Okey, istirahat dulu. Kita minum yuk.”
“Boleh.”
Mereka bertiga berjalan bersama menuju ke meja bar counter untuk membeli dan menikmati minuman di sana.
“Kalian mau pesan apa? Biar aku yang bayar.” Cakap Zack.
“Serius Zack.” Ucap Renata.
Zack mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau gitu, aku mau pesen wine aja deh.”
“Okey, mas winnya ya satu. Kamu Olivia?”
“Aku bir aja.”
“Ha? Serius kamu cuman mau minum bir aja Liv?” Tanya Renata yang sedang duduk di sampingnya.
“Hu’um,”
“Memangnya biasanya kalian minum apa?”
“Biasanya nih ya, kita tuh sering ambil yang brandy, vodka, wiski, ya banyak deh.”
“Serius?”
“Hu’um,” kata Renata mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Loh, terus kenapa Olivia cuman mau pesan bir?” tanya Zack.
Renata hanya merenyutkan kedua bahunya.
“Lagi nggak mood aja. Udah sih, itu aja.”
“Em, baiklah. Mas tambah bir-nya satu sama rum-nya satu ya.”
Sambil menunggu bartender datang, mereka bertiga menikmati suara music yang disajikan di tempat itu. Mereka juga bersenang-senang memanjakan dirinya malam itu juga.
Tak terasa sudah empat jam berlalu mereka menghabiskan waktunya bersama. Zack berhasil merubah suasana hati Olivia yang tadinya suntuk seketika berganti jadi menyenangkan saat berada di tempat itu.
“Gila ya, nggak nyangka ternyata tempatnya asik juga.” Ungkap Olivia.
“Iya Liv, bener asik juga. Besok-besok kalau kita lagi suntuk mending ke sini aja.”
“Iya Re.”
“Tuh kan, bener apa yang aku bilang tadi. Kalian pasti bakal senang ke sini.” Ucap Zack.
“Tenks ya Zack, kamu udah berhasil buat sohib ku ketawa lagi.”
Zack hanya tersenyum menyunggingkan mulutnya.
“Berhubung sudah larut malam, sebaiknya kita pulang ya Zack.” Ucap Olivia.
“Kalian mau balik sekarang?” Tanya Zack.
“Iya, kasihan Renata nggak enak sama ibu kosnya.”
“Ya udah deh, silahkan kalau kalian mau balik. Em, tapi sebelum kalian pergi dari sini, boleh kita tukeran nomer telpon?” Pinta Zack.
“Boleh, sini aku kasih no aku Zack,” tutur Renata.
Zack mengeluarkan ponsel pribadinya dari dalam saku celana. Ia kemudian mencatat nomor telepon milik Renata.
“Aku save ya Re,”
“Okey, coba kamu ping aku Zack.”
“Iya, bentar. Tuh, udah aku ping. Kalau kamu Liv? Berapa nomer telepon kamu?”
“Kosong delapan….”
Selesai memberikan nomor telepon pribadinya ke Zack, mereka berdua langsung berpamitan pergi meninggalkan bar itu.
“Kita balik ya Zack,” kata Renata sambil melambaikan tangannya.
“Tenks ya untuk traktiran malam ini,” tutur Olivia.
Zack hanya tersenyum bengkok dengan satu sisi bibir miring ke atas padanya.
“See you Zack.”
Zack membalas dengan melambai-lambaikan tangannya.
Dalam perjalanan pulang Renata nampak girang, ia tak henti-hentinya memuji Zack.
“Gila ya, ternyata Zack asik juga orangnya. Dia tuh super perfek banget, pokoknya idaman cewek banget Liv. Iya kan Liv?”
“Itu kan menurutmu Re,”
“Astaga Olivia, dia itu pangeran. Harusnya dari tadi kamu tuh memperhatikan gayanya dia bicara, sumpah super cool.”
Sedangkan Olivia hanya tersenyum skeptic seraya mengemudikan mobilnya.
“Ih, kamu malah nyengir aja sih Liv,”
“Ya terus aku mau bilang apa lagi sih Re,”
“Harusnya kamu bilang kek. Eh, iya Cool banget ya Re, orangnya keren ya Re, gitu ngapa!”
Olivia lalu tertawa selepas mendengar ocehan Renata. Tak lama mereka sampai, Olivia lalu pergi pulang ke rumahnya.
“Tenks ya Liv, udah anterin aku pulang.”
“Iya, aku langsung balik ya. Udah malem banget soalnya.”
“Hu’um, kamu berani pulang sendiri kan?”
“Berani, bye…”
“Hati-hati di jalan ya Liv.” Pekik Renata.
Beberapa menit kemudian, sampailah Olivia ke rumahnya. Setelah mesin mobil dimatikan, ia lalu berjalan menuju pintu depan rumahnya. Tapi mendadak terdengar suara bunyi ponsel miliknya. Di ambil lah ponsel itu dari mini bag yang sedang dia kenakan. Sebuah panggilan masuk tanpa nama sedang menghubungi dirinya.
“Siapa yang menelpon malam-malam begini ya? Terus ini nomer siapa?” Gumam Olivia sambil berjalan masuk ke rumahnya.
“Hallo?”
“Hay cantik.”
“Maaf ini siapa ya?”
“Zack.”
“Astaga ternyata kamu Zack.”
“Kaget ya?”
“Iya, aku kira siapa yang telepon malam-malam begini.”
“Aku hanya memastikan saja sih, apakah kamu sudah sampai rumah atau belum.”
“Ini aku barusan aja sampai rumah.”
“Syukur deh kalau gitu.”
“Kenapa?”
“Em, nggak tau,”
“Nggak tau? Aneh kamu tuh!”
“Kok aneh?”
“Habisnya, ditanya kenapa malah jawab nggak tau, kontras banget sih jawabannya.”
“Ha… Ha… Ha…”
“Tuh kan, malah ketawa.”
“Olivia, maksud aku, nggak tau kenapa aku masih ke inget terus sama wajah kamu yang cantik itu.”
“Ih, apaan sih! Udah ah aku mau masuk ke dalem dulu.”
“Kedalam? Kedalam hatiku maksud kamu?”
“Zack!”
“Iya, iya, ya udah masuk dan selamat beristirahat wanita terindah.”
“Heemm…”
Tot… tot… tot…
Seketika Olivia langsung memutuskan panggilan itu. ia kemudian lanjut melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya baru saja naik ke atas tangga, melewati kamar milik sang ibu yang berada persis di sebelah kamarnya.
Ketika Olivia sedang memegang handle pintu, tiba-tiba dia harus dihadapkan dengan suara yang mengusik gendang telinganya. Dari tempatnya dia berdiri saat ini, dengan jelas Olivia mendengar lenguhan serta erangan yang saling bersahut-sahutan dari bibir ibunya bersama dengan seorang laki-laki.
Ini bukanlah sesuatu yang pertama kali bagi Olivia. Ia sudah sering menemui hal semacam itu. Dan hal ini membuatnya merasa kesal. Tak ingin berlama-lama mendengarnya, ia pergi menjauh dari kamar ibunya lalu masuk ke dalam kamar pribadinya.
Di lempar lah mini bag yang sedang dia kenakan di kasur. Ia terus duduk di sudut tempat tidurnya.
“Kenapa sih Mommy selalu melakukan hal itu, bahkan Mommy tidak pernah memperdulikan perasaanku!" Olivia mengeram dia meremas ponsel yang sedang di genggamnya.
Dengan usianya yang sudah bukan anak kecil lagi, gadis itu cukup tau bagaimana hubungan antara ibunya dengan beberapa laki-laki yang sering dibawa pulang. Rani membawa mereka ke rumahnya hanya karena adanya satu alasan, yaitu kepuasan. Dan mereka hanyalah sebatas teman ranjang tanpa adanya tali pernikahan.
Olivia sudah terlalu enek. Dia ingin ibunya berhenti melakukan hal yang menjijikan semacam itu hanya untuk memuaskan hasratnya.
Kenapa ibunya tidak memilih menikah saja dengan laki-laki yang dia cintai? Huft, memikirkan semua ini rasanya membuat Olivia benar-benar akan gelap mata dengan keadaan.
Bersambung…
Brak!
Olivia sengaja mengobrak abrik meja riasnya. Sehingga suara itu terdengar sampai ke telinga Rani dan laki-lakinya. Keduanya sekejap menghentikan kegiatannya sejenak dengan nafas yang terdengar memburu. Rani yakin, putrinya tau apa yang tengah dia lakukan bersama laki-laki itu di dalam kamarnya.
Teman ranjang Rani meminta untuk tidak merusak suasana hatinya saat itu juga.
“Sudahlah jangan membuat mood ku berantakan sayang,” ucap laki-laki itu sedikit kesal karena libid*nya yang sudah memuncak, hampir rusak akibat Rani memintanya untuk berhenti setelah mendengar suara gaduh dari samping dinding kamarnya.
Rani mengangguk-anggukkan kepalanya. “Maafkan aku, Darling.” Ia mengelus pipi laki-laki tersebut dan kembali melakukan aktivitasnya untuk menuju ketitik pembebasannya.
Suara erangan panjang dari kamar sebelah betul-betul membuat kepala Olivia ingin pecah. Namun, Rani sama sekali tak memperdulikan anaknya yang kini sedang dilanda amarah.
Suasana hati yang tadinya sudah membaik kini harus kembali berantakan atas perbuatan yang menjijikan dari ibunya. Olivia lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah di tengah malam yang penuh luka.
Saat itu juga, dia mencoba menghubungi sahabatnya. Akan tetapi Renata sama sekali tak menerima panggilan masuk darinya.
“Ayo dong Re, angkat!” Olivia terus menangis dalam perjalanan yang entah kemana dirinya akan pergi.
Hingga akhirnya Olivia memutuskan untuk kembali ke bar menenangkan hati dan pikirannya. Di sana dia malah bertemu dengan Zack. Zack heran ketika dirinya melihat Olivia tiba-tiba kembali ke tempat itu. Ia lalu menyapa gadis yang disukainya sedari tadi.
“Hey, Olivia. Kenapa kamu….”
Belum selesai bertanya, Olivia meminta Zack untuk diam dan menemani dirinya malam itu juga.
“Jangan banyak bertanya, kenapa aku kembali ke sini lagi! Sekarang temani aku minum dan buat aku senang malam ini.”
Zack terheran, ini pertama kalinya ia bertemu dengan wanita seperti Olivia, namun di otaknya ini adalah peluang yang tepat bagi dirinya.
“Okey baby, kan ku temani kamu sampai mood mu kembali membaik lagi. Ha… Ha… Ha…” Zack nampak begitu antusias akan hal itu.
Mereka berdua lalu duduk di kursi bar dan menghabiskan sisa waktu malam itu di sana.
Satu setengah botol Jack Daniels hampir habis di minum oleh Olivia. Hingga membuat dia hampir tak sadarkan diri karena pengaruh alkohol. Tak mau berfikir panjang Zack kemudian mengajak Olivia pergi ke hotel. Sedari tadi ia telah menahan koitusnya sejak pertama kali bertemu dengan wanita yang kini duduk di sampingnya itu.
“Zack, setelah ini kita mau kemana?” Tanya Olivia yang masih setengah sadar.
“Kita ke hotel?”
“Hotel? Mau ngapain Zack?”
“Yang pastinya ingin membuat mood mu kembali Oliv,”
“Baiklah, kita ke hotel sekarang, aku lagi nggak mau pulang.”
“Waw, ini yang aku tunggu-tunggu. Okey, kita pergi sekarang sayang.”
Dalam kondisi sober Olivia berjalan keluar dari bar tersebut bersama Zack. Dan dengan segera Zack membantu Olivia masuk ke mobilnya.
“Ternyata mudah sekali membuat wanita ini masuk dalam perangkap ku, tak sesulit yang aku bayangkan. Tapi, hal apa yang membuat dia menjadi seperti ini ya? Ah, bodo amat, nggak penting juga aku harus mikirin masalah dia. Yang penting tujuan ku sebentar lagi akan terpenuhi.” Gumam Zack seraya mengemudikan mobilnya sambil tersenyum licik.
Hanya butuh waktu tiga puluh dua menit mereka sampai di hotel. Zack dengan cepat langsung turun dan check in. Setelah kunci berada di tangannya, ia kemudian menurunkan Olivia yang sudah tak sadarkan diri.
Zack lalu membawa Olivia masuk ke sebuah kamar hotel dan merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk yang sudah siap untuk dipakai oleh para tamu hotel tersebut.
Akan tetapi ketika dia mau melakukan aksinya, Olivia tiba-tiba terbangun. Ia lalu melihat di sekelilingnya. Zack mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Olivia,” seru Zack.
Sambil menyentuh dahinya sendiri dan masih dalam keadaan setengah sadar Olivia bertanya, “Zack, di mana kita?”
“Kita di tempat yang ternyaman sayang,” ucap Zack membelai lembut lengan Olivia.
“Ternyaman?”
Zack hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Olivia tiba-tiba menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil merengek. Zack merasa heran, ia lalu memeluk Olivia.
“Hey, hey sayang. Ada apa? Kenapa kamu menangis?” Tanya Zack heran.
Olivia membisu, dia tak ingin membagi beban hidupnya kepada siapapun walau dirinya masih dipengaruhi oleh alcohol.
Perlahan Olivia melepas pelukan Zack, ia menatap tajam mata Zack dan memintanya untuk menyenangkan dirinya malam itu juga.
“Zack,”
“Iya sayang,”
“Buat aku bahagia malam ini.”
“Pastinya.”
Zack lalu mengangkat ujung dagu Olivia, membuat mata Olivia sejajar dengan matanya. Zack memeluk dan mencium Olivia, wanita itu hanya diam sambil menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh pria di sampingnya.
Olivia menatap Zack, hingga pandangan mata mereka kembali menyatu. Laki-laki itu benar-benar memperlakukannya dengan sangat istimewa.
Olivia yang menerima serangan dadakan itu pun tak mampu mengimbangi bobot tubuhnya, ia reflek mencengkram bahu Zack. Laki-laki itu bahkan sama sekali tak menghentikan aksinya.
Permainan handal telah memperlihatkan keahliannya. Memancing lawan agar ikut masuk dalam permainannya.
Karena pria ini ingin memberikan pelayanan yang terbaik, ia lalu memelankan permainannya, ia ingin membawa Olivia melayang ke angkasa bersamanya.
Sebuah ciuman kembali mendarat di kening Olivia. Zack pun ambruk di atas tubuh Olivia dengan nafas tersengal-sengal seperti orang yang baru saja lari mengelilingi lapangan luas setelah pelepasan itu dia luncurkan.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!