" Meyyy....! Awas di belakangmu!"
Braakkk!
Sebuah pukulan mendarat di punggung Medina. Gadis itu tersungkur ke tanah dengan menahan rasa sakit.
" Sial...! Beraninya menyerang dari belakang!" teriak Medina.
Medina segera bangkit dan segera menghampiri seorang pria berseragam putih abu - abu yang telah memukulnya. Untung saja pukulan itu tidak terlalu keras.
Medina Amelia, gadis cantik itu biasa dipanggil ' Mey ' oleh teman - teman seperjuangannya setiap hari. Namun di rumah, ayahnya lebih suka memanggilnya ' Dina ' seperti ibunya dulu.
" Hah... Dasar pecundang! Beraninya kau main belakang, dasar b*nc*...!" gertak Medina.
Medina menghajar pria yang berbeda sekolah itu dengan brutal. Tak ada ampun bagi mereka yang sudah mengusik hidupnya.
" Sudah, nanti mereka bisa mati." cegah Adam, teman Medina.
" Pergi kalian dari sini jika masih ingin bernafas!" teriak Johan.
Mereka yang sudah babak belur itu segera pergi agar tak mendapat amukan lagi dari Medina. Gadis cantik itu menghela nafas panjang lalu duduk di tanah dengan beristighfar.
" Astaghfirullah..." gumam Medina.
" Mey, kamu tidak apa - apa?" tanya Ririn khawatir.
" No, I'm fine." jawab Medina pelan.
Medina kini duduk di atas rerumputan bersama keempat temannya. Adam, Johan, Ririn dan Bayu. Mereka berlima sudah berteman sejak SMP, mereka tahu semua masalah yang dialami Medina.
" Kita pulang?" tanya Bayu.
" Sebentar, punggungku sedikit sakit. Nanti kalau ayah tahu pasti marah lagi." sahut Medina.
" Mey, sampai kapan kau seperti ini? Ayahmu tidak jadi menikahi tante Lidya, kenapa kamu masih marah?" ujar Ririn.
" Aku tidak marah dengan ayah, aku marah pada diriku sendiri." ucap Medina.
" Kita pulang, ini sudah sore. Ayahmu pasti khawatir kau belum pulang." kata Johan.
Mereka berlima tinggal di desa yang sama. Rumah yang paling dekat dengan Medina adalah Adam. Rumahnya tepat di depan rumah Medina, hanya terpisah oleh jalan.
Medina ke sekolah selalu dibonceng motor oleh Adam. Walaupun Medina memiliki motor sendiri, namun ia enggan untuk membawanya.
¤ ¤ ¤
Medina langsung masuk ke dalam rumah ketika melihat ayahnya tak ada di teras. Biasanya pria paruh baya itu selalu menyambutnya saat pulang ke rumah.
" Assalamu'alaikum...?" ucap Medina.
" Wa'alaikumsalam, kamu sudah pulang, Dina?" sahut ayah.
" Hmm... Ayah mau kemana? Tumben rapi begitu, mau pergi?"
" Tadinya ayah mau cari kamu, ini sudah setengah lima sore. Ayah khawatir terjadi apa - apa padamu."
" Dina sudah bilang pada ayah tidak perlu berlebihan seperti itu. Dina bisa jaga diri!" ketus Medina.
" Iya, ayah tahu kamu sudah beranjak dewasa. Maafkan ayah, Nak."
Ayah Medina yang bernama Hasan itu segera kembali ke dalam kamarnya. Begitu juga dengan Medina yang juga langsung ke kamarnya mengganti pakaian sekolahnya.
" Bu, maafkan ayah. Ayah tidak bisa merawat putri kita dengan baik. Semenjak kepergianmu, wajahnya selalu murung. Tidak ada senyum dan wajah cerianya seperti dulu." gumam ayah Hasan.
Sementara itu, Medina langsung mandi dan bergegas sholat Ashar sebelum waktunya habis. Setelah itu, ia menuju dapur untuk memasak makan malam untuk dirinya dan sang ayah.
Walaupun hubungannya dengan sang ayah tidaklah baik, namun Medina tidak lupa dengan kewajibannya di rumah. Dia selalu bangun sebelum shubuh, membersihkan rumah dan masak untuk sarapan dan makan siang setelah pulang sekolah. Ayahnya menyapu halaman dan menyirami tanaman di pagi dan sore hari. Beliau bekerja sebagai seorang guru Sekolah Dasar.
" Dina, mau ayah bantu?" pak Hasan menghampiri putrinya yang sedang memotong sayuran.
" Tidak usah, Yah. Ini sudah hampir selesai." kata Medina datar.
" Itu lengan kamu kenapa?"
Medina lupa jika lengannya tadi luka saat dia tersungkur di tanah yang berbatu saat berkelahi dengan siswa sekolah lain.
" Oh... ini tadi Dina jatuh saat jalan di halaman sekolah, tali sepatu Dina lepas dan tak sengaja terinjak oleh teman."
" Sini, biar ayah obati."
Pak Hasan mengambil kotak obat di ruang tamu yang di gantung di dinding.
" Tidak usah, Yah. Nanti Dina bisa obati sendiri." tolak Medina.
" Ayo, duduk!" titah ayah sambil mematikan kompor. Untung saja masakannya sudah matang.
Medina hanya bisa pasrah saat sang ayah dengan telaten dan hati - hati mengobati lukanya. Sesekali Medina meringis menahan sakit saat obat itu menyentuh kulitnya yang luka.
" Sudah selesai, bersiaplah! Kita sholat berjamaah di rumah." kata ayah.
" Ayah tidak ke Mushola?"
" Tidak, ayah ingin sholat berjama'ah dengan putri ayah yang cantik ini."
" Baiklah, Medina bereskan dapur dulu."
" Tidak usah, biar ayah saja yang membereskannya."
¤ ¤ ¤
Pagi ini, seperti biasa Adam sudah membunyikan klakson motornya di depan rumah pertanda untuk memanggil Medina yang masih belum keluar dari sarangnya.
" Ayah, Dina berangkat dulu... Adam sudah menunggu diluar." pamit Medina.
" Kamu tidak bawa motor sendiri?" tanya Ayah.
" Tidak, ayah saja yang pakai. Nanti ayah capek kalau tiap hari ke sekolah jalan kaki."
" Ya sudah, hati - hati di jalan. Bilang sama Adam supaya tidak ngebut bawa motornya."
" Iya, assalamu'alaikum."
" Wa'alaikumsalam."
Medina keluar dari rumah dan mendapati Adam yang menatapnya tajam.
" Meong, kamu ngapain aja sih! Dari tadi ditungguin nggak nongol dari sarang." kesal Adam.
" Baru juga jam segini, Darman! Kayak bocah aja takut telat." sahut Medina.
" Woii... Adam bukan Darman!" seru Adam.
" Loh, memangnya udah ganti?"
" Berisik dasar si Meong!" gerutu Adam.
" Ish... cantik begini dibilang meong!" desis Medina.
" Cepat naik, yang lain udah nungguin di perempatan."
" Iya, bawel...!"
Medina segera memakai helmnya kemudian duduk di belakang Adam. Gadis itu nampak bersemangat pagi ini menyambut hangatnya mentari dengan tersenyum lebar.
Sampai di perempatan, tiga sahabat Medina sudah menunggu diatas motor masing - masing. Medina melambaikan tangan dan memberi kode agar mereka langsung jalan.
Mereka sampai di sekolah lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Medina langsung masuk bersama Ririn meninggalkan tiga pria di belakangnya.
Namun baru saja menaruh tas ke dalam laci mejanya, mereka berlima di hampiri seorang siswa dari kelas lain.
" Maaf, kak. Tadi saya disuruh oleh guru BK untuk mencari nama - nama ini disuruh menghadap ke ruang kepala sekolah segera." kata siswa yang merupakan adik kelas mereka.
" Wooiii... inikan nama kita berlima, ada apa ya kepala sekolah manggil kita?" ucap Bayu.
" Mana, coba aku lihat!" Ririn merebut selembar kertas di tangan bayu.
" Kau pergilah!" kata Medina pada adik kelasnya.
" Permisi, kak."
" Hmm..."
" Kita mau di kasih sarapan kali, ya? Baik banget kepala sekolah kita." seloroh Johan.
" Makanan aja yang ada dalam pikiranmu! Ayo kita kesana," sahut Ririn.
Medina merasa sesuatu yang buruk bakalan terjadi. Gadis itu yakin semua ini akibat tawuran kemarin dengan sekolah lain. Medina menghela nafas pelan sebelum beranjak dari kursinya. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dikatakannya kepada sang ayah nantinya saat memberikan surat panggilan dari sekolah entah sudah yang keberapa.
" Kamu kenapa, Mey?" tanya Adam.
" Tidak apa - apa, kalian bersiap - siap untuk ujian kali ini." jawab Medina datar.
" Memangnya kita ada ujian, Mey?" tanya Bayu dengan polosnya.
" Berisik! Ayo cepat ke ruang kepala sekolah." kata Johan.
" Bismillah..." gumam Ririn.
Mereka berlima berjalan melewati lorong yang nampak sepi karena jam pelajaran sudah dimulai. Dengan langkah tegap seperti tentara yang siap perang, mereka berjalan tanpa rasa takut sedikitpun.
.
.
TBC
.
.
Medina mengetuk pintu ruang kepala sekolah lalu masuk ke dalam.
" Assalamu'alaikum," ucap Medina diikuti teman yang lain.
" Wa'alaikumsalam."
Di ruangan itu ada kepala sekolah, guru BK dan dua orang pria dan wanita. Mereka menatap tajam kearah Medina dan empat temannya.
" Kalian tahu kenapa dipanggil kesini?" ucap kepala sekolah datar.
" Tidak, pak. Apa mau di kasih sarapan?" jawab Bayu asal.
Ririn yang mendengar ucapan Bayu merasa geram karena tidak bisa membedakan situasi dan kondisi.
" Ssttt...! Diem bisa nggak!" bisik Ririn.
Johan dan Adam langsung menjitak kepala Bayu secara bersamaan membuat pria itu meringis kesakitan.
" Auwww...!!! Kalian mau membuatku amnesia!" pekik Bayu.
" DIAAMMM...!!!" hardik kepala sekolah.
" Medina...! Kau tahu apa kesalahan kalian?" tanya kepala sekolah.
" Iya, pak. Saya tahu kenapa kami semua dipanggil kesini." ucap Medina.
Pria dan wanita paruh baya itu menatap tajam ke arah Medina. Sepertinya mereka sangat marah dengan aksi Medina dan teman - temannya.
" Kau harus bertanggung jawab, perempuan tapi kelakuan seperti preman!" teriak wanita paruh baya itu.
" Tante dengarkan penjelasan saya dulu." ucap Medina tenang.
" Tidak ada yang perlu dijelaskan! Kau dan teman - temanmu itu harus diberi hukuman."
" Sabar, Ma. Biar pihak sekolah yang bertindak." ujar suami dari wanita itu.
" Tidak bisa, Pa. Mereka semua harus mendapatkan hukuman atau lapor ke polisi!"
" Tante tidak bisa bicara seperti itu, kami punya alasan melakukan itu kepada anak tante."
" Medina! Diamlah, jaga sopan santunmu!" tegas kepala sekolah.
" Bapak juga harus mendengarkan penjelasan kami!" ucap Medina tersulut emosi.
Adam tidak mau Medina hilang kendali sehingga ia langsung menggenggam erat tangan gadis itu agar diam.
" Mey, tahan emosimu!" bisik Adam dengan suara tertahan.
" Astaghfirullah..." lirih Medina.
" Mulai hari ini kalian berlima saya skors selama satu minggu, dan hari ini juga suruh orangtua kalian datang ke sekolah!" kata kepala sekolah dengan tegas.
" Pak, Anda tidak bisa_..." ucap Ririn terhenti oleh tangan Johan yang mencengkeram pundaknya.
" Baik, pak. Kami akan pulang untuk membawa orangtua kami kesini." ucap Johan.
" Ya sudah, kalian pulang sekarang dan bawa orangtua kalian kesini!" perintah kepala sekolah.
" Baik, pak."
Kelima siswa itu keluar dari ruangan kepala dengan wajah kesal dan juga kecewa dengan sikap kepala sekolah yang sepertinya mengambil keputusan tanpa mencari tahu kebenarannya.
¤ ¤ ¤
Adam berhenti tepat di depan rumah Medina. Medina langsung turun dari motor Adam lalu berjalan ke halaman rumahnya. Dia heran karena motor ayahnya masih ada di depan rumah dan pintu juga terbuka lebar.
" Apa ayah nggak ngajar hari ini? Perasaan sekolah nggak libur?" gumam Medina.
" Assalamu'alaikum," ucap Medina sembari masuk ke dalam.
" Wa'alaikumsalam." sahut seseorang dari dalam kamar ayahnya.
" Hah... suara siapa itu? Tidak seperti suara ayah. Apa jangan - jangan maling?" gumam Medina.
Dengan mengendap - endap Medina hendak mengintip ke kamar ayahnya. Namun baru sampai di depan pintu, ia terlonjak kaget dengan kemunculan seorang pemuda dari kamar ayahnya.
" Hehh... siapa kau? Maling ya!" teriak Medina.
" Diam! Berisik sekali!" sahut pria itu datar.
" Tapi_..."
Pemuda itu membungkan mulut Medina dengan tangan kekarnya. Dia langsung menyeret Medina ke ruang tamu dan mendudukkan gadis itu di sofa.
" Kau siapa? Mau merampok di rumahku!" tuduh Medina.
" Hah... merampok? Apanya yang mau di rampok? Rumahmu ini tidak ada barang berharganya." cibir pemuda itu.
" Kalau begitu untuk apa kau di rumahku?"
" Tadi pak Hasan jatuh dari motor saat berangkat kerja. Sebetulan saya lewat, jadi saya antar pulang karena kakinya memar."
" Ayah jatuh? Saya harus melihatnya sekarang."
" Eits...! Jangan di ganggu, beliau sedang istirahat."
Pemuda itu menarik lengan Medina sehingga gadis itu kembali terduduk di sofa. Tanpa sengaja, pemuda itu melihat sebuah kertas di tangan Medina. Dengan cepat pemuda itu langsung merebut kertas itu lalu membukanya.
" Hahh... kau di skors satu minggu dari sekolah?"
" Bukan urusanmu!"
" Lalu apa yang akan kau lakukan? Menyuruh pak Hasan datang ke sekolah?"
Medina hanya diam saja. Ayahnya sedang sakit, tidak mungkin dia tega memberitahu ayahnya soal ini.
" Ikut saya keluar!" pemuda itu menyeret Medina keluar dari rumah.
" Lepasin! Siapa kau berani mengaturku!" pekik Medina.
Saat mereka berdebat, pak Hasan berdiri diambang pintu memperhatikan mereka.
" Dina, kenapa kamu sudah pulang?" tanya pak Hasan sambil bersandar di pintu.
" Paman, kenapa keluar kamar? Istirahatlah, Rifky antar ke kamar ya?"
" Paman duduk disini saja, gerah di dalam."
" Yah, dia siapa? Sok akrab banget." ketus Medina.
" Hehh... yang sopan bicara dengan orangtua!" omel Rifky.
" Duduklah dulu, Din. Ini Rifky keponakan pak Jamal, dia sedang berkunjung." kata pak Hasan.
" Medina belum pernah melihatnya?"
" Apa kau lupa dulu waktu masih TK selalu minta dianter sekolah sampai nangis. Mana udah gembul, minta gendong lagi." ledek Rifky.
" Itu sudah dua belas tahun yang lalu, mana saya ingat!" ketus Medina.
" Yakin tidak ingat padaku?"
Medina menatap sekilas pemuda yang ada di hadapannya itu. Memang benar, dia adalah anak laki - laki yang selalu ia ikuti kemanapun dia pergi. Umur mereka terpaut enam tahun karena seingat Medina, anak laki - laki itu sering berkunjung ke rumah pak Jamal sebulan sekali. Namun saat Medina masuk sekolah dasar, anak laki - laki itu tak pernah datang lagi semenjak masuk SMP.
" Kenapa melamun?" tanya Rifky.
" Jadi Om ini namanya Rifky? Dina tidak pernah tahu nama Om."
" Kok panggil 'Om'? Saya tidak setua itu!"
" Terus panggil apa?"
" Seperti waktu kecil dulu, gimana?"
" Apa? Dina lupa."
" Tanya sama paman, pasti masih ingat."
Pak Hasan hanya tersenyum saat sang anak menatapnya seakan meminta sebuah jawaban.
" Dulu kau memanggil Rifky dengan ' Kakak tampan '." ujar ayah membuat Medina langsung kaget.
Terlihat jelas rona merah di wajah Medina karena malu. Ingin rasanya ia menenggelamkan diri di dasar sumur saat ini juga.
" Ayah pasti bohong! Mana mungkin Medina panggil dia begitu, tampangnya aja pas - pasan." ketus Medina.
" Jangan pura - pura amnesia, akui saja kalau saya memang tampan." goda Rifky.
" Apaan sih, nggak jelas banget." cibir Medina.
" Sudah, jangan bertengkar. Dina, kenapa jam segini kamu sudah pulang?" tanya pak Hasan.
" Itu, Yah... Dina_..."
" Paman baca ini." Rifky menyerahkan kertas yang dia rebut dari Medina.
Pak Hasan membaca surat panggilan dari sekolah Medina. Tatapannya terlihat sendu dan berkali - kali mengelus dadanya. Sudah puluhan kali ia datang ke sekolah karena ulah putrinya itu.
" Kali ini apalagi yang kau lakukan, Nak?" ucap pak Hasan lirih.
" Yah, Dina dan teman - teman hanya ingin membela harga diri seorang gadis. Apa salahnya Dina menolong seorang gadis yang hampir dilecehkan di jalanan."
" Jadi lengan kamu luka karena tawuran lagi?"
" Maaf, Yah."
" Baiklah, antar ayah ke sekolah kamu."
" Paman, biar Rifky yang urus masalah Medina. Paman istirahat saja di rumah."
" Kak Rifky mau ke sekolah Dina?"
" Memangnya kenapa? Saya akan memberikan hukuman padamu karena sudah membuat paman bersedih." tegas Rifky.
" Tapi Dina sudah diskors selama satu minggu, kenapa ada hukumannya lagi?"
" Diam! Mulai sekarang kau di bawah pengawasanku!"
.
.
TBC
.
.
" Diam! Mulai sekarang kau di bawah pengawasanku!" tegas Rifky.
Rifky Mahendra, pemuda berusia 23 tahun datang dari kota untuk berkunjung ke rumah adik dari papanya, pak Jamal. Dulu waktu kecil ia memang kerap datang ke rumah pamannya itu setiap liburan sekolah.
Rifky sering mengajak Medina yang waktu itu masih umur 5 tahun bermain bersamanya layaknya seorang kakak adik. Kemanapun Rifky pergi, Medina selalu merengek ingin ikut dengannya. Rifky sangat menyayangi Medina yang cantik dan sangat menggemaskan.
Setelah teman - teman Medina berkumpul di depan rumah Adam bersama orangtua mereka, Medina langsung pamit kepada ayahnya.
" Mey, kamu bawa siapa? Artis Korea ya?" ucap Ririn antusias.
Gadis yang sangat menyukai film Drakor itu terpukau dengan wajah tampan Rifky. Bahkan matanya tak berkedip menatap Rifky yang tersenyum padanya.
" Ish... sadar wooiii...! Air liur udah satu ember tuh." ledek Bayu.
" Hhh... ganggu aja kesenangan orang!" ketus Ririn.
" Dam, aku ikut kamu aja ya?" bisik Medina.
" Nggak bisa, Mey... Tuh ibuku mau ditaruh dimana?" sahut Adam.
Benar juga, semua orang sudah berpasangan dengan orangtua masing - masing. Medina menatap kesal pada Rifky yang menyunggingkan senyumnya.
" Kak, kakak ini siapanya Mey?" tanya Ririn.
" Saya Rifky, calon suaminya Medina." jawab Rifky asal.
" Apaaa...?" teriak semua yang disitu kaget.
" Benar Mey kamu mau menikah?" tanya ibunya Adam.
" Nggak, bik. Dia cuma bicara asal." jawab Medina.
" Tapi lebih baik jika kamu itu menikah, Din. Biar nggak tawuran tiap hari. Kami ini sebagai orangtua malu dipanggil ke sekolah karena ulah kalian berlima." ujar ibunya Johan.
" Tante tenang saja, setelah ini mereka tidak akan tawuran lagi." ucap Rifky.
" Sebenarnya Nak Rifky ini siapa? Kok bisa di rumah Medina?" tanya bapaknya Ririn.
" Saya tidak tinggal di rumah Medina, pak. Saya tinggal di sebelahnya, rumah paman saya pak Jamal. Saya keponakan beliau dari kota, hanya saja sudah lama tidak berkunjung ke desa ini."
" Ya sudah, kita berangkat sekarang. Dasar anak - anak brutal, menyusahkan orangtua saja." keluh ayahnya Bayu.
Mereka segera melajukan motornya masing - masing dengan orangtua mereka. Medina dengan terpaksa di bonceng Rifky karena sudah tidak ada pilihan lain.
" Pegangan, Din. Nanti kamu jatuh." titah Rifky.
" Apaan sih, kak! Biarin aja Mey jatuh, itu salah kak Rifky." sahut Medina santai.
" Mau pegangan atau kakak turunin disini!" ancam Rifky.
" Huhh... menyebalkan!" gerutu Medina.
Medina berpegangan pada jaket yang dipakai Rifky membuat pria itu tersenyum. Dengan cepat, Rifky menarik tangan Medina sehingga memeluk dengan erat perutnya.
" Begini baru benar." kata Rifky sambil tersenyum.
" Kak, lepaskan tanganku!" pekik Syifa.
" Jangan bandel atau kakak akan melakukan lebih dari ini." ujar Rifky.
" Aakkhhh...! Malu kalau ada yang lihat." rengek Medina.
" Malu? Apa sebelumnya belum pernah seperti ini sama pacar kamu?"
Pertanyaan Rifky membuat Medina diam. Ini memang pertama kalinya ia sangat dekat dengan seorang laki - laki. Walaupun sering naik motor dengan Adam, namun mereka tidak pernah sedekat ini. Medina tidak pernah berpegangan pada Adam saat dibonceng motornya.
" Dina tidak pernah punya pacar, belum kepikiran sampai kesana." sahut Medina.
" Baguslah kalau begitu."
" Bagus apanya, kak?"
" Nanti saja kakak kasih tahu setelah pulang."
Rifky melajukan motornya lebih cepat supaya tidak tertinggal dengan yang lain.
Sampai di sekolah, mereka langsung masuk ke ruang kepala sekolah. Saat di dalam, kepala sekolah ceramah seperti pidato kenegaraan. Setelah semua orangtua menandatangani surat pernyataan, kini mereka diperbolehkan pulang.
" Mey, kita pulang duluan. Kamu pulang nggak?" tanya Ririn.
" Kalian duluan saja, kami mau ke Apotek sebentar beli obat untuk paman Hasan." jawab Rifky.
Medina hanya diam dengan wajah yang ditekuk. Dia sangat kesal dengan Rifky yang mengatur hidupnya.
" Oh iya, mulai besok kalian berempat akan mengerjakan tugas di rumah Medina selepas Ashar. Jangan sampai lupa...!"
" Iya, kak." jawab mereka serempak.
Para orangtua juga sudah menyerahkan anak - anaknya supaya di bimbing oleh Rifky selama satu minggu mereka menjalani hukuman.
Mereka berpisah di gerbang sekolah karena Apotek yang akan dituju Rifky berbeda arah dengan jalan ke Desa Medina.
" Din, mau makan dulu?" tanya Rifky.
" Tidak usah, tadi pagi aku udah masak buat makan siang." tolak Medina.
" Ya udah, kamu tunggu aja disini sebentar biar kakak beli obatnya dulu."
" Hmmm..."
Rifky masuk ke Apotek dan membeli obat - obatan untuk luka memar di kaki paman Hasan. Setelah selesai, ia kembali ke motor dan mendapati Medina sedang melamun.
" Hei... calon istri, kenapa melamun? Bayangin kakak mengucap ijab qobul ya?" goda Rifky.
" Astaghfirullah...! Kakak kenapa ngagetin sih?" sungut Medina.
" Salah sendiri bengong di siang bolong."
" Kak Rifky jangan nyebar hoaks ya!"
" Hoaks apa?"
" Dina bukan calon istri kakak, jadi jangan bicara asal pada orang - orang."
" Siapa bilang bukan? Kamu adalah CALIS cantikku." kata Reyhan dengan senyum jahilnya.
" CALIS...? Apa itu...?"
" Calon istri, sayang."
" Jangan mimpi di siang bolong!"
Medina semakin dongkol aja dengan sikap Rifky yang sangat menjengkelkan. Mimpi apa dia semalam sampai bertemu laki - laki yang tidak punya malu itu.
" Ayo naik, keburu ayahmu lapar. Atau mau minta gendong seperti dulu?"
" Berisik!"
" Calis nggak boleh bicara kasar dengan calon suami." tegur Rifky.
" Bodo amat!"
Rifky tersenyum melihat wajah kesal Medina. Gadis itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Jika tidak ingat mereka baru saja bertemu setelah dua belas tahun, pasti Rifky akan memeluk gadis kecilnya yang nakal itu.
" Ayo pulang, Calis. Senyum dong."
" Jangan panggil begitu! Aku punya nama, jangan sembarangan."
" Sudah, jangan marah - marah terus seperti emak - emak kehilangan panci."
Rifky menarik lengan Medina agar cepat naik ke motor karena hari semakin terik. Rifky juga tidak mau ayah Medina khawatir dengan anaknya yang tak kunjung pulang.
Mereka pulang dengan saling mendiamkan. Rifky tak ingin mengganggu Medina lagi yang sangat kesal padanya. Cukup siang ini ia menggoda gadisnya karena masih banyak waktu untuk mengerjai gadis brutalnya.
Rifky tidak menyangka jika gadis kecilnya yang dulu pemalu dan cengeng itu sekarang berubah drastis jadi gadis brutal yang hobby tawuran. Padahal bayangan Rifky adalah melihat gadis cantik, anggun dan pemalu yang akan menyambutnya dengan senyuman manisnya.
Rifky terkejut saat pertama kali melihat Medina yang urakan dan tidak ada sopan santunnya terhadap ayahnya. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu.
" Kak, udah kelewat rumahnya!" pekik Medina.
Rifky yang sedang melamun langsung menginjak rem mendadak saat mendengar teriakan Medina.
Ciittt!!!
" Auwww...! Hati - hati, kak." sungut Medina.
Medina yang kaget sontak memeluk Rifky dari belakang. Dia tidak tahu jika berhenti tepat di depan rumah Bayu yang berjarak tiga rumah dari rumahnya.
" Sorry, Calis. Kakak lagi mikirin sesuatu tadi." ucap Rifky merasa bersalah.
" Wooiii... enak nih panas - panas gini peluk - pelukan." ledek Bayu yang nongkrong di pohon jambu air depan rumahnya.
" Hehh... ngomong apa barusan! Sini kalau berani, aku bikin rujak sekalian tuh sama jambunya." ketus Medina.
" Hahahaa... Sini, Mey. Jambunya banyak yang mateng nih."
" Ambil aja yang banyak nanti sore bawa ke rumah, sekalian suruh Johan petik kedondong di rumahnya." teriak Medina.
" Beres, itu di rumah Ririn ada belimbing juga nanti aku manjat kesana." sahut Bayu.
" Terserah, aku mau pulang dulu."
" Jangan lupa siapin sambal rujaknya, Mey! Sama beli kerupuk buat lalapan."
" Kau kira makan nasi pake kerupuk!"
" Yaelah, Mey. Pelit amat cuma kerupuk doang, entar kalau aku kaya diganti sekarung deh."
" Iya - iya, bawel...! Bye... aku pulang dulu. Assalamu'alaikum,"
" Wa'alaikumsalam."
Rifky hanya bisa mengelus dada seraya beristighfar melihat kelakuan Medina dengan temannya. Dia jadi ragu apakah benar gadis yang bersamanya saat ini adalah Medina Amelia, gadis kecilnya yang manis dulu.
.
.
TBC
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!