"Ge, jangan tinggalin aku, Ge… Gege!" Teriakan histeris Glory memecah keheningan malam. Tubuh gadis cantik itu bergerak gelisah di atas ranjang, keningnya berkerut tajam, dan peluh membasahi dahinya.
“Glo, bangun, sayang… Glory!” Suara lembut namun cemas seorang wanita terdengar dari tepi ranjang. Lania, ibunda Glory, menggoyangkan tubuh anak perempuannya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari mimpi buruk.
“Gege, jangan pergi!” seru Glory sekali lagi sebelum tiba-tiba terbangun dengan napas terengah. Matanya terbuka lebar, terlihat kebingungan dan ketakutan. Melihat ibunya di sana, ia langsung memeluknya erat. Tangis Glory pecah, bahunya bergetar di dalam pelukan Lania.
“Mami… Gege jahat, dia pergi ninggalin aku di mimpi... hiks,” lirih Glory di sela isakannya.
Lania mengusap punggung putrinya dengan lembut. Wajahnya menyiratkan kesedihan mendalam. Ini bukan pertama kalinya Glory dihantui mimpi buruk tentang Gerald—atau Gege, sahabat masa kecilnya yang telah tiada bertahun-tahun lalu.
“Sudah, sayang. Gege sudah tenang di sana. Mami sedih kalau kamu begini terus,” ucap Lania pelan, berusaha menenangkan Glory.
Setelah tangis Glory mereda, Lania melepaskan pelukan itu. Ia menangkup wajah putrinya, menghapus air mata yang mengalir di pipinya. “Dengar, sayang. Hidup dan mati adalah kehendak Tuhan. Gege juga milik Tuhan, dan mungkin sekarang Tuhan kangen sama Gege. Kita harus ikhlas, ya.”
“Tapi kenapa secepat itu, Mi? Glo masih yakin, Gege masih hidup… Apa dia marah sama Glo?” tanya Glory, suaranya lirih, kepalanya tertunduk dalam.
Lania menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski hatinya pedih. “Nak, kita tidak bisa melawan takdir. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakan Gege, supaya dia tenang di sana. Tuhan tahu yang terbaik.”
Glory mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. “Maaf, Mi. Glo bikin Mami khawatir terus,” ucapnya dengan suara kecil.
Lania tersenyum lembut. “Mami hanya ingin kamu bahagia, sayang. Ingat, Mami selalu sayang sama kamu.” Ia memeluk Glory erat dan mencium puncak kepalanya sebelum berkata, “Sekarang cepat mandi, ya. Papi sama Mami tunggu di meja makan.”
Glory tersenyum kecil. “Iya, Mi.”
...----------------...
Setelah 30 menit berlalu, Glory sudah siap dengan seragam sekolahnya. Rambutnya yang panjang dan rapi ia tata di depan cermin, disertai semprotan ringan parfum favoritnya. Selesai bersiap, Glory meraih tas yang tergantung di gantungan khusus dan keluar dari kamar. Ia melangkah turun ke lantai satu, menuju ruang makan untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah menunggu.
"Pagi Papi, Mami" sapa Glory ceria, wajahnya terlihat jauh lebih segar dibandingkan saat bangun tidur tadi. Ia menarik kursi yang biasa ia duduki di samping Daddy Wira, ayahnya.
"Pagi, Sayang," jawab Lania dan Wira hampir bersamaan, sambil tersenyum.
Namun, sebelum Glory sempat duduk, Davin, adik bungsunya, muncul dari arah tangga dengan terburu-buru. “Pagi, Kak!” serunya sambil langsung merebut kursi yang sudah Glory tarik. Tanpa permisi, Davin duduk dengan santainya.
“Davinnnnn!!!” Glory berteriak kesal.
Davin menutup telinganya dengan kedua tangan, memamerkan ekspresi polos yang sudah jadi andalannya. “Berisik banget sih, masih pagi, Glo,” balasnya santai.
Tidak lama, Gisan, kakak tertua mereka, muncul dan duduk di kursi samping Mami Lania. Ia menatap Davin dan Glory dengan wajah lelah. “Gak tau nih, Kak Glo,” tambah Davin dengan santai, sambil mengedikkan bahu seperti tak bersalah.
“Ish, Lo!” Glory menunjuk Davin dengan telunjuknya, matanya menatap tajam penuh emosi.
Namun, waktu yang semakin mepet membuat Glory akhirnya mengalah. Ia menarik kursi lain, lalu mulai menyantap sarapan yang sudah disiapkan Mami Lania. Drama kecil seperti ini memang sudah menjadi bagian dari keseharian keluarga Melvian, sesuatu yang sudah biasa bagi Wira dan Lania.
“Sudah, sudah… Ayo makan sarapannya. Nanti kalian telat,” ujar Wira, mencoba meredakan ketegangan.
Glory menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Ngeselin deh,” gumamnya pelan sambil melirik Davin dengan kesal.
Keluarga Glory Tarissa
Glory Tarissa Putri Melvian adalah anak kedua dari pasangan Wira Nata Melvian dan Lania Karisma. Keluarga Melvian dikenal sebagai keluarga mapan, dengan Daddy Wira sebagai pendiri salah satu perusahaan furnitur dan hotel terbesar, didukung penuh oleh istrinya, Mommy Lania. Kerja keras kedua orang tuanya memastikan hidup Glory dan saudara-saudaranya tidak pernah kekurangan secara materi.
Selain hidup berkecukupan, Glory juga diberkahi fisik yang nyaris sempurna. Kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya indah, berpadu dengan bentuk tubuh yang menjadi idaman banyak wanita. Sebagai anak kedua, Glory memiliki dua saudara laki-laki.
Gisan Nata Melvian, kakak tertuanya, adalah siswa kelas 3 SMA dengan selisih usia hanya satu tahun dari Glory. Mereka bersekolah di tempat yang sama, meskipun sering terlibat pertengkaran khas kakak-adik. Sementara itu, Davin Nata Melvian, si bungsu, kini masih duduk di kelas 2 SMP.
Tak jauh berbeda dari Glory, Gisan dan Davin juga memiliki wajah tampan yang kerap menjadi perhatian di sekolah mereka. Ketiganya, meski sering bertengkar kecil, selalu menjadi kebanggaan dan pusat kebahagiaan keluarga Melvian.
...----------------...
Pagi itu, usai sarapan, Glory, Gisan, dan Davin kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing, mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Glory mengambil tas dan sepatunya dari rak khusus, lalu berlari ke halaman depan rumah dengan sepatu di tangan kanannya.
Di teras, Gisan tampak duduk santai sambil memasang sepatu.
"Hai, Gisan-ku yang baik dan tampan!" sapa Glory ceria.
"Sopan dikit kenapa sih?" balas Gisan, melirik sekilas.
"Hai, Abangku," Glory mengulang sapaan dengan nada manis.
"Mau apa lo?" tanya Gisan, mulai curiga.
"Akh... Abangku ini peka banget. Makin sayang, nih!" jawab Glory dengan gaya sok manja, membuat Gisan semakin malas.
"Kenapa sih? To the point deh!" ujar Gisan jengah.
"Ikut nebeng, ya. Sampai halte aja kok," pinta Glory, lalu tanpa aba-aba melingkarkan lengannya di leher kakaknya dan memeluknya erat.
"Uhuk, uhuk! Glo! Gila lo! Mau bunuh gue?!" teriak Gisan kesal sambil berusaha melepas pelukan adiknya.
Glory hanya tertawa puas, akhirnya melepaskan tangan. Gisan mengusap lehernya sambil melirik tajam.
"Sakit bego," keluhnya.
"Jadi, anterin nggak?" Glory mengancam sambil mengangkat tangannya, siap memeluk lagi.
"Iya, iya. Daripada gue dicekik terus," jawab Gisan pasrah.
"Bang Gisan makin tampan, deh!" goda Glory lagi.
"Dasar nggak ada otak!" balas Gisan ketus.
"Ngomel mulu, kaya ibu-ibu komplek," sindir Glory santai.
"Lagian tumben bener nebeng. Biasanya kan lo jalan kaki atau bawa sana mobil lo, nongkrong mulu di garasi."
"Males, Bang. Mami juga nggak izinin gue bawa mobil," jawab Glory.
"Ya pantes ga diizinin, cara lo nyetir kaya orang mabok!" balas Gisan.
Sebelum perdebatan berlanjut, suara Davin tiba-tiba terdengar dari dalam rumah.
"Bang! Gue nebeng ya!" seru Davin, muncul sambil membawa bola basket.
Gisan memutar mata. "Nah lo, ini lagi satu. Gue bawa motor, tahu. Mana bisa bonceng dua orang!" keluhnya.
"Mamii! Abang pelit!" Davin langsung mengadu.
"Arrggh, ngadu lagi nih bocah satu!" gumam Gisan frustrasi.
"Mampus!!" ejek Glo
Mami Lania muncul dari dalam rumah, menatap ketiga anaknya yang ribut di halaman. "Ada apa lagi, dek?" tanyanya.
"Mi, Abang nggak izinin aku nebeng! Pelit banget, kan?" Davin mulai berdrama.
"Gisan?!" Mami Lania menatap tajam.
"Maaf, mi. Gisan bercanda kok," jawabnya melemah.
Setelah mendengar sayup-sayup masalahnya, Papi Wira keluar. "Sudah, pakai mobil Papi aja. Mang Mamat lagi libur. Honey, kasih kuncinya," ujar Papi wira
Mami Lania menyerahkan kunci mobil kepada Gisan. "Sudah selesai kan? Cepat pergi, nanti telat! Hati-hati bawa mobilnya." katanya tegas.
Setelah meminta maaf, ketiganya pamit dengan mencium tangan dan pipi kedua orang tua mereka.
Di Dalam Mobil
Perjalanan terasa sunyi. Gisan fokus menyetir, Davin melamun, dan Glory sibuk mencari sesuatu di tasnya.
"Bang Gis, antar gue dulu ya, halte depan," pinta Glory memecah keheningan.
"Hmm," jawab Gisan singkat.
"Kak Glo, nyari apa sih dari tadi? Kaya kucing nyari tempat buang ta*," sindir Davin.
"Sembrono banget mulut lo! Gue lagi nyari ikat rambut," jawab Glory sambil terus mengobrak-abrik tasnya.
"Kayak gitu aja ribet. Lagian, pake kacamata segala. Kalau minus beneran gimana?" celetuk Davin.
"Lu doain gue, ya?!" Glory melempar pulpen ke kepala Davin.
"Awww! Sakit, Kak!" keluh Davin, mengusap kepala.
"Tumben lo nebeng, Glo. Biasanya pake angkot," komentar Gisan.
"Bang, lo berisik banget sih. gak ikhlas ya gue tebengin?" jawab Glory .
Setelah berhenti di halte, Glory turun, memastikan semuanya aman. Sebelum keluar, ia mencium pipi kedua saudaranya.
"Bye! Jangan kangen gue, ya! Love you!" katanya riang, lalu turun dari mobil.
Obrolan Gisan dan Davin berlanjut
"Kasian juga Kak Glo," ujar Davin tiba-tiba.
"Pasti karena masa lalunya," tambahnya.
"Lah, itu kan cinta monyet," balas Gisan.
"Lu nggak ngerti, Bang. Cewek memandang perasaan itu serius."
Gisan terdiam, memikirkan ucapan adiknya. Hingga akhirnya mobil melaju kembali mengantar sang adik terlebih dahulu.
Glory memutuskan melanjutkan perjalanan ke sekolah menggunakan bus, alih-alih pergi bersama kakaknya, Gisan. Di halte, Glory menyempatkan diri untuk merapikan penampilannya. Rambut panjangnya diikat dengan rapi, kacamata bulat bertengger di hidungnya, dan seragam putih abu-abu yang selalu dimasukkan rapi menjadi ciri khasnya. Penampilannya saat ini sangat berbeda dengan saat dia berada di luar sekolah.
Glory memang sengaja membangun citra sebagai siswi pendiam dan tidak mencolok. Sejak awal masuk sekolah elite ini, dia memilih untuk tidak membawa nama keluarganya. Sebagai gantinya, Glory menggunakan jalur beasiswa, memanfaatkan prestasinya untuk diterima. Beruntung, Glory tergolong siswa berprestasi, dengan nilai akademik yang stabil di peringkat 2 atau 3 di angkatannya.
Sambil menunggu bus, Glory menghela napas panjang saat melihat kendaraan yang berlalu-lalang selalu penuh.
“Ngeselin banget,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, suara teriakan terdengar di sekitarnya.
“Tolong… tolong!”
Glory tersentak, matanya melirik ke kanan, kiri, dan belakang, mencoba mencari asal suara tersebut.
“Siapa ya…” bisiknya, masih gelisah. Ketika suara itu hilang, Glory mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Ah, mungkin cuma perasaanku.”
Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
“Tolong… tolong gue!”
Glory merasa semakin tidak tenang.
“Gue coba cari deh,” ujarnya, memberanikan diri.
Dengan langkah pasti, Glory menyusuri daerah halte yang sepi hingga suara itu mengarahkannya ke sebuah gang bernama Gg. H. Hidayat. Di ujung gang, terdapat pertigaan dengan salah satu sudut bertuliskan Jl. Buntu. Semakin dekat, suara itu makin terdengar jelas, membuat Glory mempercepat langkahnya.
Pertemuan Tak Terduga
Di gang buntu itu, Glory menemukan seorang anak perempuan berseragam SMP sedang dikepung oleh tujuh pemuda mabuk. Beberapa dari mereka mencoba menyentuh tubuh anak itu, sementara yang lain tertawa-tawa tidak karuan. Bocah perempuan itu menangis, melindungi dirinya sekuat tenaga. Pandangannya tiba-tiba bertemu dengan Glory.
“Kak, tolong aku!” teriaknya penuh harap.
Melihat situasi itu, darah Glory mendidih. Dengan langkah tegas, dia mendekat dan berteriak lantang.
“BERHENTI LO SEMUA! JANGAN KURANG AJAR!”
Ketujuh pemuda itu menoleh ke arah Glory. Salah satu dari mereka menyeringai.
“Wah, kita dapat mangsa baru,” ucapnya dengan nada meremehkan.
“Mau sok jual mahal juga, tetep aja enak dilihat,” timpal yang lain sambil tertawa.
Namun, Glory tidak gentar.
“Jaga ucapan lo, sialan!” bentaknya sambil menunjuk ke arah mereka.
Sadar para pemuda kini mengabaikan bocah SMP itu, Glory menarik gadis tersebut ke belakang tubuhnya.
“Kamu tenang, jangan panik. Sekarang pergi dari sini, jangan tunggu aku,” bisik Glory.
Namun, gadis itu menggeleng dengan wajah panik.
“Aku gak mau kakak kenapa-kenapa. Mereka banyak!”
“Pergi sekarang!” tegas Glory, membalikkan tubuh gadis itu dan mendorongnya agar kabur.
Pertarungan Dimulai
Sadar bahwa Glory tidak takut, salah satu pemuda berambut gondrong maju ke arahnya.
“Lo nantang kita, hah?!” teriaknya.
Glory melepaskan kacamatanya, menyimpannya ke dalam tas yang dia taruh di sudut. Dengan gerakan sigap, dia memasang kuda-kuda.
“MAJU LO SEMUA!” tantangnya.
Mereka tertawa mengejek, tetapi Glory tidak peduli. Dengan kekuatan dan keberanian yang besar, dia menyerang lebih dulu. Tinju dan tendangan Glory mendarat tepat sasaran, satu per satu pemuda itu tumbang. Meski jumlah mereka lebih banyak, kondisi mereka yang mabuk membuat mereka mudah dikalahkan.
Beberapa menit kemudian, Glory berhasil melumpuhkan mereka semua. Nafasnya terengah-engah, namun dia tetap berdiri kokoh. Dia menoleh ke arah gadis SMP yang ternyata masih berada di dekat tembok gang.
“Kenapa gak lari?” tanya Glory dengan kesal.
Sebelum bocah itu sempat menjawab, salah satu pemuda yang tersisa bangkit dan memukul Glory dari belakang. Pukulan itu mendarat keras di pipinya, membuat Glory terhuyung. Tapi Glory tidak menyerah. Dia membalas dengan pukulan keras yang membuat pemuda itu kembali tersungkur.
“MASIH BERANI LO LAWAN GUE?!” bentak Glory sambil menginjak punggung pemuda itu agar tidak bangkit lagi.
Dengan tubuh yang terluka, Glory berdiri tegak, memastikan gadis SMP itu aman sebelum akhirnya mereka meninggalkan tempat tersebut.
"Kak, Kaka gapapa?" Tanya anak smp barusan dari arah samping Glo.
"kenapa masih disini?" tanya balik Glo.
"iya kak, aku nungguin kaka. aku khawatir Kaka kenapa-kenapa. tapi bener kan dugaan ku, Kaka malah di tonjok sama cowok itu."
"harusnya kamu pergi duluan, cari bantuan."
"harusnya begitu ya kak?"
"Yuk kita pergi dulu. gak aman disini. takutnya mereka bangun lagi dan sadar" ajak glory sambil merangkul anak smp tadi dan mengambil tas nya dari kursi. mereka kembali ke halte depan.
"nama kamu siapa?" tanya glory pada anak SMP itu setelah sampai di halte.
"Nama aku Tania. Nama kakak?" tanya balik Tania. sambil mengulurkan tangannya
"Aku Glory. Kamu gapapa? tadi ko bisa ke daerah situ sih? Kan sepi?" glory menyambut uluran tangan Tania sambil memperhatikan seluruh tubuh Tania. takutnya preman tadi melukai tania
"Aku gapapa ko kak. tadi lagi pengen pipis kak, terus kata supir ku ada toilet umum daerah sini.. setelah beres urusan ke toilet, aku malah dicegat sama preman-preman tadi" jawab Tania
"Kalo gitu hati-hati ya.. daerah sini emang rawan. daerah ini sering dijadiin tempat preman minum-minum. sepi juga kan disini. lain kali kalo mau ke toilet umum harus ditemenin supir" ucap glory
" Iya, tadi supir ku juga bilang begitu, tapi aku ngeyel dan tetep gak mau ditemenin hehe.. malu kali kak aku dianter ke toilet sama supir haha. btw, makasih ya kak"
"Iya sama-sama, tapi lain kali hati-hati ok? Kan cewe cantik kaya aku yang mau nolongin kamu jarang banget haha" ujar glory mencoba menghibur.
"Hahaha Kaka lucu banget. tapi, pipi Kaka gapapa? tadi sempet ke tonjok loh"ucap Tania yang kembali khawatir dan berusaha ingin menyentuh wajah glory yang terkena pukulan. tapi, glory segera mencegah tangan Tania untuk menyentuh lukanya.
"Hahaha Kaka gapapa, udah biasa gini kok. ini udah siang loh takut telat ke sekolah.. mobil dan supir mu dimana?" Tanya glory
"Di sana kak" jawab Tania sambil menunjuk sebuah mobil cukup mewah
"Ohh yasudah, kamu lanjut ke sekolah sana.. nanti telat loh" ujar glory
"mobil Kaka mana?" tanya lagi Tania sambil celingukan mencari mobil yang terparkir.
"aku pake bus ke sekolah" jawab glo tanpa malu.
"hah? Kaka ke sekolah pake angkutan umum?" tanya Tania lagi melihat seragam yang digunakan glo sama dengan salah satu kakaknya, tak mungkin bukan orang berada. pikirnya.
"iyaa" glo mengangguk untuk meyakinkan.
"kalo begitu kita bareng aja perginya yuk? atau gimana kalo kita bolos aja?" ajak Tania dengan wajah polosnya. glo tertawa keras
"Ya tuhan godaan macam apa ini hahaha.. Tania sekolah aja ya. Kamu pasti telat. ayo pergi ke sekolah sekarang. next time, semoga kita ketemu lagi ya.. " pamit glory sambil sekilas mengusap rambut Tania.
"Kaka malah ketawa. Kaka juga pasti telat kalo pergi ke sekolah pake bus. ayo kak kita barengan aja" ajak Tania lagi
"Kaka udah biasa pake bus"
"yasudah, aku gak bisa paksa. tapi, kak! Aku harap Kaka bakal jadi Kaka ipar ku. aku banyak kakak cowok loh! dilihat dari seragam Kakak.. salah satu Kakak ku ada yang sekolah di sana juga" ucap Tania antusias dan memasang wajah serius nya. glory hanya mengernyitkan dahinya
"kamu buka biro jodoh?" tanya glo
"kalo Kaka mau, aku kasih gratis"enteng tania
"wah, menarik." jawab glory. mereka berdua tertawa bersama.
"kak, boleh peluk ga? buat tandai kakak. biar aku hafal sampai wangi-wanginya" izin Tania
"kamu ini ada-ada aja. boleh dong, sini" glory merentangkan tangan tanpa ragu menarik Tania untuk memeluk nya.
"aku harap Kakak beneran jadi Kakak ipar ku" bisik Tania tepat di telinga glo. dan glo hanya tersenyum saat pelukan Tania semakin erat.
"Kakak ku di rumah rese semua. Kakak ambil satu aja biar beban ku berkurang" lanjut Tania
"Bilang aja sama Kakak kalo mereka ngeselin, apa perlu Kakak hajar kaya orang-orang tadi?" tanya glory sambil berusaha melonggarkan pelukan Tania dan menunduk berusaha menatap wajah tania
"ide baik kak" jawab Tania. mereka berdua tertawa bersama lagi. tanpa sadar ada yang menghampiri mereka
"non, udah selesai pergi ke toiletnya?" tanya pria paruh baya. seketika menghentikan tawa glory dan Tania
"oh iya pak, ini udah selesai" jawab Tania sambil melepaskan pelukan nya dari glory
"kak glo, ini Pak Wahyu. beliau yang sering antar jemput aku ke sekolah. dan pak Wahyu ini Kak glory. Kakak baru aku" ucap Tania mengenalkan supir nya kepada Glory dan sebaliknya.
"Pak Wahyu, salam kenal nama saya Glory.." ucap Glo mengulurkan tangannya untuk sekedar salaman dan pak Wahyu menerima nya.
"salam kenal non, nama saya Wahyu driver non Tania" ujar pak Wahyu
"Pak, lain kali bapak antar princess cantik ini kemanapun ya pak. jangan ditinggal seperti tadi." ucap Glory tiba-tiba.
"Maaf, tadi saya sudah menawarkan diri tapi Non Tania menolak. maaf ya Non Glory, Non Tania." jawab pak Wahyu sambil menundukkan kepala tanda permintaan maafnya.
"Iya pak gapapa, maaf saya khawatir aja kalo Tania di mmppph..." ucap Glory. sebelum menyelesaikan ucapannya, Tania menutup mulut Glory.
"kak jangan kasih tau yang sebenernya ya, soalnya supirku suka ngadu ke ayah ku. nanti yang ada aku dianter sama kakak-kakak ku ke sekolah. aku malu kak. semua kakak ku seneng banget malu-malu in aku di sekolah dengan tingkah gila mereka." bisik Tania tepat di telinga glory sambil melepas tangan nya di mulut glory. glory hanya mengangguk sebagai respon bisikan Tania.
"tangan kamu bau kacang" ceplos glory
"maaf kak. aku tadi makan roti selai kacang" jawab Tania dengan cengengesan.
"tadi di.. apa ya non glory?"tanya pak Wahyu merasa aneh dengan tingkah keduanya.
"di culik pak, kan aku cantik. ya gak kak glo?" ucap Tania tiba-tiba menjawab pertanyaan yang ditujukan untuk glory sembari menyenggol tangan glory.
"oh iya pak, kan cewe cantik rawan diculik pak hehehe" yakin glory pada pak Wahyu.
"non Tania tadi mau di culik?" tanya pak Wahyu cemas.
"enggak pak, cuman takutnya dia diculik. soalnya daerah sini sepi pak. rawan preman mabuk" jelas glo.
"oh seperti itu, baik non kedepannya saya akan menjaga baik non tania." jawab pak Wahyu lega.
"yasudah, bapa tunggu di mobil ya, aku bicara dulu sama kak glo" ucap Tania
"baik non kalo begitu bapa tunggu ya di mobil, mari non glory" jawab pak Wahyu sambil tersenyum dan menundukkan kepalanya pada glory dan Tania
"iya pak"jawab glory sambil membalas senyuman pak Wahyu.
"kak glo, ikut yuk.. kita bareng aja... "rengek Tania
"gak deh, kaka naik bus aja.. tuh, kebetulan busnya sudah datang.. kamu hati-hati ya" yakin glory yang kebetulan bus menuju sekolahnya hampir tiba di halte.
"ini udah hampir telat loh kak, yakin naik bus?" tanya Tania lagi pada glory
"iya yakin adik ku, udah ya Kaka pergi. udah ditunggu sama supir tuh. kenek nya juga melotot ke arah kaka hahaha" pamit glo pada Tania sambil sekilas memeluk Tania.
"yasudah hati-hati ya kak! aku bakal kangen Kaka" sambil memasang wajah sedih seakan tak ingin pisah
glory hanya membalas dengan anggukkan serta senyuman. tak lupa mengusap halus rambut Tania sekilas. dan segera berlari menaiki bus yang sudah berhenti didepannya sedari tadi.
"bye kak! aku mau kaka jadi Kaka ipar ku! semoga Kaka ketemu sama Kaka ku di sekolah."teriak Tania saat glory yang sudah menaiki bus.
" Oke, aku terima lamaran untuk jadi Kaka ipar mu. aku tunggu lamaran kaka mu langsung ya Tania haha" sahut glory sambil tertawa kecil dari dalam bus tak memperdulikan penumpang lain sambil melambaikan tangan nya ke arah Tania dengan senyum yang dipaksakan karena tiba-tiba bibirnya kaku dan nyeri akibat pukulan preman tadi.
...***...
Di dalam bus, Glory memilih duduk di kursi paling depan. Ia malas masuk terlalu dalam, apalagi bus sudah penuh oleh karyawan pabrik yang hampir setiap pagi menguasai seluruh ruang.
"Huh, untung cuma satu pukulan. Tapi lumayan juga, sakit. Udah lama nggak olahraga," keluh Glory sambil memeriksa wajahnya melalui layar ponsel. Ia menyentuh sisi bibirnya yang kaku akibat pukulan seorang preman. "Gimana caranya nutupin ini ya?" gumamnya sambil berpikir.
Pandangan Glory terhenti pada seorang wanita di sebelahnya. Wanita itu tampak lumayan cantik dengan dandanan rapi, seragamnya menunjukkan bahwa ia mungkin SPG di toko kosmetik Picy.
"Permisi, Mbak. Mbak cantik, boleh tanya dan minta bantuan nggak?" sapa Glory dengan nada ramah.
"Hai, kenapa? Mau minta bantu apa?" jawab wanita itu, sama-sama ramah.
"Mbak punya kosmetik yang bisa nutupin luka ini nggak? Aku beli deh," tanya Glory sambil menunjukkan memar di sisi bibir dan pipinya yang sedikit membiru.
"Ya ampun! Kamu kenapa? Abis disiksa orang tua ya?" tanya wanita itu panik sambil mencoba menyentuh wajah Glory. Glory refleks menahan tangan wanita itu dengan lembut.
"Enggak kok, Mbak. Tadi cuma ada tragedi kecil... tragedi perjodohan," jawab Glory asal sambil tertawa kecil, meski meringis kesakitan.
"Kamu dipaksa nikah sama orang tua? Dijual? Atau..." Wanita itu makin serius, membuat Glory buru-buru menjelaskan sebelum semua orang, termasuk kenek di samping mereka, mulai menatapnya aneh.
"Enggak, Mbak, enggak. Aku tadi kena tonjok orang, hehe," kata Glory akhirnya.
"Ya ampun, kamu ini! Aku punya foundation yang bisa nutupin memar di pipimu. Tapi bibirmu ini luka, nggak bisa ditutup foundation, takutnya malah infeksi," ujar wanita itu sambil mengaduk-aduk tasnya.
"Gapapa, Mbak. Yang penting pipiku ketutup dulu," jawab Glory.
Akhirnya, wanita itu membantu Glory menutupi memarnya dengan foundation. Ia juga membersihkan luka di bibir Glory dengan tisu agar tidak infeksi.
"Sudah selesai. Sampai di sekolah, minta guru buat bantu kompres lukanya, ya," ucap wanita itu sambil membereskan kosmetiknya.
"Terima kasih, Mbak cantik, udah bantuin. Btw, kosmetiknya aku ganti, ya. Berapa harganya?" tanya Glory sambil memeluk sekilas wanita itu.
"Haha, sama-sama. Btw, namaku Kinan. Nggak usah dibayar, ini tester dari toko tempat aku kerja. Tapi aman kok."
"Terima kasih sekali lagi, Mbak Kinan. Namaku..." Glory belum selesai bicara, tapi Kinan sudah memotong.
"Glory, kan?" tebak Kinan sambil tersenyum.
"Lho, kok Mbak Kinan tahu?" Glory tampak bingung.
"Yang sakit itu pipimu, bukan mataku," canda Kinan sambil menunjuk nametag yang terpasang di seragam Glory.
"Ya ampun, maaf, Mbak," sahut Glory cengengesan.
"Lain kali hati-hati, ya. Kamu cantik, jangan mau diperlakukan kasar sama cowok. Aku turun duluan, tempat kerjaku sudah dekat," pamit Kinan sambil mengelus rambut Glory dengan lembut.
"Iya, hati-hati, Mbak Kinan. Semoga kita ketemu lagi," kata Glory, melambaikan tangan.
"Semoga. Kamu juga hati-hati ya," balas Kinan dengan senyum hangat, sebelum turun dari bus.
📍 SMA Pelita Bangsa
🔔 Tettttt...
Bel sekolah baru saja berbunyi lima menit lalu. Glory berlari tergesa-gesa dari halte menuju gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Dengan napas terengah, ia mencoba membenahi penampilannya sambil menatap penjaga sekolah, Pak Dadang, yang masih berjaga bersama beberapa siswa anggota tim kedisiplinan. Di depan gerbang, Glory mendapati banyak siswa lain yang senasib—telat masuk dan kini menunggu di luar gerbang.
Berusaha mencari jalan keluar, Glory mendekati Pak Dadang dengan wajah memohon.
"Pak Dadang, buka sedikit gerbangnya, ya? Aku baru telat sekali ini. Tolong, Pak, please," pinta Glory dengan nada lirih.
Pak Dadang menggeleng tegas. "Aduh, Neng, nggak bisa! Peraturan tetap peraturan."
"Pak, tolong..." Glory mencoba sekali lagi dengan suara hampir berbisik, kedua tangannya menyatu penuh harap.
"Tidak!" balas Pak Dadang tanpa kompromi.
"Glory!"
Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan. Glory menoleh cepat dan mendapati Gabriel, teman sekelasnya, berlari kecil mendekatinya. Wajahnya basah oleh keringat.
"Riel? Lo telat juga?" tanya Glory.
"Iya! Mobil gue kehabisan bensin, terus sepupu gue iseng nggak ngasih tahu!" gerutu Gabriel dengan nafas tersengal.
"Trus gimana lo ke sini?"
"Awalnya naik ojek. Eh, motor ojeknya mogok. Terpaksa cari bus. Untung ada," keluh Gabriel sambil merapikan seragamnya.
Glory tertawa keras mendengar kisah Gabriel, si anak kaya yang anti fasilitas umum.
"Hahaha... Enak ya naik bus? Gimana rasanya?" ledek Glory sambil menahan tawa.
"Berisik lo! Gue capek setengah mati nih, malah ditawain," balas Gabriel kesal.
"Ya maaf, cuma nggak nyangka aja. Lo nggak minum dulu?" tawar Glory, mulai merasa iba.
"Enggak usah. Gue lagi mikir gimana caranya kita bisa masuk," jawab Gabriel sambil mengernyitkan dahi, mencoba mencari solusi.
"Riel, terima aja. Kita dihukum. Mau gimana lagi?" balas Glory pasrah.
"Ah, lo! Cepet banget nyerah," tukas Gabriel, memutar bola matanya.
Dengan tiba-tiba, Gabriel menepuk tangannya. "Gue ada ide!"
"Apa?" tanya Glory penasaran.
"Ikut gue ke belakang," bisik Gabriel sambil menarik Glory menjauh dari kerumunan.
Di belakang sekolah, Gabriel membawa Glory ke gerbang belakang yang jarang digunakan. Gerbang itu tinggi, berkarat, dan dihiasi tanaman liar yang menjalar di sela-sela lubangnya. Gabriel berjongkok, menepuk pundaknya.
"Naik sini, Glo."
"Lo serius?" Glory memandang ragu.
"Cepet!" desak Gabriel.
Dengan berat hati, Glory menurut. Gabriel membantu Glory memanjat pagar terlebih dahulu, lalu menyusul.
Bruk!
"Adduh! Sakit!" teriak Gabriel begitu mendarat dengan tidak sempurna di tanah berbatu.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Glory, berusaha menahan tawa.
"Gapapa. Tapi, keren kan ide gue?" jawab Gabriel dengan bangga, meski wajahnya meringis kesakitan.
"Ya, keren buat kriminal," balas Glory sambil terkekeh.
Setelah memastikan tak ada yang melihat, keduanya berpisah jalan. Gabriel menuju kantin untuk menemui pacarnya, sementara Glory bergegas ke kelasnya.
Saat melewati koridor, Glory menabrak seseorang. Buku-buku yang dibawa orang tersebut berserakan di lantai.
"Aduh, maaf ya, saya nggak lihat," ucap Glory sambil buru-buru memunguti buku itu.
"Lo telat masuk, ya?" suara itu dingin, membuat Glory gemetar.
Setelah selesai memungut buku, Glory memberikannya sambil tetap menunduk. Saat ia beranikan diri untuk melihat wajah pemilik suara, ia tertegun. Itu ketua OSIS!
"Kenapa nunduk terus? Cepat ke pos keamanan!" perintah sang ketua dengan nada sinis. Glory hanya bisa mematung, nyali kecilnya semakin menciut.
Diky, ketua tim kedisiplinan, menghampiri Glory. "Nama lo siapa?" tanyanya.
"Glory Tarissa," jawab Glory pelan.
Diky mengangguk sambil memeriksa daftar. "Lo baru pertama telat, ya?" tanyanya.
Glory mengangguk.
"Lo lari keliling lapangan lima putaran, ya. Sebagai hukuman," putus Diky.
"Lima putaran?!" Glory terkejut. Lapangan sekolah itu luas.
"Kenapa? Keberatan? Gue bisa tambahin kalau mau," ancam Diky sambil menaikkan alis.
Glory buru-buru menggeleng. "Nggak, Kak. Saya jalan sekarang," katanya lemas.
"Bagus. Gue bakal ngawasin dari CCTV. Jangan coba-coba kabur," ujar Diky sebelum berlalu.
Dengan langkah berat, Glory menuju lapangan, menyesali ide nekat Gabriel yang justru memperburuk situasi.
.
...----------------...
15 menit berlalu, Glory baru menyelesaikan empat putaran lari, masih kurang satu putaran lagi untuk melunasi hukumannya. Kakinya terasa berat, dan dia memutuskan untuk berhenti sejenak, mengatur napas yang mulai sesak. Sambil berjongkok, dia melepas kacamatanya yang berembun dan membersihkannya dengan tisu dari saku bajunya.
"Capek banget gue, mana lapangan ini gede banget. Enggak kira-kira tuh orang. Si Gabriel juga, enak banget bisa-bisanya lolos," keluh Glory pada dirinya sendiri.
Namun, dia segera menyemangati diri sendiri. "Gue harus semangat. Yuk bisa, Glory! Satu putaran lagi!" katanya dengan suara agak keras.
Dengan tekad baru, Glory melanjutkan putaran terakhir. Setelah selesai, dia duduk di tepi lapangan, menghabiskan waktu tiga menit untuk istirahat sebelum akhirnya berlari menuju kelas.
🔔 Bel Kedua Berbunyi.
Mata pelajaran pertama sudah selesai. Glory berjalan masuk kelas dengan napas sedikit tersengal. Guru bahasa Inggris baru saja keluar dari kelas.
"Ketinggalan satu pelajaran deh gue. Sial banget hari ini," gumamnya sambil menghempaskan tubuh ke kursinya.
Belum sempat menghela napas panjang, Glory sudah dikepung oleh tiga sahabatnya: Sarah, Poppy, dan Alma.
"Glory! Lo dari mana sih? Kita khawatir banget, tahu. Gue kira lo kenapa-kenapa!" sergah Sarah penuh perhatian.
"Iya, kita kira lo kenapa, Glo," tambah Poppy, yang duduk tepat di belakang Sarah.
"Gue gapapa, serius. Tadi gue telat masuk karena ada urusan dulu," jawab Glory sambil tersenyum kecil, mencoba menutupi kejadian sebelumnya.
"Lo dihukum ya?" tebak Sarah. Glory hanya mengangguk pelan.
"Tapi muka lo kenapa, Glo? Bibir lo kok kayak luka gitu?" Poppy menatap Glory dengan penasaran, membuat Sarah dan Alma ikut memperhatikan.
"Oh, ini... tadi gue kepeleset di bus. Pinggir bibir gue kena besi," jawab Glory sambil berbohong dengan nada santai.
Ketiga sahabatnya menatapnya curiga, tapi akhirnya tidak memaksa.
Sarah adalah sahabat Glory sejak SD, teman sebangkunya pula. Sementara Poppy dan Alma menjadi sahabat dekat Glory sejak mereka masuk SMA, dan kebetulan terus sekelas hingga sekarang.
🔔Bel Istirahat Berbunyi.
"Huh, capek juga ya belajar bahasa Indonesia. Padahal bahasa sehari-hari, tapi susahnya minta ampun," keluh Poppy sambil merapikan buku.
"Iya, gue juga ngerasa gitu," jawab Glory, diikuti anggukan dari Sarah dan Alma.
"Kantin yuk," ajak Sarah.
Namun, sebelum mereka sempat beranjak, Ketua Kelas, David, muncul di depan pintu kelas. "Glory dipanggil Bu Rina Amelia di ruang BK," katanya.
Glory mengangguk kecil, lalu berpamitan pada sahabat-sahabatnya.
"Lo enggak apa-apa, kan, Glo? Perlu kita temenin?" tanya Sarah, terlihat khawatir.
"Enggak kok, gue gapapa. Kayaknya cuma urusan biasa," jawab Glory berusaha meyakinkan mereka.
Namun, di dalam hati, Glory mulai cemas. "Kenapa yang manggil malah Bu Rina, guru Matematika? Bukannya biasanya guru BK, Bu Sintia?" pikirnya.
Dengan wajah tegang, Glory mengetuk pintu ruang BK.
"Masuk," terdengar suara dari dalam.
Saat pintu terbuka, Glory melihat Bu Rina duduk bersama seorang siswa lelaki yang menunduk sambil memainkan ponsel.
"Duduk dulu, Glo," ujar Bu Rina sambil menunjuk kursi di samping siswa itu.
Setelah duduk, Glory mendengarkan penjelasan Bu Rina tentang permintaannya untuk Glory mengikuti Olimpiade Sains dan Matematika. Tahun lalu Glory menolak, tapi kali ini permintaan itu sulit ditolak, mengingat dia adalah penerima beasiswa sekolah.
Akhirnya, Glory mengangguk setuju. Meski ragu, dia tidak ingin mengecewakan pihak sekolah. Dev, siswa di sampingnya yang ternyata Ketua OSIS, ikut terlibat sebagai pasangan Glory dalam tim olimpiade.
Keluar dari ruang BK, Glory berjalan menuju kantin. Namun, perasaannya seperti diikuti. Saat berbalik, ternyata Dev ada di belakangnya.
"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Glory tajam.
"Jangan geer. Gue mau ke ruang OSIS. Arah gue memang ke sini," jawab Dev dingin.
Pertengkaran kecil mereka berakhir ketika Glory tiba-tiba bertabrakan dengan dua adik kelas yang membawa es teh. Minuman itu tumpah, membuat seragam Glory basah kuyup.
Saat hendak pergi ke toilet untuk membersihkan diri, Glory terpeleset lagi. Kali ini, tubuhnya tidak menyentuh lantai, melainkan ditahan oleh seseorang.
"Apa gue jatuh ke surga?" batinnya sambil memejamkan mata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!