NovelToon NovelToon

Menjadi Ratu Di Tangan Kakak Ipar

Part 1

Mika hanya melirik sekilas lelaki yang berstatus suaminya, yang baru saja masuk ke dalam rumah. Tanpa meliriknya, apalagi menyapanya.

Enam bulan menjalani status pernikahan. Nyatanya Mika dan Gilang bagaikan orang asing yang hidup dalam satu atap.

Seperti hidup dalam sebuah rumah, tapi kamarnya dijadikan kos-kosan. Tidak saling dekat satu sama lain.

Mereka menikah karena perjodohan.

Masih ada kakak Gilang yang belum menikah. Kenapa justru Gilang terlebih dahulu yang dijodohkan? Dan Mika menyayangkan, kenapa harus dirinya yang menjadi istri Gilang?

Entah sampai kapan Mika harus bertahan di pernikahan yang tidak ada tujuannya. Berusaha saling mendekatkan diri pun tidak ada yang melakukannya.

"Uang bulanan sudah aku transfer."

"Hmm."

Sesingkat itu percakapan mereka malam ini. Tak ada yang ingin mencari topik agar bisa mengobrol barang sedetik saja.

Selesai. Dan Mika pun beranjak ke kamarnya setelah mengambil makan malam, yang dia beli untuk dirinya sendiri. Tak peduli apakah Gilang sudah makan atau belum.

Pernah Mika bertindak sebagai seorang istri. Menyiapkan makan, menyiapkan pakaian, bahkan dengan percaya dirinya memakai pakaian kurang bahan di hadapan Gilang.

Namun Gilang seperti buta. Tak melihat sedikitpun usahanya.

Hingga perasaan lelah mendera hati Mika. Saat itulah Mika tak lagi memperdulikan Gilang.

Tak peduli lelaki itu sudah makan atau belum.

Tak peduli lelaki itu akan pulang jam berapa.

Dan tak peduli lagi dengan apapun yang bersangkutan dengan Gilang.

***

"Udah dapat tempat magang belum?"

Mika mengangguk antusias mendengar pertanyaan Sena. "Kemarin gue ke kantor kakak ipar gue. Eh, langsung diterima sama dia."

"Kenapa nggak di tempat suami Lo aja?"

Kali ini wajah Mika berubah murung. "Kayak nggak tau aja hubungan gue sama Gilang gimana."

Sena tertawa kecil. "Magang sama kakak ipar, awas kalau sampai cinlok, ya."

"Ya gila kali gue cinlok sama Kak Gavin. Nggak ada ceritanya suka sama kakak ipar sendiri."

"Eh, jangan salah. Ipar itu maut. Jaman sekarang kalau udah cinta nggak pandang dia siapa. Suami orang juga diembat aja."

"Tapi gue nggak kayak gitu. Kayak gini biar Gilang nggak peduli sama gue, tapi gue nggak pernah yang namanya main cowok."

"Iya, deh, iya." Kali ini Sena mengalah.

Sejauh ini, ketegaran hati Mika memang mengagumkan.

Kalau wanita lain mungkin sudah menuntut cerai. Tapi Mika justru tetap mempertahankan rumah tangganya yang tidak tahu akan dibawa kemana.

"Tapi suami Lo tau, kalau Lo mau magang di tempat kakaknya?"

"Gue nggak pulang aja nggak dicari apalagi soal gue magang di mana. Dia nggak akan peduli."

Sena menatap Mika dengan tatapan miris. "Rumah tangga kalian mau dibawa kemana, sih, Ka? Gini amat perjalanannya."

Mika mengendikkan bahunya. Mika sendiri saja tidak tahu apalagi Sena. Yang dia tahu, dia dan Gilang harus berpura-pura bahagia dan menunjukkan bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja jika berada di hadapan para orangtua.

Masih menjadi pertanyaan besar bagi Mika, kenapa Mika dinikahkan di usianya yang baru dua puluh satu tahun.

Kalau saja dengan orang yang Mika cintai, itu tidak masalah. Sayangnya, dia harus rela mengakhiri hubungannya dengan Dimas demi menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintai Mika.

Saat itu, Mika tak diijinkan untuk menolak dengan alasan apapun, itu sudah wasiat dari kakeknya yang bersahabat dengan kakek Gilang.

Semacam perjanjian di masa lalu. Bahwa keturunan mereka harus ada yang berjodoh. Karena anak dari mendiang kakek Mika semua laki-laki dan ayah Gilang merupakan anak tunggal, maka tidak mungkin Papa Mika dan Papa mertuanya akan menikah. Jeruk makan jeruk, masa?

Akhirnya Mika-lah yang menjadi korban perjanjian itu.

Mika yang harus terjebak dalam pernikahan dengan Gilang.

"Gue masih mikir, deh, Ka. Kenapa nggak Lo sama kak Gavin aja? Kenapa harus Gilang?"

"Pertanyaan itu juga yang nggak pernah gue dapatkan jawabannya sampai sekarang, Na. Kayaknya kak Gavin punya pacar. Atau mungkin dia..."

Mika bergidik ngeri sendiri sebelum melanjutkan ucapannya. Dalam pikirannya, Gavin bukanlah lelaki normal. Bisa saja dia menolak sebuah perjodohan karena mencintai seseorang yang sama. Sama dalam artian "itu".

"Jangan-jangan?"

"Jangan-jangan?"

Mika dan Sena berucap bersamaan. Pertanda bahwa apa yang ada di dalam pikiran mereka itu sama.

"Waaaa... Mika. Lo punya kakak ipar macam begitu. Oh, no! Geli sendiri gue, Ka."

"Emangnya cuma lo doang yang geli. Gue juga, Sena. Ganteng-ganteng begitu masa belok, ya?"

"Eh, jangan salah. Justru yang kayak begitu yang kebanyakan pada belok. Atau si Gilang juga begitu, ya?"

"Kenapa bisa ke Gilang juga?"

"Ya bayangin aja, Mika. Kalian udah enam bulan nikah, tapi dia nggak tertarik sama sekali sama Lo. Menurut Lo kalau kaya begitu gimana? Dia masih normal? Halo, Mika. Kalau lelaki normal nggak akan tahan selama itu buat nggak melampiaskan ga*ra* dia. Apalagi dia udah punya tempat yang halal untuk melampiaskan. Sedangkan sama Lo dia nggak tertarik sama sekali buat nyentuh Lo. Hayo, loh. Gimana cara dia selama ini, Ka? Gimana lagi kalau nggak ituuuu. Oh, atau dia jajan di luar, ya?"

"Udah, deh, Sena, nggak usah jadi kompor. Jadinya pengen minta cerai nih gue gara-gara ucapan Lo."

Ucapan Sena terus terngiang di kepala Mikha. Kini dia jadi berpikiran buruk. Entah Gilang belok, atau dia punya wanita lain yang dia cintai. Atau memang dia hobi jajan di luar ketimbang menyentuh istrinya sendiri.

***

"Sepuluh menit untuk siap-siap. Malam ini kita makan malam di rumah Papa."

Mikha hanya bisa melongo mendengar ucapan dingin Gilang. Tanpa menyebut namanya, tanpa berbasa-basi, dia langsung memberi waktu yang singkat untuk Mikha bersiap-siap.

Padahal Mikha baru saja menginjakkan kakinya di rumah setelah menonton film dengan Sena.

Berniat membalas dendam, Mikha sengaja berlama-lama di dalam kamar. Sudah lebih dari tiga puluh menit dan Mikha belum berniat untuk keluar walaupun sebenarnya dia sudah siap sejak sepuluh menit yang lalu.

"Biarin aja. Salah siapa ngeselin banget jadi orang. Baru juga pulang. Biarin istirahat dulu apa gimana gitu. Langsung bilang cuma dikasih waktu sepuluh menit. Emang dia nggak punya hp buat hubungin gue biar bisa pulang lebih cepet?" gerutu Mikha kesal.

Dia sudah mulai mendengar ketukan sepatu beradu dengan lantai yang semakin dekat menuju kamarnya.

Benar saja, tak berselang lama, pintunya diketuk dengan keras. Disertai dengan teriakan Gilang di luar kamar Mikha.

***

Seperti diatur secara otomatis, dengan sigap Mikha mengalungkan tangannya di lengan Gilang saat memasuki rumah mertuanya.

Mikha dan Gilang memberikan senyuman lebar. Menunjukkan pada anggota keluarganya bahwa mereka adalah pasangan yang bahagia.

Mikha memeluk kedua mertuanya, Anton dan Yunita, yang sudah menyambut mereka dengan bahagia di ruang keluarga. "Mantu cantik Mama. Apa kabar, Sayang?"

"Baik, Ma. Mama sama Papa sehat?"

"Seperti yang kamu lihat, Sayang. Kami sehat. Harus selalu sehat biar bisa melihat cucu kami nanti."

Mikha tersenyum tipis. Dalam hati sebenarnya dia sedih, takut mengecewakan mertuanya yang baik itu kalau mereka tahu bagaimana rumah tangga Mikha dan Gilang.

"Kalian nggak menunda buat punya momongan, kan?"

"Menunda sebentar, Pa. Mikha, kan, harus fokus kuliah dulu. Anggap aja kita sedang pacaran, honeymoon setiap hari. Iya, kan, Sayang?"

Mikha mengangguk pasti untuk memberi dukungan. "Iya, Pa. Gilang, emm... Maksudku Kak Gilang. Apa yang dibilang Kak Gilang itu bener. Kita, kan, nggak pacaran dulu waktu sebelum nikah. Jadi, kayaknya kita mau pacaran dulu aja gitu. Sambil Mikha juga fokus kuliah dulu."

Anton dan Yunita mengangguk paham. "Enggak apa-apa. Mama sama Papa sabar nunggu, kok," ucap Yunita diiringi dengan tawa kecil dari bibirnya.

Mikha tersenyum canggung.

Saat kedua mertuanya dan Gilang berbicara, perhatian Mikha justru tertuju pada Gavin yang berjalan pelan menuruni tangga.

Pandangan matanya bertemu dengan kedua mata Gavin. Mendadak jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ada rasa penasaran di dalam diri Mikha saat melihat Gavin menaikkan sebelah alisnya. Lalu memberikan sebuah senyuman sinis untuk Mikha.

Kenapa?

🌹🌹🌹

Part 2

"Mikha udah mau magang, ya? Rencana mau magang di mana?"

Uhukk!

Mikha tersedak makanannya sendiri setelah mendengar pertanyaan Anton.

Secara bersamaan, Gavin dan Gilang mengulurkan segelas air putih ke hadapan Mikha.

"Pelan-pelan."

"Pelan-pelan."

Mereka berucap bersamaan, membuat Mikha salah tingkah.

"Minum punyaku sendiri aja." Mikha segera mengambil gelas minumnya sendiri lalu menenggak air putih itu hingga tersisa setengahnya.

"Duh, beginilah kalau kita perempuan berdua di sini, Mikha. Bakalan jadi ratunya para cowok ini. Dulu, sih, cuma ada Mama, ya. Sekarang ada kamu juga."

Mikha hanya tersenyum canggung mendengar penuturan Yunita. Mikha pikir ini bukan bentuk perhatian, kok. Reflek saja naluri penolong mereka muncul karena Mikha sedang kesusahan.

Iya, kan?

Mikha berperang dengan pikirannya sendiri. Tak ingin terlalu percaya diri dengan perlakuan kedua lelaki berinisial G itu.

"Jadi mau magang di mana, Mikha? Udah ketemu tempatnya? Atau butuh bantuan Papa agar mudah masuk ke tempat yang kamu inginkan? Oh, atau mungkin kamu mau magang di kantor Gilang?"

Mikha melirik Gavin yang duduk tepat di seberangnya. Sayangnya, saat itu juga Gavin tengah meliriknya juga. Membuat Mikha seketika mengalihkan pandangannya dan berpura-pura memilah lauk untuk kembali dia masukkan ke dalam mulut.

"Belum tau mau magang di mana. Tapi kalau di kantor Kak Gilang kayaknya enggak, Pa."

"Kenapa?" tanya Anton dengan cepat.

"Takut nggak kerja malah ngerjain yang lain, Pa. Kayak nggak paham pengantin baru aja," sahut Gilang. Tentu dengan jawaban yang ujung-ujungnya membuat pipi Mikha merah menahan malu.

Dalam hati Mikha merutuki Gilang yang berbicara seenaknya saja. Seperti pernikahan mereka normal-normal saja gaya bicaranya.

Terbukti, kini Anton dan Yuni menggoda Mikha dan Gilang habis-habisan.

"Tuh lihat, Gavin! Adik kamu bahagia banget, kan, meskipun menikah muda."

Yang disinggung justru melengos malas. Nafsu makannya hilang seketika saat mamanya kembali menyinggung pernikahan. Apalagi dengan membanding-bandingkan dirinya dengan sang adik yang lebih dulu menikah.

Tanpa menanggapi Yunita, Gavin segera beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan makanannya yang masih tersisa setengah dari porsinya.

"Selalu kayak gitu kalau disinggung soal nikah. Mau sampai kapan, Gavin?" gerutu Yunita kesal. Setiap dia menyinggung pernikahan pada Gavin, Gavin langsung pergi begitu saja tanpa memberi tanggapan sedikit saja.

Hal itu membuat kedua orangtuanya bingung. Bertanya-tanya ada apa dengan Gavin sampai dia begitu tidak suka jika disinggung soal pernikahan? Trauma apa yang dimiliki Gavin sehingga dia menjadi seperti itu sekarang?

***

"Gue tau Lo mau magang di kantor Gavin."

Mikha sempat menunjukkan raut terkejutnya saat mendengar ucapan Gilang. Tapi setelah dia menyadari sesuatu, akhirnya dia terlihat biasa saja.

Sepertinya bukan hal yang baru lagi jika apa yang Mikha lakukan selalu diketahui oleh Gilang. Banyak orang yang diam-diam menjadi mata-mata Gilang meskipun sebenarnya Gilang sendiri tak berminat memata-matai Mikha.

Mereka dengan sukarela melaporkan kepada Gilang tentang apa saja yang dilakukan Mikha. Entah apa motif mereka. Mungkin saja mereka mencari perhatian Gilang.

"Terus kenapa? Masalah buat Lo?"

"Bukan masalah buat gue. Tapi seenggaknya Lo mikir gimana kalau pada tanya kenapa lo malah pilih magang di kantor kakak ipar Lo dari pada kantor suami Lo sendiri."

Tawa sinis tersungging dari bibir tipis Mikha. "Itu juga masalah buat Lo?"

Merasa percuma berdebat dengan Mikha, akhirnya Gilang memilih diam.

🌹🌹🌹

Hari pertama magang. Jantungnya berdebar mengingat sebentar lagi mungkin akan bertemu dengan kakak iparnya, Gavin. Bukan karena jatuh cinta. Tapi karena sifat dingin Gavin yang terkadang membuat Mikha mati kutu. Hanya mendapat tatapan sinis saja, nyali Mikha sudah menciut.

Terlalu nekat saja dia mendaftarkan namanya untuk magang di kantor Gavin. Mikha juga bingung, dari sekian banyak kantor di Jakarta, entah kenapa kantor kakak iparnya yang menjadi tujuan utamanya.

Mikha mematut dirinya di depan cermin. Untuk hari pertama magang, penampilan Mikha cukup sederhana.

Riasan tipis, gaya rambut yang dikuncir kuda. Juga dengan pakaian Hem putih berpadu dengan celana kerja berwarna hitam. Agar tak terlihat terlalu polos, Mikha mengenakan blazer berwarna hitam. Membuat penampilannya yang sebenernya sederhana tapi terlihat begitu menawan.

Apalagi didukung dengan tubuhnya yang tinggi semampai serta bentuk tubuhnya yang body goals.

Tanpa memperdulikan Gilang yang juga baru saja keluar dari kamarnya, Mikha berlalu begitu saja tanpa menyapa Gilang.

Gilang pun sama tak pedulinya. Dia biarkan Mikha melenggang pergi begitu saja tanpa berniat bertanya apapun.

Sepanjang perjalanan Mikha hanya bisa berpikir, kapan pernikahannya itu akan berakhir? Kalau berharap bisa langgeng, sepertinya itu tidak akan mungkin terjadi. Gilang sangat menutup dirinya dari Mikha. Begitupun Mikha yang tak berniat untuk mendekatkan diri dengan Gilang.

"Hahhhh... Kesel sendiri gue kalau ingat Gilang si suami di atas kertas doang itu. Dulu emaknya ngidam apaan, sih, sampai anaknya kayak begitu? Si Gavin juga. Jadi orang kenapa juga dingin begitu? Ih, lama-lama gue bisa jadi es batu nih gara-gara diantara dua kulkas. Di rumah sama kulkas, di kantor sama kakaknya kulkas. Adik kakak sama saja."

Sibuk menggerutu, tanpa Mikha sadari kini mobilnya sudah sampai di parkiran kantor Gavin.

Wajah kesalnya berubah menjadi gugup.

Sebelumnya Mikha dan beberapa rekannya yang juga diterima di kantor Gavin harus mengikuti beberapa kegiatan sebelum akhirnya dibagi untuk ditugaskan di beberapa divisi yang berbeda.

Satu persatu nama mahasiswa yang magang di sama disebutkan. Wajah Fitria selaku mentor mereka di perusahaan Gavin terlihat sumringah.

Namun wajahnya berubah canggung setelah menyebutkan nama Mikhayla Hana Sasmita. Dia segera mengangguk sekilas pertanda hormat membuat rekan-rekannya merasa heran kemudian melirik Mikha yang berusaha terlihat baik-baik saja.

"Untuk Mikha nanti langsung ke ruangan Pak Gavin, ya."

"Kenapa ke Kak, eh, maksudku Pak Gavin." Mikha buru-buru meralat panggilannya untuk Gavin. "Kenapa harus ke Pak Gavin, Kak?" lanjutnya sungkan.

"Saya kurang tau. Saya hanya dititipi pesan seperti itu. Mahasiswa magang atas nama Mikhayla Hana Sasmita diminta untuk menghadap Pak Gavin langsung setelah ini."

Mikha akhirnya mengangguk, mengiyakan ucapan Fitria.

"Kita udah pada tau kalau kamu adik iparnya pimpinan kantor ini. Jadi biasa aja. Nggak usah ngerasa nggak enak gitu. Moga aja kerjaan kita sama, ya. Hihi." Bisikan Livy di telinga Mikha setidaknya membuat pikirannya sedikit lega. Jadi Mikha tidak perlu khawatir mereka akan iri pada Mikha karena Mikha sendiri harus berhadapan dengan CEO kantor ini.

***

Mikha membuka pintu dengan pelan saat perintah untuk masuk dari dalam sudah terdengar. Jelas itu suara Gavin. Membuat jantung Mikha hampir lepas dari tempatnya saking kencangnya dia berlompatan.

Kepala Mikha terus menunduk seiring dengan langkah kakinya yang mulai mendekati meja Gavin.

"Selamat pagi menjelang siang, Pak," ucap Mikha pelan.

Tanpa membalas sapaan Mikha, Gilang langsung menyerukan nama Mikha dengan jelas dan lengkap. "Mikhayla Hana Sasmita. Istri dari Gilang Ramzi, CEO YA group. Kenapa memilih kantor saya?"

Mikha membenarkan blazernya yang sebenarnya baik-baik saja. Dia melakukannya untuk menghindari tatapan tajam dan dingin dari kedua mata Gavin. "Emm, kan, Pak Gavin dulu sudah pernah dengar jawaban dari kak Gilang. Pengantin baru seperti kami tidak baik jika berada dalam satu kantor. Bukan proyek pembangunan yang dibahas, justru proyek pembuatan anak yang dilakukan," jawab Mikha tanpa malu meskipun sebenarnya jijik dengan ucapannya yang terakhir.

Gavin tersenyum sinis. "Gaya bicaramu seperti pernikahan kalian ini baik-baik saja."

"Maksud Pak Gavin apa, ya? Pernikahan kami normal-normal saja. Kami bercanda, makan bersama, tidur bersama. Bahkan kami juga begituan loh, Pak. Pak Gavin jangan sembarangan ngomong."

"Begituan bersama, ya?"

"Hu'uh." Mikha mengangguk pasti untuk kebohongannya.

"Iya. Bersama, kan? Dia sama siapa kamu sama siapa? Yang jelas pasangan dia bukan kamu, kan?"

Mikha mengepalkan kedua tangannya mendengar ucapan Gavin yang seolah menganggapnya telah tidur dengan lelaki lain.

"Maaf, Pak Gavin. Itu bukan urusan Pak Gavin. Saya ke sini mau magang, bukan untuk dikorek masalah rumah tangga saya. Jika saya dipanggil ke sini hanya untuk seperti ini, lebih baik saya keluar dan cari tempat magang yang lain."

"Memangnya masih bisa? Gavin menjawabnya dengan santai.

Pertanyaan Gavin membuat Mikha bungkam. Benar apa kaya Gavin, memang masih bisa cari tempat magang lain? Masih ada waktu? Yang ada waktu magangnya akan habis dan dia tidak mendapatkan apapun.

Mengalah. Akhirnya Mikha pun mengalah.

Dia ambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan untuk mengatur emosinya.

"Kalau begitu, apa maksud Pak Gavin memanggil saya ke sini?"

Gavin belum ingin menjawab. Dia lebih memilih menatap tajam perempuan yang berstatus adik iparnya, yang kini berdiri dihadapannya.

🌹🌹🌹

karena aku nggak pernah kuliah dan nggak pernah kerja di kantor, jadi aku kurang paham dengan istilah atau apa yang dikerjakan di dalamnya.

aku hanya menulis sesuai kemampuanku dan apa yang aku tau. itupun dari hasil nyari-nyari di internet. jadi aku mohon maaf kalah masih banyak istilah yang salah dalam penulisan.

Bahagia Mikha itu Sederhana

"kamu jadi sekertaris saya. Menggantikan sekertaris saya yang lama karena cuti melahirkan."

Mikha terperangah mendengar ucapan Gavin. "Kak? Eh, maaf. Maksud saya Bapak." Buru-buru Mikha meralatnya karena salah memanggil. Sebab ini di kantor, bukan di rumah. Saat ini Gavin adalah atasannya. "Pak Gavin nggak salah ngomong? Saya di sini magang, loh, Pak. Kenapa sudah jadi sekertaris? Pak Gavin nggak takut pekerjaan Pak Gavin justru berantakan gara-gara saya?"

"Kalau saya memilih kamu, itu artinya kamu saya anggap mampu," ujarnya dengan datar.

Gavin melempar pelan buku agenda di hadapannya hingga terjatuh tepat di hadapan Mikha. "Laporan meeting tadi pagi ada di situ. Salin ke laptop dan jelaskan secara rinci di setiap pointnya."

"Kak Gavin gila?" pekik Mikha kesal.

"Kenapa?"

Mikha menggeleng pelan. "Maaf. Maksud saya Pak Gavin serius soal ini? Saya nggak ikut meeting, Pak. Gimana saya bisa jelaskan secara rinci?"

"Akan saya bantu. Ambil laptop di meja sekertaris depan. Bawa sini, kerjakan di sini."

"Tap-tapi, Pak?"

"Cepat atau saya pindah kamu ke bagian cleaning servis!"

"Ah, jangan, Pak. Oke. Saya ambil sekarang."

Dengan cepat Mikha keluar dari ruangan Gavin lalu mengambil laptop yang ada di ruang sekertaris. "Iiihhh... Ngeselin banget, sih, punya kakak ipar satu aja," gerutunya dengan kesal.

Ternyata selain memiliki sikap dingin, Gavin juga memiliki sifat yang menyebalkan. Baru kali ini mahasiswa magang langsung dijadikan sekertaris. Biasanya juga ditugaskan di beberapa divisi.

"Duduk dan mulai kerjakan dengan cepat dan benar!"

"Pak Gavin, please! Saya baru pertama kalinya mengerjakan seperti ini. Jadi jangan meminta saya untuk bisa cepat apalagi benar. Oke?"

"Kenapa malah kamu yang mengatur saya?"

"Ya Tuhan. Salah lagi aku di mata dia." Mikha menepuk dahinya berkali-kali.

Dengan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, Mikha memasang sebuah senyuman lebar. Manis namun tetap terlihat senyum itu dipaksakan. "Maaf, Bapak. Saya tidak bermaksud mengatur bapak. Saya kerjakan sekarang laporannya."

Mikha mulai menyalakan laptop lalu mengetik beberapa bagian yang sebelumnya sudah dia pelajari di kampus.

Gavin tak berbohong. Dia banyak mengajari Mikha. Memberitahu Mikha apa yang dibahas pada saat meeting. Point penting yang harus ditulis beserta penjabarannya. Pekerjaan Mikha kali ini hanya seperti juru ketik saja karena semua hasil pemikiran Gavin sendiri.

"Aahh, capek." Mikha menggeliatkan tubuhnya. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku dan pegal karena terlalu banyak mengetik dan duduk di depan laptop.

Hal itu tak luput dari perhatian Gavin. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu ternyata tak buruk juga untuk dijadikan sekertaris. Dia bisa belajar dengan cepat. Hasil kerjanya pun rapi. Gavin merasa puas.

Sayangnya, Gavin tipe pekerja yang tak kenal waktu. Dia tak peduli meskipun jam makan siang terlewatkan tanpa memberi kesempatan kepada Mikha untuk istirahat terlebih dahulu.

Gavin tetap meminta Mikha untuk mengerjakan tugasnya meskipun wajah Mikha sudah tertekuk kesal karena waktu istirahatnya tersita.

Sebagai gantinya, Gavin sudah memesankan makanan dan minuman untuk Mikha. Seorang OB baru saja masuk membawa makanan dan minuman tersebut.

"Makan siang buat kamu," ucap Gavin dengan cuek. Bahkan melihat ke arah Mikha pun tidak.

"Wah, jus mangga. Darimana Pak Gavin tau minuman kesukaan aku?" Mikha dengan senang mengambil segelas jus mangga di hadapannya lalu meminumnya dengan rakus. Mikha adalah penyuka mangga. Dari mulai makanan, minuman, hingga sabun dan shampo yang dia pakai pun beraroma mangga.

"Percaya diri sekali kamu. Kebetulan saja saya pesannya mangga."

Mendengar jawaban Gavin, seketika wajah Mikha berubah kesal. Dia segera berdiri dan mengambil makanannya untuk dibawa keluar. Dia akan makan di pantry. Bukan di hadapan Gavin yang menyebalkan.

Bukannya kenyang, yang ada justru dia kehilangan selera makan.

🌹🌹🌹

"Tugas di bagian apa kamu, Ka? Sama Pak Gavin disuruh ngapain?"

"Ngeselin banget, Vy. Masa aku disuruh jadi sekertarisnya dia. Kan, aku belum tau apa-apa. Mana udah disuruh buat laporan lagi. Aku mana ngerti laporan apa saja yang harus aku tulis."

"Tapi biasanya diajarin dulu, kan?"

"Ya iya, sih. Tapi kan, tetep aja kesel jadinya. Kayak aku dipaksa harus cepat bisa gitu, loh, Vy. Nggak boleh ada yang salah."

"Atasan mah bebas, Ka. Kita harus bisa menyesuaikan dia yang udah mahir dalam segala hal. Tapi masa sama adik ipar sendiri nggak dikasih keringanan, sih?"

"Dikasih jus mangga sama makanan, nih."

Livy tertawa kecil. "Rejeki itu, Ka. Makan yang banyak biar kuat ngadepin kakak ipar. Udah, ah, mau balik ke ruangan. Bikin kopi karena ngantuk banget tadi."

Mikha mengangguk mengiyakan. Jam dua siang memang begitu nikmat jika untuk mengantuk. Apalagi kalau bisa sampai tidur.

Jadi, Mikha lebih memilih tidur di ruang sekertaris daripada kembali di ruangan Gavin setelah dia menghabiskan makanannya. Matanya terlalu lengket dan tak kuat lagi untuk melek sebentar saja.

Salahnya sendiri kenapa semalam nekat begadang menonton Drakor padahal hari ini adalah hari pertamanya magang.

🌹🌹🌹

Pandangan Gavin tak lepas dari gadis yang kini tengah tertidur pulas. Satu jam lamanya waktu yang diberikan Gavin untuk Mikha makan siang. Tapi Mikha tak kembali ke dalam ruangannya hingga dua jam lamanya.

Gavin pun berinisiatif mencari Mikha lewat cctv yang terhubung ke laptopnya. Dari sana Gavin bisa tau kalau ternyata Mikha tidur di ruang sekertaris.

Gavin menggelengkan kepalanya, heran. Dalam keadaan bekerja kenapa bisa-bisanya dia tidur pulas seperti saat ini? Bahkan saat masih ada pekerjaan yang menantinya.

"Cantik," gumam Gavin menyaksikan mata lentik itu terpejam.

Ya. Memang sejak pertama kali melihat Mikha, Gavin sudah mengagumi kecantikan Mikha.

Sayang, ternyata Mikha dijodohkan dengan Gilang, bukan dengan dirinya.

Sejak saat itu Gavin berusaha untuk tidak mengagumi Mikha lagi. Dia berusaha sekeras mungkin meskipun bayang-bayang Mikha selalu melintas di pikirannya.

Wajah cantiknya, senyum manisnya. Semua tentang Mikha terus menari-nari di kepalanya.

Rasa ingin melindungi Mikha pun hadir dengan sendirinya saat Gavin tau kalau Gilang tak memperlakukan Mikha sebagai seorang istri. Gavin tau semua yang dilakukan Gilang di belakang Mikha. Dan Gavin pun tau apa yang terjadi di dalam rumah tangga Mikha dan Gilang.

Tuhan seperti mendengar doanya. Mikha datang sendiri ke hadapannya dengan mengajukan permohonan magang di kantornya.

Tanpa berpikir panjang, Gavin pun langsung menerima Mikha tanpa berpikir ulang.

Semesta pun seolah turut mendukung. Bersamaan dengan masuknya Mikha ke kantor, Rani sekertaris Gavin sebelumnya pun cuti karena sudah mendekati waktu melahirkan.

Gavin menjauhkan dirinya dari Mikha saat perlahan Mikha membuka kedua kelopak matanya. Mata lentik nan cantik itu mengerjap berkali-kali. Hingga dia terlonjak kaget saat melihat ada Gavin yang berdiri di hadapannya sambil menatap Mikha dengan tajam.

"Enak, ya? Tidurnya nyenyak?" sindir Gavin dengan halus.

"Ma-maaf, Pak. Saya ketiduran."

"Ketiduran atau sengaja untuk tidur? Ikut saya ke ruangan saya!"

"Baik, Pak."

Dengan menunduk, Mikha berjalan pelan di belakang Gavin. Mengikuti Gavin untuk masuk ke ruangannya.

"Aduh!" Mikha mengaduh saat tubuhnya menabrak Gavin yang tiba-tiba berhenti.

"Makanya kalau jalan lihat ke depan."

"Bapak juga berhentinya tiba-tiba begitu."

"Jawab aja kerjaan kamu. Buatkan saya kopi. Jangan terlalu manis."

"Baik, Pak."

Mikha tak tahu bagaimana selera kopi Gavin. Sebab itu dia memasukkan dua sendok teh kopi dan satu sendok teh gula ke dalam cangkir lalu menuangkan air panas ke dalamnya. Entah bagaimana rasanya, Mikha harap ini sesuai selera Gavin yang meminta kopi yang tidak terlalu manis.

"Bapak juga makan makanan seperti ini? Wah, enak-enak ini mah."

Berbagai jajanan di pinggir jalan kini sudah tersaji di atas meja Gavin. Mikha ingin, tapi dia tak berani menyentuhnya. Dia bisa membeli semuanya sendiri, sebenarnya. Sekalian beli gerobaknya pun bisa. Tapi kalau seandainya saat ini Gavin memberikan satu saja untuknya, Mikha tak akan menolak.

"Baru tau ada CEO yang doyan beginian."

"Saya nggak suka makanan seperti itu."

"Kalau nggak suka kenapa beli? Buang-buang duit aja."

"Saya beli buat kamu."

"What?" Wajah Mikha berubah cerah. "Bapak seriusan?" tanyanya antusias.

"Ya. Habiskan kalau kamu kamu semua."

"Ah, siap, Kakak. Terimakasih banyak.",

Mikha mulai mengambil cimol. Setelah habis, Mikha mengambil cilok. Begitu seterusnya hingga makanan-makanan itu hampir habis. Semua masuk ke perutnya dengan lancar tanpa penolakan sedikitpun.

Gavin yang diam-diam memperhatikan setiap gerak Mikha pun tersenyum tipis. "Sesederhana itu cara dia bahagia," batinnya berucap.

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!