|Peringatan|
|Novel ini tidak diperuntukkan pembaca dibawah 17 tahun dan yang mudah mengalami gangguan, seluruh kisah ini hanyalah fiksi tidak boleh meniru atau membawanya ke dunia nyata. Cukup nikmati dan ambil hikmahnya saja (jika ada), sekali lagi ini bukan novel untuk dibawah umur kalian udah gede semua tindakan kalian silahkan ditanggung sendiri jangan coba niruin adegan kayak di film atau novel dan berakhir konyol truss nyalahin penciptanya, sekali lagi jangan konyol. Sekian Terima kasih.|
Kasta...
Sebuah jurang yang tercipta diantara perbedaan, miskin dan kaya, berbakat dan tanpa bakat, pintar dan bodoh. Sebuah dunia kelam tanpa mimpi ataupun harapan, mereka yang terbaik akan ditakdirkan mendapat yang terbaik sedangkan kita yang terbuang akan senantiasa memperebutkan sisanya. Kenyataan itulah yang kusadari saat aku berusia 8 tahun.
Tap... Tap... Tap
Ku hentikan langkahku saat mendengar suara rintihan kecil,
“To-tolong...”
Ku lirik sekitar tak ada apa pun selain kegelapan. halusinasi? Atau salah dengar? Ku lepaskan headset yang menyumbat telingaku untuk memastikannya. Namun, hanya kesunyian dan suara angin malam yang terdengar. Jam menunjukkan pukul 8 malam di layar ponselku yang mulai redup.
Hening.....
Setelah yakin tak ada apa pun dan hanya suara angin yang terdengar akhirnya ku pasang kembali headsetku dan memutar kembali lagu sambil melanjutkan perjalanan pulang dari toko buku.
Tap... Tap... Cplek... Cplek...
Tiba-tiba sepatuku menjadi basah setelah melewati genangan air yang tak terlihat. “Yah, sial sekali aku. Inilah kenapa lampu jalanan harus segera diperbaiki, haduh... semoga aja besok bisa kering buat sekola-“
Tik! Tik! Tik!
Tetesan air yang menetes di atas kepalaku menghentikan kalimatku dan menyadarkanku akan kejanggalan yang ada. Hujan? Ditengah musim panas ini? Ku amankan ponselku ke dalam tas bersama headsetku dan bergegas berlari pulang.
“To..long...” Suara rintihan yang semakin lemah itu tak sampai ketelingaku yang terus berlari tanpa menoleh kebelakang.
Keesokan harinya aku terdiam membatu saat mengikat sepatu hendak berangkat sekolah. Keringat terus bercucuran dari kepalaku tanpa henti dengan kedua tanganku yang terus gemetaran.
“Eh, lu tau enggk? Tadi pagi gua nemu mayat pak Erno tertancap di pohon pinggir jalan," ucap salah satu warga dari luar pintu.
“Sudah dibilangin masih aja keras kepala si tua bangka itu, itulah hasilnya biar kapok,” saut temannya senang.
Tadi malam Itu bukanlah tetesan air hujan. Sejak awal memang tidak mungkin ada hujan di tengah musim panas seperti ini. Semua sudah jelas, jawaban sudah terpampang di depanku.
Itu juga bukanlah air, itu bukanlah genangan air dan itu juga bukanlah halusinasi ataupun salah dengar. Seluruh tanda tanya yang membanjiriku di malam itu terjawab. Kepingan demi kepingan yang samar menjadi jelas, rintihan lemah yang kupikir halusinasi dan hampir tak terdengar itu menjadi jelas saat ku ingat kembali.
‘Tolong...'
Dan yang ku lewati itu bukanlah genangan air, itulah yang dikatakan sepatuku yang bercampur dengan darah. Kubuang sepatuku dan berlari ke wastafel kamar mandi dengan cermin yang sudah retak.
Huekk....
Seluruh sarapanku dan energiku langsung keluar hingga membuat sekujur badanku lemas. Wajah yang memucat dan tubuh yang gemetaran.
"Terjadi lagi." Setiap aku melihat darah aku langsung teringat kejadian itu, "Aku adalah Dion, Aku adalah Dion, Aku adalah Dion, Aku adalah Dion, Aku bukanlah Dia!"
Dengan sepatu cadanganku ku tinggalkan rumahku untuk berangkat sekolah. Namun, langkahku terhenti, tanpa kusadari tiba-tiba dunia menjadi gelap. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 7 pagi tapi suasana jalan begitu gelap seperti malam hari.
Ku pandang sekitar tapi tak terlihat apa pun kecuali kegelapan, tanpa suara, tanpa ada tanda-tanda kehidupan, semuanya begitu sunyi....
"A - Ada apa ini!" Ku coba bergumam tapi mulutku sama sekali tak mengeluarkan suara apa pun. Lampu jalan satu persatu menyala berurutan dari kejauhan. Setiap cahaya redup itu menerangi rasa takut dalam tubuhku yang semakin memuncak.
Jalan raya yang setiap pagi kulewati kini tertutupi oleh bercak darah dimana-mana. Aku terdiam dengan kedua kaki gemetaranku memandang ke arah cahaya yang menuntunku.
Klip!
Suara lampu jalan di atas kepalaku bersinar dan mengusir secuil kegelapan disekitarku dan memperlihatkan sepasang kaki seorang gadis menghadap ke arahku.
Tik... Tik... Tik...
Darah terus menetes di samping kakinya hingga membentuk genangan kecil.
"Lari!"
"Aku harus lari!"
Seluruh sel dalam tubuhku meneriakkan peringatan bahaya untuk segera pergi dari sana. Namun, kakiku tak mau mendengarkan kemauanku. Keringat bercucuran dengan deras, jantung berdetak dengan kencang, aku langsung panik dan memukul-mukul kedua kakiku agar bisa kugerakkan saat melihat kedua kaki gadis itu mulai melangkah mendekatiku.
"Hey, apa kau tau dimana kak Artia berada?" tanya gadis itu dengan seram.
Tubuhku dikuasai rasa takut dan panik hingga tak menghiraukan pertanyaannya.
"BERGERAK!"
"BERGERAK!!!"
"BERGERAKLAH!!!"
Semakin ia mendekat, tubuhnya perlahan mulai terlihat dari sinar lampu jalan di atasku.
Tap!
Tap!
Tap!
Suara langkah kakinya semakin dekat dan jelas.
Klip!
Lampu rambu penyebrangan menyala menyinari jalan dan menciptakan bayangan gadis itu di bawah kakiku,
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
"AKU AKAN DIBUNUH!!!"
*"LARI! AKU HARUS****LARI***!"
Berteriak tak bisa, bergerak juga tak bisa, yang kupunya hanya kedua tangan yang gemetar ketakutan, melawannya adalah tindakan bunuh diri apa yang bisa bocah 8 tahun lakukan untuk melawannya?
"AYOLAH!!!!!"
"BERGERAK!!!!!!"
Kupukul-pukul terus kedua pahaku. Namun, tak ada hasilnya. Perlahan demi perlahan gadis itu semakin mendekat dengan pisaunya yang berlumuran darah.
Tap!
Tap!
Jleb!
Bayangan gadis itu terhenti dan tiba-tiba muncul sebuah darah membanjiri bayangannya. Ku angkat wajahku dan melihat sosok pria tinggi bertopeng berdiri di belakang gadis itu dengan tangannya yang menembus dada gadis itu.
Pria itu mencabut tangannya dengan jantung gadis itu berada di dalam genggamannya,
*Brak***!
Gadis itu tersungkur dan di waktu yang sama dunia kembali menjadi terang normal kembali. Aku hanya tercengang melihat pria itu yang berdiri disana tanpa memiliki bayangan dan tak lama kemudian muncul wanita sebaya dengannya berjalan dari belakangku dan melewatiku begitu saja.
"Waktu sudah habis, kita harus segera kembali, Tuan Dion." Kata wanita itu dengan hormat. Wanita itu melirikku dan langsung membalikkan badannya dan menghampiriku dengan wajah antusias, "Hey, lihat Tuan. Dia keliatan mirip banget dengan anda." Tunjuk wanita itu ke arahku yang tengah membatu syok.
"Bukan mirip, tapi dia memang diriku 20 tahun yang lalu," jawabnya pria bertopeng itu dengan cuek.
"Hmm... kebetulan yang luar biasa sekali kalau gitu bisa ketemu Tuan saat masih naif." Ia membalikkan badan dan kembali menghampiri pria itu.
Tiba-tiba tubuh mereka berdua mulai bersinar, "Hey, bocah... ingat pesanku ini, apapun yang terjadi lindungilah Artia!" peringat orang yang mengaku sebagai diriku dari masa depan itu.
Sebelum ku jawab perkataannya mereka berdua langsung menghilang bersama cahaya terang itu. Namun, mayat gadis bersimbah darah dan semuanya masih tetap tertinggal, dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan ku tinggalkan tempat itu.
Melaporkan semua hal yang baru saja terjadi ke pihak keamanan juga tak ada artinya. Hukum takkan bergerak untuk orang-orang kaum bawah seperti kita (Seed), tak ada yang namanya keamanan, keadilan ataupun kepercayaan. Menipu atau ditipu, berkhianat atau dikhianati, membunuh atau dibunuh, semua hanya demi berebut sisa kursi dari kalangan atas untuk meraih masa depan yang sedikit lebih baik.
Yang kuat akan bertahan, yang cerdas akan bergerak, yang bijaksana akan terdiam. Itulah dunia yang ku kenal saat aku berusia 8 tahun. Itulah dunia yang ku tinggali, itulah takdir yang harus ku jalani, kuterima dan ku hadapi. Tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah semua ini, aku bukanlah seorang Exceed yang terlahir memiliki kemampuan super, aku hanyalah seorang Seed atau dengan kata lain tanpa kekuatan. kehidupanku hanyalah seperti kerikil kecil ditepi jalan raya. Ada atau tidak adanya diriku, berjuang ataupun berdiam dirinya diriku takkan membawa perubahan apa pun pada dunia.
Namun, walau begitu aku masih ingin terus hidup. Ada hal yang ingin ku raih, ada hal yang ingin ku gapai, ada hal yang ingin ku lindungi, sebuah kenyamanan yang muncul diantara kita yang terus tumbuh. 10 Tahun tak terasa sudah berlalu dan akhirnya aku menemukan jawabannya dari perasaanku...
"Aku mencintaimu, Artia."
|Peringatan|
|Novel ini tidak diperuntukkan pembaca dibawah 17 tahun dan yang mudah mengalami gangguan, seluruh kisah ini hanyalah fiksi tidak boleh meniru atau membawanya ke dunia nyata. Cukup nikmati dan ambil hikmahnya saja (jika ada), sekali lagi ini bukan novel untuk dibawah umur kalian udah gede semua tindakan kalian silahkan ditanggung sendiri jangan coba niruin adegan kayak di film atau novel dan berakhir konyol truss nyalahin penciptanya, sekali lagi jangan konyol. Sekian Terima kasih.|
------------------------------------------
25 Desember, 2021
“Mari kita akhiri hubungan pertemanan ini……”
Jika dipikir-pikir itulah awal dari semuanya,
Apakah ini salahku? Sudah pasti ini adalah salahku.
“Seandainya saja, aku tak pernah mengatakannya.” Sebuah suara kecil dibungkus penyesalan terucap dari mulut seorang pemuda yang tengah menatap bintang dengan tatapan kosong.
.
.
.
.
Kenapa...... ini bisa terjadi.......?
.
.
.
Berjalan menuju tempat perjanjian kita berdua, hari ini akan jadi hari dimana kau akan menjadi milikku seorang, begitu pula dengan diriku yang akan menjadi milikmu seorang, untuk sekarang dan juga selamanya. Mengikat janji dan cinta di hari natal, biarkan langit menjadi saksi, biarkan jejak kaki di atas salju menjadi bukti, biarkan syal ini menjadi penyambung hati, biarkan lampu hias di setiap sisi kota menjadi penerang jalan kita berdua untuk memulai semuanya bersama, kedua cincin yang kusiapkan akan menjadi perubahan dari kau dan aku menjadi ‘kita’ .
Melawan arus kerumunan orang dan melewatinya, Melihat penjual permen kapas disebelahku, tanpa kusadari aku sudah tersenyum, sebuah stan penjual permen kapas yang biasa saja, setidaknya itu yang di rasakan orang lain, namun tidak dengan diriku, sebuah kait kecil membuatku menangkap memori tentangnya.
“Benar juga, dia tidak akan peduli dengan apapun jika itu tidak ada permen kapas……….”
Kulanjutkan perjalananku setelah membawa satu untuknya,
“……..Seperti anak kecil saja dia itu.” Gumam kecilku sambil tersenyum kecil.
Melihat Stan penjual kembang api,
“Dia selalu mengagetkanku dan menggangguku dengan benda ini, tak ada hari-hari damai tanpa serangan jantung darinya, waktu itu aku selalu merasa kalau dia menyebalkan, namun sekarang aku justru merindukannya….”
Ku lanjutkan langkah kakiku setelah membeli beberapa kembang api untuknya.
“……..Seperti anak kecil saja.” Gumam kecilku sambil membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya ketika aku memberikan semua ini kepadanya saat aku bertemu dengannya, semakin ku bayangkan semakin besar rasa tak sabarku untuk bertemu kembali dengannya lagi.
Lagi-lagi langkahku terhenti namun kali ini kulihat sebuah toko kue, perhatianku tertuju penuh pada kue ulang tahun coklat yang di pajang di etalase toko.
“Jika dipikir-pikir aku belum berterima kasih atas kue darinya ya, seingatku dia membuatnya sendiri dan memberikannya padaku satu hari sebelum hari ulang tahunku, ya? *Tersenyum kecil* aku juga heran gimana caranya dia membuat Roti coklat menjadi asin gitu.”
Ku palingkan wajah melanjutkan perjalananku dengan telanjang kaki itu,
“Bener-bener deh, kau adalah gadis paling kekanak-kanakan yang pernah ku kenal....... tapi.............. tiada henti membuatku terkejut dan tak pernah ada bosannya ketika bersamamu, aku bersyukur sudah bertemu denganmu.”
Semua orang menuju tempat dimana kembang api dan pohon natal menyala bersama pasangannya masing-masing. Sedangkan aku berjalan kearah sebaliknya ketika orang-orang melihatku mereka langsung membuat jarak, walau aku tak bisa melihatnya dengan jelas namun aku tau, tercipta berbagai reaksi dari wajah mereka, takut, kaget, jijik dan bahkan tak sedikit dari mereka yang berpura-pura tak melihatku, beberapa reaksi yang pernah kulihat sebelumnya dari para penjual stan yang ku datangi. Tanpa mempedulikan semua itu aku berjalan menuju tempat yang kutuju, jauh dari keramaian, jauh dari cahaya, jauh dari kehangatan, duduk di sebuah bangku taman dingin seorang diri menatap tanah dengan tatapan kosong.
“Aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa…..” suara penuh penyesalan terbungkus udara yang semakin dingin.
Ku letakkan permen kapas yang sudah mulai mengecil itu disampingku bersama dengan kembang api.
Di tengah-tengah keramaian namun tak ada sekecilpun suara yang sampai ke telingaku,
Di tengah-tengah kemeriahan lampu hias, tak ada warna ataupun cahaya yang bersinar dimataku.
Di dunia tanpa suara dan warna ini, di temani syal merah yang menggelantung dileherku membuatku semakin mengingatnya.
Kenapa…….
Kenapa………….
Kugenggam erat syal merah itu mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa kehangatan yang tertinggal untuk mengingatnya. Di dalam kegelapan sebuah salju mulai berjatuhan untuk pertama kali,
Jam menunjukkan pukul 9 malam, tengah kota menjadi semakin ramai di isi oleh para pasangan yang sedang bermesraan
10 malam, Kembang api mulai diluncurkan dan menghiasi malam natal bersama para bintang.
Di dalam dunia abu-abu ini aku seorang diri membeku dalam penyesalan yang tak pernah bisa kubayar.
12 malam, kerumunan sudah mulai berkurang dan tempat mulai sepi. Semua orang kembali ke rumahnya masing-masing dan juga menikmati pesta kecil mereka.
Di dalam kegelapan, duduk sendirian memandang langit dan juga salju yang turun melewatiku begitu saja, dingin itu menusuk kulit-kulitku namun tak sesakit kenyataan yang sudah lama kusadari ini.
“Aku tau, tak peduli seberapa lama aku menunggu dia takkan datang.”
Ku peluk dengan erat syal merah yang sudah tak tersisa lagi kehangatanmu disana dengan berlinang air mata.
Maafkan aku, Tia……..
10 hari yang lalu,
15 Desember 2021 pukul 6 pagi,
Mengulang hari yang sama dan juga pagi yang sama, sarapan bersama Papa, kakak dan juga pacarnya di meja yang sama, aku duduk menghadap kedua orang yang sedang kasmaran dengan ayah di ujung meja menengahi kami.
Keberadaan kak Paula dirumah ini bukanlah hal yang mengejutkan, ia memang sering main kemari dan menginap disini dan tentu saja Kak Paula tidak sekamar dengan Kak Rendi, Kak Paula tidur di kamar kosong yang sudah hampir seperti kamarnya sendiri karena terlalu sering bermalam disana. Kadang-kadang juga sebaliknya, kakak yang menginap di rumah Kak Paula. Kedua belah pihak keluarga juga tidak mempermasalahkan hal itu malahan memberikan ijin dengan batasan serta pengawasan.
Semua menikmati hidangan dengan damai seperti biasa, dihadapanku ada Kak Paula yang menyikut-nyikut Kak Rendi sambil menunjuk Papa dengan kedua matanya. Dengan PDnya Kak Rendi mengangguk ke arah Kak Paula dan mulai berbicara.
Disisi lain aku tanpa henti menatap Kak Paula sambil menikmati sarapan dan saat mata kami bertemu ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan seakan tak ada apa-apa namun di dalam hatiku tetap merasa curiga dan merapatkan kedua mataku kearahnya.
Kak Rendi :”Ngomong-ngomong cuara hari ini cerah ya, Pa?”
Ayah :”Aku benci cerah.” Jawab pendek nan dingin darinya sambil terus menikmati sarapannya tanpa membalas tatapan Kak Rendi,
Kak Rendi :”Paula Hamil, Rencananya minggu depan kita nikah.”
Kak Paula menyela :”RENDI!”
Kak Rendi menjawab dengan bingung :”Apa? Kan aku udah basa-basi dulu seperti yang kamu bilang?”
Kak Paula menyandarkan kepalanya di meja dengan lemas,
Yap, itulah Kak Rendi pewaris rumah sakit milik Papa dan pacar- maksudnya calon istrinya.
Bisnis rumah sakit adalah bisnis yang bagus dan terjamin, namun itu tidaklah benar. Di dunia yang memiliki kemampuan super seperti ini ada beberapa orang yang terlahir dengan kemampuan penyembuhan dan membuat dokter tak lagi diperlukan, semua penyakit, luka dan virus langsung hilang hanya dalam beberapa detik. Tapi itu berlaku jika ia mau menyembuhkan semua orang.
Kami hidup di sebuah kerajaan yang membagi wilayahnya menjadi 2, Wilayah para Exceed dan juga para Seed, mereka yang lahir memiliki kekuatan akan langsung di angkat menjadi bangsawan dan dipindahkan wilayah Exceed dengan kehidupan yang layak, sedangkan kami para Seed sama sekali tak pernah di pandang, oleh karena itu bisnis rumah sakit hanya diraih oleh kaum Seed saja.
Kembali ke meja makan,
Papa terhenti tak bergerak dengan posisi menyendok makanannya, seperti waktu telah terhenti Papa sama sekali tak berkedip, tak bergerak dan tak bersuara ataupun merespon. Dilain sisi Kak Rendi dengan lega melanjutkan makannya, Kak Paula kepalanya tergeletak lemas dimeja, sedangkan aku......
Tak peduli sama sekali. Seusai kecurigaanku terjawab semua sudah selesai,
Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 6 : 30 pagi, ku tinggalkan meja awkward itu untuk bersiap berangkat namun di hentikan oleh Kak Paula sebelum ku buka pintu depan.
“Ada apa, kak?” tanyaku
Kak Paula menyerahkan sebuah kotak berwarna hitam kepadaku,
“Apa ini?” Tanyaku lagi
“Sudah, buka aja.” Jawab Kak Paula sambil senyum-senyum sendiri.
Dengan rasa curiga serta persiapan tinggi aku sudah bisa menebak kemana semua ini akan menuju.
Dia adalah pacarnya Kak Rendi, Kalau ada hubungannya dengan Kak Rendi pasti isinya cuma candaannya, kali ini apa? Laba-laba mainan? Semprotan cat? Bom air? Apapun itu aku sudah siap!
Ku hela nafas panjang dan membuka kotak itu perlahan dengan kedua mata tertutup sambil mengangkatnya ke udara sampai akhirnya kotak itu terbuka lebar.
Loh kok g adaledakan ataupun suara aneh?
Kubuka mataku dan melihat sebuah dua buah cincin sepasang, tak mungkin aku tak mengenali cincin ini, ini adalah cincin Kak Rendi dan juga Kak Paula yang selalu mereka pakai tapi.....
“Kenapa?” ku tatap wajah Kak Paula
“Kakak berikan padamu dengan satu syarat.” Wajah kak Paula mendekat sambil mengeluarkan satu jari telunjuknya,
“Enggk-Enggk, aku cuma nanya kenapa malah dikasih ke aku?”
“Syaratnya, pas pernikahan kami minggu depan, kamu bawa gadis waktu itu yang bersamamu dan kenalkan dia kepada kami sekali lagi dan kali ini bukan sebagai teman, melainkan pacar.”
“Hah?!”
“Kami tau kok kalau kamu punya rasa dengan gadis itu, keliatan jelas bgt diwajahmu. kakak juga tau kamu selalu berangkat sekolah pagi-pagi banget biar bisa ketemu gadis itu agar punya waktu luang lebih banyak.”
“HAH?! DA-DA-DARI MANA KAKAK TAU?!”
“Loh? Benar toh tebakanku?*EHEM*” Wajah kaget Kak Paula langsung berubah santai bersamaan batuk palsunya\,
“Udh gak usah ngeles lagi, wajahmu memerah loh. Tenang aja Rendi juga setuju kok, hanya ini dukungan yang bisa kami lakukan untukmu, semangat, Dion!”
Sebelum ku buka pintu rumah langkahku dihentikan oleh suara Kak Rendi yang tiba-tiba muncul,
“Hey!”
Saat berbalik melihatnya kulihat Kak Rendi mengepalkan tangannya dan mengarahkannya padaku, seperti biasa, dengan senyuman lebar ku balas salam itu, mengepalkan tanganku dan menyatukannya dengan kakak seperti tos. Kak Rendi pun ikut tersenyum.
“Selamat jalan, Wahai adikku! Selamat berjuang!”
“Kakak juga.” Ku tinggalkan rumah dengan senyuman bahagia.
.
.
.
.
.
Termenung memandang keluar jendela, di balik kacamataku terlihat sebuah pohon rindang nan besar, angin lembut berhembus melewati jendela dan melewatiku tanpa maksud tertentu. Bunga-bunga bermekaran indah, rumput-rumput melambai pelan ke arahku, langit cerah menjadi simbol masa muda, terang, penuh harapan dan semangat. Sayangnya semua keindahan di sebrang kacamata itu tak sampai pada diriku,
Menghela nafas panjang,
10 hari lagi ya......
Sudah bertahun-tahun sejak kusadari perasaanku ini padanya dan selama itupun tak ada kemajuan diantara hubunganku dengannya. Dan sekarang malah 10 hari, gimana caranya?
*Klak*
Pintu kelas terbuka, jantung berdetak kencang akankah dia sudah tiba? Tanpa sadar aku sudah menunduk menyembunyikan wajahku. Terdengar suara langkah kaki pelannya berjalan mendekatiku.
Dia udah datang?! gawat! harus ngomong apaan nih?
Bergulad dengan pikiranku menyiapkan sebuah rencana kecil untuk mempertahankan waktu singkat ini selama mungkin yang kubisa. Selama terdiam berfokus bersama otakku tiba-tiba suara langkah kaki itu sudah melewatiku, jauh di dalam diriku aku tak ingin melewatkan waktu indah ini begitu saja dan saat kulihat tanganku sudah bergerak dengan sendirinya, memegang ujung lengan seragamnya dan menghentikan langkah kakinya..
Rencana?Topik? tidak terpikirkan sama sekali
Dengan hasil nihil ku nekatkan diri mengangkat wajah, menghadapinya tanpa persiapan lebih baik dari pada melewatkan kesempatan untuk berdua ini, karna jika tidak kulakukan ku rasa malam ini aku takkan bisa tidur karena di hantui rasa penyesalan.
Ku pikir jika aku tak melakukannya aku akan mendapatkan penyesalan, namun justru sebaliknya, tindakanku menghentikannya justru membuat ku menyesal. Jantung yang berdetak kencang seolah bermain-main dan kembali
tenang dengan tiba-tiba, begitu juga dengan semua ekspetasiku yang baru saja mati saat melihatnya.
Ku tatap pria yang tak asing itu dengan wajah kecewa penuh.
Vista :”Ngapa,coeg.”
Sebuah bogeman mentah meluncur tepat ke wajah pria itu tapi terhenti dan menariknya bersamaan dengan menghela nafas panjang sekali lagi.
Dion :”Gua lagi gabut, temeni gua main truth or dare.”
Vista :”Bentar-bentar tadi lu ngapa kok mo nonjok wajah gua?”
Ku putar kursi dan duduk menghadapnya,
Dion :”Siapa duluan nih?”
Vista :”Bodo ah gua mo ngerjain PR yang blom kelar aja.”
Ia pun duduk dan mulai membuka bukunya, setelah menatap kedua mataku nampaknya ia menyadari sesuatu.
Dion :”Ok, kalau gitu gua duluan ya.... Truth or dare?”
Vista :”Lu dengerin gua enggk sih- yodah, Truth.” Ia menutup buku tugasnya,
Dion :”Pernahkah lu selingkuh dari pacar lu?”
Vista :”Sorry, gua berubah pikiran, dare aja.”
Dion :”Hmm.....Dare ya, klo gitu gua tantang lo pergi keluar kelas dan tembak gadis pertama yang lu lihat.”
Vista :”Bro ? gua kan dh punya pacar.”
Dion :”Oh iya bener juga, sorry-sorry, klo gitu-“
Vista :”Ok, gua lakuin.”
Dion :”Hah?”
Vista keluar kelas dan menutup pintunya dari luar,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!