Layaknya pesta konglomerat pada umumnya, setiap penjuru ballroom sebuah hotel bintang lima didekorasi dengan begitu mewah dan megah. Hampir setiap meja dipenuhi oleh para tamu undangan dari kalangan atas karena malam ini adalah pesta pelantikan CEO baru.
Garalt Zain Michaelson resmi dinyatakan sebagai CEO baru di perusahaan sang Ayah. Lelaki tampan dengan setelan jas hitam itu terlihat gagah di antara kerumunan orang. Senyuman menawan yang ia berikan mampu menaklukkan ribuan wanita yang memandang. Namun hanya satu wanita yang saat ini berdiri di sisinya, yaitu Andrea Clarissa Demyan. Wanita yang Zain nikahi beberapa hari lalu karena perjodohan orang tuanya.
Wanita cantik dengan wajah khas Turki itu terus mengembangkan senyuman bahagia. Bahkan wanita itu begitu enggan melepaskan tangan suaminya. Lebih lagi banyak wanita yang melayangkan tatapan memuja pada sang suami.
"Selamat, Tuan muda Michaelson." Ucap salah seorang clien yang turut hadir.
"Terima kasih, Tuan Hans. Saya harap Anda menikmati pesta malam ini." Balas Zain tersenyum ramah.
"Tentu, malam ini sangat luar biasa."
Zain pun hanya mengangguk kecil.
"Sayang, aku lelah." Bisik Rea yang sebenarnya mulai jengah dengan tatapan para wanita genit pada suaminya.
"Jika kau lelah, pulang saja." Sahut Zain terkesan dingin. Rea berdecak sebal mendengarnya.
"Kau suami tidak bertanggung jawab." Ketus Rea mengembangkan senyuman saat para tamu menyapanya.
"Kau bisa meninggalkanku."
"Hanya wanita bodoh yang meninggalkan lelaki tampan dan kaya raya sepertimu."
Zain mendengus pelan. "Berhenti mengoceh."
"Tidak mau." Sahut Rea.
"Terserah." Zain pun kembali menyapa para tamu. Sedangkan Rea hanya mengekorinya seperti anak kucing.
"Zain." Sapa seorang wanita cantik dengan balutan dress merah, memperlihatkan tubuh seksinya yang mampu menggoyahkan iman para lelaki.
Rea memutar bola matanya malas saat melihat sosok wanita yang tak ingin dilihatnya.
"Sedang apa kau di sini?" Ketus Rea. Zain yang mendengar itu memelototi istrinya. Rea berdecih sebal.
"Apa kabarmu, Zain?" Tanya wanita itu dengan senyuman menawan.
"Baik. Bagaimana denganmu? Aku senang kau datang, kupikir kau sangat sibuk." Jawab Zain.
Wanita itu tersenyum lagi. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku tidak terlalu sibuk dalam beberapa hari ini, karena itu aku menyempatkan diri datang di acaramu ini."
Rea menggerakkan mulutnya seolah mengejek wanita itu. Zain melirik istrinya sekilas. Kemudian kembali memokuskan perhatian pada sang wanita.
"Zain, bisa kita bicara berdua? Ada yang ingin aku sampaikan padamu."
"Tidak." Sahut Rea dengan nada tegas.
"Bisa, kita bicara di balkon. Pergi temui Mommy, Re." Titah Zain. Rea yang mendengar itu langsung melotot. Kemudian menggeleng pelan.
"Re." Zain pun memperingati.
Rea terdiam sejenak. Kemudian bergegas pergi meninggalkan suaminya dengan perasaan kesal. Zain menghela napas melihat tingkah istrinya itu.
"Mari." Ajaknya pada si wanita. Kemudian mereka pun beranjak menuju balkon. Tanpa mereka sadari, Rea kembali dan mengikuti keduanya. Bersembunyi di dekat pintu, mengintip pergerakan mereka.
"Ada apa?" Tanya Zain menatap pemandangan kota di malam hari.
"Aku ingin kembali padamu, Zain."
Zain pun menoleh dengan alis terangkat sebelah. "Kembali?"
Wanita itu mengangguk. Zain tersenyum getir.
"Aku sudah menikah."
"Aku tahu kau tidak mencintainya. Kau terpaksa menikahinya karena desakkan orang tuamu. Aku masih mencintaimu, Zain."
Zain terdiam cukup lama. Rea yang mendengar itu mendadak sakit hati. Meski ia tahu tak ada cinta dalam pernikahan mereka, tetap saja itu menyakitkan. Ah, Zain lah yang tak mencintainya. Sedangkan dirinya sudah jatuh dalam perangkap lelaki itu sejak lama. Rea masih di posisinya. Ingin tahu apa jawaban sang suami.
"Kau yang memutuskan hubungan kita, Zee. Semuanya sudah berakhir." Ujar Zain untuk wanita bernama Zee Van Der Veken. Sang mantan kekasih yang berprofesi sebagai model internasional. Keduanya harus mengakhiri hubungan karena Zee lebih memilih karier ketimbang kekasihnya. Dan itu sudah berlalu sejak dua tahun lalu.
Zee meraih tangan Zain. Menggenggamnya begitu erat. "Aku menyesal, Zain. Aku pikir mudah melupakanmu, tapi nyatanya sampai detik ini aku tak bisa melupakanmu. Aku mencintaimu, Zain."
Zain menarik kembali tangannya. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Namun ia tak memberikan sebuah jawaban.
"Kau mau kan kembali padaku?" Tanya Zee penuh harap.
Rea m*r*m*s gaunnya karena takut mendengar jawaban menyakitkan dari Zain. Bagaimana jika lelaki itu menerima Zee lagi? Lalu bagaimana dengan nasibnya? Membayangkannya saja membuat hati Rea perih.
"Rea, sedang apa kau di sini?" Seru Elsha berhasil membuat Rea kaget dan langsung berbalik. Zain dan Zee yang mendengar itu pun berbalik.
"Mo__mom. Aku... aku sedang, ah... aku ingin ke toilet." Gugup Rea terlihat salah tingkah.
Zain pun melangkah pasti mendekati keduanya. Dan itu membuat jantung Rea berdegup kencang.
"Aku pergi dulu." Pamit Rea bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Elsha yang kebingungan.
"Zain, ada apa dengan istrimu?" Tanya Elsha pada putranya.
"Aku tidak tahu." Jawab Zain sekananya. Lalu mata Elsha pun tertuju pada Zee yang bardiri di belakang Zain. Kini ia tahu kenapa Rea bersikap aneh. Elsha langsung menatap Zain curiga.
"Selesaikan urusanmu, lalu susul istrimu. Mommy tidak mau terjadi sesuatu pada Rea." Pungkas Elsha menatap wanita itu tak suka. Kemudian beranjak pergi dari sana.
Zain menoleh ke arah Zee. "Kita bicara lain kali." Lelaki itu pun beranjak pergi meninggalkan Zee sendiri.
Zain terus menyusuri seluruh ruangan untuk mencari keberadaan istrinya. Ia juga sudah mencarinya ke toliet, tetapi wanita itu tidak ada di sana.
"Kau melihat Rea?" Tanya Zain pada salah satu temannya.
"Tidak."
Zain menggeram kesal. Wanita itu tak pernah membuatnya tenang sekali saja. Ia pun beranjak pergi dari sana.
Sedangkan di luar sana, Rea terus melangkah tanpa arah. Salah jika ada yang berpikir wanita itu menangis. Rea bukan wanita cengeng yang akan menangis hanya karena patah hati. Itu bukanlah dirinya.
"Cih, dasar brengsek. Dia yang setuju dengan perjodohan ini, lalu dia juga yang mempermainkanku? Sialan memang." Umpatnya.
Rea menghela napas panjang. Menggigit ujung bibirnya karena bingung harus pergi ke mana. Lima belas tahun ia tinggal di luar negeri, tentu saja ia lupa jalanan Ibu kota. Akhirnya ia pun memilih duduk di halte bus. Menatap lampu temaram jalan. Berharap seseorang menjemputnya.
"Huh, ternyata tak semudah yang aku pikirkan. Aku kira setelah menikah dia akan luluh padaku, ternyata sama saja. Dia masih tak peduli dan cuek seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Tidak berapa lama mobil mewah berwarna hitam berhenti di sana. Rea menatap mobil itu lamat-lamat. Tentu saja ia mengenal mobil itu. Ya, mobil itu milik suaminya.
Zain menurunkan kaca mobil. "Masuk." Titanya tanpa berniat menatap sang istri. Pandangannya lurus ke depan.
Rea terdiam sejenak. Setelah itu ia pun bangkit dan masuk ke dalam mobil. Namun kali ini ia tak banyak bicara dan memilih tidur karena tubuhnya terasa letih. Zain melirik istrinya heran, tidak biasanya wanita itu diam. Tak ingin banyak tahu, ia pun segera melajukan mobilnya menuju kediaman.
****
Zain menatap punggung sang istri karena Rea tidur membelakanginya. Ia merasa tak nyaman karena Rea terus mendiamkan dirinya sejak pesta itu.
"Re." Panggilnya.
Rea membuka matanya. Namun tak berniat menyahut. Ia masih kesal karena Zain tak kunjung bicara soal Zee. Ia ingin tahu soal hubungan keduanya.
"Kau masih marah?" Zain merapatkan tubuhnya dengan sang istri. Memeluk perut rata istrinya itu. Membuat sang empu mendadak kaku. Hampir seminggu mereka menikah, ini kali pertama Zain memeluknya.
Rea memebalikan tubuhnya. Menatap wajah tampan Zain lamat-lamat. "Kau masih mencintai Zee?" Tanyanya memastikan.
Zain tidak menjawab. Dan itu membuat Rea berpikir Zain masih mencintai mantan kekasihnya itu.
"Aku akan mundur jika kau ingin kembali dengan kekasihmu itu. Jangan memikirkan aku, aku baik-baik saja. Mungkin aku akan kembali ke Moscow. Hidup bahagia di sana." Ujar Rea menarik ujung bibirnya dengan susah payah. Hatinya teramat sakit saat mengatakan hal itu. Bohong jika ia tak berharap Zain memilih dirinya, hidup bersama Zain adalah impiannya selama ini.
Zain masih diam seolah enggan menanggapi ucapan istrinya.
"Aku tahu kau terpaksa menikahiku kan? Mommy terus mendesakmu sampai kau harus menerima perjodohan ini. Padahal kau bisa saja menolaknya, Kak. Aku tidak akan sakit hati. Aku sadar diri. Kembalilah padanya jika kau masih mencintainya." Rea menunduk lesu.
Zain menghela napas berat. Kemudian tangannya bergerak untuk menarik dagu istrinya. Menatap wajah cantik itu lamat-lamat. Zain akui istrinya itu memang sangat cantik. Mata bulat dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung dan bibir kemerahan yang terlihat begitu alami. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan kemolekannya? Sebagai lelaki normal, Zain sendiri tak bisa menahan untuk tidak menyentuhnya.
"Aku pikir kau sudah berubah, ternyata kau masih sama. Berisik dan menyebalkan." Ledek Zain yang kemudian meraih bibir istrinya. M*l*m*t bibir tipis sang istri dengan penuh perasaan. Rea sempat tersentak karena kaget. Ini adalah ciuman pertama untuknya. Ia terlihat kaku dan sama sekali tak bergerak.
"Balas ciuamanku, Re." Pinta Zain.
"Aku tidak tahu caranya."
Alis Zain terangkat sebelah. "Firts kiss?"
Rea pun mengangguk malu. Zain kaget mengetahui istrinya sama sekali belum tersentuh. Padahal wanita itu besar di negara bebas.
"Berapa kali kau mencium Zee?" Tanya Rea mendadak ingin tahu. Ia yakin Zain sudah sering melakukannya. Ah, membayangkannya saja sangat menyakitkan. Andai saja sejak awal di betada di posisi Zee, ia akan sangat bahagia dan tak akan pernah melepaskan lelaki itu. Namun Zee dan dirinya hal yang berbeda, Zayn begitu mencintai Zee. Sedangkan dirinya hanya sebagai pengganggu dalam kehidupan Zain. Tentu saja Rea sadar akan hal itu.
"Tak terhitung." Jawab Zain jujur.
"Hm." Rea terdiam sejenak. "Apa kalian juga pernah tidur?" Tanya Rea semakin penasaran. Meski sebenarnya pertanyaan itu sangat menyakitkan baginya.
Zain menggeleng. "Hanya sebatas ciuman, tidak lebih. Aku masih tahu batasan."
"Owh."
"Hanya itu?"
Rea menatap Zain bingung.
"Hanya itu yang ingin kau tanyakan?"
"Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku." Kata Rea menatap mata suaminya.
"Mungkin." Jawab Zain. Rea pun tersenyum kecut.
Zain terus memperhatikan wajah cantik istrinya. Merengkuh pinggang ramping sang istri dengan erat. Bohong jika dirinya tak tertarik dengan tubuh indah Rea, ia juga lelaki normal. Napas lelaki itu mulai berat karena menahan gairah.
"Aku menginginkanmu, Re." Rea terkejut mendengarnya. Ia bingung harus menjawab apa. Tentu saja Rea tahu maksud ucapan suaminya, ia sudah cukup dewasa. Dan tak mungkin menolak keinginan sang suami. Toh sudah kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya.
Rea mengusap rahang tegas Zain. Kemudian mengangguk pelan. Zain tersenyum tipis dan kembali meraih bibir istrinya, tetapi kali ini begitu menuntut. Tangannya ikut bergerak, menarik tali piyama yang Rea kenakan sampai terlepas dari tubuh indahnya. Lalu keduanya pun terhanyut dalam gelombang kenikmatan.
Pagi ini Rea terlihat lebih cerah, ia terus bersenandung sambil menyiapkan sarapan pagi untuk sang suami. Sesekali ia tersenyum saat mengingat betapa panasnya malam tadi. Ia berharap ini adalah awal kebahagian dalam rumah tangga mereka. Dan Zain akan belajar mencintainya. Rea akan menantikan itu.
Rea meletakkan dua piring nasi goreng omelet dia atas meja. Kemudian menuang air putih ke dalam gelas sambil menunggu suaminya datang. Sejak hari pertama menikah, Zain memang langsung memboyong Rea ke rumah baru. Hanya ada mereka berdua di sini karena Zain belum sempat mencari asisten rumah tangga. Tak kunjung muncul, Rea pun berniat untuk melihat suaminya di kamar. Namun ia berpapasan dengan sang suami tepat di tangga.
"Pagi, Kak." Sapa Rea saat melihat Zayn menuruni anak tangga. Namun lelaki itu tak menjawabnya karena sedang menerima panggilan dari seseorang dengan wajah cemas.
"Kak...." Zain memberikan isyarat pada Rea agar tidak bicara. Rea pun terdiam.
"Aku akan ke sana sekarang. Jangan banyak bergerak. Aku akan menjemputmu." Zain pun menutup panggilan. Kemudian menatap istrinya.
"Zee jatuh dari tangga, aku harus menolongnya. Pagi ini kau sarapan sendiri tidak apa kan?"
Rea terpaku di tempatnya. Kemudian mengangguk pelan.
"Baiklah, aku pergi." Zain memberikan kecupan di kening Rea sebelum pergi. Sedangkan Rea masih terpaku di tempatnya. Kemudian tersenyum getir.
Sejak awal kau memang tidak pernah ada dalam hatinya, Rea. Ayolah, apa yang kau harapkan lagi?
Rea memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Setelah dirasa tenang, ia memutuskan untuk sarapan karena cacing di perutnya sudah berdemo sejak tadi.
Sudah hampir pagi, Zain tak juga kunjung pulang. Sepertinya Rea harus menelan rasa kecewa lagi. Ia tak perlu bertanya karena sudah tahu jawabannya. Saat ini Zain sedang menemani mantan kekasihnya yang cedera di rumah sakit. Ya, Zain memang mengabari Rea sebelumnya. Hanya saja lelaki itu mengatakan akan pulang. Namun sampai detik ini batang hidungnya tak kunjung terlihat.
Rea tertawa getir. Ia menertawakan dirinya sendiri karena sudah berharap terlalu besar. Padahal dirinya sudah tahu jika itu tak mungkin terjadi.
Kau pikir kau siapa huh? Sejak awal dia tak pernah menganggapmu ada. Apa lagi yang kau harapkan Rea? Apa karena malam kemarin? Ayolah, semua lelaki pasti akan tergiur dengan makanan lezat di depan matanya. Kau terlalu bodoh. Suara itu terus terngiang di teligan Rea. Membuat perasaannya berkecamuk. Rea pun berteriak frustasi.
"Kenapa kau melakukan ini, Kak? Kenapa tidak terus terang saja kau masih ingin kembali padanya." Lirih Rea. Hatinya sangat sakit saat ini.
Cukup lama ia duduk di sofa, merenungkan semuanya dalam diam. Setelah puas termenung, ia pun bangkit dan melangkah pasti menuju lemari. Mengambil koper dan memasukkan semua pakaiannya ke dalam sana. Mungkin pergi adalah pilihan terbaik. Rea yakin Zain juga tak menginginkannya. Pernikahan ini sudah jelas karena keterpaksaan.
Tekad Rea sudah bulat, ia akan meninggalkan suaminya. Wanita itu kini sudah berdiri di perataran rumah yang baru ditempatinya seminggu yang lalu. Namun rasanya begitu berat meninggalkan tempat itu.
"Kau tidak boleh lemah, Rea." Rea menghela napas berat "Maafkan aku, Kak. Selama ini aku selalu mengacaukan hidupmu. Mulai detik ini aku tak akan mengganggumu lagi. Semoga kau selalu bahagia, meski itu bukan bersamaku."
Rea pun pergi meninggalkan rumah itu meski langkahnya terasa berat. Namun ia harus melakukan itu untuk kebahagian suaminya. Berat memang, tetapi ia tak mau lagi menjadi beban hidup Zain.
Di sebuah gedung bandara Ibu Kota terlihat seorang gadis cantik berbalut pakain kasual sedikit berlari menghampiri sepasang suami istri yang sengaja menunggunya sejak tadi. Mereka tak lain adalah kedua orang tuanya.
Andrea Clarissa Demyan, gadis berusia 23 tahun. Si memiliki paras yang cantik dengan mata bulat, alis tebal, hidung mancung dan bibir tipis yang merona tanpa polesan apa pun. Juga memiliki bentuk tubuh yang indah layaknya model kelas atas.
Gadis yang kerap di sapa Rea itu memang selalu berpenampilan sederhana, bahkan ia kerap mengabaikan penampilannya meski profesinya sebagai seorang model. Namun itu sama sekali tak memudarkan aura kecantikan dalam dirinya. Selain itu, Rea juga gadis yang manja, cerewet dan memiliki tekad yang kuat. Tidak heran jika dirinya berhasil meraih beberapa penghargaan di dunia modeling. Bahkan wajahnya kerap tampil di setiap majalah fashion.
"Mami, Papi. I miss you so much." Pekik si gadis itu seraya memeluk keduanya secara bergantian. Lima belas tahun lamanya Rea menghabiskan masa di negara asal sang Ayah, yaitu Rusia. Kini ia kembali dan memutuskan untuk menetap di tanah kelahiran.
"Mami juga kangen banget sama kamu, Re." Balas Rena sang Mami. Wanita paruh baya itu terlihat masih cantik meski usianya hampir setengah abad. Tidak heran putrinya secantik bidadari.
"Sudahlah, kangen-kangenannya lanjut di rumah aja. Rea pasti capek. Sebaiknya kita langsung pulang." Ajak Adrian sang Papi yang tak kalah tampan.
Rea pun mengangguk antusias. Kemudian mereka pun bergegas pergi dari sana dengan segudang kebahagiaan.
"Mam, aku kangen banget sama Tante Elsha. Undang mereka buat makan-makan dong di rumah." Ujar Rea terlihat antusias. Rena yang melihat itu tersenyum geli.
"Kangen sama Tante atau anaknya?" Ledek Adrian yang berhasil membuat Rea merona.
"Dua-duanya sih, tapi mana mungkin Kak Zain ingat sama aku."
Kedua orang tuanya tersenyum mendengar itu. "Re, sebenarnya Tante Elsha memang undang kita buat datang kerumahnya. Katanya sih ada acara syukuran kecil-kecilan, kan Zain baru lulus magister." Ujar Rena yang membangunkan jiwa semangat dalam diri gadis cantik itu.
"Oh ya? Kapan?" Seru Rea antusias.
"Malam ini."
"Beneran? Ya ampun, aku penasaran gimana wajah pria dingin itu? Susah banget buat dapet wajah dia, satu foto pun gak dapet." Keluh Rea benar-benar penasaran dengan sosok cinta pertamanya itu.
"Kenapa gak minta sama Tante Elsha aja, Re?" Tanya Rena merasa heran pada putri semata wayangnya itu.
"Rea malu, Mam."
"Papi pikir kamu gak punya malu." Ledek Adrian melirik putrinya dari balik cermin. Kemudian tersenyum geli.
"Papi pikir Rea ini patung apa sampe gak punya malu segala?" Kesal Rea dengan bibir mengerucut. Dan itu mengundang tawa kedua orang tuanya.
"Btw, Kak Zain udah punya pacar belum?" Tanya Rea semakin tertarik untuk membahas sosok cinta pertamannya lebih lanjut.
"Dulu ada, sekarang sih katanya udah enggak lagi. Ceweknya milih jadi model dari pada nikah sama Zain. Bukan jodoh kali." Jawab Rena apa adanya.
Rea terdiam sejenak. "Model? Siapa?"
"Mami yakin kamu kenal, dia udah jadi model papan atas sekarang. Tapi Mami lupa namanya. Tar kamu tanya aja lebih lanjut sama Tante Elsha."
Rea pun manggut-manggut. Dan tiba-tiba ide konyolnya pun muncul. "Mi, Pi."
"Hm." Sahut keduanya kompak.
"Mau dong dijodohin sama Kak Zain. Kan Papi sendiri yang bilang, bakal jodohin kita kalau udah besar. Masih berlaku kan?"
Rena menoleh ke belakang. "Kamu yakin? Gimana kalau Zain masih nolak kamu huh? Mami gak mau kamu maksa kehendak, itu gak baik. Mami mau anak Mami bahagia dan memiliki masa depan yang cerah."
Rea menghela napas berat. "Iya, sih. Tapi aku masih cinta banget sama dia, Mam. Entahlah, susah rasanya buat lupain dia."
Rena dan Adrian terdiam cukup lama. "Nanti Papi cobak bicarakan ini dengan Jackson. Tidak buruk juga punya menantu pinter dan tampan seperti Zain."
"Okay. Tapi aku gak mau ada unsur pemaksaan. Aku akan terima apa pun jawaban dia. Dia punya kebebasan buat memilih."
Rena tersenyum mendengar itu. Kini Rea jauh lebih dewasa dari sebelumnya. "Mami senang kamu berpikir dewasa."
"Yakin gak nangis kalau Zain nolak kamu?" Tanya Adrian meyakinkan.
"Enggaklah, Pi. Aku gak bisa maksa seseorang buat cinta sama aku. Kecuali kami berjodoh." Jawab Rea begitu yakin.
"Lagian bodoh kalau Zain nolak putri catik Papi. Kamu itu lebih cantik dari bidadari."
"Pi... jangan goda aku terus dong." Rengek Rea mengerucutkan bibirnya. Rena dan Adrian pun tertawa renyah melihat tingkah lucu putrinya.
****
Malam hari, Elsha terlihat begitu antusias saat menyambut kehadiran tamu spesial. Di tatapnya gadis cantik yang saat ini berdiri di hadapannya. Wajah yang dulunya polos kini telah berubah menjadi paras yang begitu elok. Gaun selutut yang begitu pas ditubuh ramping gadis itu benar-benar membuat penampilannya jauh dari kata jelek. Perfect, satu kata untuknya si gadis yang tak lain adalah Rea.
"Apa kabar Tante?" Sapa Rea mengembangkan senyuman menawan. Kemudian memberikan pelukan singkat pada wanita paruh baya itu.
"Baik. Kamu apa kabar, Sayang? Cantik banget malam ini." Puji Elsha seraya mengusap pipi Rea. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum.
"Baik, Tan. Aku kangen banget sama Tante."
"Tante juga, ayok masuk. Ren, Ad, ayok masuk. Eason dan Zain sudah menunggu di ruang makan." Ajak Elsha merengkuh tangan Rea. Seketika jantung Rea berdegup kencang saat mendengar nama pangerannya di sebut. Ia gugup jika harus bersitatap dengan lelaki pujaan hatinya.
Mereka pun beranjak masuk. Rea semakin gugup saat matanya menangkap sosok lelaki bertubuh tegap tengah berdiri membelakangi mereka. Sepertinya lelaki itu sedang melakukan panggilan.
Mata bulat Rea pun terlaih pada lelaki yang tak kalah tampan, Jackson Michaelson. Seorang pengusaha sukses yang banyak disegani banyak orang. Lelaki itu pun bangkit dari posisinya saat menyadari kehadiran tamu spesial mereka.
"Halo, Om." Sapa Rea dengan ramah.
"Apa kabar? Kau terlihat sangat cantik dan jauh lebih dewasa dari sebelumnya." Jackson menatap Rea lekat.
"Baik, Om. Tentu saja aku cantik, aku lahir dari wanita cantik dan hebat sepertinya." Jawab Rea melirik sang Mami yang berhasil mengundang tawa semua orang.
Zain yang sudah selesai menelepon pun berbalik. Dan diwaktu bersamaan Rea menatapnya. Sontak pandangan mereka pun bertemu. Zain sempat kaget melihat gadis cantik itu. Ia hampir tak mengenalinya sama sekali.
"Zain, kau masih mengenalnya bukan?" Tanya Elsha tersenyum geli saat melihat tatapan Zain untuk Rea.
"Tentu, dia gadis centil itu kan?" Jawab Zain dengan entengnya. Dan itu berhasil membuat Rea tertawa.
"Ya ampun, jadi julukanku belum berubah ya? Padahal aku sudah tidak centil lagi." Ujarnya.
Zain pun duduk di posisinya semula. Namun pandangannya masih setia pada Rea.
"Duduk dong, Re." Titah Elsha karena Rea masih saja berdiri.
"Eh, iya, Tan." Dengan cepat Rea menarik kursi dan duduk di sana. Ia semakin gugup karena posisinya berhadapan dengan Zain. Namun ia berusaha untuk terlihat tenang dan elegan. Sangking gugupnya Rea sampai tak berani menatap lelaki di depannya.
"Sebaiknya kita langsung makan, sepertinya tamu kita sudah tidak sabar buat menikmati hidangan."
"Ah iya, mari kita makan." Ajak Elsha. Kemudian mereka pun memulai makan malam.
"Kamu sudah punya pacar, Re?" Tanya Elsha. Spontan semua mata pun tertuju pada Rea. Gadis itu tampak bingung. Namun sedetik kemudian ia pun menggeleng pelan.
"Wah, kebetulan Zain juga jomblo. Mungkin kalian bisa pacaran, atau langsung aja nikah."
Uhuk! Rea tersedak karena posisinya ia tengah minum. Rena yang berada di sebelahnya pun langsung memberikan tisu pada putrinya.
"Pelan-pelan dong, Re."
"Makasih, Mam." Rea melirik ke arah Zain. Dan lelaki itu terlihat serius makan. Seolah tak peduli dengan keadaan.
"Tan, mana mungkin Kak Zain jomblo sih? Dia kan tampan, kaya raya, siapa sih yang gak mau sama dia?" Aku aja mau, Tan. Sambung Rea dalam hati.
Elsha tertawa renyah mendengar pujian Rea untuk putranya. "Dia emang tampan, tapi sampe sekarang belum pernah bawa perempuan ke rumah."
"Gimana kalau perjodohan dulu kita lanjutkan?" Usul Adrian yang berhasil menarik perhatian Rea dan Zain.
"Aku setuju. Putrimu terlihat cocok untuk menjadi menantu keluarga Michaelson." Sahut Jackson yang berhasil membuat pipi Rea merona. Gadis itu pun menoleh ke arah Zain yang juga tengah menatapnya. Spontan Rea pun memalingkan wajah.
"Bagaimana Zain? Kamu sudah cocok menggantikan Daddy di kantor. Salah satu syaratnya adalah menikah. Daddy rasa Rea pasangan yang cocok. Dia cantik dan pintar."
Zain terdiam sejenak. Kemudian menatap Rea penuh arti.
"Nunggu apa lagi sih Zain? Mau nunggu cewek gak jelas itu sampai kapan? Dia aja ninggalin kamu hanya karena kariernya, cewek kayak gitu gak bisa dijadiin istri. Mommy lebih setuju kamu nikah sama Rea. Udah jelas dia cinta sama kamu."
Rea terkejut mendengar itu.
"Jika Daddy jadi kamu, Daddy lebih milih dicintai dari pada mencintai. Orang yang mencintai itu akan setia disisi kita. Daddy yakin Rea bisa menjadi pendamping setia kamu." Timpal Jackson.
"Sebaiknya tidak perlu memaksa anak-anak seperti ini. Mungkin Zain sudah punya pilihan sendiri." Sanggah Rena merasa tak nyaman dengan tatapan Zain untuk putrinya. Sedangkan Rea sama sekali tak berani memberikan tanggapan. Sesakali ia melirik Zain. Bohong jika dirinya tak mengharapkan sosok seperti Zain. Cinta pertama yang sulit ia lupakan.
"Biarkan aku memikirkannya lebih dulu." Akhirnya Zain mengeluarkan suara.
"Baiklah, katakan apa pun keputusanmu pada kami. Kami tidak memaksamu."
"Tapi aku berharap Rea menjadi menantuku. Aku menyukainya sejak kecil." Ujar Elsha menatap Zain penuh harap.
"Tan, jangan memaksanya. Aku tahu hati tak bisa dipaksakan. Mungkin Kak Zain memang sudah punya pujaan hati sendiri." Sanggah Rea dengan senyuman tulusnya.
Elsha menghela napas panjang. "Baiklah." Suasana pun kembali tenang. Hanya terdengar suara dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring memecahkan keheningan.
Sejak malam itu, Rea semakin penasaran dengan sosok wanita masa lalu Zain. Ia terus mencari informasi lebih jelas. Dan malam ini ia menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Gadis cantik itu berbaring di atas sofa sambil menggulir ponselnya. Melihat beberapa foto wanita cantik yang merupakan mantan kekasih Zain. Yaitu Zee Van Der Veken.
"Huh, jadi dia mantan kekasihnya?" Gumam Rea yang sebenarnya pernah satu job dengan wanita itu. "Not bad. Seleranya bagus juga, tapi sayang karier mengalahkan cintanya. Kasihan sekali pangeran tampanku."
Rea mengembangkan senyuman saat layar ponselnya kini sudah berganti dengan gambar Zain. Rea memang sempat mencuri gambar Zain saat malam itu dan menyimpannya secara khusus di ponsel. "Ganteng banget sih? Gak kebayang bisa sekasur sama dia. Gimana rasanya ya dipeluk sama lelaki yang kita cintai? Pasti rasanya seperti melayang."
Rea mencium layar ponselnya sebelum berpindah ke kasur karena rasa kantuk mulai menyerang.
Di lain tempat, lebih tepatnya di rumah mewah milik keluarga Michaelson. Elsha mendatangi kamar putranya.
"Kamu belum tidur?" Tanya Elsha saat melihat putranya masih berdiri di dekat jendela. Zain pun menoleh, kemudian tersenyum tulus.
"Aku belum ngantuk, Mom."
Elsha mendekati Zain sambil tersenyum. "Masih memikirkan perkataan Mommy dan Daddy tadi huh?"
Zain menatap Elsha lekat tanpa mengeluarkan jawaban.
"Mommy tidak bisa memaksa kamu, Zain. Kamu bebas memilih, tapi tidak untuk wanita itu lagi. Rea satu-satunya gadis yang Mommy sukai. Tapi jika kamu punya pilihan lain, Mommy dan Daddy akan menghargainya."
Zain masih terdiam.
"Kamu tahu kan sejak kecil Rea suka sama kamu? Buat apa nunggu lagi huh? Cinta Rea itu tulus, coba saja tatap matanya. Di sana kamu akan melihat ketulusannya. Percaya sama Mommy, dicintai itu lebih indah dari pada mencintai seseorang yang belum tentu mencintai kita. Cobalah buka hati buat gadis itu, toh dia juga tidak kalah cantik dari wanita tidak tahu malu itu. Rea juga seorang model ternama."
"Aku tidak mencintainya, Mom."
"Cinta akan hadir seiring berjalannya waktu, percayalah. Dengan kalian terus bersama. Mommy yakin cinta itu akan hadir dengan sendirinya." Ujar Elsha. Zain pun tampak berpikir keras.
"Mommy tahu kamu masih berhubungan dengan wanita itu. Bahkan kamu mengirim mata-mata kan? Mommy dan Daddy tahu semuanya, Zain. Semuanya sudah jelas, wanita itu tak pernah memikirkan kamu." Timpal Elsha meyakinkan putranya.
"Mungkin dia sibuk." Sahut Zain sekenanya.
"Sesibuk apa pun dia, pasti akan menghubungimu jika kamu prioritasnya."
"Mom...."
"Pikirkan semuanya baik-baik, semua ada di tangan kamu, Zain. Pelantikan semakin dekat, posisimu akan tergeser jika masih memikirkan wanita itu. Istirahatlah, Mommy tahu kamu capek." Pungkas Elsha mencium kening putranya sebelum pergi. Sedangkan Zain masih bergeming, perkataan sang Mommy benar-benar mempengaruhinya.
****
Pagi hari, Rea terlihat melangkah malas menuju dapur karena air minum di kamar sudah habis. Gadis itu sudah terbiasa minum air setelah bangun tidur dan malam tadi ia lupa mengisi gelasnya. Beberapa kali Rea menguap sambil menuang air ke dalam gelas. Kemudian melangkah pasti menuju ruang makan dan duduk di sana. Meneguk air itu dengan malas. Matanya masih terlihat berat untuk terbuka. Bahkan rambut gadis itu masih acak-acakan.
"Mam." Panggilnya saat melihat suasana rumah sepi.
"Bik, Mami sama Papi kemana?" Teriaknya. Namun tidak ada sahutan. "Ck, kemana sih semua orang?"
Rea menjatuhkan kepalanya di atas meja makan. Dan kembali memejamkan mata. Sampai ia dikejutkan dengan suara dehaman. Sontak Rea pun terbangun dan melihat ke arah pemilik suara. Mata gadis itu melebar saat melihat Zain sudah berdiri di dekat pintu sambil menatapnya.
Lelaki itu menatap penampilan Rea yang jauh dari kata rapi meski gadis itu masih terlihat cantik dan menggemaskan dengan wajah kagetnya.
"Kak, nagapain disini?" Pekik Rea seraya bangkit dari posisinya.
"Cepat bersiap, aku akan membawaku ke satu tempat." Perintah Zain masih setia menatap lekuk tubuh Rea yang tercetak jelas karena gadis itu hanya mengenakan hotspant dan tenktop.
"Kemana?" Tanya Rea malas. Sebenarnya hari ini ia berencana untuk mengurung diri di kamar dan memanjakan diri. Namun Zain mengacaukan semuanya.
"Jangan banyak bertanya. Aku cuma punya waktu lima menit untuk menunggu." Zain pun melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Rea mendengus sebal, kemudian bergegas menuju kamarnya.
****
"Mau kemana sih?" Tanya Rea saat mereka sudah dalam perjalanan yang sama sekali tak Rea ketahui tujuan sebenarnya.
Zain melirik gadis itu sekilas.
"Butik." Jawab Zain terkesan datar.
"Buat apa ke butik?" Tanya Rea mulai curiga.
"Pikir saja sendiri."
Rea mendengus sebal. "Aku lapar, bisa kita makan dulu?"
Zain sama sekali tak menanggapi. Dan itu membuat Rea bingung.
"Lupakan saja." Kata Rea membuang wajah ke luar jendela. Sebenarrnya ia kesal karena diabaikan.
Rea sedikit terhenyak saat Zain membelokan mobilnya ke sebuah restoran berbintang. Dan seketika senyuman Rea pun mengembang karena lelaki itu tak banar-benar mengabaikannya.
"Aku tidak punya banyak waktu," Zain memperingati. Saat ini mereka sudah berada di dalam restoran dan duduk di meja paling pojok.
"Okay." Sahut Rea tersenyum lebar.
Tidak butuh lama makanan pun sampai. Rea makan begitu lahap karena dirinya memang sangat lapar. Zain yang melihat itu terperangah karena gadis cantik seperti Rea sama sekali tak jaim.
"Apa seperti itu caramu makan? Kau sangat rakus." Ledek Zain.
Rea yang mendengar itu malah tersenyum. "Aku memang seperti ini saat sedang lapar." Jawabnya dengan santai. Kemudian ia lanjut melahap makanan sampai habis. Setelah itu mereka pun melanjutkan perjalanan. Cukup lama mereka terdiam, dan itu membuat Rea merasa tak nyaman. Gadis itu pun menoleh.
"Kak, Mami bilang kamu bakal di lantik jadi COE baru. Kapan itu?" Tanya Rea seraya menatap Zain lekat. Lelaki itu pun melirik Rea sekilas.
"Dua minggu lagi." Jawab Zain dengan nada datar.
Rea pun manggut-manggut. Kemudian keduanya pun terdiam kembali. Sampai suara deringan ponsel Rea pun mengejutkan keduanya. Rea merogoh ponselnya dari dalam tas. Dan beberapa detik kemudian senyumannya mengembang. Dengan cepat ia menerima panggilan. Zain yang penasaran pun melirik Rea.
"Hai, Reg." Seru Rea terlihat begitu semangat. Regan Calsio, sahabat, fotografer, sekaligus pemilik agensi di mana Rea bekerja.
"Hai, Rea. Bagaimana di sana? Kau baik-baik saja kan? Kenapa tidak menghubungiku jika kau sudah sampai?"
Rea tertawa renyah sampai menarik perhatian Zain. "Maafkan aku, Reg. Aku lupa padamu, tapi aku baik-baik saja di sini. Kau merindukanku huh?"
"Ya, dua hari kau tidak ada rasanya seperti dua tahun. Kapan kau kembali huh?"
Lagi-lagi Rea tertawa. "Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana dengan pekerjaan? Apa tidak ada aku semuanya berjalan dengan lancar?"
"Tidak sepenuhnya mulus, kau model favorit customer. Cepat kembali, aku bisa rugi."
"Ck, sudah aku bilang sejak awal. Aku tidak akan kembali. Mungkin aku akan mencari jodoh di Indonesia. Aku juga sudah mencari beberapa agensi di sini. Tapi belum ada yang pas." Adu Rea dengan bibir mengerucut.
"Kau tidak ingin mencoba model dewasa? Aku punya satu teman di sana, aku akan merekomendasikan dirimu."
"Model dewasa?" Tanya Rea tampak berpikir keras.
Zain menoleh saat mendengar itu.
"Aku tidak mau, Mami akan membunuhku. Tapi tidak ada salahnya aku coba bukan? Tubuhku seksi dan...." perkataan Rea pun terpotong karena Zain merebut ponselnya. Kemudian memutus sambungan telepon.
"Hei, kembalikan ponselku." Pekik Rea hendak merebut ponsel miliknya. Namun Zain menjauhkannya.
"Duduk yang benar." Titah lelaki itu sambil memberikan tatapan tajam. Rea yang melihat itu langsung menurut.
"Ponselku." Lirih Rea menatap Zain sendu.
"Aku akan mengembalikannya setelah urusan kita selesai."
"Ck, memangnya buat apa sih kita ke butik? Seperti pasangan mau nikah saja pake ke butik." Kesal Rea. Zain sama sekali tak menanggapi, membuat Rea menyerah dan kembali diam. Merasa kesal, Rea menghidupkan musik sesuka hatinya. Gadis itu terus bersenandung sepanjang jalan untuk menghilangkan rasa bosan. Sedangkan Zain masih acuh tak acuh seperti biasanya.
Sesampainya dibutik, Zain membawa Rea masuk tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Membuat gadis itu jengah karena merasa jalan bersama patung.
"Yang ini bagus." Gurau Rea menyentuh salah satu wedding dress berwarna gading.
"Kau suka? Ambil saja."
"Eh, enggak usah. Aku bercanda tadi." Kaget Rea sambil cengengesan.
"Btw, di sini kan khusus wedding dress. Siapa yang mau nikah emangnya?"
"Kamu," jawab Zain datar yang kemudian menarik Rea masuk ke sebuah ruangan berukuran besar. Di sana sudah terdapat beberapa wedding dress mewah yang terpajang di manekin.
"Wow, ini luar biasa. Beruntung banget cewek yang bisa pakai gaun sebagus ini. Kau tahu tidak, Kak? Sejak kecil aku selalu menghayal bisa menikah dan memakai gaun mewah." Oceh Rea dengan senyuman mengembang di bibirnya.
"Hm." Sahut Zain sama sekali tak peduli dengan apa yang Rea omongkan.
Rea yang sudah faham sifat dingin lelaki itu tak merasa heran. Gadis itu terus berjalan karena gaun-gaun di sana lebih menarik dari pada lelaki di belakangnya.
"Kak, kau akan menikah?" Panik Rea berbalik saat mengingat tujuan mereka ke tempat ini.
Zain menatap Rea yang diiringi dengan anggukan. Seketika tubuh Rea pun melemas.
"Dengan siapa? Pasti wanita itu hebat kan? Beruntung sekali dia." Lirih Rea sama sekali tak menyembunyikan perasaan kecewanya.
"Dirimu." Jawab Zain singkat.
Ya, Zain memutuskan untuk menyetujui pejodohan itu karena semalaman penuh ia memikirkan semua perkataan sang Mommy. Mungkin benar, cinta akan hadir seiringnya waktu.
Rea tertawa renyah mendengar jawaban itu. "Kau bercanda, Kak? Menikah denganku?"
"Ya."
Seketika Rea menghentikan tawanya. "Serius?"
"Aku tidak pernah bercanda, Re."
Rea menelan air ludah karena kaget.
"Aku tidak punya banyak waktu, coba semua gaun ini. Setelah ini kita ke hotel."
"Hotel?"
"Ya, Mommy sudah menyewa hotel untuk acara kita."
"Wait! Kapan acaranya?"
"Minggu depan." Sahut Zain.
"What? Kau gila? Aku belum menyiapkan apa pun. Bagaimana dengan undangan? Ya Tuhan, apa ini pernikahan dadakan?" Panik Rea menjambak rambutnya sendiri.
"Mommy sudah mengaturnya."
Rea terdiam, tetapi sedetik kemudian bibirnya mengulas sebuah senyuman bahagia. "Aku akan mencoba semuanya." Gadis itu pun meminta bantuan para karyawan untuk membawakan semua gaun. Sedangkan Zain masih di posisinya. Menunggu gadis itu keluar.
Apa keputusanku ini benar? Menikahi Rea, itu artinya aku harus siap dengan sikap kekanakkannya. Pikir Zain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!