Pengenalan tokoh :
Pelangi Faranisa
Seorang gadis taat agama berusia 23tahun dengan pakaian serba tertutup. Karena baktinya kepada orang tua, ia rela dinikahkan dengan seorang pria yang bahkan belum pernah ditemuinya. Hal mengejutkan terjadi, ketika ia mendapati kenyataan bahwa suaminya ternyata pria brutal.
Awan Wisnu Dewanto
Seorang pria berusia 29 tahun yang bekerja sebagai arsitek. Pemabuk berat, suka hura-hura, pemberontak dan pembuat onar. Ia terpaksa menikahi gadis yang sama sekali bukan tipenya karena desakan sang ayah.
Ini adalah kisah tentang seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal dan buta agama.
Mampukah Pelangi mewarnai kehidupan Awan yang gelap?
...****...
Suasana sunyi menyambut Pelangi saat pertama kali memasuki rumah. Untuk sesaat waktu seakan berhenti berputar bagi gadis berusia 23 tahun itu. Ia berdiri mematung dengan pandangan berkeliling. Sungguh aneh, rumah mewah bak istana itu kosong bagai tak berpenghuni. Bahkan tak ada sahutan saat Pelangi mengucapkan salam beberapa menit lalu.
Seorang sopir yang mengantarnya pulang, masuk dengan membawa koper. Ia membungkukkan kepala tanda hormat.
“Saya simpan kopernya di sini ya, Mbak!” ucap pria kira-kira berusia 40 tahunan itu.
“Iya, terima kasih,” balas Pelangi dengan sopan.
Seharusnya ini menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Pelangi Faranisa. Ini adalah hari pernikahannya. Namun, satu kejadian mengejutkan telah merubah keberuntungan menjadi petaka. Pria yang pagi tadi telah menghalalkan dirinya itu menghilang tanpa jejak di puncak acara.
Alhasil, Pelangi harus menanggung malu dengan berdiri di pelaminan seorang diri.
"Pelangi, kakak harus balik ke hotel dulu sekalian cari Awan. Kamu istirahat saja, ya," ucap seorang kakak ipar yang tadi ikut mengantar pulang.
"Iya, Kak," jawabnya sambil mengangguk.
Pelangi mematung menatap sang kakak ipar yang terlihat cukup kesal dengan kejadian tadi. Pria itu naik ke mobil dengan membanting pintu kasar.
Astagfirullah
“Mbak Pelangi, ya?” Suara serak seorang wanita mengembalikan kesadaran Pelangi. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang wanita gemuk dengan daster rumahan tersenyum sopan.
“Iya, Bu.”
“Saya Minah. Biasanya orang di rumah ini panggil saya Bik Minah. Tadi bapak telepon, katanya Mbak Pelangi lagi di jalan pulang dan saya diminta menunggu.”
Pelangi terdiam. Otaknya berusaha menerka siapa yang dimaksud ‘bapak’ oleh wanita itu. Apa mungkin mertuanya? Pelangi sama sekali tidak tahu, karena segalanya terasa sangat asing baginya. Pernikahannya terjadi karena sebuah perjodohan. Bahkan, ia baru pertama kali bertemu dengan suaminya pagi tadi.
Bik Minah memandang dengan penuh kekaguman, seorang wanita berkerudung dengan gaun pengantin indah yang membalut tubuhnya. Sangat manis dan cantik.
“Mari saya antar ke kamar Den Awan. Kamar Den Awan ada di atas.” Dengan gerakan cepat, wanita itu sudah meraih koper berukuran sedang milik Pelangi. Kemudian berjalan menuju tangga. Pelangi mengikuti wanita itu dari belakang dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. Hingga langkah mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu.
“Ini kamar Den Awan.” Bik Minah meletakkan koper di hadapan pelangi. “Kalau Mbak Pelangi butuh sesuatu, saya ada di bawah.”
“Baik, Bik. Terima kasih.” Pelangi tersenyum ramah dan meraih gagang kopernya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan memutar gagang pintu.
Baru memasuki kamar itu, aroma laki-laki pun menyeruak. Pelangi kembali terpaku di tempat. Sebuah kamar berukuran luas dengan fasilitas mewah di dalamnya. Kakinya terlihat ragu untuk melangkah. Gaun pengantin menjuntai yang terasa membebani tubuhnya sejak beberapa jam lalu itu membuatnya tak leluasa bergerak.
Ia meletakkan koper di dekat tempat tidur. Dengan napas yang berat, pelangi menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang. Tak dapat dipungkiri kejadian hari ini membuat dadanya terasa sesak.
Ditinggal suami di pelaminan. Terdengar sangat menyedihkan.
Dalam hati bertanya-tanya, apa mungkin suaminya terpaksa menerima perjodohan mereka dan meninggalkan resepsi adalah sebuah bentuk penolakan?
“Kalau memang Mas Awan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa tidak menentang sejak awal?” lirih Pelangi dalam batin.
Ingatannya berputar ke masa beberapa bulan sebelumnya, ketika sang ayah memberitahu bahwa dirinya telah dipinang oleh sahabatnya untuk dijadikan menantu. Pelangi bukannya tidak mau menolak, tetapi bakti sebagai anak membuatnya tunduk. Sebagai seorang gadis yang berasal dari keluarga biasa, ia merasa tidak sepadan berada di tengah keluarga Dewanto yang dikenal sebagai keluarga terpandang.
Pelangi masih melamun ketika suara dengkuran keras menyadarkannya dari lamunan. Saat menoleh ke sumber suara, kelopak matanya melebar seketika.
Awan Wisnu Dewanto, pria tampan berusia 29 tahun yang menjadi suaminya itu sedang tertidur pulas di atas sofa, lengkap dengan jas dan sepatu.
Bukan hanya itu, sebuah botol minuman keras tergeletak begitu saja di lantai.
Astaghfirullah, apa dia habis minum?
.
.
.
.
.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ....
Hai teman-teman, selamat datang di karya baruku. Sebenarnya karya ini mau aku publis sejak tahun lalu, untuk menyambut ramadhan. Tapi karena ramadhan tahun lalu aku ada karya on Going, akhirnya karya ini baru jadi publis menjelang ramadhan tahun ini.
Semoga terhibur. 😚
Sebelum lanjut membaca, jangan lupa tekan favorit di bawah biar dapat notif kalau cerita ini update.
Jangan lupa juga follow akun penulis di aplikasi ini, agar dapat notifikasi jika ada karya terbaru.
Terima kasih. 🥰🥰
Selamat membaca dan semoga terhibur 🙏🙏
Cukup lama Pelangi terpaku setelah mendapati suaminya yang ternyata berada di kamar. Meninggalkan resepsi pernikahan dan sebuah botol minuman keras seolah sudah cukup bagi Pelangi untuk dijadikan kesimpulan tentang sang suami.
Setelah mengganti gaun pengantinnya dengan gamis, Pelangi mendekati suaminya, membukakan sepatu dan meletakkan di antara koleksi sepatu mahal yang berjejeran pada sebuah rak di sudut kamar.
“Astagfirullahaladzim.” Pelangi mengapit hidung dengan jari ketika aroma alkohol dari mulut suaminya menyeruak. Aroma tak sedap itu seketika membuatnya mual.
Ia mendudukkan tubuhnya di ujung sofa seraya menatap wajah suaminya. Benar kata orang, Awan memiliki wajah rupawan. Hidung mancung, alis tebal dan garis rahang yang tegas. Selain itu, setahunya sang suami adalah seorang arsitek yang bekerja di bawah naungan sebuah perusahaan ternama.
Suara Awan yang tegas dan lantang mengucapkan ijab kabul atas namanya telah berhasil menggetarkan hati Pelangi. Tetapi, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pria yang telah menghalalkan dirinya adalah seorang peminum berat.
Awan terbangun kala merasakan pijatan lembut di kakinya. Hampir saja ia terjauh dari sofa karena terkejut melihat seorang gadis asing yang duduk di ujung sofa dengan memangku kakinya.
“Lo siapa? Ngapain di kamar gue?” Suara berat bernada tak sopan itu menjadi sapaan pertama Awan kepada istrinya. Sejak bertemu, sama sekali belum ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Bahkan baru dipahami oleh Pelangi bahwa gestur suaminya adalah bentuk menjaga jarak, bukan karena pemalu seperti yang ia pikirkan sebelumnya.
Masih kesadaran yang belum kembali sepenuhnya akibat mabuk, Awan menyeringai. Bola matanya memerah pertanda dirinya masih di bawah pengaruh minuman. “Lo Pelangi, kan? Perempuan matre pilihan ayah.”
Hampir saja air mata Pelangi berurai mendengar ucapan sang suami. Perempuan matre? Tentu saja sepenuh hati Pelangi menolak julukan itu. Ia hanya berusaha menjadi anak berbakti dengan menerima perjodohan yang ditetapkan untuknya. Sama sekali tak pernah terpikir untuk menikah karena harta semata.
Awan bangkit dan berjalan dengan sempoyongan. Saat telah berada di ambang pintu kamar mandi, ia ambruk. Pelangi tak lantas diam, ia segera mendekati sang suami dan ingin membantunya berdiri.
“Jangan pegang-pegang!” Alih-alih berterima kasih, Awan malah mendorong Pelangi hingga terduduk di lantai.
“Kamu sedang dalam keadaan mabuk dan tidak bisa bangun. Jadi jangan keras kepala.” Ucapan Pelangi membuat Awan mendengus kasar. Pria itu akhirnya pasrah tubuhnya digotong dengan susah payah oleh tubuh mungil istrinya itu, menuju tempat tidur.
Pelangi membenarkan pakaian dan kerudungnya, sebelum beranjak keluar dari kamar. Ia akan ke dapur untuk mengambil air putih untuk suaminya.
.
.
.
“Semua ini salah Mas yang memaksa Awan menikah dengan orang yang dia tidak kenal. Lihat akibatnya sekarang, Awan pergi dari pernikahannya dan memilih mabuk-mabukan!” Suara teriakan itu mengejutkan Pelangi yang sedang menuruni tangga.
Ia menoleh ke arah sumber suara. Mertuanya baru saja tiba di rumah. Meskipun sadar menguping pembicaraan orang itu tak dibenarkan, namun Pelangi tak mengerti mengapa kakinya seolah tak dapat digerakkan. Ia terpaku di tempat.
“Kalau memang harus dijodohkan, kenapa harus dengan gadis seperti Pelangi? Apa dia layak dan sepadan dengan keluarga kita?”
Deg!
Rasanya tubuh Pelangi seperti akan ambruk saat itu juga bila tak berpegangan pada sebuah pilar kokoh. Ternyata kedua mertuanya sedang membicarakan dirinya.
“Memangnya Pelangi kenapa? Tentu saja dia sangat layak menjadi bagian dari keluarga kita. Justru Awan lah yang tidak layak untuk Pelangi. Akhlak anak kamu itu minus, dia pemabuk, pemberontak dan suka membuat onar!”
“Cukup, Mas!” potong wanita itu. “Awan menjadi seperti ini karena kamu tidak pernah merestui hubungan dia dengan Priska.”
“Sudah aku katakan berapa kali, Priska bukan gadis yang baik. Pelangi adalah jodoh yang tepat untuk Awan dan dia pasti bisa merubahnya menjadi lebih baik.”
Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Bahkan Pelangi dapat mendengar dengusannya yang frustrasi. “Sudahlah, Mas! Capek bahas ini terus. Semoga saja kamu tidak akan menyesal sudah menjodohkan Awan dan Pelangi.”
Tanpa permisi, wanita itu segera meninggalkan suaminya menuju ruang tengah. Langkah kakinya seketika terhenti menyadari Pelangi berdiri di dekat tangga dengan kepala tertunduk. Namun, bukannya merasa bersalah, mertuanya itu malah memilih beranjak begitu saja seolah benar-benar ingin menunjukkan kekecewaannya terhadap suaminya.
Ayah mertua pun tampak terkejut melihat menantu yang baru saja mereka bicarakan ternyata mendengar pembicaraan itu.
“Pelangi?”
****
“Pelangi, maafkan ayah sudah menyeret kamu ke dalam keluarga ini.”
Jemari Pelangi saling meremas dengan gemetar. Kepalanya tertunduk demi menahan kristal bening yang telah memenuhi bola matanya. Bukannya bahagia di malam pertama pernikahannya, malah kejutan tak menyenangkan yang ia dapatkan.
“Semua ini kesalahan kami sebagai orang tua. Sejak kecil Awan sudah terbiasa dimanjakan dengan kemewahan. Dia tidak dibekali dengan ilmu agama. Akibatnya, Awan jadi tidak terkendali. Dia pemaksa, pembangkang, pemberontak dan pemabuk berat. Dia suka kehidupan yang bebas.”
Jatuh sudah air mata Pelangi. Beberapa kali ia mengucap istighfar dalam hati. Bukannya seorang imam yang akan membimbingnya, malah suami seperti Awan yang ia dapatkan. Inikah jodoh yang ditakdirkan Sang Maha Pencipta untuknya?
“Tapi dengan semua kebobrokannya itu, Awan seseorang yang teguh dalam pendiriannya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia menolak bergabung di perusahaan ayah dan memilih bekerja di perusahaan lain.”
Pelangi mengusap ujung matanya yang basah. Pertanyaan masih membelenggu. Mengapakah Ayah Fery meminang dirinya. Bukankah ia memiliki banyak relasi bisnis dengan putri yang pasti sepadan dengan status sosial keluarganya? Siapalah Pelangi yang hanya berasal dari keluarga biasa.
“Kenapa ayah memilih saya untuk dijadikan istri Mas Awan?”
Pria paruh baya itu terdiam sejenak di tempat duduknya. Masih lekat dalam ingatannya pertama kali bertemu dengan Pelangi beberapa bulan lalu, saat mengunjungi rumah kawan lamanya. Melihat sikap dan perilaku sopan gadis itu membuatnya terpesona. Sangat berbeda dengan gaya glamor beberapa putri konglomerat pilihan istrinya, yang sempat akan dijodohkan dengan Awan.
Lamunan itu pun membuyar. Ayah Fery menatap menantunya yang kini terlihat sedih. Pria itu berusaha tersenyum walaupun terlihat kepahitan di sana.
“Sejak bertemu dengan kamu beberapa bulan lalu, ayah memutuskan untuk meminang kamu menjadi menantu di keluarga ini. Dengan sebuah harapan, bahwa kehadiran kamu akan menjadi oase di padang pasir. Bukan hanya dalam kehidupan Awan, tapi juga untuk keluarga ini.”
.
.
.
Pelangi merasakan lemas pada tungkai kakinya sepanjang menuju kamar. Bahkan nampan berisi poci porselen yang dibawanya terlihat bergetar. Untuk beberapa saat ia terpaku menatap pintu kamarnya. Di dalam sana ada sosok pria yang sedang dalam keadaan mabuk.
Pelangi mendesahkan napas panjang melihat tubuh kokoh suaminya tengkurap di atas ranjang. Rasa takut seketika merambat. Tiba-tiba teringat seorang tetangganya yang juga memiliki suami pemabuk. Beberapa kali ia mendapati tetangganya itu dipukuli suaminya saat dalam keadaan mabuk.
Ia kadang mendengar suara raungan memilukan.
“Bagaimana kalau dia hilang kendali dan memukuliku? Bukankah biasanya seorang pemabuk itu bertangan besi?” pikirnya dalam batin.
Ia meletakkan nampan di atas meja dan mendudukkan tubuhnya di sofa. Bibirnya terkatup rapat, dan matanya berkaca-kaca menatap suaminya.
“Bukankah dalam surat An-Nur ayat 26 menyebutkan bahwa perempuan keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji pula? Perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula?”
Dalam keadaan bimbang, ia beranjak menuju kamar mandi dan mensucikan dirinya.
"Allah memberikan salah satu ibadah yang dapat menjadi petunjuk saat umatnya sedang bimbang, yaitu shalat istikharah."
Pelangi membentangkan sajadah di antara ruang kosong menghadap kiblat.
Tanpa dapat dikendalikan, air mata menetes di setiap sujudnya.
.
.
.
Perasaan Pelangi menjadi lebih damai sekarang. Ia masih duduk bersimpuh di atas sajadah dengan tasbih di tangan kanannya.
Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya ditarik paksa dan terhempas di atas ranjang empuk. Kelopak matanya seketika melebar. Gerakan Awan yang cepat membuatnya tak memiliki waktu untuk bangkit. Detik itu juga, pria itu merangkak di atas tubuhnya.
Aroma parfum mahal dari tubuh kokoh itu bercampur dengan sisa bau alkohol yang menyeruak. Pelangi meringis kala Awan mencengkram lengannya kuat-kuat.
" Mas ke-napa?"
"Lo istri gue kan? Sekarang lakuin tugas lo sebagai istri!"
Napas Pelangi seperti tertahan. Dalam benaknya bertanya, inikah jodoh terbaik yang dipilihkan Tuhan untuknya? Bahkan tak ada kelembutan dalam sikap maupun tutur kata dari suaminya itu.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!