"Batu kertas gunting!"
Seorang gadis berponi dan berkepang dua menepuk jidatnya, setelah itu mendesis pada sang lawan.
"Lo curang, Bang Lio. Masa gue kalah, sih? Gak fair ini," dengkusnya kesal.
"Lah, terus lo maunya apa, Fio? Kebiasaan deh, kalo udah kalah mulai nyari celah," balas Lio yang bernama lengkap Filio Narensa Ardana pada sang adik kembar yang bernama Fiona Narensa Ardana. Keduanya bersitegang lewat tatapan mata sebelum akhirnya Fiona melancarkan aksi pamungkas. Dia apit perut sang abang sampai suara rintihan mengudara di jalanan yang ramai dilewati para pengendara.
"Lo apaan, sih Fio! Sakit tau!" dengkus Lio setelah menepis tangan sang adik. Lantas, mengusap-usap bagian yang baru saja dicubit itu.
"Habisnya elo nyebelin, sih, Bang. Pokoknya gua mau kita suit lagi," balas Fio makin sengit.
"Ya elah, udah kalah masih aja keras kepala. Ya udah deh, kita suit lagi. Yang kalah benar-benar harus jaga toko. Dan yang menang, boleh main PS seharian. Deal?"
"Oke deh, Deal!
Fio dan Lio saling tatap. Mata mereka seakan bisa mengeluarkan api. Dengan satu tarikan napas keduanya kembali menyerukan nada yang sama.
"Batu kertas gunting!"
"Argh! Sial banget sih! Sue!" umpat Fio. Dia mencak-mencak saking kesalnya hingga membuat Lio jadi gemas sendiri dan melayangkan toyoran di kepalanya itu.
"Ih, apaan sih, Bang?"
"Woi ingat. Lo itu perempuan! Gak pantes kek begitu di tempat umum," omel Lio. Dia yang sudah berkacak pinggang melihat jelas adiknya bersungut-sungut dingin bibir manyun. Adiknya itu membenarkan rambut.
"Apaan sih, Bang? Ini kan karena lo juga. Masa gue terus yang jaga toko. Capek, Bang. Gue mau jalan sama anak-anak."
"Ya kalo mau jalan, jalan aja sana! Gak ada yang larang juga. Tapi kalo sampe Tante Daisy ngamuk, lo yang tanggung jawab," balas Lio, setelah itu membalik badan meninggalkan adiknya yang masih saja menggerutu.
"Bang Lio, tungguin!"
"Bodo amat, punya kaki kan? Lo udah ketuaan buat di gendong Fio!"
"Tapi bareng, Bang!"
"Enggak mau, ngapain bareng adek durhaka kek lo," balas Lio lagi, dia melanjutkan langkah dan membuat Fio jadi semakin kesal.
"Bang, kalo lo ngelangkah satu kali lagi, gue gak akan kasih contekan PR bahasa Inggris!" ancam Fio dengan lantangnya. Jari telunjuknya bahkan terarah mantap ke punggung Lio yang terlampir ransel di sebelah pundak.
Melihat Lio tak bergerak senyum Fio pun merekah.
Asyik, gue kerjain lo Bang. Lo itu gak akan bisa menang dari gue. Gue Fio, dan Fio gak akan pernah kalah.
Lio yang sudah ketar-ketir karena panik dengan PR pun membalik badan. Nyalang dia menatap sang adik yang tersenyum jemawa sambil berkacak pinggang.
"Memangnya ada PR?" tanyanya. Sedetik kemudian matanya menyipit. "Lo gak lagi ngerjain gue 'kan Fio?"
"Ya enggaklah. Gue ngomong fakta, Bang. Lo aja yang gak inget. Awas loh kalo gak ngerjain lagi bisa-bisa Miss Jean lapor ke Tante Daisy. Nyahok nyahok dah lu."
Seketika itu juga alis Lio terangkat. Dia telan ludahnya yang terasa kelat, lantas menghampiri sang adik dengan berlari.
Namun, tiba-tiba dari arah depan datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Fokus Lio pun teralihkan, spontan dia menarik tubuh sang adik dan menjadikannya tameng. Alhasil, air yang tergenang mengenai pakaian sang adik, bahkan mukanya juga ikut terciprat.
"Bang Lio!" teriak Fio. Suaranya menggema di jalan yang memang lagi padat orang berlalu lalang.
"Bukan salah gue, Fio. Itu spontanitas menjaga diri," oceh Lio sembari menggaruk tengkuk.
"Lo keterlaluan, Bang!" geram Fio lagi. Tangannya terkepal kuat.
Melihat sang abang yang cuma nyengir. Emosi Fio pun makin menjadi. Dia balik badan dan melihat seorang remaja berseragam sama dengannya datang mendekat. Lelaki itu mengulurkan uang lima puluh ribu padanya.
"Sorry, gue gak sengaja. Ini biaya londri baju lo yang kotor."
***
Holla. Aku datang lagi. Terima kasih yang mau mampir. Jangan lupa follow Ig aku buat liat visual mereka ya. @Riharigawajix
Dan juga jangan pelit like di tiap babnya.
"Sorry, gue gak sengaja. Ini biaya londri baju lo yang kotor."
Fio yang geram tidak mampu berkata dan hanya bisa melihat punggung cowok berpostur tubuh kurus tinggi berwajah oriental itu menjauh. Tangannya juga tanpa sadar menerima uang tersebut.
"Fi, Fio lo kesambet?" tanya Lio.
Fio diam. Dia mengepal lembaran uang di tangan sembari mendengkus. Soal gejolak dalam dada jangan ditanya, menggelegak bak lahar panas. Lio saja bisa merasakan tatapan menusuk sang adik.
"Fi, baju lo kotor. Apa kita bolos aja?" lanjut Lio sembari membuka jaket dan menyelimuti tubuh adiknya yang terciprat air tanah.
Alih-alih mengiakan seperti biasa, Fio malah menyipitkan mata. Lio yang ditatap sedemikian rupa langsung berjengket, baru-baru mundur lalu setelahnya lari terbirit-birit. Sengaja dia mengabaikan teriakan Fio yang menjerit-jerit meneriaki namanya. Dia tahu, kalau berhenti dia pasti akan menjadi bulan-bulanan adiknya yang galak itu.
Setibanya Lio di depan sekolah, cowok remaja berwajah tirus berambut klimis itu berdiri mematung di depan sebuah sepeda motor keren berwarna merah. Kendaraan yang mirip dengan cowok yang membuatnya sukses ngos-ngosan di kejar Fio. Dia terus menatap dan tidak sadar kalau sang adik sudah mendekat dan mengarahkan buku paket kepadanya.
Tak ayal suara keras dari pukulan pun terdengar diiringi suara rintihan Lio. Keduanya menjadi titik fokus murid lain. Anehnya tidak ada yang melerai, mereka hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua bersaudara itu, setelahnya lanjut menuju kelas.
"Fio, sakit!"
Akan tetapi, Fio yang sudah kadung kesal terus menghantamkan buku paket itu. Lio yang kesal pun menjauh dan menatap nyalang.
"Fio, lo gila, ya! Maen timpuk aja. Sakit tau!" omel Lio sembari mengusap punggungnya yang ngilu.
"Biarin, mana sakit sama gue, Bang? Ni lihat, pakaian gue jadi basah semua ini!" Fio menurunkan ritsleting hingga bagian depan bajunya yang terciprat air kotor terlihat jelas.
Lekas Lio menutupnya lagi. "Lo apa-apaan, sih? Gak malu apa diliatin orang?"
Fio cuma berdengkus dan mengeratkan jaket ke tubuhnya.
"Gue kesel ama lu."
"Lha, yang nyipratin siapa?"
"Yang jadiin gue tameng siapa? Kan elo, Bang."
Lio yang melihat mata nyalang Fio jadi bergidik. Namun, dia tidak putus akal. Dia balik tubuh Fio hingga adiknya itu melihat sesuatu.
"Lo liat, 'kan?"
Spontan rahang Fio mengetat. Dia putar kepala dan melihat senyum menyeringai Lio.
"Daripada lo lampiasin ke gue, lebih baik ke orangnya langsung," oceh Lio yang dibalas Fio dengan seringai jahat pula.
"Bener, Bang. Elo emang salah. Tapi dia lebih salah. Bukannya minta maaf malah ninggalin gue dengan duit gocap. Gak beretika."
"Nah, kira-kira kita apain tu murid sengak? Kayaknya dia baru di sini," balas Lio mengompori.
Senyum Fio makin terlihat menyeramkan. Dia cari sesuatu dari dalam tas dan mengeluarkan spidol permanen berwarna hitam.
"Wah, mantep ini. Ini baru balas dendam," oceh Lio yang seperti setuju dengan tingkah tidak terpuji yang akan adiknya lakukan.
"Ya jelaslah, Bang. Ini gak sepadan dengan apa yang dia udah lakuin. Tapi paling gak dia juga harus bersih-bersih kan? Jadi kita impas."
"Bener!" sahut Lio dengan menggebu-gebu. Namun, cowok bertubuh tinggi itu akhirnya garuk-garuk kepala.
"Tapi ini yang mana satu, Fio? Ini kan motornya ada dua, sama. Mana sebelahan lagi."
Kini Fio yang menggaruk tengkuknya. Dia tatap sama abang. "Lo ingat enggak plat nomornya?"
Lio menggeleng begitupun Fio. Keduanya terdiam sejenak.
"Jadi kita ngapain sekarang?" tanya Lio. Dia celingukan. Murid sudah hampir tidak kelihatan karena bel sudah berbunyi.
"Ya, sudahlah, gampang."
"Gampang?" Alis Lio naik turun. dia perhatikan. sang adik yang berdiri di tengah dua motor tersebut sembari menunjuk dan melantunkan lagu legendaris.
"Cap cup cup kembang kuncup, kuda lari di atas rumput. Matinya jam delapan dikuburnya tahun de ... pan."
Pilihan tangan Fio pun terarah ke motor Ninja ZX-25 R yang dominan warna merah di sebelah kanan. Dan dengan lentur tangannya yang memegang spidol permanen menari di sana hingga suara dehaman seseorang menginterupsi kegiatan mereka.
"Kalian apakan motor saya!"
"Kalian apakan motor saya!"
Spontan spidol itu terlepas dari tangan Fio. Mulutnya ternganga begitu pun Lio. Dua bersaudara itu baru sadar kalau sudah salah sasaran.
Hanya saja, keterkejutan itu berganti dengan rasa yang lain. Suatu keanehan dan itu hanya terjadi pada Fio seorang. Cewek remaja itu ternganga dan merasakan dengan jelas kalau detak jantungnya menggila tiba-tiba.
"Kalian nyoret motor saya?" tanya orang itu yang dibalas cepat Lio dengan gelengan kepala.
Namun, lagi-lagi keanehan diperlihatkan Fio. Cewek berkepang dua itu mengangguk tanpa berkedip. Dia juga tanpa sungkan mengulurkan tangan. "Saya Fio. Fiona Narensa Ardana. Kelas dua belas IPS satu. Masnya siapa namanya?"
"Dia Kris dan dia bukan mas kamu! Dia guru kamu!"
Teriakan dari belakang membuat Fio dan Lio spontan menoleh. Mata mereka terbelalak seketika ketika melihat Sri, sang guru BK datang mendekat membawa satu buah penggaris panjang yang terbuat dari besi sepanjang empat puluh sentimeter.
-
-
-
"Kalian ini, bisa gak sih sehari aja gak bikin ulah? Pagi-pagi udah bikin naik darah. Gimana ceritanya kalian mengukir segala jenis spesies primata di motornya Pak Kris? Kalian kurang kerjaan apa gimana? Pak Kris itu guru baru dan kalian udah berani bikin ulah. Kalian mau diskros berapa hari?" cecar Sri pada Fio dan Lio. Dia yang duduk di kursi sampai mengetatkan rahang. Pasalnya dia mulai gerah setiap hari harus dihadapkan dengan dua bersaudara yang terkenal bengal.
"Ya, jangan diskors dong, Buk," balas Lio dengan memasang wajah memelas.
"Kamu juga Lio, sebagai abang bukannya nasehatin adek kamu, kamu malah dukung."
"Ya mau gimana, Buk. Kan Fio punya tangan. Nanti kalau dilarang saya bakalan kena kasus pelanggaran hak asasi antar saudara," balasnya yang spontan diberi Fio dengan tatapan tajam.
Sementara Sri, dia sudah memegang tengkuknya. Bagaimana pun dia merasa semua darah sudah berkumpul di sana. Berhadapan dengan kembar sableng itu membuatnya serasa dekat dengan surga. Naik semua darahnya.
"Pokoknya saya tidak mau tau. Kalian harus mempertanggung jawabkan ulah kalian ini. Untung Pak Kris tidak mempermasalahkan ini. Dia membiarkan kalian lolos tapi tidak dengan saya. Untuk hukuman kalian ini, saya kasih kalian tugas mulia. Bersihkan toilet satu sekolah ini selama tujuh hari berturut-turut setelah pulang sekolah!"
"Yah, Ibuk ...." Serentak Fio dan Lio mendesah.
"Mau protes?" sentak Sri. Matanya melotot. Alhasil dua bersaudara tengil itu kembali menunduk.
"Mau bersihkan toilet atau saya panggil Bibi kalian?"
"Jangan!" Kembali Fio dan Lio menjawab secara bersamaan. Mereka saling tatap, dan Sri yang melihat kegugupan di wajah keduanya serasa di atas angin. Dia pun berdiri dan mengelilingi dua bersaudara itu sembari memukul-mukul telapak tangannya dengan penggaris. Niatnya agar Fio dan Lio terintimidasi.
"Saya harap ini kasus terakhir kalian. Jangan ada lagi kesalahan lain. Apa kalian gak malu bolak balik ruangan ini? Siswa lain itu bolak balik buku pelajaran biar pinter, keluar masuk perpus biar lulus. Nah, kalian malah sering ke sini. Gak malu apa? Saya aja bosen liat muka Kalian. Kalian ini bentar lagi ujian, jangan terlalu banyak main bisa gak, sih? Masa depan kalian itu bisa kacau kalau terlalu nakal," oceh Sri yang sebenarnya sudah dihafal Fio dan Lio diluar kepala.
Namun, mereka memilih diam dan mengangguk mengiakan.
"Heran saya sama kalian. Tiap hari ada aja ulahnya. Yang bolos, yang telat, yang manjat, yang malak, belum lagi nyontek. Bisa gak sih kalian gak masuk ke sini sehari aja? Pusing saya."
"Maaf, Buk," sahut Fio dan Lio serentak.
"Ya sudah, balik kelas!" titah Sri lagi. Dia kibaskan rambutnya yang panjang ke belakang. Lalu, menghidupkan kipas angin kecil yang memang tersedia di atas meja. Tugas menjadi guru BK mengharuskannya memiliki alat peredam emosi itu.
Ketika keluar dari ruang Sri, Fio dan Lio terlihat saling sikut. Mereka saling menyalahkan hingga Fio yang tidak sadar menabrak punggung seseorang.
Alhasil, cewek cantik itu limbung dan terjatuh dengan posisi pantat menyentuh porslen. Suara mengaduh dan ringisan pun terdengar jelas. Sementara Lio, bukannya membantu dia justru mentertawakan saja.
"Rasain, durhaka, sih!" seru Lio diiringi gelak tawa. Fio mendesis.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya seseorang yang sukses membuat tatapan benci Fio sirna. Cewek itu tergemap menatap pria berpakaian rapi yang mengulurkan tangan hendak menolong.
Anehnya, alih-alih menerima uluran tangan itu, Fio justru tetap diam. Saat seperti ini dia seperti melihat penampakan seorang malaikat tampan yang membuat aliran darah tiba-tiba menghangat lagi. Dimatanya sosok itu bersinar. Ada lantunan syahdu yang berasal dari jantungnya sendiri.
"Fi, Fio, bangun!" seru Lio. Dia tarik paksa tangan sang adik hingga berdiri. "Maaf, Pak Kris. Adek saya emang sering kesambet."
Sontak Fio melayangkan cubitan. Jelas saja Lio mendesis, tapi terpaksa mengukir senyum pada Kris—sang guru baru yang juga adalah pemilik motor yang tadi mereka corat-coret.
"Kamu beneran gak apa-apa?" tanya Kris lagi. Alisnya hampir tertaut melihat Fio yang hanya cengo tanpa merespon.
Melihat keanehan itu Lio pun menyikut lengan sang adik. "Fi, hey! Kok malah bengong lagi? Ditanya Pak Kris itu."
"Eh, iya, Pak. Saya gak apa-apa," balas Fio. Senyumnya terukir dan yang Lio tidak habis pikir, Fio kembali memberikan gelagat aneh alias ganjen. Melihat itu gerah juga hatinya.
"Soal motor Bapak, kita ngaku salah. Kita minta maaf. Tadinya kita itu motor punya siswa," jelas Lio.
Sementara itu Fio malah mengukir senyum dikulum yang membuat Lio jadi makin geram dengan tingkah kecentilan itu.
"Fio!" sentaknya.
Fio mendesis kesal, tapi ketika melihat Kris senyumnya kembali hadir.
"Iya, Pak. Saya juga minta maaf. Kalau Bapak gak keberatan, saya bisa kok bersihin motor Bapak seminggu ini. Bahkan saya juga rela kok tiap hari bersihin rumah Bapak. Bapak cukup bayar tujuh ratus ribu aja buat biaya ke KUA."
"Lah, gak beres ini anak," gumam Lio. Dia apit leher Fio dengan keras. "Maaf, Pak. Adek saya lagi kumat. Belom minum obat. Tolong jangan dianggap serius."
Kris yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Aneh, gadis aneh. Siapa tadi namanya. Fio, Fio Narensa Ardana?"
Kris terkekeh kecil. Dia masih saja menatap Lio yang menyeret Fio bak menyeret kambing. Senyumnya pun kembali terukir.
"Nama yang manis, tapi gak semanis tingkahnya. Sayang sekali."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!