Jelita bergeming sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling pekarangan rumah mewah bergaya modern tropis yang ada di depannya itu.
"Wah, baru di halaman saja sudah sebegini bagusnya, apa lagi di dalam sana," batin Jelita mengagumi keindahan halaman yang penuh dengan bunga-bunga berwarna-warni dan terawat dengan baik, bak sebuah taman bunga.
"Lho, Jelita, kenapa kamu masih berdiri di sana, Sayang? Sini, kita masuk ke dalam!" panggil seorang wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik dan lebih muda dari usia sebenarnya. Wanita itu ialah Melinda yang merupakan istri dari seorang pengusaha sukses dan merupakan nyonya di rumah mewah yang ada di hadapan Jelita kini.
"Iya, Jelita, jangan diam saja di sana!" kali ini yang bersuara adalah seorang pria yang memiliki suara bariton, dan merupakan suami dari wanita setengah baya itu. Pria sukses yang bernama Ganendra Maheswara itu, memiliki segudang bisnis baik di bidang property, perhotelan, Restoran, Cafe dan pendidikan, yang berada di bawah naungan 'The sky Group'.
"Eh, i-iya, Tan, Om!" sahut Jelita, gugup dan kembali melanjutkan langkahnya, dengan mata yang masih tidak berhenti melihat ke sekeliling.
Sesampainya di depan pintu, mereka disambut oleh dua orang wanita, yang membungkukkan badan dengan hormat, sehingga Jelita ikut-ikutan membungkukkan badan membalas rasa hormat yang dia terima dari dua orang wanita tadi.
"Selamat siang, Nyonya, Tuan!" sapa dua orang wanita itu bersamaan, seperti sudah terlatih.
"Selamat siang juga!" sahut
"Ayo masuk, Sayang!" Melinda, meraih tangan Jelita dan mengajaknya masuk ke dalam.
Benar dugaan Jelita, penampakan di dalam rumah itu sangat indah, mewah dan elegan. Semua material dan ornamen-ornamen yang ada di dalam ruangan itu bisa dipastikan adalah mahal.
"Benarkah, aku akan jadi menantu di rumah ini? atau aku hanya mimpi?" bisik Jelita pada dirinya sendiri dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang mengedar memindai setiap sudut ruangan.
Ya, itulah alasan Jelita berada di rumah mewah itu, bukan untuk jadi seorang pembantu, tapi akan menjadi menantu Ganendra dan Melinda.
4 hari yang lalu
Jelita kaget melihat ada dua orang sepasang suami istri yang datang mencarinya ke kontrakan kecilnya, yang dulu dia huni bersama almarhum kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya baru saja meninggal karena tertabrak sewaktu sedang mengais rezeki memulung di jalanan.
"Cari siapa, Bu, Pak?" tanya Jelita dengan sopan.
Wanita setengah baya itu tampak menelisik penampilan Jelita dari atas ke bawah, sampai akhirnya seulas senyuman terbit di bibir merah itu.
"Emm, apa kamu yang bernama Jelita? anak perempuan pak Sidik dan ibu Nurma?"
"Benar, Bu. Ada apa ya? apa kedua orang tuaku punya hutang yang harus aku lunaskan? kalau iya, untuk sekarang aku belum punya uang, Pak, Bu, tapi Ibu sama Bapak tenang saja, aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Aku akan tetap membayar utang mama sama papaku,tapi tolong kasih aku kesempatan buat kerja dulu." cerocos Jelita, panjang lebar tidak memberikan kesempatan pada wanita dan pria di depannya untuk menjelaskan kedatangan mereka sebenarnya.
"Maaf, Nak Jelita! Kami datang ke sini, bukan untuk menagih utang kedua orang tuamu, karena mereka tidak memiliki utang sama sekali kepada kami. Kenalkan nama tante, Melinda dan ini suami tante, Ganendra. Kami adalah orang yang tidak sengaja menabrak kedua orangtuamu, dan kami datang ke sini hanya untuk minta maaf,"
Bagai disambar petir di siang bolong, Jelita terkesiap kaget sembari menutup mulutnya hingga mundur beberapa langkah. Air mata yang sudah sempat kering, kini kembali merembes ke luar, membasahi pipinya. Jelita memejamkan matanya untuk sejenak, kemudian dia membukanya kembali seraya menarik napas panjang.
"Pak, Bu. Aku sudah memaafkan kalian berdua, karena ini memang murni bukan kesalahan Bapak sama Ibu. Bapak sama Ibu juga sudah bertanggung jawab membawa mama sama papa ke Rumah sakit, walaupun akhirnya takdir berkata lain," sahut Jelita, tidak menyalahkan sepasang suami istri di depannya itu. Karena dia tahu,mama dan papanyalah yang tiba-tiba menyebrang, hanya demi sebuah botol minuman mineral yang dibuang seseorang dari dalam mobil yang baru saja lewat, sehingga kecelakaan tidak bisa terelakkan lagi.
"Tapi, Nak, kami tetap merasa bersalah telah membuat kamu jadi hidup sebatang kara. Jadi, tante dan suami tante ini, sudah sepakat untuk membawa kamu ke rumah kami dan menjadikan kamu menantu kami. Kamu mau kan?"
Jelita kembali terkesiap kaget mendengar ucapan wanita yang bernama Melinda itu.
"Maaf, Ibu! aku tidak bisa, di samping aku tidak mengenal anak Ibu dan Bapak, aku juga tidak mau menikah dengan seseorang hanya karena rasa bersalah. Aku tulus memaafkan , Bapak sama Ibu dan aku tidak akan menuntut apa-apa," Jelita menolaknya dengan sopan, dan tetap memanggil kedua orang itu Ibu dan Bapak, karena dia merasa tidak seakrab itu untuk memanggil Om dan tante.
"Tapi, Om dan Tante yang mau kamu menjadi menantu kami, Nak. Ini sudah merupakan janji tante, sebelum orang tuamu meninggal. Please , kamu mau ya menikah dengan anak Tante!" Mohon Melinda dengan wajah memelas.
"Tapi, Bu. Aku sama sekali tidak berharap untuk dijadikan menantu oleh Bapak sama Ibu. Aku juga yakin kalau anak Ibu juga pasti tidak mau menikah dengan wanita sepertiku," Jelita bersikeras untuk menolak.
"Nak, kalau kamu tidak mau menjadi menantu kami, aku akan rela bersujud di depanmu, sampai kamu mau. Kalau masalah putra kami, itu urusan kami. Kami yakin dia pasti nurut dan mau menikah denganmu. Aku mohon, Nak!" Melinda nyaris saja menjatuhkan tubuhnya untuk berlutut. Beruntungnya, Jelita langsung menahan tubuh Melinda dengan raut wajah bingung mau berbuat apa.
"Bu, please jangan seperti ini! aku benar-benar__"
"Tolong, Nak! tante yakin kalau kamulah yang sesuai untuk jadi menantu kami." Melinda memotong sebelum Jelita kembali melontarkan penolakannya.
Jelita, terdiam untuk beberapa saat sembari menatap wajah Melinda yang memelas dan penuh harap. Kemudian, terdengar suara embusan napas dari mulut Jelita yang disusul oleh anggukan di kepalanya.
"Baiklah, Bu! aku bersedia!" pungkas Jelita akhirnya dengan nada pasrah, karena benar-benar tidak tega melihat raut wajah wanita itu.
"Terima kasih, Sayang!" sorak Melinda sembari menarik tubuh Jelita ke dalam pelukannya.
"Sama-sama, Bu!" desis Jelita lirih.
"Mudah-mudahan, aku mengamati keputusan yang benar," Jelita membatin dengan tersenyum tipis terkesan dipaksakan.
"Baiklah, om dan Tante pulang dulu. Kami akan menjemputmu, hari Minggu nanti. Untuk membicarakan hal ini pada anak Gavin anak kami," Pria setengah baya bernama Ganendra yang sedari tadi lebih banyak diam itu, buka suara yang disertai dengan senyuman di bibirnya.
"Baik, Pak, Bu! hati-hati di jalan!"
"Jangan panggil kami bapak dan ibu, tapi panggil kami om dan Tante ya!" ucap Melinda sebelum beranjak pergi. Sisa-sisa rasa bahagia karena kesediaan Jelita masih tampak jelas di wajah wanita setengah baya itu.
"Ba-baik, Bu eh Tante, Om!" jawab Jelita, sembari memamerkan senyum termanisnya, walaupun masih tampak jelas rasa terpaksa di senyum itu.
"Good! kami pamit ya!" Melinda dan Ganendra beranjak pergi dengan perasaan lega.
"Mudah-mudahan, putra kalian berdua yang menolak menikah denganku," batin Jelita penuh harap, sembari menatap jejak bayangan Melinda dan Ganendra yang sudah lenyap dari pandangannya.
Akan tetapi, sepertinya apa yang diharapkan oleh Jelita tidak terkabul, buktinya Sepasang suami istri itu kembali datang dan membawanya ke rumah mewah dimana kakinya menapak sekarang.
"Bi, tolong panggilkan Gavin ke sini!" Jelita tersentak kaget, dan jantungnya langsung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal, begitu mendengar suara Melinda yang memerintahkan salah satu asisten rumah tangganya untuk memanggil pria yang digadang-gadangkan akan jadi suaminya itu.
Tbc.
Mohon selalu untuk dukungannya ya, guys..😁
Gavin memainkan game di ponselnya dengan raut wajah yang sangat sukar untuk dibaca. Antara biasa saja dan kesal bercampur menjadi satu. Namun rasa kesal lebih mendominasi daripada sikap biasa yang tampak jelas sangat dipaksakan.
Kekesalannya tidak lepas dari keinginan mama dan papanya yang ingin mengenalkan dirinya dengan gadis yang akan dijodohin dengannya hari ini.
"Oh, Sh*it!" umpat Gavin sembari melemparkan ponsel dengan keras. Beruntungnya ponsel itu tidak sampai terjatuh ke lantai.
Masih teringat jelas di ingatannya, 4 hari yang lalu, mama dan papanya yang memintanya untuk menikahi seorang gadis yang dibuat menjadi yatim piatu oleh kedua orangtuanya. Ingat ya, meminta bukan memohon, yang berarti ada unsur pemaksaan di sana.
"Kalau kamu tidak mau menuruti kemauan, Mama dan papa, seluruh harta dan perusahaan papa akan papa wariskan pada gadis itu dan kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Jadi, sekarang kamu putuskan mau tetap menolak dan siap menerima konsekuensinya atau memilih menikah dengannya dan kamu tetap menjadi ahli waris perusahaan papa." ucap Ganendra dengan tegas, yang disertai dengan adanya ancaman pada ucapannya.
"Pa, ma, kenapa jadi seperti itu? kenapa kalian tega mengancam anak kalian sendiri dengan caranya sekejam ini?" protes Gavin dengan raut wajah frustasi.
"Kami tidak kejam. Ini demi kebaikanmu. Daripada kamu menikah dengan gadis yang tidak jelas seperti Maya, yang melihat laki-laki hanya dari materi saja, lebih baik kamu menikah dengan Jelita!" Melinda, mamanya buka suara dengan nada lembut.
"Apaan? apa mama yakin dia mau menikah denganku, bukan karena harta? aku yakin, kalau dia sama aja seperti wanita lainnya," Gavin terlihat mendengus dengan sudut bibir yang terangkat sedikit ke atas, menyeringai sinis.
"Mama sangat yakin kalau dia tidak seperti itu." bantah Melinda, yakin.
"Dari mana, Mama bisa seyakin itu?" raut wajah sinis sama sekali tidak mau beranjak pergi dari wajah tampan Gavin.
"Feeling, mama tidak akan salah. Buktinya ketika mama tidak setuju kamu berhubungan dengan Maya, sampai-sampai kamu berpura-pura menjadi pegawai biasa untuk membuktikan kalau yang mama pikiran salah, itu benar kan? dia malah mencampakkan kamu, dan lebih memilih bersama dengan atasan kamu itu. Jadi, feeling mama berkata, kalau Jelita berbeda dengan wanita yang ada di sekelilingmu."
"Cih, aku sama sekali tidak percaya kalau dia berbeda. Bisa saja dia awalnya berpura-pura menolak, supaya tidak terlalu terlihat kalau dia sangat menginginkan pernikahan ini. Jangan terlalu percaya, Ma, dengan trik sok menolak seperti itu,"
"Kamu jangan su-udjon sama dia. Sudah mama bilang kalau feeling mama tidak akan salah, karena mama dan papa sudah menyelidikinya lebih dulu. Pokoknya kamu harus menerima permintaan mama untuk menikah dengannya, kalau tidak__"
"Baiklah, aku mau!" pungkas Gavin dengan cepat, sebelum mamanya mengulangi mengancamnya.
"Kalau tidak karena ingin membalas dendam pada Maya dan Haris, aku tidak akan mau menuruti permintaan mama dan papa. Aku benar-benar membutuhkan kekayaan ini untuk membuat Maya dan Haris menyesal karena telah merendahkanku," batin Gavin dengan raut wajah penuh kebencian dan amarah pada nama dua orang yang disebutkannya tadi.
Ya,Gavin awalnya memiliki seorang kekasih yang memiliki wajah yang sangat cantik bak bidadari dengan bentuk tubuh yang aduhai, sesuai dengan idaman para laki-laki. Gavin sangat mencintai Maya, dan selalu membanggakan wanitanya itu. Bahkan Gavin berniat ingin menjadikan Maya istrinya segera,tapi terhalang restu mama dan papanya.
Melinda mamanya mengatakan kalau Maya bukan wanita yang baik dan sesuai untuknya.
Gavin berpura-pura bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan Haris yang jauh lebih kecil dibandingkan perusahaan milik orangtuanya untuk membuktikan kalau dugaan mamanya itu salah. Ternyata dugaan mamanya benar. Ketika dia melamar wanita itu, Maya menolaknya mentah-mentah dengan kata-kata yang sangat kejam. Mengatainya miskin dan tidak cocok bersanding dengan wanita cantik seperti dirinya. Wanita itu berkata kalau dia mau pacaran dengan Gavin, karena wajah tampannya saja yang bisa dibanggakan pada teman-temannya, tapi kalau untuk menikah, Maya mengatakan tidak akan tertarik untuk menikah dengan pria miskin sepertinya. Bahkan dengan santainya dia menerima ungkapan cinta dari Haris di depan matanya. Wanita cantik itu juga tega meminta Haris untuk memecatnya dari perusahaan pria itu. Mulai dari saat itu, Gavin berniat membuat Maya menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan dengan kembali pada keluarganya.
Tok ... tok ... tok
"Den, Gavin! buka pintunya, Den!"
Suara ketukan di pintu menyadarkan Gavin dari lamunannya.
"Masuk!" teriak Gavin dari dalam. Namun orang yang mengetuk pintu tidak mengindahkan perintahnya. Pembantu yang dari suaranya merupakan bik Narti itu tetap saja mengetuk-ngetuk pintu.
"Astaga, kamar ini kan kedap suara, pantas saja dia gak dengar teriakanku," Gavin beranjak turun dari atas kasur dan melangkah ke arah pintu.
"Copot, copot!" pekik bik Narti sembari memegang dadanya, karena kaget melihat pintu yang terbuka tiba-tiba.
"Ada apa, Bik?" tanya Gavin dengan ekspresi datar, tidak merasa kalau ekspresi kaget dari bik Narti merupakan hal yang lucu.
"Anu, Den. Bapak sama Ibu lagi menunggu Den di bawah," sahut bik Narti gugup.
Gavin terlihat mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan, karena dia yakin kalau perempuan yang mau dijodohkan dengannya pasti sudah berada di bawah juga.
"Bik,apa papa dan mama membawa seorang perempuan?" tanya Gavin yang dia yakin pasti dijawab ya, tapi dengan bodohnya dia tetap bertanya. Pria itu masih berharap dari 99 persen jawaban ya, dimenangkan dengan satu persen jawaban tidak.
"Ada, Den!" Gavin kembali mengembuskan napas dengan kasar karena harapan si satu persennya kalah.
"Cantik gak, Bi?" kembali Gavin bertanya, berharap wanita yang lebih tua dari mamanya itu, menganggukkan kepala, mengingat nama Jelita yang disandang oleh wanita yang akan dijodohkan dengannya itu.
"Emm, gimana ya, Den? bukannya setiap wanita itu memang terlahir cantik ya?"
"Aku tahu, Bi, tapi kadar kecantikan itu kan berbeda-beda. Aku yakin, Bibi juga pasti tahu apa maksudku,"
"Hmm, bibi tidak bisa menyimpulkan kalau perempuan tadi cantik atau nggak. Menurut bibi, dia itu cantik, tapi aku tidak tahu menurut pandangan, Den Gavin. Karena pandangan orang-orang itu kan beda, Den. Bisa aja bibi bilang dia cantik, tapi Aden bilang tidak. Jadi dari pada penasaran, lebih baik, Aden lihat, sendiri ke bawah." ujar bik Narti sembari berlalu pergi meninggalkan Gavin yang sudah dirawatnya sejak kecil itu.
"Bik!" seru Gavin yang sama sekali tidak digubris oleh bik Narti.
"Hmmm, perasaanku tidak enak nih, kalau dia cantik, pasti Bik Narti akan memuji-mujinya dari tadi. Ini, Bik Narti kesusahan bilang dia cantik," batin Gavin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Sebelum melangkah turun ke bawah, Gavin terlebih dulu, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan kembali ke udara. Pria itu memejamkan matanya sekilas, berdoa dalam hati, berharap wanita yang dijodohkan dengannya, bisa menandingi kecantikan Maya, mantan kekasihnya.
Tbc
Jelita begitu terpesona begitu melihat sosok pria yang sedang menuruni tangga. Wanita itu yakin kalau pria itu adalah putra Tante Melinda dan Om Ganendra yang otomatis merupakan calon suaminya.
Jelita melihat tatapan Gavin yang menatap dirinya dengan tatapan aneh. Pria itu terlihat melihatnya dari atas sampai ke bawah dan kembali lagi ke atas. Hal itu membuat Jelita merasa risih dan ikut-ikutan melihat tubuhnya sendiri dari bawah sampai ke atas serta membenarkan pakaiannya.
"Apa ada yang salah dengan penampilanku? kenapa dia menatapku seperti itu?" batin Jelita sembari menggigit bibirnya serta mere*mas tangannya sendiri.
"Gavin, kenapa kamu berdiri saja di sana? mari duduk di sini, dan kenalkan dirimu pada Jelita!" panggil Melinda dengan mata yang terhunus tajam, sebagai tanda kalau wanita itu tidak suka dengan cara Gavin menatap Jelita.
Gavin mengalihkan tatapannya dari Jelita dan melangkahkan kakinya menghampiri kedua orangtuanya, kemudian mendaratkan tubuhnya duduk di atas sofa.
"Gavin, mama memintamu untuk memperkenalkan dirimu, kenapa kamu main duduk saja, Nak? kamu malu ya?" ucap Melinda dengan nada yang sangat lembut tapi dengan mata yang melotot.
Gavin memalingkan wajahnya, berusaha menahan rasa kesalnya pada sang mama. Terlebih begitu melihat sosok Jelita yang jelas-jelas jauh dari ekspektasinya. Jangankan setengah dari kecantikan Maya, seperempatnya saja tidak. Bagaimana tidak, penampilan gadis itu terlihat sangat kolot dengan rok panjang kaos besar yang membalut tubuhnya. Rambut wanita itu juga dikuncir asal dan tampak tidak terawat. Wajah gadis bernama Jelita itu juga benar-benar sedikit kasar.
"Namanya jelita, tapi orangnya benar-benar tidak sesuai dengan nama yang disandangnya," Gavin menggerutu di dalam hati.
"Bagaimana aku bisa menunjukkan pada Maya, kalau aku bisa mendapatkan wanita yang lebih dari dia, kalau orangnya jelek seperti ini?" lagi-lagi Gavin menggerutu dalam hati.
Melihat isyarat dari gerakan mata mamanya, Gavin berusaha untuk tersenyum dan berdiri kembali. Lalu pria itu mengulurkan tangannya ke arah Jelita, "Aku Gavin," ucap Gavin yang langsung menarik tangannya, tanpa menunggu Jelita menyebutkan namanya.
"Je-lita," desis Jelita yang nadanya melemah saat menyebutkan kata lita.
"Sepertinya dia tidak menyukaiku, dan terpaksa menerima pernikahan ini. Apa yang harus aku lakukan? apa keputusanku sudah benar?" bisik Jelita pada dirinya sendiri.
"Sekarang kalian sudah saling mengenal, jadi mama dan papa putuskan, kalau kalian berdua akan menikah minggu depan,"
Jelita dan Gavin sama-sama tersentak kaget, begitu mendengar keputusan yang diambil oleh Melinda tanpa bertanya terlebih dulu.
"Ma, apa ini tidak terlalu cepat? aku dan dia baru saja bertemu," protes Gavin, tidak terima.
"Benar, Tante. Sepertinya ini terlalu cepat," Jelita menimpali ucapan Gavin.
Gavin menatap sinis ke arah Jelita, begitu mendengar ucapan Jelita yang dianggapnya hanya basa-basi.
"Cih, sok mendukung ucapanku, padahal aku yakin kalau ini kemauannya. Dasar perempuan munafik, " umpat Gavin yang tentu saja hanya berani dia ucapkan dalam hati.
"Kenapa dengan ucapanku? kenapa dia menatapku dengan sinis?" lagi-lagi Jelita bertanya dalam hati. Perasaan wanita itu benar-benar merasa tidak nyaman sekarang.
"Tidak ada yang boleh keberatan. Mama sudah memutuskannya dan keputusan mama sudah mutlak. Benar kan, Pah?" Melinda mengalihkan tatapannya ke arah Ganendra, meminta persetujuan suaminya itu.
Gavin menatap ke arah papanya, berharap papanya itu menolak, walaupun rasanya memang tidak mungkin, mengingat papanya yang selalu mendengar ucapan mamanya, karena papanya itu sangat mencintai mamanya.
"Ya, mamamu benar dan papa sangat setuju," Gavin menghela napas, pasrah begitu mendengar papanya yang mendukung keputusan mamanya.
"Tante,Om, sepertinya aku tidak bisa menikah dengan putra Om dan Tante," celetuk Jelita tiba-tiba yang terkesan sangat hati-hati.
Ucapan Jelita itu menimbulkan respon yang berbeda dari tiga orang yang ada di ruangan itu.
Melinda dan Ganendra yang bingung, dan Gavin yang terlihat bahagia.
"Yes, akhirnya kamu menolaknya." sorak Gavin dalam hati. Pria itu berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi bahagianya. " Tapi, tunggu dulu! apa ini berarti dia menolakku? apa pria setampan aku ditolak wanita seperti itu?" Gavin tiba-tiba merasa harga dirinya direndahkan oleh gadis yang menurutnya sangat tidak pantas untuk melakukan hal itu.
"Tidak bisa jadi ini. Bisa-bisa nanti dia, berkoar koar di media sosial, mengatakan kalau dia sanggup telah menolak seorang pria kaya dan tampan sepertiku. Aku bisa makin malu dong, kalau sampai Maya melihatnya," Gavin mulai over thinking dengan apa yang belum tentu terjadi.
"Kenapa seperti itu, Nak Jelita?" tanya Melinda dengan kedua alis yang bertaut.
"Karena sepertinya, putra Tante dan Om tidak menginginkan pernikahan ini. Pernikahan yang dilandasi dengan keterpaksaan tidak akan baik nantinya, Tan, Om." Jelita mengungkapkan alasannya dengan lugas.
Melinda terlihat menghela napas kecewa. Dia mencoba menatap Gavin dengan tajam, berharap putranya itu, mau buka suara dan bersandiwara kalau dia ikhlas menerima menikah dengan Jelita.
"Tan, please jangan memaksa putera anda dengan menatap tuan Gavin seperti itu!" ujar Jelita yang bisa melihat makna tatapan dari Melinda pada putranya itu.
Melinda memejamkan matanya sekilas, kemudian wanita itu membuang napasnya dengan kasar.
"Baiklah,kalau memang itu mau kamu, Jelita. Tante benar-benar tidak bisa memaksa, karena __"
"Siapa bilang aku terpaksa menerima pernikahan ini? aku ikhlas kok dan aku bersedia menikah minggu depan," Gavin menyambar dengan tiba-tiba, hingga membuat Melinda menggantung ucapannya.
"Haish,aku ngomong apa sih? kenapa aku mengucapkan kata-kata itu coba? kenapa aku merasa terhina dengan penolakannya?" batin Gavin yang seketika menyesali ucapan yang baru saja terlontar dari mulutnya.
"Tapi, aku benar- benar merasa terhina. Tidak ada yang bisa menolakku. Cukup Maya saja yang bodoh, menolakku karena berpikir kalau aku tidak punya apa-apa." lagi-lagi Gavin bermonolog pada dirinya sendiri, merasa tidak rela, ada seorang gadis jelek yang menolak ketampanan dan kekayaannya.
"Apa kamu serius, Nak?" tanya Melinda dengan mata yang memicing, curiga.
"Emang wajahku terlihat bercanda, Ma? aku sangat serius," ujar Gavin dengan tegas dan terlihat sangat yakin.
"Baiklah, kalau seperti itu!" Melinda tersenyum lebar. Kemudian, wanita itu mengalihkan tatapannya ke arah Jelita. "Bagaimana, Jelita? apa kamu masih mau, Sayang,menikah dengan anak Tante?" tanya Melinda dengan manik mata yang berkilat-kilat, penuh harap.
"Baiklah, Tan! aku bersedia kalau memang putra Tante ikhlas menerimaku," pungkas Jelita yang disambut dengan senyuman dan ucapan syukur dari mulut Melinda.
Wajah wanita itu terlihat berbinar bahagia. Beban berat karena rasa bersalah pada dirinya, seperti menguap entah kemana, mendengar kesediaan Jelita kembali untuk menjadi menantunya.
Tbc
Jangan lupa dukungannya, Guys. Thank you!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!