Di sebuah restoran mewah bintang 5 pusat kota, nampak seorang gadis cantik berdiri angkuh di depan kekasihnya yang duduk congkak bersandar pada punggung kursi.
Gadis bernama Steva itu mulai melepas satu persatu perhiasan yang ia kenakan, yang perlahan-lahan menarik perhatian orang-orang yang juga tengah makan di sana, bahkan restoran itu terlihat ramai pengunjung malam ini.
"Kau akan menyesalinya, Stev," ujar kekasih gadis itu yang bernama Malvin.
"Aku akan menyesal seumur hidupku jika aku masih tetap berada di sampingmu, Tuan Malvin," jawab Steva berani.
Steva telah selesai melepas anting berlian, kalung, gelang dan cincinnya. Semua barang mahal yang Malvin berikan padanya. Ia menaruh semua perhiasan itu di atas meja di hadapan mereka.
Tersungging senyum remeh di sudut bibir Malvin sambil memalingkan muka. Lalu ia kembali menatap Steva dari ujung kaki hingga kepala dengan pandangan seolah menghina.
"Kau lupa? Dengan semua yang kau pakai ini?" seakan mempertegas pada Steva bahwa barang yang ia belikan bukanlah hanya perhiasan-perhiasan itu saja. Namun juga seluruh benda yang saat ini menempel pada tubuh Steva adalah pembeliannya.
'Glek.' Steva menelan salivanya kasar, dada Steva terasa nyeri, sepicik inikah ternyata pria yang ia cintai selama ini?.
Steva mulai melepas kedua sepatu haknya satu persatu, lalu ia taruh di atas meja, ia lantas melepas blazer nya yang berwarna coksu, meninggalkan dalaman tanktop, Steva menaruh blazer itu di atas meja lagi, menutupi sepatu hak tingginya.
Kini Steva benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang setelah ia menanggalkan blazernya, dan dia bergerak hendak membuka tanktop yang berwarna senada dengan warna blazer.
Tangan Steva bergetar kala ia sudah membuka tanktop itu naik setengah hingga tepat berada di bawah dalaman atasnya, menampakkan perutnya yang putih bersih ramping dan seksi.
Dada Steva turun-naik merasakan sesak yang teramat, ia akan dipermalukan. Tapi harga dirinya jauh lebih tinggi. Ia tak ingin tetap tinggal bersama dengan pria yang secara terang-terangan membagi tubuh dan kejantanannya pada **** * wanita lain. Steva berhenti, ia ragu untuk terus bergerak melepas tanktopnya.
"Kenapa berhenti? Kau tidak bisa melakukannya, bukan? Kau tidak akan bisa hidup tanpa diriku, Steva," ucap Malvin angkuh menatap tajam Steva yang sudah berlinangan air mata.
"Terima saja semua keadaan yang sudah terjadi, dan kau masih bisa tinggal di rumahku, menikmati semua fasilitas mewah dariku, dan...," Malvin yang kembali berbicara setelah Steva hanya diam saja ucapannya terhenti kala Steva benar-benar membuka tanktopnya.
"Wah,,, kenapa gadis itu melepas pakaiannya?"
"Mungkin dia bertengkar dengan kekasihnya dan semua barang yang dia kenakan itu adalah pemberian kekasihnya."
Suasana restoran menjadi sedikit ramai karena para pengunjung yang berkasak-kusuk membicarakan mereka.
Malvin menatap tajam Steva yang sungguh-sungguh menanggalkan tanktopnya, menyisakan B.H berwarna krem membalut dadanya yang membusung naik-turun menjadi tontonan semua orang. Malvin ingin marah, tapi ia menahannya, ia tidak suka dibantah, Steva harus dalam kendalinya, dan Malvin akan melihat sampai mana dia berani untuk bertindak.
Steva hanya diam menatap nanar Malvin yang terlihat marah, air mata Steva satu persatu jatuh membasahi pipi.
"Celana itu satu paket dengan blazernya, bukan?" Malvin tak tinggal diam. Dia tak ingin mempermalukan Steva, ia hanya ingin agar Steva takluk, menurut.
Orang-orang berkasak-kusuk semakin ramai. Dan Steva menarik nafas dalam, memberi sedikit udara pada rongga dadanya yang terasa sangat sesak.
Steva mendongakkan kepalanya, ia tak ingin menjadi wanita yang lemah.
"Apa ada yang bisa meminjamiku pakaian?" teriak Steva dengan suara yang bergetar.
Hening, tak satupun orang yang menyahut, baik para pengunjung maupun para pelayan. Malvin semakin tersenyum sinis melihat Steva yang tak berdaya.
Steva mengangguk, baik, mungkin dia kalah dan benar-benar akan mempermalukan dirinya sendiri malam ini, tapi Steva sudah tidak tahan. Ia lebih memilih menyelamatkan harga dirinya yang mungkin sudah tak bersisa.
Steva bergerak membuka pengait kancing celananya, ia menunduk, namun tiba-tiba seorang pria datang dengan menaruh jas hitamnya yang berukuran XXL tepat di wajah Steva hingga menghalangi pandangannya.
Steva yang kaget berhenti membuka kancing celana dan dia meraih jas itu membukanya dari wajah. Namun saat Steva dapat melihat, pria berkemeja hitam yang memberikan jas itu sudah keluar dari pintu utama restoran bersama dengan beberapa orang di belakangnya, Steva tak sempat melihat wajah pria itu, hanya punggungnya yang nampak kekar meski tertutup kemeja yang mulai menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan Steva.
"Kurasa masih ada orang baik di dunia ini," ucap Steva pada Malvin sambil berlalu menuju toilet, ia akan melepas celana dan memakai jas yang pria misterius tadi berikan.
Setelah beberapa menit Steva kembali, ia mengenakan jas berukuran besar itu yang terlihat sangat kedodoran di tubuhnya, meski bagian dadanya masih lumayan terbuka, namun itu cukup untuk menutup tubuh Steva malam ini yang hampir polos sempurna.
Steva lantas menaruh celananya di atas tumpukan barang-barang di atas meja yang semula ia kenakan tadi.
"Aku memang tidak memiliki harta apapun jika dibandingkan dengan dirimu, Malvin. Karena itulah aku sangat menghargai hati dan cintaku. Tidak akan kubiarkan orang sepertimu mengkhianati kemurnian cintaku itu. Aku memang tinggal di sebuah rumah mewah, tapi itu tak lebih dari seekor burung yang terkurung dalam sangkar emas, oh, atau tidak. Itu masih terlalu indah, mungkin selama ini kau hanya menganggapku tak lebih tinggi dari derajat seekor anjing yang kau beri makan dan kau pelihara agar patuh akan semua perintahmu. Maka dengarkan aku, Tuan Malvin. Aku tak menginginkan hubungan seperti itu, cintaku terlalu murni untuk kuberikan pada orang seperti dirimu. Jadi aku lebih memilih untuk hidup bebas meski hanya sebagai kucing liar yang makan sisa-sisa pada tong sampah, aku memilih pergi." Steva mengucapkan setiap bait kalimatnya dengan penuh emosi dan penekanan.
"Pakaian dalam dan tas ini adalah hasil uangku sendiri. Selamat malam." Steva meraih tas selempangnya dan dia melangkah cepat meninggalkan Malvin.
Malvin hanya menatap tajam pada Steva yang sudah keluar dari pintu utama restoran.
"Aaaahh!" rasanya Malvin ingin menjungkir meja di hadapannya itu, tapi pikirannya masih berjalan normal, dan dia hanya mengusap kasar wajah dan rambutnya, lalu ia menghubungi seseorang lewat ponsel.
Steva berjalan tanpa alas kaki menyusuri trotoar jalanan pusat kota malam ini, ia menangis sesenggukan sepanjang jalan tanpa arah tujuan. Steva merapatkan jas yang ia pakai, menggenggamnya erat kedalam pelukan, hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, rambutnya yang lurus panjang dan tergerai meliyuk-liyuk ke belakang karena terpaan angin.
"Dasar bodoh. Bagaimana bisa kau mencintai pria seperti itu, Steva? Dia bahkan lebih buruk dari ayah. Bodoh. Tolol." Steva merutuki diri sendiri sepanjang jalan.
"Aaahh?" pekik Steva kecil, kakinya berjinjit sakit, telapak kakinya mengeluarkan darah, Steva tak sengaja menginjak pecahan beling. Ia pun duduk di pinggiran trotoar melihat lukanya.
"Ah? Sstt?" Steva meringis kesakitan mencabut beling kecil yang menancap. Darah keluar semakin banyak.
Air matanya mengalir semakin deras, tidak hanya hati dan perasaannya yang terluka, kini kakinya pun terluka.
Steva bingung, ia tak punya tempat tinggal, lantas harus kemana dia pergi? Ke rumah ayah? Tidak mungkin. Yang ada dia akan dijual sebagai wanita penghibur.
'*Ciiittt*.'
Sebuah mobil berhenti tepat di depannya.
"Apa anda butuh bantuan, Nona?" seorang pria yang duduk di jok kemudi berbicara pada Steva setelah kaca pintu mobilnya terbuka.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
'Ciiittt.'
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Steva.
"Apa anda butuh bantuan, Nona?" seorang pria yang duduk di jok kemudi berbicara pada Steva setelah kaca pintu mobilnya terbuka.
"Afnan?" seru Steva berteriak, seperti sebuah anugrah dibalik musibah, Tuhan berbaik hati telah mempertemukan dua insan yang pernah menjadi teman dekat semasa sekolah SMA dulu itu.
Afnan, laki-laki yang berprofesi sebagai sopir taksi, tiba-tiba melihat teman SMAnya yang lama tak pernah bertemu. Suatu kejutan yang menyenangkan.
"Kamu ngapain Stev, di sana? Ini sudah malam, duduk di trotoar jalan sendirian, pakai pakaian seperti itu lagi," cerocos Afnan mengomentari penampilan teman lamannya yang? Yah, Steva hanya mengenakan sebuah jas hitam berukuran besar tanpa bawahan.
Tentu saja Steva hanya terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa atas semua pertanyaan yang Afnan lontarkan padanya, Steva juga tak mungkin tiba-tiba menceritakan semua nasib malangnya, apa lagi pada teman lama yang baru ia jumpai kembali.
"Malah bengong, udah ayo masuk, aku anterin kamu pulang!" seru Afnan membuka pintu jok sebelahnya.
"Aku tidak punya uang untuk membayar jasa taksimu," ujar Steva jujur, melihat mobil yang dikendarai temannya itu adalah akomodasi untuknya bekerja mencari nafkah.
"Sudahlah, tak apa, ayo masuk."
Steva akhirnya bangkit dari duduknya, ia berdiri dan berjalan berjinjit memasuki mobil taksi Afnan.
'Brak.' suara pintu mobil yang Steva tutup.
Dalam hati Afnan terus saja nyebut, bagian indah dua gunung kaum hawa milik Steva itu menantang seolah menggoda keimanan Afnan.
'Ingat anak bini di rumah, Af. Jangan tergoda, ini hanyalah ujian.' batin Afnan yang sesekali melirik pada gundukan gunung kembar Steva yang memang terlihat begitu jelas.
Afnan mengendarai mobil taksinya dengan kecepatan sedang, jalanan cukup lengang. Tapi ia memang lebih suka menyetir dengan mode santai. Toh dia juga sudah mau pulang.
"Kaki kamu luka?" tanya Afnan setelah melihat Steva yang meringis memegangi kakinya.
"Hmm,,,," Steva mengangguk.
"Di dashboard ada perban hansaplas kalo nggak salah, coba buka!" ucap Afnan yang fokus menatap lurus ke depan menyetir mobilnya.
Steva membuka dashboard, dan benar saja, ada sekotak hansaplas di sana. Steva mengambil beberapa untuk ia tempelkan menutup lukanya yang tak begitu serius.
"Rumah kamu di mana?"
Steva bingung harus menjawab apa, ia kini sudah tak lagi memiliki tempat tinggal, setetes air matanya lolos begitu saja, cepat-cepat Steva menyeka buliran bening itu, dan Afnan melihatnya.
"Ada apa Stev? Apa kamu ada masalah? Cerita saja," Afnan memang teman yang baik, saat di bangku SMA dulu ia terkenal sebagai orang yang suka membantu teman-temannya, sampai sering kali kebaikannya itu dimanfaatkan oleh orang lain yang tak berhati. Afnan terus fokus menatap depan pada jalanan yang lurus, saat Steva mulai buka suara.
"Aku tidak punya tempat tinggal, kau bisa menurunkanku di sini saja," ujar Steva yang tak dinyana oleh Afnan. Pria itu mengernyitkan dahi dan menoleh pada Steva untuk sesaat.
"Kamu ada masalah? Bodoh, kenapa aku masih tanya, keadaanmu saat ini saja seperti ini, ya jelaslah kamu ada masalah, huufftt...." Afnan menghembuskan nafas kasar. Steva memalingkan muka menghadap kaca pintu mobil, seakan ia mengamati pemandangan luar sana yang sama sekali tak ia perhatikan.
"Haahh, begini saja, kalau kamu tidak mau cerita, tidak apa-apa, itu adalah masalah pribadi kamu dan hak kamu juga kalau tidak mau cerita, aku harus pulang sekarang, tapi aku tidak mungkin membawamu pulang ke rumahku, bisa mati digantung biniku aku kalau dia melihat aku pulang membawa perempuan cantik dan seksi sepeti kamu," cerocos Afnan yang sontak membuat Steva menoleh.
"Kamu sudah nikah?" tanya Steva.
"He em, istriku itu cantik, tapi ya gitu, galaknya minta ampun, aku juga sudah punya dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki," Afnan menceritakan sedikit perihal kehidupan keluarganya.
"Gimana kalau kamu sementara tinggal sama Asha? Di kosannya?" tawar Afnan.
"Asha?"
"He em, kamu masih ingat dia, kan?" tanya Afnan.
Asha adalah adik Afnan yang sudah hidup mandiri, ia terpaksa keluar dari rumah warisan orang tuanya yang ditinggali Afnan bersama istri dan anak-anaknya, hubungan ipar itu tidak terjalin dengan baik. Selalu ada hal yang memantik keributan diantara mereka, meski itu hanya sekecil biji berry.
"Memangnya Asha tinggal di kos sama siapa?" Steva ingin memastikan terlebih dulu, lebih tepatnya ia tak mau jika Asha adik Afnan itu tinggal bersama suami atau pacarnya, mungkin.
"Sendiri." jawab Afnan santai.
Afnan lantas melanjutkan ceritanya tentang Asha, gadis yang 2 tahun lebih muda dari dirinya itu telah keluar dari rumah dan memilih tinggal sendiri di kos, ia bekerja sebagai seorang pembantu di sebuah rumah mewah yang berada di kawasan elit pusat kota.
Berangkat kerja jam 7 dan pulang jam 4 sore, meski hanya berprofesi sebagai pembantu, namun gaji yang diterimanya di atas nominal yang didapat pekerja UMR.
"Kak Steva kok bisa sih keadaannya kayak gini?" tanya Asha melihat penampilan Steva yang cukup memprihatinkan. Afnan mengantar Steva ke tempat kos Asha, dan kini mereka bertiga duduk lesehan pada lantai kamar Asha. Steva hanya diam, ia masih belum siap untuk buka suara menceritakan apapun perihal kisah hidupnya yang lalu.
"Udah nggak usah ditanya yang aneh-aneh, biarin Kak Steva istirahat dulu, oh ya, pinjami Kak Steva baju kamu dulu ya, Sha?" ujar Afnan yang segera mendapat anggukan dari Asha. Steva tersenyum manis pada gadis itu.
"Kakak harus pulang sekarang, tahu sendiri kan bagaimana nanti mbak Nirma kalo Kakak pulangnya terlambat." Afnan berdiri, lalu keluar dari kamar kos Asha diantar Asha sampai depan teras dekat mobil taksinya.
Dari dalam Steva bisa melihat kakak beradik itu yang nampak tengah mengobrol sesaat sebentar sebelum akhirnya Afnan masuk ke dalam mobil taksinya dan melaju pergi.
Steva keluar dari kamar mandi, ia telah memakai baju Asha, setelan kaos dan celana yang berbahan kain kaos. Sedikit kekecilan untuk Steva yang memang lebih tinggi dan ukuran dadanya yang lebih besar dari punya Asha. Namun itu tak masalah, yang penting hari ini Steva masih bisa memakai lembaran kain dan tidak te.lanjang.
Steva dan Asha berbaring bersebelahan berbagi spring bad yang sama. Pada awalnya Steva merasa canggung, tentu saja, ia merasa malu telah menjadi beban orang-orang yang lama tak ia temui, bertemu dalam keadaan seperti ini, namun Steva cukup bersyukur, dan dia berjanji tidak akan pernah melupakan kebaikan Afnan dan Asha yang telah mengulurkan tangan menolong dirinya dalam keadaan terpuruk seperti saat ini.
"Kak Steva sebenarnya kenapa sih? Jujur Asha kepo banget, tapi kata Kak Afnan tadi Asha tidak boleh tanya apa-apa kalau bukan Kak Steva sendiri yang ingin bercerita," seloroh Asha yang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
"Maaf ya, Sha? Kak Stev belum bisa cerita apa-apa untuk saat ini, tapi Kak Stev sungguh berterimakasih pada kalian berdua yang sudah bersedia menolong Kak Stev dalam keadaan sekarang," jawab Steva yang juga menatap lurus pada langit-langit kamar kos Asha.
Asha mengangguk-angguk mengerti.
"Emm? Kalo Kak Stev nggak punya tempat tinggal, apa Kak Stev punya pekerjaan?" tanya Asha yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Steva.
"Bagus!" seru Asha bangun dan menghadap Steva, sontak Steva mengernyit, ia tak mengerti dengan apa yang dimaksud Asha. Tak memiliki pekerjaan malah ia bersorak bagus.
"Kerja di tempat Asha aja, Tuan besar Asha membutuhkan seorang pelayan untuk menjadi pelayan pribadinya," seru Asha yang menarik perhatian Steva, ia pun turut bangun dan duduk bersila berhadapan dengan Asha.
"Beneran, Sha?" tanya Steva antusias, dan Asha mengangguk beberapa kali sambil tersenyum lebar.
"Iya, Kak. Kerjanya sih sebenarnya gampang, cuman mengurus kebutuhan Tuan besar saat pagi dan pulang dari kantor, tapi ya gitu, banyak yang tidak betah karena dia sedikit galak," jelas Asha tentang pekerjaan yang ia tawarkan.
Steva menatap dalam Asha seakan meminta penjelasan lebih detail. Dan Asha tersenyum cengir kuda menampakkan deretan giginya yang bersih dan rapi.
"He he he, sebenarnya bukan sedikit galak sih, Kak. Emang galak. Dia juga buta, dan wajahnya buruk rupa, sebagian wajahnya rusak."
'*Glek*.'
Steva membayangkan sosok Tuan besar yang Asha ceritakan. Tergambar menyeramkan. Tapi Steva sungguh sangat membutuhkan pekerjaan saat ini.
'*Sudahlah, dicoba saja dulu*.'
"Ok, besok Kak Steva mau datang melamar!"
"Bagus!"
Semangat para pejuang rupiah sekedar menyambung hidup, bekerja keras bukan untuk kaya. Apalagi sekedar bergaya.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
Asha telah terlelap dalam tidurnya, terdengar dengkuran halus dan sesekali suara merintih lirih menandakan gadis itu tengah mengigau Karena mimpi.
Steva masih terjaga, kedua matanya terbuka sempurna meski sudah ia coba sebelumnya untuk memejamkannya menghantar dalam lelap seperti yang terjadi pada Asha, namun nyatanya Steva tak dapat memaksa matanya agar terlelap dan istirahat.
Kenangan-kenangan indah yang sempat terukir antara dirinya dengan Malvin di masa lalu kembali terbayang, betapa dulu ia mencintai pria yang ia anggap sempurna itu begitu dalam dan sangat tulus, namun semua ternodai oleh pengkhianatan-pengkhianatan yang Malvin lakukan, awalnya Steva mencoba untuk bertahan, namun setelah Malvin semakin berani menunjukkannya secara terang-terangan dan tak menghargai perasaannya, maka Steva memilih untuk menyerah, sudah.
Flash back on.
"Ayah, tolong Steva, yah? Steva nggak mau...." teriak Steva yang telah dibawa pergi oleh beberapa anak buah dari seorang mucikari berpakaian lengkap serba hitam menuju ke sebuah mobil lalu memasukkan paksa Steva dan membawanya pergi dari sana.
Hamdan telah menjual putrinya sendiri demi sejumlah uang yang tentu nominalnya berderet angka nol sangat panjang di belakang angka utamanya.
Dengan senyum sumringah Hamdan masuk ke dalam rumah membawa koper berisi lembaran-lembaran merah mata uang rupiah yang penuh dalam satu koper hitam itu.
Ia seperti tak peduli bagaimana nasib Steva sang putri yang telah ia jual pada seorang mucikari dan akan dijadikan sebagai seorang wanita penghibur para pria hidung belang. Yang terpenting baginya saat ini adalah, ia telah mendapatkan uang begitu banyak, untuk bisa membayar hutang pada rentenir dan juga bisa ia gunakan sebagai modal usaha, usaha judi.
Steva berada pada suatu ruangan yang penuh dengan wanita-wanita berpakaian seksi dan ber-make up mencolok, menor lebih tepatnya, dari mereka belum tentu semuanya cantik, dengan pencahayaan keremangan seperti ini, mereka semua nampak sama bagi Steva. Seperti badut, apalagi gaya bicara dan lenggak lenggoknya, sudah macam mau tampil pada perhelatan sirkus saja.
Steva berdiri di dekat sofa memegangi pundaknya yang terbuka, ia mengenakan dress mini sepaha dengan bagian punggung yang terbuka dan hanya tali spaghetti sebagai penopangnya. Risih, tentu saja.
Hatinya berdebar, pikirannya berkecamuk, ia takut namun juga berusaha tetap berani. Beberapa perempuan yang sudah profesional menjalani profesinya itu sesekali menatap sinis pada Steva yang terlihat kampungan, menurut mereka, karena Steva beberapa kali menarik dress bagian bawahnya agar tak terlalu menampakkan paha dalamnya, dan bahkan mungkin pakaian dalam bagian bawahnya bisa terlihat saking pendeknya dress berwarna merah itu.
"Bawa dia!" perintah seorang perempuan yang biasa mereka panggil mami pada dua anak buahnya.
"M-ma ma mau dibawa kemana saya?" protes Steva berusaha menolak, namun tenaganya tak cukup kuat untuk melawan hingga dengan mudahnya dua anak buah mami membawanya masuk ke dalam satu ruang karaoke VVIP +. ruang itu nampak kosong, tamu yang memesan jasa Steva belum datang.
"Aku masih berbaik hati padamu, anak manis, jadilah kelinci yang penurut, malam ini tugasmu hanya menemani tamu minum dan karaoke, cepatlah belajar agar pandai merayu, karena besok kau harus mulai bekerja pada inti pekerjaanmu, memuaskan para tamu di atas ranjang." ucap mami panjang lebar.
'Deg.'
Berakhir sudahkah nasib hidup Steva saat ini? Akankah ia menjalani hidup sebagai budak nafsu dan hingar bingar dunia malam? Steva terus berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa lolos dari mereka dan keluar dari tempat ini. Hingga dengan gerakan cepat dan tiba-tiba Steva meraih satu botol minuman berbahan kaca di atas meja lalu ia pukulan keras pada kepala salah seorang pria anak buah mami, dan Steva menyerobot keluar dari ruang tadi berlari cepat dari kejaran mami dan anak buahnya.
Steva tak tahu pasti kini ia tengah berada pada tempat macam apa, namun tempat ini jelas bukanlah tempat yang baik untuknya, nampak banyak pasangan yang bermain begituan pada sepanjang lorong yang ia lewati.
Steva terus berlari, orang-orang yang mengejarnya semakin bertambah setelah mami berteriak memberikan perintah.
Steva terus berlari, ia merasa dirinya bukan keluar namun justru masuk semakin ke dalam, tapi semua sudah terlanjur, Steva tidak mungkin akan kembali atau orang-orang itu akan segera menangkapnya.
Kini Steva berada pada satu lorong cukup luas dan sepi, tak seperti lorong-lorong yang tadi ia lewati begitu banyak pasangan yang tengah bercumbu bebas. Disini nampak lebih steril, hanya saja, Steva semakin panik, di depannya adalah jalan buntu, hanya ada dinding, sedangkan kiri kanannya adalah pintu-pintu ruangan yang ia tebak mungkin saja seperti ruang privat tamu VVIP.
"Cepat! Cari dia!" teriak salah seorang yang dapat didengar Steva. Dan Steva terus bergerak semakin gugup dan panik.
Steva mencoba membuka pintu di dekatnya, 'Klek klek.' pintu itu terkunci. Ia mencoba pada pintu berikutnya, dan sama juga, terkunci.
Steva berpindah pada pintu di sebelah kirinya, ia harus terus mencoba dan berusaha, ia tak ingin jika dirinya sampai tertangkap dan benar-benar akan menjalani hidup sebagai wanita penghibur atau pemuas nafsu.
'Klek.' sebuah pintu yang Steva coba dapat terbuka. Ia lantas masuk cepat menutup kembali dan mengintip keluar dari kaca kecil tembus pandang yang ada pada pintu itu.
'Khem.'
"Aah?"
Deheman dari seorang pria yang duduk seorang diri pada sofa menikmati minumannya itu sontak mengagetkan Steva hingga ia terlonjak.
Steva membalikan badan menghadap pria itu, tubuhnya bersandar pada dinding dekat pintu dengan raut mukanya yang jelas menunjukan dirinya tengah dalam mode takut. Dan pria itu menatap datar Steva.
"Cepat! Cari dia!" teriakan orang-orang yang mencari Steva kembali terdengar menggelegar. Membuat spot jantung Steva serasa ingin lepas dari tempatnya.
Steva kembali mengintip keluar, mereka mencoba membuka pintu satu persatu seperti yang Steva lakukan tadi. Pria yang duduk di sofa mengernyit melihat perilaku Steva, dan Steva kembali membalikkan badan menghadap pria itu lalu berjalan cepat mendekat.
"Tuan, tolong aku! Aku sedang dikejar orang, mereka mau menjadikanku sebagai P.s.K, saya tidak mau, tolong saya, Tuan! Tolong selamatkan saya. Hiks hiks hiks." Steva memohon di depan pria yang dengan santainya menenggak minumannya lagi itu.
"Brengsek, dimana dia? Cepat cari, jangan sampai dia lolos atau mami akan mencincang kita." teriak seorang pria kepada teman-temannya yang mencari Steva. Hingga seorang pria anak buah mami itu membuka pintu yang tak terkunci, sebuah ruangan yang tadi Steva masuki.
'Klek.' pria anak buah mami itu berhenti kala mendapati pelanggan VVIP + yang cukup terkenal disana tengah berciuman dengan seorang gadis menatapnya tajam tanpa melepas tautan bibirnya.
"M-ma maaf!" ujar anak buah mami membungkukkan badan dan kembali keluar menutup pintu. Ia tak dapat melihat wajah gadis yang menjadi partner pelanggan VVIP + tadi karena menghadap sang pria dan hanya menampakkan punggungan yang tertutup jas sang pria tamu VVIP +.
"Aah!" Steva Lekas melepas tautan bibirnya pada laki-laki yang baru ia temui pertama kali itu setelah mendengar suara pintu yang ditutup kembali dan orang itu pergi. Nafasnya tersengal, antara gelora syahwatnya yang terbangkitkan atau karena rasa takutnya yang dominan. Steva mengusap lembut bibirnya yang terasa basah dengan jari-jemarinya.
"Apa dia sudah pergi?" tanya Steva langsung berdiri, jas pria yang ia pakai itu terlepas dari pundaknya dan terjatuh ke lantai.
Saat Steva hendak bergerak melangkah, tangannya tiba-tiba diraih dan digenggam erat oleh pria yang barusan berciuaman dengannya.
"Kau pikir kau bisa pergi begitu saja dariku?" celoteh pria itu menatap dalam Steva yang membulatkan netranya beradu pandang pada manik sang pria.
Flash back off.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!