NovelToon NovelToon

Kugoda Lagi Suamiku

Mirip Babu

04.00 pagi

Hampir setiap hari Ana bangun sepagi ini. Setelah membersihkan badan, dia segera menuju dapur untuk membuat sarapan untuknya dan keluarganya. Rambutnya dicepol asal-asalan, daster selutut membungkus tubuhnya yang sebenarnya masih mulus, serta kaki jenjangnya yang dibiarkan telanjang dilantai keramik yang terasa dingin.

Dia langsung mencuci beras, memasukkannya ke mejikom dan menekan tombol cook pada alat penanak nasi itu. Dia lalu mencuci piring kotor yang habis digunakan untuk makan malam semalam. Dia terlalu lelah jika harus mencuci setelah makan malam. Selesai mencuci piring, dia lanjutkan dengan menyapu lantai lalu mengepelnya.

Sudah jam 5 lewat 40 menit. Baru saja dia hendak membuat telor ceplok untuk sarapan, terdengar suara tangisan anak keduanya. Dia langsung meninggalkan telur-telur yang baru diambilnya dari lemari es di meja dapur dan bergegas ke kamarnya untuk menemui si kecil.

Arzetta, bayi perempuan berusia 1 tahun itu sedang menangis di samping ayahnya yang masih terlelap. Ana langsung menggendong bayi mungilnya.

"Cantiknya Mama udah bangun ya? Yuk kita mandi biar wangi." ucapnya bermonolog sembari menggendong bayi perempuan yang mulai berhenti menangis.

Ana pun dengan sigap memandikan Arzetta lalu memakaikan popok bayi dan pakaiannya. "Anak Mama udah cantik dan wangi. Mau ***** dulu?"

"Nen..nen..nen.." ucap bayi 1 tahun itu sambil menunjuk bagian depan pakaian Ana.

"Oke. Tapi Arzetta nenennya di sofa aja ya? Yuk. Eh sebentar, Mama ambilin baju buat Papa dulu ya."

"Papa.. Bobo.. Papa.. Bobo.."

"Iya Papa masih bobo, Cantik. Yuk kita bangunin."

Bayi 1 tahun itu tersenyum memperlihatkan giginya yang baru tumbuh 6.

"Pa.. Papa.. Bangun, Pa. Lihat nih Arzetta udah cantik loohh.." Ana mengguncang pelan tubuh suaminya. Arzetta tertawa melihat tubuh ayahnya bergoyang-goyang.

"Jam berapa sekarang?" tanya Prasetya, suami Ana, dengan suara khas orang bangun tidur dan mata yang setengah terbuka.

"Jam 6, Mas."

"Papa.. Papa.." bayi cantik itu berusaha meraih wajah ayahnya.

Prasetya bangun dari tidurnya yang langsung disambut oleh rangkulan Arzetta. "Wangi banget cantiknya Papa." Prasetya mencium gemas pipi gembul bayi 1 tahun itu.

"Yuk, Arzetta sama Mama. Papa mau mandi dulu." Ana meraih tubuh mungil itu dari pangkuan suaminya.

"***** Mama.. ***** Mama.." kembali Arzetta menari-narik baju bagian dada Ana.

"Mas, pakaian gantinya sudah aku letakkan di ranjang ya. Aku mau nenenin Arzetta." ucap Ana sebelum keluar kamar.

"Iya."

Ana menuju sofa ruang keluarga, dia menyusui Arzetta sambil menonton televisi agar tidak sepi. Belum selesai menyusui Arzetta, terdengar teriakan dari kamar di sebelahnya yang ditempati oleh anak sulungnya yang berusia 3 tahun, Arzanka.

"Mama!" seru anaknya yang pertama.

"Mama di sofa, Kak. Lagi nyusuin adik. Kakak sini ya!" serunya membalas panggilan si sulung.

Tak lama kemudian, keluarlah seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dengan rambut acak-acakan dan muka bantalnya.

"Sini, Sayang." Ana mengulurkan tangannya agar si sulung mendekat. Arzanka lalu duduk di samping ibunya.

"Adik udah mandi, Ma?" tanya si sulung sambil memainkan jari mungil adiknya.

"Udah, Kak."

"Yaaaah.. Padahal aku pengen mandi sama adik." keluh si sulung.

"Kakak sih bangunnya telat. Nanti sore aja ya mandi bareng adiknya." Bujuk Ana pada anak sulungnya.

Setelah selesai menyusui Arzetta, Ana langsung memandikan Arzanka. Kini, kedua anaknya sudah rapi dan wangi. "Kak, jagain adik dulu ya. Mama mau masak telor buat sarapan, oke?"

"Oke!" seru Arzanka mengacungkan jempolnya.

Prasetya keluar dari kamarnya, dia menyapa kedua anaknya yang sedang bermain di ruang keluarga. Dia duduk sebentar sambil mengancingi lengan kemejanya dan bermain dengan anak-anak.

"Papa... Papa..." Panggil Arzetta mengangkat bola ke depan Prasetya.

Ayah dan kedua anaknya sedang bermain diselingi tawa dari ketiganya. Pemandangan itu saja sudah cukup untuk membuat Ana tersenyum bahagia. Dia merasa bersyukur, sesibuk apa pun suaminya, Pras masih menyempatkan waktunya bermain dengan anak-anaknya.

Ana menyiapkan sarapan di atas meja makan, hanya nasi goreng dan telor ceplok. "Mas, sarapannya sudah siap!" seru Ana dari ruang makan.

"Ayo kita sarapan!" ajak Pras pada kedua anaknya. Dia lalu menggendong Arzetta menuju meja makan.

"Let's go!!" Arzanka balas berseru.

Ana mengambil Arzetta dari gendongan suaminya lalu mendudukkannya di kursi khusus, sementara Arzanka duduk di kursi makan di sampingnya. Ana menyuapi kedua anaknya dengan telaten.

Selesai sarapan, Arzetta minta gendong. Sebelah tangan Ana menggendong Arzetta, sebelahnya lagi membereskan piring bekas sarapan. Terlihat sangat repot memang, tapi inilah yang dijalani Ana setiap harinya.

Prasetya, suami Ana. Dia memang suami yang bertanggung jawab pada anak-anaknya. Dia selalu menyempatkan waktu untuk bermain bersama anak-anaknya. Tapi Ana merasakan berbeda beberapa minggu terakhir. Pras, begitu suaminya biasa dipanggil, beberapa minggu ini selalu bersikap dingin dan acuh pada Ana. Ana tidak tahu apa penyebabnya.

"An, kunci mobil mana?" Tanya Pras dingin.

"Biasanya kan kamu yang simpan, Mas. Kamu menaruhnya di mana semalam?" Ana balas bertanya.

"Ditanya malah balik nanya. Cari!" Titah Pras.

Ana menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Lelah. Itu yang dia rasakan. Bukan hanya lelah karena mengurus kedua buah hatinya dan rumah saja, tetapi juga lelah melihat sikap Pras yang belakangan acuh padanya.

Apa aku kurang memperhatikan Mas Pras? Apa aku kurang becus mengurus rumah tangga?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Ana. Dia mondar-mandir di dalam rumah mencari kunci mobil suaminya sembari menggendong Arzetta. Bayi 1 tahun itu menangis tiap kali Ana mencoba menurunkannya. Sementara Pras, dia menyiapkan keperluannya sendiri untuk ke kantor.

"Ka.. Kaka... Arzanka!" Seru Ana memanggil anak pertamanya.

Ana panik saat tidak mendapati si sulung dalam rumah. Dia berlari keluar rumah tapi tetap tidak melihat putra pertamanya itu. Sembari menggendong Arzetta, dia tergopoh masuk kembali ke rumah.

"Mas, kamu liat Arzanka ga?" Tanyanya pada Pras yang baru keluar dari kamar.

"Kan dia dari pagi sama kamu! Kenapa tanya aku!" Pras malah meninggikan suaranya, terkesan menyalahkan Ana.

"Tadi aku lagi nyari kunci mobil kamu, Mas." Ana memberikan alasan.

"Jaga anak ga becus." Ucap Pras ketus. "Aku sudah terlambat ke kantor!"

Ana hanya diam. Nada suara seperti itu sudah biasa dia dengar dari mulut suaminya beberapa minggu terakhir. Ana diam karena dia tidak ingin bertengkar dengan suaminya, apalagi di depan anak-anaknya.

Ana dan Pras mencari ke seluruh penjuru rumah tapi tidak menemukan putra sulung mereka. Rumah mereka tidak terlalu besar, jadi tidak membutuhkan waktu lama untuk menjelajahinya.

Pras melihat bayangan kecil di belakang mobilnya, dia langsung bergegas ke belakang mobilnya.

"Arzanka!" Panggil Pras saat melihat anak pertamanya bersembunyi di belakang mobil.

"Yah, ketauan deh." Keluh bocah 3 tahun itu keluar dari persembunyiannya.

"Apa itu?" Tanya Pras tajam saat melihat putranya membawa sesuatu di tangan kanannya.

Pras mengambil benda yang dipegang Arzanka. "Ini kunci mobil Papa! Papa sampe telat ke kantor gara-gara nyari kunci mobil! Dan kamu, malah diam aja ngambil kunci mobil!" Bentak Pras.

"Mas!" Seru Ana melihat Pras membentak Arzanka. Dia langsung menarik Arzanka yang terlihat ketakutan agar berada di sampingnya. "Bicara pelan sama anak bisa ga sih?"

"Aku telat ke kantor gara-gara dia!"

"Oke. Arzanka ngumpetin kunci mobil kamu, tapi bukan berarti kamu boleh bicara keras sama dia. Arzanka sedang dalam masa pertumbuhan, Mas. Dan bentakan seperti itu akan merusak psikisnya yang sedang berkembang. Jangan sampe kamu nyesel di kemudian hari, Mas. Ayo, Kak. Kita masuk."

Ana menuntun Arzanka memasuki rumah. Pras mengikutinya di belakang.

"Kamu gak perlu ceramahi aku. Merawat diri kamu sendiri aja kamu ga bisa, apalagi merawat anak." Ucap Pras sarkas.

"Apa maksud kamu, Mas?" Tanya Ana tajam.

"Ya kamu! Liat aja penampilan kamu! Lebih mirip babu dari pada istri seorang menejer produksi perusahaan besar!" Setelah mengucapkan ejekan pada Ana, Pras keluar rumah dengan langkah lebar.

Ana menghela napas dalam, dipeluknya kedua buah hatinya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu ga apa-apa kan, Sayang?" Tanyanya pada si sulung.

Arzanka menggeleng. "Papa kenapa berubah, Ma?"

Godaan Sang Sekretaris

PRASETYA berangkat ke kantor dengan perasaan marah. Dia sudah sangat bosan melihat tampilan istrinya yang seperti asisten rumah tangga, ditambah anak pertamanya yang menyembunyikan kunci mobil hingga membuatnya terlambat.

"Selamat pagi, Pak.." Sapa Una, sekretarisnya, menyambut dengan senyuman.

Prasetya hanya mengangguk samar dan langsung masuk ke ruangannya. Una mengikuti langkah atasannya, dia ikut masuk ke ruangan Pras.

"Maaf, Pak. Bapak ditunggu Pak Roni di ruangannya." Beri tahu Una.

"Ya." Jawab Pras singkat dan langsung bangkit dari duduknya.

Una menatap kepergian atasannya dengan pandangan penuh damba. Una sudah lama menyukai atasannya, tapi dia segan karena atasannya sudah memiliki istri dan dua orang anak. Una keluar dari ruangan Pras dan kembali duduk di kursinya.

Salah seorang pegawai laki-laki menghampiri Una. Pegawai bernama Hendri itu lumayan kenal dengan Una.

"Pak Pras ada, Mba?" Tanya Hendri.

"Pak Pras lagi keluar, dipanggil sama Pak Roni."

Hendri manggut-manggut.

"Tapi hari ini Pak Pras kayanya lagi bete deh." Curhat Una.

"Emang kenapa, Mba?"

"Pak Pras diam saja, diberi tahu juga jawabnya cuma 'ya'. Pendek banget. Seperti orang lagi kesel."

"Mungkin Pak Pras lagi ada masalah, Mba."

"Eh, kamu kan pernah ya ke rumah Pak Pras. Istrinya cantik ga?" Tanya Una penasaran.

"Cantik sih, tapi..." Hendri tidak melanjutkan ucapannya.

"Tapi apa?" Una semakin penasaran.

"Dia ga pernah dandan dan... pakaiannya pun biasa saja."

Una tersenyum licik.

"Memang kenapa, Mba?"

Una langsung melenyapkan senyumnya. "Enggak, enggak apa-apa."

"Ya udah, aku balik ke kubikel dulu. Nanti ke sini lagi." Pamit Hendri.

Apa mungkin Pak Pras mulai bosan dengan istrinya? Ah, sepertinya ini kesempatanku buat menggoda Pak Pras agar berpaling dari istrinya.

Una duduk di kursinya kemudian membuka tasnya, mengambil bedak dan lipstik dari dalam tas lalu memakainya. Mematut diri di cermin bedak. "Udah lebih fresh dan menggoda. Siapkan dirimu, Una." Ucapnya bermonolog menyemangati diri.

Tak lama Prasetya kembali ke ruangannya, Una segera menyusul masuk ke ruangan atasannya itu. Una langsung berdiri di depan meja Prasetya.

"Bapak mau saya buatkan minuman? Saya lihat dari saat Bapak datang sepertinya Bapak sedang bete, mingkin secangkir kopi bisa merubah mood Bapak." Una menawarkan.

"Boleh." Jawab Prasetya singkat.

"Akan saya buatkan, Pak. Tunggu ya.."

Una pun berbalik, dia meninggalkan ruangan Prasetya dengan melenggangkan kakinya agar pantatnya ikut bergoyang untuk menggoda atasannya itu.

Selang 15 menit, Una kembali masuk ke ruangan Prasetya dengan secangkir kopi. Dengan tersenyum menggoda dia menyuguhkan kopi itu di depan Prasetya.

"Silakan, Pak. Keburu dingin." Ucapnya dibuat segenit mungkin.

Prasetya sempat melongo melihat gerak-gerik dan mendengar suara sekretarisnya. Kenapa dia? "Makasih." Prasetya menyeruput kopinya.

"Itu buatan saya loh, Pak.."

Prasetya hanya mengangguk. Una masih berdiri di depannya dengan senyum menggoda.

"Kenapa kamu masih di sini?" Tanya Prasetya.

"Ee.. Barangkali Pak Pras membutuhkan sesuatu lagi?"

"Tidak, makasih."

"Ya sudah saya permisi, Pak."

Una pun meninggalkan ruangan Prasetya.

Di rumah

Ana sedang bermain dengan kedua buah hatinya. Sebenarnya dia akan memasak, tapi kedua anaknya malah mengajaknya bermain. Ana melihat gurat kesedihan diraut wajah putra sulungnya, meski pun balita 3 tahun itu sedang bermain.

Ana segera memangku Arzanka lalu mencium dan memeluknya. Ana tahu apa yang membuat Arzanka seperti ini, tapi dia ingin putranya itu mengatakan sendiri apa yang dirasakannya agar Arzanka tahu jika ada Mamanya yang siap mendengarkan segala keluh kesahnya.

"Ada apa, Kak? Kok jagoan Mama keliatannya sedih?" Tanya Ana lembut. "Cerita sama Mama."

"Kenapa Papa malah sama aku, Ma? Aku kan cuma ingin main petak umpet sama Papa. Apa Papa ga sayang sama aku?"

Ucapan yang keluar dari mulut putranya membuat hati Ana merasa tertohok. Bagaimana tidak? Anak berusia 3 tahun itu merasa sangat terpukul mendapat bentakan dari Papanya. Mungkin bagi anak 3 tahun itu kedua orang tuanya adalah superhero pelindungnya, jadi saat bentakan itu datang dari salah satunya, hancur sudah pertahanan dirinya karena sudah tidak memiliki superhero lagi.

Ana menangkup wajah mungil itu dengan kedua tangannya. "Papa hanya sedang buru-buru berangkat ke kantor, nanti sore saat pulang kantor pasti Papa mau main lagi sama Kakak. Jadi Kakak ga usah sedih ya."

Ana kembali memeluk dan mencium putranya.

Seminggu kemudian

Sikap Prasetya semakin dingin pada Ana. Hampir tiap malam Prasetya pulang larut tanpa memberi kabar. Jika Ana bertanya, Pras selalu menjawab sedang banyak pekerjaan di kantor jadi harus lembur. Ana pun percaya saja.

Ana harus menyiapkan berbagai jawaban untuk si sulung yang mulai kritis tentang kesibukan Papanya. Ana bukan wanita bodoh, dia dulu karyawan teladan di kantor. Tapi setelah menikah dan hamil, Pras meminta Ana fokus untuk keluarga.

Menjelang siang ibu mertua Ana, Bu Lili, berkunjung ke rumah. Dia ingin bertemu cucu-cucunya. Arzanka langsung berlari kearah Omanya.

"Oma..." Seru Arzanka berlari kearah Bu Lili.

"Cucu Oma makin tampan aja." Bu Lili berjongkok memeluk Arzanka dan mencium pipi balita itu.

Arzanka dan Arzetta bermain bersama Oma Lili, sementara Ana di dapur untuk memasak. Selesai memasak, Ana mengajak Ibu mertuanya untuk makan siang di rumahnya.

"Kita makan siang dulu yuk, Ma." Ajak Ana pada sang mertua.

Lili pun beranjak sambil menggendong Arzetta dan menuntun Arzanka menuju ruang makan. Ana sudah menyajikan nasi beserta aneka lauk untuk makan siang.

Setelah makan siang, Arzanka dan Arzetta tidur siang. Ana dan Lili duduk di sofa depan televisi.

"Pras pulang jam berapa, An?" Tanya Lili.

"Belakangan ini Mas Pras selalu pulang malam, Ma. Lagi banyak kerjaan di kantor, katanya." Jawab Ana.

"Lagi banyak kerjaan di kantor, apa dia bosen liat kamu, An?"

Ana diam. Ucapan ibu mertuanya menusuk hatinya, tapi dia tetap diam. Dia tidak mau membalas ucapan sang mertua karena dia sangat menghormati mertuanya. Lili berdiri.

"Mama pulang aja deh. Mama juga bosan liat kamu! Kamu itu ga bisa merawat diri, An. Lihat Mama! Mama yang udah tua aja masih merawat diri agar tetap terlihat cantik di depan Papa mertuamu. Kamu? Kamu udah seperti ART, An!" Lili bangkit dari duduknya.

Ana mengantar ibu mertuanya sampai teras rumah. "Hati-hati di jalan, Ma. Salam buat Papa." Ana mencium punggung tangan ibu mertuanya.

"Assalamu'alaikum.." Ucap Bu Lili.

"Wa'alaikumsalam.." Balas Ana.

Ana masuk ke kamarnya dan bercermin di depan cermin meja rias. Apa iya aku kaya pembantu? Kalau pun iya, kenapa Mas Pras dan Mama tega banget mengatakan itu padaku?

Cirebon, 1 Maret 2022

Misi 30 Hari

PAGI yang sibuk seperti biasanya. Ana mondar-mandir di dapur untuk membuat dan menyiapkan sarapan dengan menggendong si kecil. Itu sudah biasa dia lakukan, dan dia lakukan tanpa mengeluh karena merasa itu adalah kewajibannya. Penampilan Ana pun seperti biasa, hanya daster selutut dan rambut yang dicepol asal.

Ana mendengar Arzanka merengek pada Papanya untuk main, tapi Ana sangat terkejut saat mendengar suara bentakan dari arah ruang keluarga. Ana yang baru saja selesai menyiapkan sarapan di meja makan, tergopoh ke arah ruang keluarga.

"Ada apa, Kak?" Tanya Ana dan si sulung segera berlari ke arahnya dan memeluknya.

"Urus anak kamu baik-baik! Aku sedang buru-buru ke kantor!" Bentak Prasetya.

"Aku cuma ingin main sama Papa, Ma..." Rengek Arzanka di sela tangisannya.

"Dia kangen mungkin sama kamu, Mas. Kamu belakangan kan sibuk banget dengan urusan kantor." Ana berusaha tenang.

"Aku memang sibuk karena kerjaan! Aku pusing ngurus kerjaan sampe malam dan ditambah lagi anak ini minta main!" Dalih Prasetya.

"Mumpung hari ini hari minggu, kamu ga ke kantor kan? Jadi ga ada salahnya kalau kamu ngajak main anak-anak, Mas.."

"Dan kamu tiduran, begitu!? Kamu saja yang main dengan mereka! Aku capek dan mau istirhat!" Prasetya pun masuk ke kamarnya.

Ana hanya bisa menghela napas melihat sikap Prasetya. Akhir-akhir ini Prasetya sangat jauh berbeda, dia tidak hanya berkata kasar padanya tapi pada anak-anak juga. Ana khawatir dengan kondisi psikis kedua anaknya. Tapi setiap kali Ana mencoba bicara baik-baik pada suaminya agar tidak berkata kasar pada anak-anak, ujung-ujungnya Prasetya akan menghina penampilannya.

***

TIADA hari tanpa kesibukan bagi Ana, tidak ada akhir pekan atau pun hari libur. Sejak Prasetya mulai berubah padanya, semua hari sama bagi Ana. Tidak ada canda tawa bersama suaminya, tidak ada jalan-jalan mengajak anak-anak berekreasi.

Ana sedang memilah pakaian yang akan dimasukkan ke mesin cuci sementara kedua anaknya sedang bermain di depan televisi. Ana melihat sesuatu yang mencurigakan pada lengan kemeja suaminya.

Sebuah goresan lipstik dengan warna yang tidak pernah dimilikinya. Ana mulai berprasangka buruk pada suaminya. Belakangan ini Prasetya sudah berubah sangat drastis. Apa Mas Pras selingkuh ya? Ana menggelengkan kepala, membuang jauh-jauh pikiran buruknya.

Ana melanjutkan acara mencucinya sebelum anak-anaknya rewel dan minta ditemani main.

Semakin hari Ana semakin sering menemukan hal yang mencurigakan dari pakaian Prasetya, mulai dari goresan lipstik, aroma parfum wanita, setruk makan di restoran, hingga dia menemukan setruk belanja pakaian wanita dan tas wanita di saku celana suaminya itu.

Ana sudah habis kesabarannya, dia selama ini diam karena dia tidak mau bertengkar dan dihina oleh suaminya. Itu sangat menyakitkan! Ana mengambil kertas putih panjang itu lalu memasukkannya dalam kantong dasternya. Dia harus meminta penjelasan pada suaminya itu.

Seperti biasa, Prasetya pulang saat malam sudah larut dan anak-anak sudah ke alam mimpinya. Ana membukakan pintu untuk suaminya, dia menunggu sampai mereka berada di ruang keluarga.

"Mas, kita harus bicara." Ucap Ana tegas.

"Lain kali aja, aku capek!" Jawab Prasetya dingin.

"Mas!"

"Apa sih!?"

"Ini apa, Mas?" Tanya Ana memelankan suaranya yang sempat meninggi seraya menunjukkan kertas putih panjang yang pagi tadi ditemukannya di kantong celana suaminya.

"Bukan urusan kamu." Tukas Prasetya tajam.

"Aku istrimu, Mas. Jadi ini urusanku." Balas Ana tegas.

"Istri yang penampilannya bikin suami ga betah di rumah! Jadi wajarlah kalau aku mencari yang lebih sedap dipandang."

"Aku sudah curiga sejak beberapa minggu lalu, Mas. Kebiasan kamu yang berubah, goresan lipstik di kemeja kamu, wangi parfum wanita, setruk makan di restoran dan tadi pagi, aku melihat ini ada di kantong celana kamu. Kamu selingkuh kan, Mas?" Tuntut Ana.

"Laki-laki itu butuh sajian yang menggoda, Ana. Jadi wajarlah kalau aku mencari yang lebih menggoda dari pada kamu."

"Ingat anak-anak, Mas! Dulu kamu yang minta aku berhenti kerja dan fokus pada anak-anak dan rumah. Sekarang kamu bilang kamu mencari yang lebih menggoda karena aku tidak menggoda!"

"Karena kamu memang tidak menggoda! Kamu seperti babu! Sudahlah! Aku capek dan mau istirahat!" Prasetya berlalu ke kamar tanpa mempedulikan lagi istrinya.

***

HARI-HARI Ana lalui dengan mencoba bersabar dan bertahan demi kedua buah hatinya, Arzanka dan Arzetta. Ana sudah lelah jika harus berdebat setiap hari yang ujungnya pasti dirinya akan sakit hati.

Karena sudah lama tidak keluar rumah meski hanya untuk ke mall, hari ini Ana menerima ajakan Deby pergi ke mall. Ana menggendong Arzetta sementara Arzanka digandengnya.

Tak sengaja mata Ana menangkap sosok yang sangat dikenalnya hingga mata Ana melebar sempurna. Di sana, di sebuah butik dalam mall, dia meliat sang suami sedang memilih pakaian wanita dengan seorang wanita yang selalu bergelayut manja di lengan kirinya.

Ana semakin ternganga saat mengenali siapa wanita yang bersama suaminya, yaitu sekretaris suaminya. Deby melihat ke arah yang ditatap Ana tanpa berkedip karena dari tadi dia memanggil Ana, sahabatnya itu tidak menyahut.

Ana meradang! Marah, kecewa dan cemburu menjadi satu. Ingin sekali dia melabrak sang suami bersama wanita itu, tapi tangannya dicekal oleh Deby.

"Jangan, An." Cegah Deby. "Jangan permalukan diri kamu di depan banyak orang."

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Deb?"

"Mana ponsel kamu?"

Ana memberikan ponselnya pada Deby. Deby mengambil gambar Prsetya bersama wanita itu menggunakan ponsel Ana lalu mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

"Kamu bisa menunjukkan foto itu jika dia mengelak dari tuntutanmu! Dan satu lagi. Kamu tidak boleh menyerah pada wanita itu! Kamu istrinya, kamu lebih berhak atas dirinya dari pada dia! Dan ingat! Kamu harus memperjuangkannya bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk anak-anakmu!" Ucap Deby sebelum Ana sempat bertanya.

"Apa yang harus aku lakukan, Deb?"

"Kamu harus bisa merebut kembali cinta suamimu dalam waktu 30 hari!" Saran Deby.

"Ha!? 30 hari!? cepet banget!"

"Kamu mau, suami kamu lebih lama dekat dengan wanita lain?" Ana menggeleng. "Makanya, kamu harus bisa merebut cinta suamimu dalam waktu 30 hari!"

"Caranya?"

"Kamu harus berubah, An. Kamu harus merubah penampilan kamu agar suami kamu tergoda sama kamu. Pakai kosmetik, pakai parfum, pakai pakian yang menarik kalau bisa yang seksi sekalian. Kamu juga harus menggoda suami kamu agar dia tidak keluyuran!"

"Pakaian seksi? Goda suami?"

"Iya, kenapa?"

"Aku malu, Deb." Jawab Ana pelan.

"Dia saja tidak tahu malu menggoda suami orang, masa kamu yang istrinya malu menggoda suami sendiri? Kamu harus bisa merebut suami kamu lagi sebelum rumah tanggamu hancur, An. Kalau kamu tidak ingin anak-anakmu terlantar!"

Ana merenung, mencerna kata-kata Deby. Ya, dia harus berubah! Bukan hanya untuk dirinya yang masih mencintai suaminya, tetapi juga demi kedua anaknya agar tidak kehilangan sosok seorang ayah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!