NovelToon NovelToon

He'S So Shy

Page 01. XI MIPA 4

"Ah, gua ditinggal pergi masa!" Sosok gadis berjilbab segiempat ini berlari menyelinap ke setiap celah, mengingat hari ini kelasnya pindah ke lantai bawah. Berkali-kali ia berucap permisi numpang lewat, tak peduli dirinya didesak-desakkan oleh para pelajar. Ia tak bisa mendesah lega setelah turun dari lantai atas, ia masih harus berlari ke kelas barunya yang berada di gedung depan masjid.

Kelasnya sendiri berada di pintu kedua, jadi gampang diingat tempatnya. Langsung saja gadis bernama Shakira ini memasuki kelas barunya. Pepatah anak SMP masih berkumandang sampai sekarang: kelas baru, murid baru. Sambil mengucapkan salam Shakira membungkuk mengatur napas.

Ia kembali berdiri tegak, pandangannya mulai menelusuri satu bangku yang kosong. Shakira paling tak suka bila duduk di belakang dan sialnya ia hanya menemukan bangku kosong di belakang. Mau tak mau Shakira berjalan menuju bangku kosong yang ia temui tadi dengan wajah kusut.

Sembari mengeluarkan al-Qur'an versi saku, ia berpikir merenungkan segala kejadiannya. Walau duduk di belakang pojok kiri dekat jendela, setidaknya ia duduk sendiri tanpa ditemani oleh sosok pri—

Bruk!

Seseorang menaruh tas, terdengar desahan pelan saat menarik kursi untuk diduduki. Desahannya begitu berat dan sedikit nyaring, terdengar seperti desahannya para idol pria yang Masya Allah tampannya. Tentu saja kehadirannya membuat Shakira mendelik bukan main. Baru saja ia bersyukur ia malah dapat malapetaka lagi.

"M-mohon bantuan dan kerjasamanya." Sepertinya pria itu berkata demikian pada Shakira. Tapi, emang benar dia sedang berbicara padanya? Bisa saja dia sedang mengobrol dengan siswa-siswa yang tak sengaja berpapasan.

"Beli al-qur'an dari mana?" Dugaan Shakira meleset. Spontan ia mengerling dan terlihat pria bersurai coklat pendek itu tengah tersenyum kikuk padanya. Dia menunduk mengalihkan pandangannya ke samping. "Aku ingin sekali beli al-qur'an kayak kamu."

"Aaa ... i-ini," Shakira menatap al-qur'an miliknya dan membolak-balik sampulnya, "g-gua gak tau. Abang gua yang beli."

Pria itu mendongak berwajah cerah. "Wah, abang kamu pasti imannya kokoh. Gak kayak aku."

Lagi-lagi Shakira mengerling, kali ini ia mengernyit bingung. "Maksud lo?"

Pria itu mendelik dan spontan melambaikan kedua tangan di depan wajahnya. Sambil terkekeh sumbang ia menjawab, "B-bukan apa-apa."

"Panggil gua Shakira." Gadis beriris emerald ini mulai membaca kitab suci yang ia ambil tadi dengan khusyuk.

Seketika pria berkulit putih ini menatap Shakira lama-lama sebelum akhirnya ia pindah posisi menghadap ke depan kelas sembari menunduk. "A-aji, senang berkenalan denganmu." Shakira hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.

Mereka kembali membisu sampai wali kelas datang menyambut siswa-siswa di kelas 2 MIPA 4 ini. Wali kelasnya sendiri adalah guru Bahasa Indonesia, guru paling digemari oleh Shakira. Selama wali kelasnya bercakap panjang kali lebar kali tinggi, Aji terus memikirkan keelokkan dari Shakira.

Iris emerald, bentuk mata tidak begitu sipit, bibir tipis merah jambu tak pernah dipolesi lipstick, dan pipi sedikit tembam. Gadis idaman kaum adam, termasuk Aji. Biar ia ingat, Shakira ... namanya seperti tak asing di telinga Aji. Ah, lupakan saja. Ia tak boleh mengabaikan setiap ucapan wali kelasnya.

Membutuhkan energi yang lebih untuk mendengar ceramahan wali kelas, salah satunya bila bel istirahat berkumandang. Kelas berlangsung riuh setelah wali kelas keluar. Banyak di antara mereka yang saling memperkenalkan diri, salah satunya Shakira. Ia tak boleh dirinya dicap anti-sosial oleh teman-teman barunya.

"Hai, boleh gabung gak?" Shakira berjalan menuju kerumunan hawa di meja depan pojok kiri. Ia menghampiri kerumunan itu dengan lambaian tangan, disusul tolehan sebagai sahutannya.

"Ih, boleh banget!" Salah satu siswi berkacamata tersenyum manis pada Shakira. "Lo pasti Shakira. Iya, kan?"

"Hee ... kok lo tau nama gua?" tanya Shakira berkacak pinggang sambil meneleng tersenyum tipis. "Lo tau dari mana?"

"Anggota rohis paling tenar seantero sekolah gara-gara dakwah islami, siapa yang kagak tau soal lo?" Siswi berkulit sawo matang menepuk-nepuk punggung Shakira.

"Shakira enak banget, bisa duduk sama Aji. Iya gak, Ti?" kata siswi bertahi lalat di sudut mata kanannya.

"Hooh, beruntung banget lo," sambung Tati merangkul Shakira layaknya teman karib, yang semula menepuk-nepuk punggung Shakira.

"Kok lo pada bilang gua beruntung?" Shakira mengernyit bingung. "Emang kenapa kalo gua duduk sama dia? Kalo kalian mau, tinggal tuker bangku sama gua aja."

"Lo gak tau Aji, Kir?" tanya siswi bertahi lalat itu meneleng bingung, sesekali meneguk air mineral yang ia bawa dari rumah. Shakira hanya bisa menggeleng sebagai jawaban. "Asal lo tau, Aji itu bukan cuma anggota rohis cowok paling kece. Aji itu udah kayak oppa-oppa yang suka ada di Korea, digandrungi banyak cewek tau."

"Betul banget tuh apa yang dikatain si Nami." Siswi berkacamata itu mengangguk mantap. "Kalo lo udah kenal banget sama si Aji, beuh! Siap-siap lo terpana sama suaranya, Shakira!"

Shakira merenung sejenak, mencerna semua ucapan teman-teman barunya. Aji ... pria berkulit putih bersih dengan surai coklat pendek dan memiliki iris sehitam arang juga terdapat bekas goresan di alis kanannya. Entah kenapa pria semacam dia mampu menarik perhatian Shakira.

Waktu berjalan seperti biasa, tak ada yang istimewa dari setiap detik maupun menit. Namun satu momen istimewa Allah berikan pada Shakira di sore hari.

Saat itu, Shakira baru saja mengemasi peralatan sekolahnya ke tas bahunya. Ia benar-benar menikmati cahaya senja ini, yang sengaja Allah ciptakan untuk menghangatkan dunia fana yang ia pijaki. Shakira biarkan gorden jendela mengkerut di sisi jendela, ia suka dengan keadaan kelasnya. Terlihat ada siluet-siluet menakjubkan.

Iris emerald Shakira menangkap sebuah tas bahu yang begitu kembung di sebelahnya. Sepertinya ini punya Aji, namun ke mana sosoknya sekarang?

"Assalamualaikum." Terdengar suara bariton setelah ketukan pintu menarik perhatian Shakira. Ia melihat sosok jangkung dengan ujung rambut masih basah berdiri menatapnya. Si wajah aneh, Aji. Shakira mengungkapkan demikian tanpa alasan yang jelas.

"Wa'alaikumsalam." Shakira mendengus enteng sembari mencantelkan tali tas bahunya. "Abis sholat lo?"

Aji hanya menunduk dan mengangguk mantap bak anak kecil yang habis ditegur ibu. "K-kau sendiri?"

"Gua sholat di rumah aja, udah dijemput." Lantas ia hendak melangkah, namun terhenti begitu saja. "Ah, lo tau muadzin tadi kagak?"

Aji yang saat itu baru saja melangkah mendadak sontak kaget. "W-waktu adzan ashar tadi kah?"

"Waktu adzan isya, ya jahil (bodoh)." Shakira mendengus gusar dan mengusap wajahnya. "Ya iyalah, Aji."

"I-itu ...." Aji mulai melangkah menuju bangkunya untuk mengambil tas. Pandangannya sengaja dialihkan ke bawah, saking gugupnya berpapasan dengan Shakira. "... e-emangnya kenapa?"

"Gua suka dengerin suaranya." Shakira mesem seperti memendam rasa suka. "Gua jadi pengen tau sama tuh orang."

"A-aku gak tau apa-apa! Assalamualaikum!" Sekonyong-konyong Aji lari keluar kelas, meninggalkan tiga tanda tanya besar di atas kepala Shakira.

"Waalaikumsalam." Shakira melongo kebingungan. Kenapa dia lari terbirit-birit seperti itu? Dia benar-benar aneh. []

Page 02. First Contact

Hari kedua sekolah pun dimulai saat Raja siang mulai memancarkan auranya. Disaat serunya siswa-siswi berbincang pasal sekolah, bunyi serak-serak dari pengeras suara mengheningkan acara pasar malam mereka.

"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Diberitahukan kepada seluruh anggota rohis untuk kumpul di masjid sekarang juga. Sekali lagi saya sampaikan, seluruh anggota rohis kumpul di masjid sekarang juga. Terima kasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Shakira yang saat itu asyik mendengarkan pemberitahuan tadi tersadar dari lamunan kala bahunya ditepuk keras. Refleks ia celingak-celinguk dan mendapati Nami tengah menyengir kuda sambil menggaruk pangkal kepala. "Lo kebanyakan ngelamun, Kir."

"Ah, iya. Afwan (maaf), Mi." Shakira terkekeh renyah lalu menepuk dahinya. "Astagfirullah aladzim ...."

"Betewe, lo ke sana bareng si Aji, kan?" tanya Nami duduk di meja bangku belakang.

"Entah." Shakira mengangkat bahu, irisnya mengarah pada bangku kosong di sebelah bangkunya. "Gua kagak tau tuh cowok lagi ke mana."

"Udah lo ke sana aja." Dengan senyum akrab Nami menengadahkan wajahnya ke arah pintu di sebelah kiri. "Palingan Aji ganteng udah ada di masjid."

Pret! Ganteng dari mana?! batin Shakira bertampang datar bak jalan tol. Tanpa berlama-lama ia mengucapkan salam sebelum keluar kelas. Begitu Nami berdiri di ambang pintu, terlihat punggung teman kerdilnya yang berlari melambai tangan pada dua hawa di depan masjid. Sepertinya teman semasa kelas 10. Nami mendesah pelan dan tersenyum tipis, berpikir bahwa Shakira memang sosok hijaber yang gampang diajak kompromi.

Shakira sendiri mulai memasuki megah nan damainya isi masjid yang isinya para pengurus rohis. Sepatu bertalinya ia biarkan di depan anak tangga depan masjid. Bila dihitung, jumlah pengurus rohis yang masuk masih dihitung jari dan sialnya ia duduk bersimpuh dekat kaum adam. Pikirnya, kesel banget duduk deket cowok!

"Mampus lu."

"Napa?"

"Lu duduk deket ustadzah galak."

Kalimat terakhir dari mulut cablaknya membuat telinga Shakira memerah. Alis tebalnya bertautan berdenyut tak karuan, bahkan senyum iblisnya sudah mengembang penuh amarah. Sembari terkekeh bak penyihir ia mengerling membekukan para adam bermulut cablak dengan angin angker.

"Lo berdua tadi bilang apa?" Shakira berkata penuh penekanan. Tentu saja, siapa yang tidak marah kalau dighibah soal aib-aib?

"G-gak, kita gak ngomongin kamu kok." Siswa dengan rambut disisir ke belakang terkekeh renyah sambil melambai kedua tangannya di depan dada.

"B-bohong dia." Spontan teman di belakang si siswa tadi menepuk keras bahunya. "Tadi dia bilang Shakira si ustadzah galak."

"Apaan sih lu?" Siswa tadi menoleh tajam ke arah temannya. "Lu tadi bilang dia ustadzah galak."

Dan pada akhirnya mereka saling adu mulut. Ah, kelakuan mereka berdua ini membuat Shakira berpaling dongkol bukan main. Biar ingat-ingat, nama kedua pemuda tadi namanya Didin dan Anwar. Dasar mulut ibu-ibu!

Ia mendengar suara derap langkah kaki dari sebelah kiri. Shakira bisa merasakan pendatang baru sudah duduk bersila, sepertinya pria. Ia menyimak ketiga orang itu, ada yang emosian ada pula yang berusaha tenang.

"Tapi dia yang duluan bilang kalo Shakira itu si ustadzah galak!" Lagi-lagi ucapan Didin membelalakan mata Shakira.

"Beneran, Sha—"

"Apa lu bilang?!" Spontan Shakira menoleh dengan mimik bengis. Kali ini ia benar-benar tak mau menerima julukan itu lagi. Ia sangat membencinya! Irisnya menciut begitu mendapati sosok yang ia kenal di kelasnya. Si pemuda dengan bekas luka gores di alis kanannya. Mereka saling mendelik tak percaya. Benarkah yang Shakira tatap ini Aji, teman sebangkunya?

Aji terlihat mendelik menahan malu. Bisa dirasakan tak ada hembusan napas di wajah Shakira, dia pasti menahannya. Matanya tak sekali berkedip. Ada apa dengan dia?

"Cieee, kalian saling tatap-tatapan!"

Refleks mereka berpaling dengan ekspresi yang bertolak belakang. Aji menyipit dan menggigit bibir bawahnya seperti menahan efek letupan di hatinya, lain dengan Shakira yang memicing menggembungkan pipinya dan melipat tangan di depan dada. Sepertinya Shakira tengah kesal.

Aji mengerling sekilas dan berkata lirih, "M-maaf, gak sengaja."

Shakira tak menggubrisnya. Sudah jelas ia kesal bukan main, ia menganggap hari terburuk dalam hidupnya—dalam lembaran baru di kelas 11 ini. Sudah diejek ustadzah galak, bertatapan langsung dengan si Aji, kejadian apa lagi yang bakal menimpa hari buruknya?

"Kamu liat tadi kah?"

"Oh, si Aji?"

"Iya, kok dia takut sama Shakira, ya?"

Baru saja Shakira bertanya dalam hatinya, terjawab langsung oleh sekumpulan setan penyebar gosip. Ia menatap kesal dengan sebelah mata, terlihat tiga siswi di samping kanannya tengah berbisik-bisik layaknya ibu-ibu yang mencemoohkan sosok manusia haram. Seperti serial Kualat di Indonyinyir saja!

"Yah, lo cemen banget sama cewek, Ji."

Lagi-lagi argumen Didin si mulut cablak masuk ke dalam telinga Shakira. Ia menutup mata sembari mengepalkan kedua tangannya. Jangankan buku-buku jarinya memucat, uratnya pun samar-samar terlihat di sekitar pelipis. Sudut bibirnya berkedut-kedut menahan senyum iblis. Dalam hati ia mengumpat, Ini anak maunya apa sih? Gua tabok juga nih lama-lama!

"I-ish!" Aji menggeleng menampar pipi Didin dengan lembut. Terdengar sekali rasa kesalnya saat temannya berkata hal yan sepertinya kurang mengenakan. "Aku gak mau ngelukain cewek. Gak baik."

"Gak baik atau memang pengen ngelindungin Shakira?" Anwar membungkuk dan menoleh ke arah Aji yang tengah menahan malu. Sembari menyipit penuh godaan, muka Aji benar-benar merah padam sampai ke daun telinga.

"Hayoo lo!" Didin menunjuk Aji dengan kesan yang sama.

"A-a-apa mau kalian, hah?" Sekilas Aji mengerling kedua temannya sebelum ia kembali menunduk memejam mata.

"Katanya mantan pelanggan BK, kok sama Shakira aja udah takut?" Didin berpaling dan melipat tangan di dada bidangnya.

"B-bukan takut!" sergah Aji mengerling malu. "C-cuma ...." Dan lagi-lagi Aji menunduk. Ia membiarkan kalimatnya terputus, meninggalkan sebercah rasa penasaran untuk Shakira. Aji benar-benar tak sanggup menahan malu sekarang. Ia memilih untuk berdiri dan pergi menuju tempat wudhu laki-laki yang letaknya di sebelah kanan masjid.

Pandangan Shakira yang penuh kekesalan memudar dalam sekejap begitu menatap punggung pemuda jangkung di sampingnya tadi pergi menuju lokasi demikian. Pandangan terhadap pemuda tadi sungguh kosong.

Gadis berkulit kuning langsat ini menunduk dan berpose bak detektif-detektif terkenal. Matanya menyipit, mencoba mengingat kembali argumen si Didin yang membuat Aji tambah malu. Kalau tidak salah, Aji disebut-sebut mantan pelanggan BK. Mana mungkin lelaki ramah semacam dia pernah masuk BK?

Dalam hati ia berkata, Kehadiran lo bikin gua penasaran tentang sosok lo yang sebenar. []

Page 03 (a). Masa SMP

Acara rapat tadi membuat Shakira mengantuk bukan main. Di kelas pun ia memilih untuk tidur bak beruang kutub ketimbang menyimak argumen teman-temannya. Mau seberapa kerasnya mereka bercakap ia acuh tak acuh. Ia hanya ingin beristirahat untuk sekedar menyegarkan badan.

Tepuk tangan dan sorak-porak berlangsung meriah menghebohkan seisi kelas—hampir seisi koridor. Beberapa dari mereka merangkul atau memuji Nami, sisanya pada sibuk dengan media belajar masing-masing.

"Selamat ya, Mi." Siswi berkacamata dengan tinggi setara itu merangkul Nami layaknya sahabat karib.

"Hehe." Nami terkekeh berkacak pinggang. "Makasih banget, Rai."

Raiza tertawa lalu melepas rangkumannya, menoleh pada tiga orang yang mengajaknya jajan. Lantas ia menoleh ke arah Nami yang tengah mengucapkan terima kasih. "Gue jajan dulu ya!"

"Ah, iya." Nami menoleh mengangguk lalu melambaikan tangan. Pandangannya menatap punggung Raiza yang keluar kelas bersama teman-temannya. Perlahan senyumannya merenggang, bahkan tatapannya berubah kuyu. Iris coklatnya mengerling menatap sosok pemuda di bangku belakang; Sosok bersurai coklat yang menunduk membaca tebalnya buku paket. Dari tebal dan ukuran bukunya, sepertinya buku kimia.

Lantas Nami menghampiri pemuda itu. Tangan kanannya menapak di meja sang pemilik bangku, menarik perhatian pemuda dengan bekas luka di alis kanannya untuk mendongak. Dia rela menghentikan kegiatan tulis-menulisnya guna bertatap langsung dengan sang pengunjung. Nami mengerling sekilas hanya sekedar melihat Shakira yang tertidur dalam tangkupan.

"Tugas lo belum selesai, Ji?" tanya Nami tanpa ekspresi, sesekali melirik buku paket kimia yang terbentang begitu saja di meja.

Aji mengalihkan pandangannya sejenak sebelum menunduk mengangkat bahu. "Kamu mau ngomong sama aku secara pribadi, kah?"

Nami tak menggubris. Ia tetap berdiri menatap pemuda di depannya. Biar pun tatapannya begitu kuyu, setidaknya hati Nami sungguh iba. Ia tak tahu ingin berkata apa. Sama-sama susah diungkapkan, baik dalam hati maupun secara lisan.

"Ikut gue ke perpus." Ucapan lirih Nami lagi-lagi menarik perhatian Aji. Mata dan mimiknya terpancar hampa, entah apa yang dia pikirkan saat ini. Nami sendiri berbalik dan berjalan keluar kelas seraya menarik ujung manset warna biru cerah yang disusul oleh Aji di belakang. Setiap mereka melihat, Nami dan Aji hanya berpasang muka tanpa ekspresi.

Yang Nami tahu tentang perpustakaan di SMA ini hanya dua kata: sepi pengunjung. Mereka tak masuk ke sana, kedatangannya hanya untuk sekedar duduk di depan perpustakaan berpintu kaca dua pintu. Terlihat pelajar dari kelas yang berbeda berlalu lalang membawa barang, entah semacam buku atau jajanan dari kantin. Tak sedikitpun guru-guru dengan seragam PNS, sesekali mereka berhenti untuk menyalami murid-muridnya yang berpapasan.

"Lo kenal Bu Eti gak, Ji?" Nami memangku rahang bawahnya dengan lipatan jemari tangan.

"Guru BK?"

Nami hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Mereka kembali membisu; Nami menatap lurus, Aji mengerling ke arah masjid sembari bertopang dagu.

"Lo ingat gak, Ji?" Nami mengerling untuk memastikan pemuda di sampingnya masih mau mendengar curahan hati si tomboy bertahi lalat di sudut mata kanan. "Waktu kita usilin Pak Ufal."

Aji bergeming, ia tak mau menggubris ucapan Nami. Matanya kian menyipit seperti menahan bendungan air asin di pelupuk mata.

Nami mendengus enteng dan menatap ke depan kembali sembari tersenyum tipis. "Waktu itu gue cuma matahin dudukan kursi empuk dan Pak Ufal langsung jatuh pas duduk. Pas dia tanya siapa pelakunya, gue tunjuk lo pelaku yang ngejahilin Pak Ufan dan lo langsung mukul gue tanpa ampun."

Aji menunduk membiarkan bulir asin mengalir di kedua pipi tirusnya. Kini topangan dagu yang senantiasa menyangga rahang bawahnya berganti mengusap tengkuk.

Nami justru tertawa kecil. "Sampe sekarang gue masih inget kejadian itu, padahal udah dua taun kejadiannya." Begitu irisnya bergerak ke kanan, Nami kembali bermuka dingin. Ia seolah-olah tahu dengan resikonya bila ia bernostalgia dengan Aji.

"Ji," Nami meringkuk memeluk lututnya, "lo banyak berubah sekarang. Apa gara-gara kelakuan bejat waktu SMP lo sekarang hijrah dan suka gugup bila berinteraksi sama orang lain?"

"Maaf ...," lirih Aji menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa lo minta maaf ke gue?" Nami menoleh dan menepuk punggung Aji sebagaimana Nami bersekongkol dengannya saat masih menjadi preman sekolah. "Bilang maaf ke Pak Ufan, dia korban atas perlakuan bejat lo."

Akhirnya Aji menoleh dengan mata sembab, hanya menatap Nami sekilas sebelum menunduk. "Aku gak yakin Pak Ufan mau maafin aku."

"Ji, gue kasih motivasi nih ya." Nami mendekati Aji lalu merangkulnya tanpa harus tangan menyentuh wajah kasar Aji. "Lo masih gak tau arti hijrah. Lo bilang gak yakin, itu berarti lo masih ragu sama keputusan lo sendiri. Mau hijrah menjadi lebih baik itu butuh proses, Ji. Lo bilang gak yakin Pak Ufan mau maafin lo, lo pikir sisi positif. Bisa aja Pak Ufan orangnya pemaaf. Yang penting lo udah punya niat buat berubah, Insya Allah! Allah Maha Pengampun, Allah pasti kasih jalan yang terbaik buat niat lo."

Sejenak Aji terhenyak, mencoba merenung mencerna kalimat motivasi Nami. Sedangkan gadis bermanset biru gerau ini bergeser menjaga jarak dengan Aji. Aji mengerling, melihat Nami yang tersenyum ramah menyahut sapaan teman-teman yang berlalu lalang lewat lambaian tangan. Nami benar, seketika Aji mengucapkan istigfar tiga kali sembari mengelus dada bidangnya.

"K-kau sendiri?" Pertanyaan Aji membuahkan kernyitan bingung Nami. Aji menatap ke depan guna tak saling berkontak mata dengan Nami. "K-kata mereka, kamu juga lagi hijrah."

Nami tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan kurus seperti Putri bangsawan kebanyakan yang suka ada di film-film. "Iya, gue lagi dalam proses hijrah. Gue coba ngebenerin tali persaudaraan sama orang yang gue sakiti."

"Termasuk Pak Ufan?"

Nami mengangguk mantap. "Entah kenapa kalo udah minta maaf sama berteman baik dengan orang yang gue sakiti itu malah membuat hati gue makin adem. Adeem ayem gue."

"G-gitu, ya?" Aji tersenyum tipis lalu menghirup oksigen banyak-banyak yang disusul dengan hembusan panjang. "Moga Allah mau temenin aku buat minta maaf sama mereka."

Nami mengikik memegang perut, spontan menepuk pundak bidang Aji dengan lembut. "Lo minta bantuan sama Allah buat intropeksi diri, pastilah dikabulin. Apalagi intropeksi diri soal akhlak."

"Hee? Beneran?" Aji menatap Nami dengan mimik polos. Ia mendongak sambil menggaruk pangkal kepala dan menepuk keningnya. "Astagfirullah, lagi-lagi aku lupa."

Barulah Nami tertawa terbahak-bahak sampai membungkuk menepuk-nepuk lutut Aji. "Lo aneh banget, Ji. Beneran."

Aji mengerling kesal. "B-biarin."

"Assalamualaikum." Kedatangan seseorang bernada nyaring nan kekanakan menarik perhatian dua insan ini. []

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!