NovelToon NovelToon

Uncle'S Little Girl

Chapter-01

Seorang wanita berusia 24 tahun tengah terbaring lemah di atas ranjang pasien dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuh kurus beserta kepala yang sudah plontos menandakan jika wanita tersebut tengah mengidap penyakit yang sangat parah.

Larissa, ia divonis mengidap penyakit kanker getah bening stadium akhir. Dokter menyatakan usia Larissa tidak akan berlangsung lama lagi.

Seorang pemuda yang selalu setia menemaninya, terus memberikan semangat pada Larissa agar tidak mudah menyerah. Ia tidak ingin Rissa putus semangat.

"Rissa. Ku mohon jangan menyerah, demi anak kamu." ujar pria tersebut, terisak. Yang bernama Martin Williams.

Tangannya terus menggenggam erat jari-jari Rissa untuk menyalurkan semangatnya.

Larissa Agustiani Rahayu, gadis cantik yang sangat Martin cintai, kini terkulai tak berdaya menunggu kematiannya. Rissa adalah cinta pertamanya. Walaupun cintanya bertepuk sebelah tangan, namun Martin tetap setia berada di sisi Rissa disaat-saat seperti ini.

Suaminya pergi entah kemana bersama istri keduanya, mengusir dan meninggalkan istri pertama juga anaknya yang baru berusia 5 tahun saat itu.

Rissa menatap sayu pada Martin, ia memaksakan senyumnya agar ia terlihat baik-baik saja.

"Martin, kumohon jaga putriku. Aku percaya kamu akan merawatnya dengan baik. Dan aku mohon, jangan sekalipun kamu menyerahkan Ayu pada ayahnya, dia bukan ayah yang baik, aku tidak bisa mempercayakan Ayu untuk dirawat ayahnya. Ku mohon." pinta Rissa dengan tatapan memohon.

Martin menunduk terisak, ia tidak kuat mendengar kata-kata Rissa yang menyiratkan perpisahan.

"Martin." panggil Rissa dengan suara hampir tak terdengar.

Martin mendongak lalu mengangguk, "Iya, aku janji akan merawatnya dengan baik, kamu jangan khawatir."

Rissa tersenyum samar. "Te-rimaksih... Aku se-karang bisa... tenang.."

Rissa tersengal-sengal, dan nafasnya kian tercekat. Hingga di detik selanjutnya, Rissa menghembuskan nafas terakhirnya menyisakan sebuah senyuman bahagia di bibir pucat nya.

Martin tercekat, dunianya tiba-tiba terasa runtuh seketika. Tenaganya pun melemah seolah ikut terbawa oleh sang pemilik hati.

"Rissa! Rissa bangun! Rissa bangun ku mohon jangan ditinggalkan aku Rissa... Risa!!!"

.

.

.

Setelah pemakaman Rissa selesai, Martin membawa pulang Ayu bersamanya. Tapi sebelumnya ia akan mengambil pakaian dan barang-barang milik Ayu dulu di rumah mendiang Rissa.

"Om, Bunda mana?" tanya Ayu dengan tatapan polos.

Martin tercekat bingung harus menjawab apa, ia memutar otak mencari jawaban tepat yang dapat dimengerti oleh anak berusia 5 tahun.

Martin mengusap kepala Ayu dengan tatapan iba, kemudian ia berusaha memperlihatkan senyumannya.

"Sayang, dengerin Om ya. Bunda sekarang lagi liburan dulu, dan sekarang Ayu tinggal sama Om dulu ya, Ok?"

Ayu mengangguk dengan polosnya. Martin tersenyum lega karena Ayu masih bisa dibohongi.

"Sekarang kita ke rumah Ayu dulu ya ambil baju-baju Ayu." Ayu mengangguk kembali dengan polosnya tanpa banyak bertanya.

Martin pun melajukan mobilnya membelah jalanan kota dengan kecepatan sedang.

Sekitar 20 menit, Martin pun sampai di depan rumah sederhana yang sudah terlihat sudah tua. Bangunan satu lantai tersebut adalah rumah yang dibeli oleh Rissa hasil dari kerja kerasnya berbisnis jualan online.

Rissa membeli rumah tersebut setelah 3 tahun diusir oleh suaminya, karena saat itu suaminya selingkuh dan memaksa Rissa untuk meninggalkan rumah tanpa membawa barang apapun, kecuali pakaiannya juga pakaian milik putrinya.

Martin turun lalu membuka pintu sebelahnya, ia memangku Ayu lalu membawanya masuk ke dalam rumah tersebut.

Martin melihat keadaan rumah tersebut yang terlihat sepi, ada beberapa foto Rissa yang tergantung di dinding ruang tamu. Seketika matanya berembun mengingat kembali kebersamaan terakhir mereka satu minggu yang lalu sebelum Rissa di larikan ke rumah sakit.

Flashback satu minggu lalu

Martin datang ke rumah Rissa dengan membawa dua kantong paper bag di kedua tangannya.

Saat menyadari kedatangan Martin, Ayu langsung berlari sembari merentangkan tangannya.

"Om Maltiiiiin.." teriak Ayu girang dengan ekspresi menggemaskan.

Martin meletakkan bawaannya lalu menyambut tubuh Ayu kedalam pelukannya.

"Halo, sayang. Ponakan Om yang cantik ini gimana kabarnya, hah?" Tanya Martin seraya mengecup kening Ayu dengan sayang.

"Baik, Om.." jawab Ayu dengan mimik senangnya yang terlihat polos.

Martin tersenyum melihat tatapan polos Ayu.

"Oh, iya. Ini Om bawa boneka buat Ayu."

Martin membuka paper bag-nya lalu mengeluarkan sebuah boneka princess kesukaan Ayu.

Mata Ayu seketika berbinar, Ayu langsung mengambil boneka tersebut lalu memeluknya dengan erat.

Tiba-tiba Rissa datang mendekati keduanya. "Ucapin apa sama Om?" tanya Rissa pada putrinya.

"Makacih Om, Cup!" dengan polosnya Ayu mengecup bibir Martin.

Seketika mata Rissa dan Martin, langsung terbelalak.

"Ayu! gak boleh gitu ya! siapa yang ngajarin kamu kayak gitu!" bentak Rissa tanpa sadar.

"Udah Ris, gak pa-pa. Namanya juga anak-anak, masih polos." ujar Martin menenangkan Rissa yang tengah melotot pada putrinya.

Ayu terkejut lalu menunduk takut saat melihat kemarahan bundanya.

"Tapi Ayu udah kelewatan Mar-"

"Udah gak pa-pa kok, Ayu masih polos. Dan Ayu juga belum ngerti apa yang dilakukannya barusan."

Rissa menghela nafas kasar, ia pun mengiyakan ucapan Martin. Lalu ia menatap putrinya yang sudah sesenggukan, dengan rasa bersalah. Sebab, baru kali ini ia membentak putrinya.

Bergegas Rissa memeluk putri kecilnya tersebut. "Maafin Bunda sayang, udah jangan nangis lagi ya, Bunda sayang Ayu."

Rissa mengusap punggung putrinya lalu mengecup ubun-ubun kepala nya.

"Ayu juga cayang Bunda." jawab Ayu, tersengal karena masih sesenggukan.

Martin bahagia melihat ibu dan anak tersebut yang saling menyayangi satu sama lain. Dan ia tidak salah mencintai Rissa, sebab Rissa adalah sosok wanita yang tangguh juga sosok ibu yang sangat penyayang. Namun sayangnya, cintanya harus bertepuk sebelah tangan. Rissa sedikitpun tidak mempunyai perasaan yang sama padanya. Rissa hanya menganggap dirinya sebatas kakak, tidak lebih. Tapi walupun begitu, ia tetap akan berusaha agar Rissa bisa mencintainya.

Setelah tangisan Ayu berhenti, Rissa langsung mempersilahkan Martin untuk masuk kerumahnya. Martin duduk di kursi ruang tamu bersama Ayu, sedangkan Rissa pergi ke dapur untuk mengambil air minum.

Martin sejenak senyum-senyum seraya mengingat kembali saat Ayu mencium bibirnya. Itu adalah ciuman pertamanya yang dicuri oleh seorang anak kecil. Sungguh konyol, pikirnya.

Namun, seketika lamunannya buyar saat Rissa datang sembari membawa segelas air putih ditangannya lalu diletakkan di meja di hadapan Martin.

"Minum dulu Mar, maaf ya cuma ada air putih." ucap Rissa merasa tidak enak.

"Iya, gak pa-pa kok. Makasih ya." jawab Martin tersenyum, lalu meraih air putih tersebut dan meneguk nya. Setelah habis setengahnya, Martin meletakkannya kembali.

"Oh iya, ini aku bawa sesuatu buat kamu." Martin mengambil paper bag satunya lagi yang berada di sisi kaki kanannya lalu memberikannya pada Rissa.

"Ini apa?" tanya Rissa sembari menerimanya ragu-ragu.

"Buka aja.." kata Martin, tersenyum.

Karena penasaran, Rissa pun membukanya.

Tiba-tiba Rissa menutup mulutnya, spontan. Terkejut karena isinya adalah sebuah handphone mahal.

"Handphone?" tanya Rissa dengan tatapan bodohnya.

"Iya, aku lihat handphone kamu, rusak. Jadi aku sengaja beliin yang baru buat kamu." ujar Martin.

Rissa terharu. "Ini sungguh buat aku? Makasih banyak ya, kamu udah baik banget sama aku juga sama Ayu. Aku gak tahu harus menggantinya dengan apa."

"Gak usah diganti, aku ikhlas kok."

Tanpa sadar Rissa langsung memeluk Martin dengan erat, ia terus mengucapkan terimakasih dalam pelukannya.

Jantung Martin berdegup kencang, ia tidak menyangka Rissa akan memeluknya. "I-iya sama-sama."

Martin mengangkat kedua tangannya membalas pelukan Rissa, hatinya menghangat penuh dengan kebahagiaan.

Namun, tiba-tiba Rissa tersadar dengan apa yang dilakukannya. Rissa langsung melepaskan pelukannya dengan ekspresi gugup.

"Eee ma-maaf, aku refleks.." ucap Rissa terbata.

Martin tersenyum simpul, ia sangat senang melihat Rissa yang tengah salah tingkah. "Gak pa-pa kok, aku senang." ucap Martin tanpa sadar.

Sontak ia menutup mulutnya. "Ma-maksud aku aku senang kalo kamu senang juga." ucap Martin berkilah.

Rissa pun hanya mengangguk mengiyakan, tapi kenapa jantungnya jadi bertalu-talu seperti ini. Pikirnya.

Sedangkan Ayu yang masih polos, tengah sibuk bermain dengan boneka princess nya. Sesekali, Ayu melihat pada Martin dan bundanya secara bergantian sambil tertawa kecil. Membuat Martin dan Rissa, yang tengah melihatnya pun juga ikut tertawa.

Flashback Off

Chapter-02

Martin selesai mengepak pakaian Ayu kedalam koper kecil milik Ayu. Sebelum keluar dari kamar Rissa, Martin memandang terlebih dahulu ke sekeliling kamar tersebut. Harum Rissa masih tercium jelas di hidungnya.

Martin melihat foto Rissa beserta Ayu yang tergantung di dinding kamar, tepat di atas kepala ranjang.

Martin mengambilnya, berniat untuk membawanya sebagai pengobat rindu saat ia mengingat Rissa.

Dimasukkannya foto tersebut kedalam koper Ayu. Setelah menutupnya kembali, Martin mengajak Ayu untuk segera pergi dari rumah tersebut.

"Sayang, ayok kita ke rumah Om." ajak Martin.

Ayu yang sedang bermain dengan boneka princess nya seketika menoleh pada Martin lalu mengangguk polos.

Martin mengulurkan tangannya membawa Ayu kedalam pangkuannya. Ayu pun naik kedalam pangkuan Martin. Setelahnya Martin menarik koper Ayu lalu berjalan keluar rumah.

Martin mendudukkan Ayu di kursi depan, lalu ia memasukkan koper nya di bagasi. Setelah itu, Martin masuk lalu melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut.

Sepanjang perjalanan, hanya diisi oleh keheningan. Ayu nampak sibuk dengan bonekanya, dan Martin tengah fokus pada kemudinya.

Setengah jam perjalanan, mereka pun sampai di mansion yang terlihat sangat mewah, bangunan bergaya Eropa itu berdiri dengan megahnya.

Martin memasukkan mobilnya setelah penjaga membukakan pintu gerbang yang tingginya sekitar 5 meter.

Mobil berhenti tepat didepan teras, dua orang pelayan datang menyambut kedatangan tuannya.

Martin keluar terlebih dahulu, lalu mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Ayu. Martin membawa Ayu kedalam pangkuannya, lalu menyuruh pelayan untuk mengambil koper di bagasi.

"Tolong, ambil koper di bagasi lalu bawa ke kamar tamu." titah Martin pada salah satu pelayan.

"Siap Tuan."

"Selamat datang, Den." sambut Bi Darmi tersenyum senang. Ia pembantu senior sekaligus kepala pelayan di mansion tersebut. Ia juga yang mengasuh Martin sejak Martin berusia 2 tahun.

Martin baru pulang kembali ke mansion nya setelah berbulan-bulan tidak pulang. Karena, selama ini Martin lebih sering menghabiskan waktunya di kantor dan pulang ke apartemennya karena jaraknya yang lebih dekat.

"Iya Bi, bibi apa kabar?" tanya Martin.

"Alhamdulillah, Bibi sehat, Den. Oh ya, gadis cantik ini siapa?" tanya Bibi, sembari mengelus pipi Ayu, gemas.

"Oh, iya Bi, Ini Ayu, putri mendiang sahabat Martin, mulai sekarang Ayu akan tinggal disini."

Bibi terdiam sejenak, lalu ia mengangguk saat mengerti maksud ucapan majikannya tersebut.

"Beneran Den? Bibi senang mendengarnya" ucap Bibi sumringah. "Mau main sama nenek?" lanjutnya mengajak Ayu.

Ayu yang tidak mudah dekat dengan orang baru, langsung menyembunyikan wajahnya dileher Martin.

Martin terkekeh. "Dia suka gitu kalo sama yang belum dikenalnya, Bi."

Bi Darmi mengangguk memaklumi, ia paham anak seusia Ayu memang masih malu-malu juga takut terhadap orang baru.

"Kalo gitu Martin sama Ayu ke atas dulu ya. Kasihan, Ayu belum istirahat."

"Iya Den, nanti kalo butuh sesuatu hubungi Bibi aja ya."

"Iya Bi, Mari." Martin melangkahkan kakinya lalu masuk kedalam lift khusus yang langsung mengarah ke kamarnya.

Setelah lift terbuka, Martin langsung berjalan ke arah ranjang besar, miliknya. Di baringkan nya Ayu yang sudah terlihat menahan kantuk.

Untuk sementara, Ayu akan tidur di kamarnya karena ruang tamu masih sedang dibersihkan oleh para pelayan.

Setelah membaringkan Ayu, Martin lantas membuka baju kemejanya karena sudah setengah basah oleh keringatnya.

Martin melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia memilih berendam dulu sebentar untuk merefleksikan tubuhnya. Setelahnya, ia langsung membilas seluruh tubuhnya yang terlihat sangat sexy oleh otot-otot yang menonjol.

Selesai mandi, Martin pun keluar. Dilihatnya Ayu yang terlihat tertidur nyenyak. Ada rasa kasihan melihat anak sekecil itu sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Namun ia berjanji, ia akan merawat Ayu dengan baik sampai anak itu menempuh sekolah tinggi.

Martin lantas ikut naik ke ranjang, lalu tidur menyamping menghadap pada gadis kecil tersebut. Di elus nya rambut Ayu dengan rasa iba.

Namun, seketika. Ingatannya kembali lagi, mengingat saat kejadian dimana Ayu mengecup bibirnya.

Martin tersenyum kecil. "Dasar gadis nakal." gumamnya masih tak percaya. Bibir mungil tersebut sudah mencuri ciuman pertamanya, ia jadi membayangkan kembali betapa lembutnya bibir mungil yang terlihat berwarna pink alami tersebut.

Namun, seketika pikiran waras nya kembali.

Ya Tuhan, sadar Martin! Dia hanya bocah kecil... batin Martin menyentak dirinya sendiri sambil geleng-geleng kepala.

Karena tubuhnya yang masih terasa letih, tanpa sadar Martin pun ikut tertidur seraya memeluk tubuh kecil tersebut.

***

Malam hari, tepat pukul 19.15. Martin terbangun dari tidurnya. Martin meregangkan tubuhnya lalu meraih handphone nya yang terletak di lemari kecil di samping nya. Dilihatnya waktu, Martin sedikit terkejut karena ia tidur terlalu lama.

Dilihatnya Ayu yang masih tertidur pulas. Martin tidak ingin membangunkannya karena takutnya Ayu masih mengantuk. Ia pun beranjak lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk Martin membersihkan dirinya. Setelah selesai, ia keluar lalu beralih masuk ke ruang ganti.

Martin memakai pakaian santainya lalu keluar setelah merapihkan rambutnya.

Ayu masih tertidur, Martin lantas mendekat lalu membangunkan Ayu.

"Sayang, bangun yuk. Ayu belum makan loh."

Martin menepuk-nepuk pipi chubby Ayu dengan pelan.

Merasa terusik, Ayu pun menggerakkan tangannya menyingkirkan sesuatu yang menyentuh pipinya.

Tingkah menggemaskan Ayu lantas membuat Martin terkekeh kecil.

"Sayang, bangun dulu yuk. Nanti kalo udah makan Ayu boleh tidur lagi." ucap Martin lagi seraya menepuk-nepuk kembali pipi Ayu.

Kedua kelopak mata Ayu pun sedikit demi sedikit mulai terbuka.

"Bangun yuk sayang, Ayu mandi dulu nanti kita makan malam." rayu Martin.

Beruntung Ayu bukan termasuk anak yang susah dirayu. Terbukti, sekarang ia mulai mendudukkan tubuhnya dengan ekspresi masih menahan kantuk.

Karena gemas, Martin pun mencubit hidung mungil Ayu secara pelan. "Ponakan Om kenapa lucu banget sih, hah." kata Martin dengan ekspresi gemasnya, lalu kedua tangannya mencubit pipi chubby Ayu.

Ayu tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya terlihat masih menahan kantuk nya.

Lantas Martin pun mengangkat tubuh Ayu, membawanya ke dalam pangkuannya.

Martin melangkahkan kakinya keluar kamar, membawa Ayu untuk menemui pelayan.

Tepat, saat baru keluar ada seorang pelayan yang sepertinya mau mengetuk pintu.

"Eh, Maaf Tuan. Saya kira Tuan belum bangun." ucap pelayan wanita tersebut, takut-takut.

Martin mengangguk. "Boleh saya minta tolong."

Si pelayan langsung mengangguk cepat. "Apa yang bisa saya bantu, tuan?"

"Tolong mandikan Ayu. Kamar tamunya sudah dibersihkan, Kan?"

"Sudah, tuan. Mari, biar non Ayu saya mandikan." pelayan tersebut mengulurkan tangannya bermaksud mengambil alih tubuh Ayu.

Namun, seketika Ayu malah menempel erat seraya memeluk leher Martin dan menyembunyikan wajahnya di sana.

"Sayang, kenapa? Bibinya baik kok. Ayo, biar dimandikan sama Bibi." rayu Martin sambil mengusap punggung Ayu.

Ayu menggelengkan kepalanya masih dalam posisi yang sama.

"Kenapa, hm? Bibi gak jahat kok, nanti diajak main sama bibi. Mau?"

Perlahan Ayu melihat pada Martin dengan tatapan menimbang. Namun tangannya masih memeluk erat, menyiratkan kewaspadaan.

"Hm? Gimana, mau? Tapi mandi dulu ya sama Bibi."

Ayu menggeleng lagi lebih cepat. "Mau mandi cama Om."

Martin terhenyak. Ia berfikir, mana mungkin ia memandikan Ayu. Walaupun Ayu masih anak kecil, tetap saja tidak mungkin karena Ayu bukan anaknya.

Martin pun jadi berfikir yang tidak-tidak. Otak mesumnya tiba-tiba memikirkan apa yang akan ia lihat jika ia memandikan Ayu. Ditambah lagi ingatan saat Ayu mengecup bibirnya, membuat pikiran kotor Martin semakin meronta-ronta.

Setan kau Martin! Kenapa kau jadi cabul seperti ini! bisik nya, merutuki dirinya sendiri.

Martin melirik pada pelayan dihadapannya yang sepertinya tengah menahan tawa, terlihat dari gelagatnya.

Martin tidak terlalu mengindahkan. Sekarang yang harus ia pikiran adalah, bagaimana cara agar Ayu mau mandi bersama pelayan.

Tring!

Sebuah lampu sorot seketika ada di atas kepalanya. Eh, lampu neon pemirsa, maaf salah.

"Mmm, gini ya sayang. Om bukannya gak mau mandiin Ayu, tapi Om mau beli sesuatu dulu buat Ayu. Ayu mau boneka princess baru kan?" rayu Martin dengan tatapan yang dibuat-buat sumringah.

Bocah tersebut nampak terdiam, entah apa yang sedang dipikirkan oleh otak kecilnya itu.

"Gimana?" tanya Martin, tak sabaran.

Tak disangka, Ayu pun mengangguk cepat sembari tersenyum lebar. "Mau boneka balu Om."

Akhirnya Martin bisa bernafas lega. Ia pun mulai menyodorkan Ayu pada pelayannya. Ayu pun nampak tidak sungkan lagi pada pelayan tersebut. Terlihat, saat Ayu langsung menerima uluran pelayan tersebut.

"Kalo gitu, Om beli bonekanya dulu ya. Dah, Om tinggal dulu." Martin melambaikan tangannya yang langsung dibalas oleh Ayu.

Setelah kepergian tuannya, pelayan tersebut lantas melangkahkan kakinya menuju kamar tamu, yang mulai sekarang akan menjadi kamar Ayu. "Ayok Non, kita mandi."

Chapter-03

Martin berjalan menuju ruang tengah, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa yang tentunya sangat mewah.

Martin merogoh saku celananya, lalu mencari kontak asistennya. Davidson.

Ia baru teringat akan asistennya itu, apa urusan kantor yang suruh ia handle sudah diselesaikan dengan baik oleh tangan kanannya itu. Jika sudah selesai ia akan meminta bantuan pada asistennya itu untuk mencarikan boneka yang ia janjikan untuk Ayu.

Tak menunggu lama, panggilan pun langsung terhubung.

"Halo, Bos. Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" sapa David dari sebrang telpon.

"Ya, apa urusan kantor sudah diselesaikan dengan baik?" tanya Martin dengan nada datar.

"Beres Bos! Eh maksudnya sudah selesai Bos, hehe."

Martin mendengus sebal, ia sudah tidak mempermasalahkan lagi tingkah asistennya yang kurang normal itu. Tapi bukan tidak normal anunya ya.

"Bagus! Sekarang saya ada tugas untuk kamu. Tolong carikan boneka princess yang rambutnya warna putih." pinta Martin atau lebih jelasnya perintah.

Diseberang sana David terjengkang kaget.

"Sa-saya gak salah dengar Bos? Bos mau main boneka?" tanya David dengan bodohnya.

Lagi-lagi Martin menghela nafas dengan sedikit lebih kasar. Namun ia malas menjelaskan untuk apa boneka itu.

"Lakukan saja apa yang saya perintahkan!" ucap Martin tegas.

"Ta-tapi Bos, boneka yang rambutnya putih yang kayak gimana? Saya kan bukan penggemar barbie."

Martin pun terpancing juga kekesalannya. "Disini yang Bos itu kamu atau saya?!" tanya Martin setengah membentak.

David sedikit menjauhkan handphonenya dari telinganya karena suara bosnya itu sedikit memekikkan gendang telinganya.

"Kamu! Eh! Maksud saya, Bos!" ucap David terpeleset.

Martin harus ekstra sabar menghadapi kelakuan konyol asistennya tersebut. Walaupun tingkah David seperti itu, namun Martin tetap mempertahankan posisi David sebagai asisten pribadinya, karena kualitas kinerja David yang sangat bagus dan sangat bisa dipercaya.

"Sekarang lakukan apa yang saya perintahkan! Atau kalau tidak, saya potong gaji kamu bulan ini." ancam Martin.

"Eitss! Jangan dong Bos, nanti kencan saya gimana sama pacar saya? Mana udah buat janji lagi." hilang sudah bahasa formalnya pada sang Bos.

"Terserah!"

Martin langsung memutuskan panggilan telponnya. Berbicara dengan David membuat tensi darahnya naik berkali-kali lipat.

Martin memasukkan kembali handphone tersebut pada saku celananya, lalu berdiri dan beranjak berjalan menuju ruang makan.

***

Di tempat lain, seorang pria muda yang tak lain adalah David tengah dilanda kebingungan. Pasalnya ia tidak tahu boneka apa yang dimaksud bosnya dan untuk apa juga boneka itu, apa jangan-jangan kelakuan bosnya sudah sedikit melenceng. Pikirnya.

"Boneka yang rambutnya putih? Apa ya? Ah si Bos ada-ada aja. Udah nyuruh nyari boneka, mana pake' teka-teki segala lagi. Sekalian aja si Bos dandanin saya terus suruh saya mejeng tengah malam dipinggir jalan. Om mari Om!"

David menggerutu sendiri lalu beranjak berjalan sembari menggerakkan tubuhnya khas wanita jadi-jadian sambil melambai-lambai kan tangannya.

***

Martin duduk di salah satu kursi makan, ia mengotak-atik handphone nya kembali sembari menunggu Ayu yang masih belum turun.

Bi Darmi datang sembari membawa teko kaca transparan berisikan air minum.

"Belum mulai, Den?" tanya Bi Darmi.

Martin menoleh lalu tersenyum hangat pada Bi Darmi. "Belum Bi, nunggu Ayu dulu bentar. Ayok duduk Bi! Makan bareng." ajak Martin.

Bi Darmi menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak Den, Bibi udah makan duluan dibelakang tadi. Maaf ya, jadi di duluin." ujar Bibi tak enak.

Martin tertawa kecil, "Ya gak apa-apa Bi, kenapa harus minta maaf. Bibi bebas mau ngelakuin apa aja disini, sebab ini juga rumah bibi dan Martin sudah anggap bibi seperti ibu Martin sendiri." kata Martin tulus seraya meraih tangan kanan Bi Darmi dan menggenggamnya erat.

Bi Darmi terharu mendengar penuturan majikannya tersebut, ia bersyukur karena sudah berhasil mendidik Martin menjadi orang yang baik dan tidak sombong terhadap siapapun serta tidak membeda-bedakan kasta.

"Makasih ya Den, bibi juga udah menganggap Aden seperti anak bibi sendiri. Sebab hanya Aden lah yang sangat peduli terhadap bibi." ucap Bibi berkaca-kaca.

Martin tersenyum tulus seraya mengangguk. "Iya, Martin juga ucapin terimakasih banyak sama bibi karena bibi sudah mau merawat juga mendidik Martin dengan baik. Martin bersyukur karena Tuhan masih mengirimkan orang yang mau peduli sama Martin, sedangkan dua orang yang berstatus sebagai ibu dan ayah, mereka malah tidak ada untuk Martin. Lelaki itu selingkuh dan Mama pergi untuk selamanya."

Bi Darmi mengelus kepala Martin dengan sayang, "Jangan begitu, bukan maksud bibi membela tuan Mario, mungkin saja Papa kamu selingkuh karena ada alasannya, dan Mama kamu pergi karena sudah takdir yang kuasa. Kita tidak bisa menolak ataupun menahannya. Mereka peduli sama Aden, terbukti mendiang Mama kamu menitipkan dan mempercayakan Aden sama Bibi sehari sebelum Nyonya mencoba bunuh diri."

Martin tertawa pilu, "Martin bukan anak kecil lagi, Bi, Martin tahu lelaki itu selingkuh hanya untuk mencari kepuasan bukan karena ada alasan lain, lelaki bajingan akan tetap menjadi lelaki bajingan."

Martin menatap Bi Darmi lalu tersenyum dipaksakan. "Hah! Sudahlah jangan dibahas lagi. Bibi beneran gak mau gabung makan lagi?" tanya Martin mengalihkan.

Bi Darmi menggeleng seraya menghela nafas pelan, ia harus berusaha supaya majikannya tersebut tidak terus larut membenci Papa-nya yang kini tengah menetap di wilayah Eropa bersama istri keduanya, juga adik kandung Martin yang ikut dengan Papa-nya.

"Enggak, Bibi masih kenyang. Bibi temani Aden saja disini." tolak nya lalu ikut duduk di samping kiri Martin. Dan Martin pun hanya mengangguk saja.

Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan gadis kecil yang memanggil Martin dari jarak beberapa meter.

"Om Maltiiin.." teriak Ayu yang sedang dalam pangkuan pelayan yang sudah memandikannya.

Martin langsung merentangkan tangannya menyambut kedatangan Ayu. Diraihnya tubuh Ayu lalu didudukan menghadap padanya, lalu ia mengecup kedua pipi chubby Ayu dengan gemas secara bergantian.

"Ponakan Om udah cantik banget nih, gimana mandinya? Seru kan dimandiin sama Bibi?"

Ayu mengangguk antusias. "Celuu Om!" jawab Ayu yang entah ia tahu atau tidak arti dari ucapannya.

Martin tersenyum gemas. Ia membalikkan tubuh Ayu untuk menghadap ke arah meja makan.

"Ya udah, sekarang kita makan dulu ya. Terus nanti Ayu bobo lagi." Ayu mengangguk dengan polosnya.

Akhirnya Martin pun mulai menyantap makan malamnya yang sudah dihidangkan oleh Bi Darmi. Martin pun menyuapi Ayu makan dari piring yang sama. Sengaja karena Ayu belum terlalu bisa makan sendiri. Diajak oleh Bi Darmi pun malah menolak.

Setelah selesai makan, Martin pun beranjak membawa Ayu ke dalam pangkuannya. Martin berjalan ke ruang tengah kemudian mendudukkan Ayu di sofa.

Martin turut duduk di samping Ayu berhadapan dengan Bi Darmi yang masih setia melihat pada Ayu yang terlihat duduk memepet pada Martin.

Kelakuan Ayu sontak membuat Martin dan Bi Darmi tertawa. "Kenapa sayang? Takut sama nenek ya? Jangan takut, nenek baik kok orangnya." ujar Martin memberitahu, walupun Martin tahu Ayu tidak akan mengerti ucapannya.

Ayu tetap memepet pada pinggang Martin, bahkan sekarang memeluk pinggang Martin dengan sangat erat seraya menatap polos pada Bi Darmi. Martin dan Bi Darmi pun tertawa kembali melihat tingkah menggemaskan Ayu.

"Maaf ya Bi, Ayu emang begini sikapnya." ujar Martin terkekeh.

"Gak pa-pa Den, mungkin Non Ayu masih takut sama Bibi, hehe." kata Bi Darmi tertawa kecil.

Tiba-tiba seseorang datang dengan nafas terengah-engah. Siapa lagi kalau bukan asisten somplak-nya Martin.

David membungkuk seraya menumpu kedua tangannya pada lutut seraya menormalisasikan nafasnya.

"Huft, maaf Bos kalo kelamaan, soalnya boneka yang bos maksud nyarinya susah. Ini aja saya nyampe dikejar banci karena masuk ke daerah berbahaya." ujar David terpotong-potong.

Martin dan Bi Darmi menatap bingung akan maksud ucapan pria berusia kepala dua tersebut.

"Duduk dulu Nak, jangan dipaksakan bicara kalo masih capek." ucap Bi Darmi.

David pun mengangguk, lalu dengan seenak jidatnya ia duduk tepat di samping Bosnya dengan tenang. Benar-benar Bos yang tidak memiliki harga diri.

Bi Darmi sedikit membelalakkan matanya sembari menahan tawanya, sedangkan Martin hanya menatap datar pada David sambil mendengus kasar.

"Minum dulu," Bi Darmi mengulurkan segelas air putih yang memang sudah tersedia di sana.

"Makasih Bi." ucap Martin seraya menerimanya, lalu meneguknya hingga tandas.

Setelah dirasa lega juga nyaman, David pun akan mulai menyampaikan maksudnya. Namun, saat ia menoleh pada sang Bos, ia langsung terjengkang karena terkejut melihat tatapan tidak bersahabat dari bosnya.

Sekian detik kemudian, David tersadar bahwa ia sudah melakukan kesalahan.

"Eee Ma-maaf B-bos. Sa-saya khilaf.." ujar David terbata dengan posisi terduduk di lantai.

Sontak Bi Darmi terbahak melihatnya. Ia menutup mulutnya karena tidak mau memperlihatkan gigi ompong nya.

"Khilaf pala mu! kamu kira kamu sudah melecehkan saya? Pake bilang khilaf segala." kata Martin ketus.

"Bu-bukan itu maksudnya Bos, ma-maksud saya, saya refleks hehe." ucap David disertai cengengesan menyebalkan.

Martin pun tidak terlalu mempermasalahkan kejadian tersebut, yang sekarang mau ia tanyakan adalah mana boneka yang suruh ia beli pada David.

"Sudahlah! Mana bonekanya?!" tanya Martin dengan nada kesal.

David menghela nafas lega karena bosnya tidak terlalu marah padanya, lantas David pun cepat-cepat berdiri lalu mengulurkan paper bag berukuran sedang pada Martin.

Martin menerimanya dengan satu tarikan, sebab ia masih merasa keki pada asisten somplak nya tersebut.

Martin pun membukanya, dan alangkah terkejutnya saat ia melihat boneka apa yang dibawa oleh David.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!