Kisah ini hanyalah fiktif belaka dan ditulis atas ide sendiri. Mohon maaf jika ada kemiripan alur, karakter, tempat begitu juga jika ada kesalahan penyebutan nama organisasi, kegiatan dan istilah tentu.
Ayahnya memberikan nama Geetruida Mutiara Peters yang kurang lebih bermakna gadis kuat. Geetruida adalah seorang wanita paruh baya yang gemar membaca dan menulis untuk mengisi waktunya.
Sebagai penulis lepas, sesekali ia meraup rupiah dari hasil tulisannya yang muncul baik berupa artikel, cerpen atau berupa novel. Gee (baca : Ji) demikian nama kecilnya, ia lahir di Magelang dan berencana menghabiskan usianya di kota yang sejuk dan damai itu.
Rentetan kejadian memilukan dan memalukan ia alami. Senyuman menambah guratan kecantikan yang masih tercetak di wajahnya semakin nyata. Penyakit perlahan menggerogoti tubuh terawatnya dan mungkin saja hidupnya hanya sebentar lagi tapi justru diusianya kini ia menemui ketenangan dan semakin giat berkarya.
Huuuup, haaaass ....
Berulang kali Geetruida menghela dan melepas udara saat ia bangun tidur. Hari masih gelap, azan subuh belum berkumandang saat wanita itu duduk di sisi tempat tidurnya.
Glek, glek. Ia meminum tandas segelas air yang sengaja ia siapkan di nakas dekat ranjangnya. Usai beribadah sejenak, ia mengganti daster lusuhnya dengan pakaian training dan bersiap melakukan aktivitas paginya, joging di seputaran rumah dan pulang setelah mentari mulai meremang terang.
Ia sangat menikmati kesendiriannya. Sambil bersenandung, Geetruida memanggang roti dan menyeduh kopi, lalu menyalakan radio dan mulai menyusun kerangka naskah yang akan diketiknya.
Brum.
Ia tersenyum saat mendengar suara kendaraan dimatikan di depan rumahnya.
Ceklek.
Terdengar suara handle pintu dibuka.
"Mami ...!" Mangata sambil masuk ke dalam rumah mungil nan asri itu.
"Mangata, aku di sini," balas Geetruida yang sudah asyik mengetik naskah di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang kerjanya.
Tik ... tik ... sret ... ting.
Jemari Geetruida lincah menari diatas tombol mesin ketiknya.
"Mi ..." Mangata mendudukkan pantatnya di kursi, berhadapan dengan Geetruida.
"Hm," Geetruida enggan mengalihkan pandangan dari mesin tik-nya.
"Padahal mami sudah mengenal Arunika bahkan berteman dengannya, kenapa malah ketika aku hendak melamarnya, mami menentang?" Sembur Mangata langsung pada permasalahan yang menganggu pikirannya akhir-akhir ini.
"Bolehkah pertanyaan itu tidak kujawab? Terkadang mengetahui sesuatu hanya mengorek luka," sahut Geetruida malas.
"Jawablah dengan sesuatu yang pasti dan mudah kumengerti, Mi."
"Aku tidak mau. Ah, bukan tidak mau tapi mungkin juga belum saatnya. Intinya, aku tidak saja tidak merestui pernikahanmu dengan Arunika tapi melarang keras," tegas Gee lagi.
"Tidak bisa begitu! Ish, dasar noni Belanda keturunan kompeni, mami tidak kenal kompromi," umpat Mangata.
"Heish ... jaga ucapanmu, anak muda. Tidak boleh rasis begitu."
"Ups. Sorry."
Kedamaian pagi dimana rerumputan dan dedaunan masih segar basah karena tetesan embun harus terusik akibat perdebatan 2 anak manusia beda generasi itu.
"Mami! Ah, kamu bahkan tidak pantas kusebut mami olehku," Mangata yang emosi mengucapkan kata itu setengah berteriak.
Geertruida bergeming, ia hanya menatap sekilas wajah pria muda didepannya, "Apa kamu bilang? Dengar, aku memang tidak layak jadi ibumu tapi kamu tidak punya pilihan. Kalau kamu tahu alasannya, kamu akan mengerti dan pasti berubah pikiran."
"Berilah jawaban yang masuk akal, Mi. Cuma kamu satu-satunya keluargaku. Aku ... ah, jujur aku benci jika harus bertentangan denganmu gara-gara calon pendamping hidup yang selama ini terus kau tanyakan."
Geetruida terkekeh, kini tatapannya beralih pada Mangata seraya membubungkan asap rokok keluar dari mulutnya ke langit-langit ruang, "Kamu boleh marah, boleh tidak suka, boleh benci sama aku tapi kamu gak bisa ingkar atas kenyataan ..."
"Apa? Kenyataan apa? Jangan suka menggantung kalimat seperti itu, bikin penasaran saja," ujar Mangata dengan gerak cepatnya menyambar pemantik api, saat wanita tua yang dia panggil mami itu mulai akan menyalakan bilah berikutnya.
"Hei," protes Geertruida, "Tidak bisa lihat orang senang?"
"Mami, ini sudah batang ke 4 yang kau nyalakan sedari tadi selama kita berbicara. Ingat kesehatanmu," Mangata memperingatkan wanita dihadapannya sambil menghitung puntung di asbak.
"Hah! Jangan mengaturku. Air mataku sudah kering akibat terlalu sering mengalami kekecewaan, hanya benda ini yang mengerti perasaanku."
"Heis, mami gak bisa membedakan teman curhat sama kecanduan," Mangata mendengus.
"Whatever, usiaku juga sudah hampir 50 tahun, menjelang lansia. Jika mati pun, wajar saja. Toh banyak yang usianya lebih muda dan tidak merokok, mati duluan dari aku," elak Geertruida.
"Hah, orang tua emang susah dibilangin!"
"Halah, kamu selaku orang muda apalagi. Aku heran bagaimana ayah dari gadis itu mau menerimamu."
"Aku tampan, punya pekerjaan dan karir gemilang juga dari keluarga baik-baik, beliau tidak punya alasan untuk menolakku," timpal Mangata membanggakan diri.
Geertruida melepaskan kacamata baca yang sedari tadi bertengger di hidungnya, "Dengar anak muda, jika dia tahu siapa ibumu maka ia juga akan menentang pernikahan kalian."
"Tidak mungkin, ayah Arunika bahkan kenal dengan orang tuaku, umi Helena dan abi Amar Maulana ketika mereka masih hidup. Tidak ada masalah."
"Jangan lupa, aku satu-satunya keluarga yang kamu punya, jadi hanya aku yang akan memberimu restu dan itu tidak sulit kuberikan asal Arunika bukanlah putri dari Sagara ," ungkap Geetruida seraya menyeruput kopi yang mulai dingin.
"Bagaimana mungkin Mi, bahkan beliau yang akan menikahkan kami nanti."
"Cepat batalkan pernikahanmu dengan Arunika! Jauhi dia, lupakan dan cari perempuan lain, beres, kan?"
"Sekali tidak, tetap tidak. Kamu tidak berhak mencampuri urusanku, kamu hanya tanteku, adik umiku, kamu perempuan yang mau-maunya berbagi suami dengan kakak perempuanmu sendiri, kamu ...."
"Cukup Mangat, mami mohon jangan kelewat batas, coba kamu temui Sagara dan tanyakan apa makna Mangata menurutnya kemudian, tanyakan lagi apa arti Mangata Peters padanya."
"Hah, apa artinya ayah Arunika mengenalku sebelumnya? kenapa pertanyaanya mengandung namaku?."
"Tanyakan saja dulu, karena jawaban Sagara-lah yang akan menjawab semua pertanyaanmu, Nak."
"Sebentar ... bukankah Peters adalah nama belakangmu, Mi?"
Geertruida mengangguk, "Benar."
"Tapi kenapa, apa hubungannya dengan Mangata Peters de-dengan aku, apakah itu adalah ...."
"Akan kuberitahukan jika sudah kau tanyakan padanya," jawab Geertruida seraya tersenyum simpul, ia kembali memencet mesin tik-nya, melanjutkan naskah cerita yang sempat tertunda.
"Ah, tidak bisa terelakkan lagi, masa lalu pasti akan selalu menghantuiku sampai ke masa tuaku," gumam wanita itu berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa kamu bilang?"
"Pergilah, semakin lama di sini moodku jadi terganggu. Apa kamu lupa kalau aku hidup dari tiap lembar yang kuketik ini?" usir Geetruida pada Mangata.
Mangata berdecak sebal. "Ck, kamu bahkan bisa hidup cukup dengan uang pensiun janda atau aku akan memberimu uang jajan tambahan tiap bulannya."
"Aku bukan pengemis, Nak. Sudahlah, pulang sana."
"Setidaknya biarkan aku disini hingga selesai makan siang. Tadi begitu selesai dinas malam aku ke pasar pagi dan langsung ke sini. Aku akan memasak untuk kita karena rindu makan bersamamu," ujar Mangata melunak.
"Kalau itu bagian dari usahamu mendapat restuku mempersunting, Arunika ... percuma saja."
"Nyonya Peters, anda terlalu sering melewatkan waktu makan. Hanya berteman roti, kopi, rokok dan air putih, aku heran bagaimana sistem ditubuhmu masih bekerja baik hingga saat ini."
"Katakanlah karena aku beruntung karena aku gemar mengkonsumsi minyak zaitun dan teh hijau atau ... mungkin juga Tuhan sedang berbaik hati memberi waktu yang berharga di penghujung senja usiaku untuk memperbaiki masa laluku."
Mangata tidak melanjutkan bahasan itu dan memilih melenggang ke dapur, memasak untuknya dan Geetruida.
"Aku bilang jangan mengangguku," hardik Geetruida.
"Ck, aku hanya meminjam pemantikmu untuk menghidupkan kompor sekalian agar kamu tidak merokok lagi setidaknya selama benda itu ditanganku," jawab Mangata seraya berlalu melanjutkan aksinya di ruang yang letaknya berada dibagian belakang rumah itu.
"Panggil aku kalau semuanya sudah matang," ujar Geetruida yang kembali tenggelam dalam dunianya.
"Baik, Nyonya Peters," balas Mangata.
Selalu lebih mudah bila bertutur dan menulis cerita yang kita alami sendiri, tidak hanya esensinya tapi pergolakan emosi yang tertuang dalam tulisan itupun dapat dirasakan orang lain.
Geetruida memejamkan matanya sejenak, demi mempertajam ingatan mengenai perjalanan hidupnya beberapa puluh tahun yang lalu sebagai bahan tulisannya kali ini. Ia bersyukur untuk hidupnya saat ini, tapi untuk masa mudanya yang tidak seperti kebanyakan orang ... ia masih perlu berdamai.
Tik ... tik ... srettt, ting. Tik ... tik ... tik ... srettt, ting.
Suara mesin ketik mulai bersahutan.
Bab 1
Tidak semua orang beruntung memiliki kesempatan bertemu dan bersama belahan jiwanya hingga menua dan maut memisahkan.
Ketik Geetruida mengawali kisahnya. Kali ini ia mengangkat cerita tentang Aya, tokoh yang lekat dengannya. Aya merupakan nama kecil dari Arabella Putri Vooren, perempuan korban rasisme, tatanan sosial dan pergolakan politik kala itu.
Orang yang beruntung bisa bersama pasangan tercintanya untuk waktu yang lama, sebagian lagi cukup bahagia saat melihat orang yang lekat di hatinya bahagia, dari jarak jauh ... dan Aya adalah salah satu orang yang tidak beruntung itu. Sudahlah ia tidak bisa bersama belahan jiwanya, tahu kabar mantan calon belahan jiwanya pun tidak. Alih-alih menemukan cinta sejati yang berlaku 1 untuk selamanya, Aya justru mengalami cinta 1 malam dengan berbagai pria yang berbeda.
Aga adalah lelaki yang ia damba menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mereka beberapa kali bertemu, walau sejenak lalu jatuh cinta dan bercinta namun kemudian terpisah, hal itu membuatnya tidak percaya dengan istilah 'jodoh tidak akan kemana'. Terlebih pada pertemuan terakhir, Aga memberinya kenang-kenangan yang membuatnya susah makan, susah tidur, susah lupa dan susah untuk bertahan hidup.
Aya lelah menanti lelaki yang tidak kunjung membawanya keluar dari lembah itu. Kemurnian cintanya masih mampu ia jaga hanya untuk lelaki itu namun tidak dengan kesucian raganya. Ya, bahkan Aya lupa sudah berapa banyak dan bagaimana tampang kaum adam yang telah menjamah tubuhnya, menggunakan jasanya demi melegakan hasrat hakiki lelaki. Yang Aya tahu, ia bertanggung jawab memuaskan mereka demi beberapa nyawa yang bergantung dari hasil keringatnya. Semacam simbiosis mutualisme, begitulah.
Takdir sebagai noni Belanda, membuatnya menelan pil pahit yang getirnya tidak kunjung usai. Ditahun sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, muncul pertentangan yang memperbesar sentimen anti Belanda, sehingga Adolf Vooren, ayah Aya yang merupakan seorang perwira di kemiliteran Belanda dan menjabat sebagai kepala resimen sebuah pasukan gabungan di Magelang dipersilahkan pulang kembali ke negeri asalnya. Namun cintanya pada Sekar, gadis pribumi yang telah dipersuntingnya beberapa tahun lalu membuatnya tetap ingin tinggal di Indonesia hingga akhir hayat dan dimakamkan di tanah kelahiran istrinya. Adolf Vooren memang orang asing, ia datang sebagai bagian dari golongan yang disebut sebagai penjajah, tapi secara pribadi ia menemukan kenyamanan dan menganggap dirinya adalah bagian dari Indonesia.
Siksa tidak hanya ia rasakan sendiri, ia merasa gagal sebagai kepala keluarga saat tidak dapat melindungi keluarganya dari penderitaan akibat cap 'kompeni' yang melekat di padanya. Ia ....
***
"Mami, makan siang sudah siap," Mangata memenuhi janji, ia menghampiri Geetruida dengan tepukan pelan bahunya.
Geetruida menghembuskan napasnya pelan, menghentikan angannya, meninggalkan ketikan cerita yang baru saja ia mulai dan mengekori Mangata menuju meja makan.
"Wow, makan besar nih?" Mata Geetruida terbelalak melihat sajian yang sudah terhidang. Sayur asem Jakarta, serta ikan mas, tahu dan tempe goreng plus kerupuk rambak sudah menunggu untuk di pindahkan ke perut yang keroncongan.
Semerbak aroma lezat memenuhi ruangan mungil itu.
"Silakan, nyonya Peters. Semua sudah siap. Mari kita bersantap." Mangata bahkan sudah menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk mereka berdua.
"Aku masih heran, dari mana kamu belajar memasak makanan seenak ini," puji Geetruida seraya menambahkan sambal terasi di sisi piringnya.
"Tidak perlu heran, syukuri saja," sahut Mangata dengan mulut yang penuh.
"Jangan bicara jika mulutmu penuh makanan, nanti kamu tersedak," Geetruida mengingatkan.
Mangata menelan makanan yang sudah dikunyah dan minum. "Bagaimanapun, aku lebih senang tersedak karena berbicara selagi makan, itu lebih baik daripada makan sendirian," ujar Mangata usai meneguk minumannya.
"Makanya punya istri, biar punya teman makan."
"Hais, mami gak sadar ... restumu menghalangi niatku yang sudah sangat ingin beristri ini," balasnya membuat wajah ceria Geetruida seketika muram.
"Maaf, aku tidak bermaksud menghalangi hanya saja ..."
"Aku akan bicara dengan ayah Arunika dan mengajukan pertanyaanmu tadi agar dapat segera manikahi Arunika."
"Ya, lebih cepat, lebih baik, agar kamu mengerti duduk perkaranya," jawab Geetruida sambil menyendokkan suapan terakhir ke mulutnya. Jika mengikuti rasa lapar, tentu ia masih ingin menambah 1 centong nasi ke piringnya, tapi tidak ia lakukan. Berhenti sebelum kekenyangan, prinsipnya.
Mangata yang sudah selesai makanpun segera membereskan piring dan gelas kotor, menjadi dapur rapi seperti semula.
"Hem, kita sudah makan siang bersama tapi aku masih ingin ngobrol denganmu," ujar Mangata sambil menyeduhkan 2 cangkir teh hijau.
"Kamu harus istirahat, tenagamu tentu terkuras setelah dinas malam. Silakan jika ingin istirahat di sini. Aku mau melanjutkan tulisanku," ujar Geetruida yang sudah kembali berhadapan dengan mesin tik-nya.
"Mi, gak keberatan jika aku membawa ayah Arunika kemari, kan? Aku pikir sudah saatnya sebagai sesama calon besan berkenalan. Ayah Arunika orangnya asyik kok, siapa tahu mami berubah pikiran."
"Boleh, tapi jangan dalam minggu ini aku akan ke Bandung, ada kegiatan bedah buku. Soal ayah Arunika ... jangan harap setelah pertemuan nanti aku berubah pikiran seperti maumu."
"Hm. Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu."
Sejak Amar Maulana meninggal, Geetruida memilih pindah dan tinggal di rumah sederhana miliknya sendiri. Sementara Mangata menempati rumah sejuta kenangan milik orang tuanya di Semarang.
"Hati-hati, sampai bertemu lagi." Geetruida tidak mengantar Mangata sampai ke depan pintu namun Mangata mengerti, otak wanita paruh baya itu tentu sudah sesak minta dituangkan isinya ke dalam tulisan.
"Hm ... sampai di mana tadi?" Gumamnya mencoba merangkai kembali ide yang berkelebatan di pikirannya.
Ah, iya.
Geetruida kembali memulai kisah Aya berdasarkan ingatan dan pengalamannya sendiri
***
Untuk segala sesuatu yang tidak bisa dirubah, seperti masa lalu ... Aya tahu, yang bisa ia lakukan hanyalah menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri. Ternyata waktu tidak selalu ampuh untuk menyembuhkan luka. Hanya sikap pura-pura lupa dan mencoba baik-baik saja yang bisa membuatnya mampu tersenyum tegar saat menoleh ke belakang. Sebuah perjalanan selalu menghadiahkan pembelajaran bagi pelakunya tapi jalan itu hanya nampak indah dan mudah untuk orang lain, tapi tidak untuknya? Poor Aya.
***
Geertruida berhenti sejenak, menghela nafas kemudian membasahi kerongkongannya dengan segelas air putih. Ia sangat siap menceritakan kronologi kisah hidup Aya yang kelam dan menuangkan dalam tulisan, tapi masih mempertimbangkan perasaan keluarga dan kerabat orang tertentu, sehingga beberapa nama dan tempat sengaja ia samarkan.
Tik ... tik ... sret ... tik ... tik ... sret ... ting.
Bunyi mesin ketik masih seolah berlomba memenuhi baris di tiap halaman demi halaman selesai sesuai kerangka cerita hingga berpindah ke bab berikut.
Beberapa warna ia narasikan dalam tulisan demi membungkus luka hati yang tidak pernah kering, ia suguhkan seapik mungkin agar pembacanya dapat meresap cerita dengan baik dan syukur-syukur tidak sekedar hiburan tapi juga dapat memetik hikmah. Walaupun sesungguhnya, apa yang telah tercetak itu tidak separuh pun tepat mendeskripsikan kondisi yang sesungguhnya. Jadilah kisah sedih yang tidak terlalu perih dan bahagia yang hanya membuat setengah tawa. Geertruida merangkai kisah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya namun telah dijalani.
Jika bisa memilih, Aya tidak ingin dilahirkan dari pasangan berbeda warga negara, Belanda dan pribumi, yang kemudian membuatnya menyandang predikat sebagai seorang noni Belanda. Namun Aya tidak dapat memungkiri, perpaduan kedua orangtuanya menjadikannya tumbuh sebagai gadis menawan di keluarga yang berkecukupan pada masa itu.
Menjadi anak Adolf Vooren yang cukup disegani membuat Aya dan saudara-saudaranya tinggal di rumah gedung dengan berbagai fasilitas mewah. Di mata Aya, meskipun ayahnya disebut sebagai musuh negara, toh beliau sangat memanjakan keluarganya dengan cinta dan harta dari perannya sebagai 'penjajah'.
Bruuum ... Bruuummm ....
Rutin seminggu sekali sebuah truk pengangkut ransum dari kamp utama, menyambangi kediaman Adolf Vooren. Berhenti dan parkir di sisi kiri rumah yang memiliki akses langsung menuju bagian belakang tempat bahan-bahan itu disimpan dan diolah kemudian. Beberapa serdadu menurunkan muatan. Tepung, gula, telur, susu, coklat, daging, buah-buahan segar dan kering beserta rempah-rempah segera berpindah tempat.
Mbak Yati, mbok Jum dan Mas Bondan segera sibuk membawa bahan pangan itu dan menyusun ditempat yang telah disiapkan.
"Yeiii ... bakalan makan enak, nih," celetuk Aya kecil gembira. Sudah biasa, jika siang hari truk full muatan itu tiba, maka malamnya mereka akan bersantap makanan ala Belanda kesukaan ayahnya. Kentang tumbuk isi daging cincang, salah satunya.
Setiap malam sebelum tidur, Adolf Vooren yang mereka panggil papi membawa nampan dengan 3 gelas susu hangat untuk Aya dan saudara-saudaranya, Clay dan Gerry.
"Minum susu sebelum tidur, membuat istirahat kalian optimal dan itu membuat kalian tumbuh dengan baik," begitu kata papi.
Papi selalu menunggu anak-anaknya meminum susu itu sampai tandas, lalu mengarahkan mereka sikat gigi. Sementara itu beliau duduk di sisi tempat tidur, bersiap mengajak anak-anaknya berdoa lalu membacakan dongeng sebelum tidur.
Selimut yang papi kenakan pada anak-anaknya merupakan wakil kehangatan cintanya, ditutup dengan kecupan di kening, 'goede nacht schat' (selamat tidur sayang) ujarnya sebelum meninggalkan kamar anak-anaknya.
Pagi buta, suasana di rumah keluarga Vooren sudah ramai. Usai jalan pagi bersama istri dan anak-anaknya, Mr. Vooren tampak makin gagah, setelah bersiap dengan seragam militernya dan duduk di ruang makan, menunggu anak-anak dan istrinya untuk sarapan bersama.
Mengawali karirnya, Adolf Vooren bertugas di Palembang, menjadi pengawal pribadi Mr. Overraker, komandan tertinggi di Sumatra. Mr. Overraker memiliki 10 pekerja di rumahnya, Adolf yang harus siap setiap saat mendampingi atasannya sengaja disiapkan kamar sendiri di rumah itu. Salah seorang pekerja rumah Mr. Overraker adalah seorang gadis bernama Sekar Sari.
Tinggal seatap di bangunan yang sama, mau tidak mau membuat Adolf dan Sekar sering bertemu. Meski awalnya agak sungkan, lama-lama keduanya berteman. Terkesan dengan keapikan dan kecantikan gadis Jawa berkulit kuning langsat itu, Adolf yang masih bujangan memberanikan diri untuk meminta Sekar jadi pendamping hidupnya. Gayung pun bersambut, Mrs. Overraker yang sempat menjodoh-jodohkan mereka tentu saja gembira. Begitu mendengar curahan hati Adolf, Mrs. Overraker segera melamarkan Sekar bagi Adolf dan dalam hitungan minggu resmilah keduanya sebagai pasangan suami istri.
Sebagai bentuk dukungan dan kasihnya, Mr. dan Mrs. Overraker mendanai pesta pernikahan Adolf dan Sekar. 2 tahun setelah menikah, Adolf pindah tugas ke Magelang, Sekar menyambut gembira karena Magelang tidak terlalu jauh dengan Ungaran, kampung halaman neneknya. Pasangam muda itu berbahagia tiap kali Adolf mendapat kesempatan naik pangkat terlebih di tahun ke 2 pernikahan mereka, Sekar melahirkan putri pertama yang diberi nama Clementine Putri Vooren (Clay), disusul Arabelle Putri Vooren (Aya) 7 tahun kemudian dan si bungsu Gerrard Putra Vooren (Gerry), 6 tahun setelah kelahiran Aya lahir.
Pernikahan pria Belanda dengan wanita pribumi bukanlah hal main-main, mengingat derajat wanita pribumi yang dianggap lebih rendah dari indo dan Eropa. Itu sebabnya, pria Belanda yang menikahi wanita pribumi termasuk orang yang berani, sebab mereka menantang hipokrisi kolonial dan memang pada kenyataannya, tidak semua lelaki berkulit putih itu kejam serta semena-mena terhadap perempuan Indonesia, Adolf Vooren salah satunya. Padahal bisa saja Sekar yang merupakan babu di keluarga Overraker ia jadikan gundik saja. Tapi berbeda dengan Adolf, ia jadikan Sekar sebagai istri karena ia sangat mengasihi dan menghormati Sekar.
Sekar pun tahu diri, ia gadis yang pandai beradaptasi, karena sudah 3 tahun bekerja dengan Mrs. Overraker ia sudah terdidik bagaimana hidup dengan 'kompeni' jadi keluarga muda itu, meskipun perlu banyak waktu untuk saling menyesuaikan, tetap harmonis menjalani pernikahan.
Magelang adalah kota yang sejuk dan menawan. Mata seolah dimanjakan dengan keindahan pemandangan dimana gunung-gunung dengan pepohonan hijau dan perbukitan mengelilingi kota itu belum lagi 2 aliran sungai besar yaitu Progo dan Elo yang jadi semacam pembatas barat dan timur kota itu. Ah, tidak salah jika kemudian Magelang dijuluki sebagai 'Middelpunt van den Tuin van Java'.
***
'Hm, tentu saja karena alasan yang sama dengan Aya, aku kembali ke Magelang,' gumam Geetruida saat menghentikan ketikannya.
Menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ah, hampir senja rupanya. Lalu ia meraih sapu lidi dan mulai membersihkan halamannya yang mulai dipenuhi daun-daun kering. Setelah selesai, ia mengunci pagar depan, menutup pintu dan jendela lalu ia menghangatkan nasi dan membuat telur ceplok dan makan dalam keheningan.
Usai makan malam, Geetruida menuju kamar mandi mencuci pakaian dan menaruhnya di jemuran dalam, besok jika matahri sudah muncul Geetruida akan membawa pakaian yang sudah tiris, tidak meneteskan air itu untuk dijemur. Pukul 19.00, Geetruida membawa tubuhnya berbaring sejenak.
Merasa cukup beristirahat, Geetruida melanjutkan tulisannya :
Keindahan itu sendiri dimulai dari pekarangan rumah keluarga Adolf Vooren. Sesuai nama sang nyonya rumah, Sekar, beliau gemar menanam aneka bunga. Konon katanya bagi orang Belanda bunga adalah simbol prestige atau gaya hidup dan cara agar mereka betah tinggal di Magelang, tapi bagi nyonya Vooren, menanam bunga selain untuk keindahan juga untuk menambah pundi-pundi gulden-nya. Pantas saja Adolf jatuh hati padanya setiap hari, selain cantik dan cekatan bekerja, Sekar juga pandai mengelola uang. Ya, nyonya Vooren selain sebagai seorang penjahit gaun pesta dan kebaya juga dikenal sebagai penjual bunga.
"Aku yakin, jika suatu saat terjadi sesuatu padaku ... kamu dan anak-anak gak bakalan hidup susah, Jeng," kata Adolf saat menemani istrinya yang masih berjaga memasang kancing kebaya.
"Aku amin-kan perkataanmu, Pi, tapi walaupun hidup susah dan berat aku lebih memilih bersamamu dan anak-anak," jawab Sekar. Seketika Adolf memeluk istrinya dan memberi kecupan mesra di kening.
"Ayo, temani aku tidur. Kesusahan hari ini biar cukuplah untuk hari ini. Istirahat adalah hadiah terbaik untuk tubuh dan jiwa yang lelah," perlahan Adolf meraih kain kebaya yang sedari tadi dipegang oleh Sekar.
"Baik, aku tunggu di kamar, kamu antarkan susu untuk anak-anak," ucap Sekar.
"Siap, nyonya Adolf Vooren," sahut pria itu patuh.
Hari sabtu merupakan hari yang amat dinantikan anak-anak Adolf dan Sekar. Dimana jika tidak ada kegiatan mendesak, Adolf akan mengajak keluarganya berkunjung ke Ungaran. Ya, selain seorang militer, Adolf juga seorang pengusaha perkebunan kopi yang lumayan luas.
Di pagi sabtu yang lain, Adolf mengajak anak-anaknya berenang di hotel Loze.
"Lho, baru sebentar nyebur kok udahan?" Tanya Adolf heran pada anak-anaknya yang sudah berganti pakaian. Tidak ada roman gembira seperti biasa, malah cemberut bergelayut di wajah Clay, Aya dan Gery.
"Kita pulang, Pi. Kami tidak mau berenang di sini lagi," sahut Clay.
"Kenapa?"
"Mereka tidak mau berteman dengan noni dan sinyo seperti, kami. Tidak asyik!" Jelas Clay lagi.
"Oh ... kalau gitu lain kali kita berenang di kolam militer di Pisangan saja," ujar Adolf yang tanggap akan ada jenjang. Yah, mau gimana lagi? Memang lebih baik menjauh sebab yang 'berbeda' seperti anak-anaknya pasti sulit untuk diterima. Diskriminasi sejenis juga membuat istrinya yang pribumi asli itu jarang bergaul dengan para nyonya Eropa, kecuali yang berkepentingan, ingin membuat gaun, kebaya atau membeli bunga segar milik Sekar.
Dalam hati Adolf mengutuk hal itu, tapi menikahi wanita Indonesia adalah hal terbaik bahkan sesuatu yang sangat ia banggakan sampai kapan pun selama hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!