~Berawal dari mata, cinta turun dan menjelma dalam hati.
Rasa baru yg menyergap jiwa, telah mengulik pula kehidupan sang pemilik raga.
duhai rasa..
kedatangan mu slalu meninggalkan tanya.
kira kah kau bertahan ada untuk selamanya?
atau melebur hilang dan tak tersisa?
hanya kau dan Sang Pencipta, yg tahu jawabannya~
***
Anna setengah berlari melewati halaman Fakultas Keguruan. Siang itu matahari sudah sampai pada titik paling teriknya. Anna yang baru keluar dari kelasnya, bergegas menuju gerbang keluar kampus.
Ia sudah berjanji untuk membelikan Zizi, adik perempuannya, mie laksa yang ada di dekat kampus. Anna berharap pedagang mie laksa itu masih ada di tempat pangkalannya.
Kalau sampai Anna lupa lagi untuk membelikan Zizi mie kesukaannya itu, Anna khawatir adik perempuannya itu akan kembali tantrum seperti hari-hari kemarin.
Mengingat Zizi, hati Anna terasa nyeri. Zizi sudah akan berumur 16 tahun, November nanti. seharusnya adiknya itu kini sudah masuk SMA. Tapi dengan kelainan mental yang dideritanya itu, Zizi harus memulihkan diri di rumah.
Zizi menderita scizophrenia. Saat normal ia cenderung pendiam dan senang bersenandung. Tapi jika penyakitnya kambuh, Zizi akan meracau dan teriak tak jelas. "Bunda Rani..Bunda Rani.." selalu saja nama itu yang dipanggilnya.
Hanya Anna saja yang bisa mendekati Zizi untuk kemudian memeluknya hingga tenang. Tak ada bunda untuk mengadu. Tak ada Ayah sebagai pelindung. Hanya Mama Ira, istri kedua Ayah, serta kedua putranya yang menjadi teman seatap Anna dan Zizi.
Disebut teman seatap pun sepertinya jabatan yang terlalu tinggi untuk ketiganya. Karena Mama Ira selalu menganggap sinis keberadaan Anna dan Zizi.
Walau sebenarnya rumah yang mereka tinggali adalah hasil kerja Ayah yang sukses sebagai aktor di masa lampau.
Anna kini berada di pinggir jalan raya. Sebelum sampai ke tempat pangkalan pedagang mie laksa, Anna terlebih dahulu harus menyeberangi dua jalan raya.
Tapi baru satu kali menyeberang, matanya menangkap sosok nenek renta yang nampak kebingungan untuk menyebrang. Akhirnya Anna tergerak untuk membantu nenek tersebut menyeberang ke jalan yang baru saja diseberanginya.
Setelah itu, Anna kembali menyeberangi jalan raya lagi sebanyak dua kali. Hingga ia tiba di pelataran masjid besar yang terletak di seberang kampusnya.
Anna menyusuri pelataran masjid hingga keluar dan tiba di gang kecil yang nampak penuh oleh para pedagang yang berjejer rapih.
Pedagang mie laksa yang ditujunya kebetulan berada di ujung tikungan jalan. Anna pun mempercepat langkahnya.
Sesampainya di sana, Anna disambut oleh keramaian di lapak pedagang mie laksa.
"Pak, saya pesan mie laksa ya dua. Tolong dibungkus!" Pesan Anna.
"O..iya, Neng. Sebentar ya, Neng. Sambal dicampur?"
"Dipisah aja, Pak."
"Ya. Tunggu dulu ya, Neng."
Anna menelusuri bangku-bangku di sekitarnya. Dan ia menemukan satu bangku kosong di pojokan. Ia pun bergegas ke sana. Setelah duduk, Anna khusyu mengamati keramaian di sekitarnya.
Entah kenapa di keramaian ini ia malah merasa terasing. Serasa seperti tak cocok dengan dunia di sekitarnya kini. Apalagi memikirkan masa depannya. Ia tak tahu apakah ia bisa melanjutkan kuliah. Mengingat Mama Ira yang makin hari semakin membatasi keuangannya.
Sebenarnya uang yang diterima Anna setiap bulannya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Sebelum Ayah pergi menghilang enam tahun lalu, Ayah sudah memberi amanat kepada Paman Sam, pengacara keluarga, untuk mengurus keuangan yang diterima oleh Anna.
Mama Ira pun sebenarnya juga menerima uang bulanan dari Ayah. Tapi herannya Mama Ira selalu saja memotong uang bulanan Anna hingga separo.
Sehingga untuk mencukupi kebutuhan ia dan Zizi, Anna menyambi jual kue donat di kampus.
Anna terkadang merasa iri jika melihat kawan-kawan sekampusnya. Umumnya semua kawannya masih mendapat perhatian dari orangtua mereka. Sehingga mereka tak perlu bersusah payah seperti Anna.
Melihat orang-orang di sekitarnya nampak tertawa bebas, membuat Anna jadi ingin melupakan semua beban hidupnya. Ia pun asyik memperhatikan orang-orang di sekitarnya kini.
Ada sepasang muda-mudi yang asik saling menyuapi. Ada segerombolan mahasiswi yang ramai membincangkan entah apa. Ada beberapa pemuda yang entah sendiri atau berkumpul bersama kawannya. Hingga akhirnya pandangan Anna terhenti pada sesosok pemuda tampan yang duduk dua bangku lurus di seberangnya.
Entah kenapa mata Anna ingin berhenti agak lama untuk mengamati pemuda itu. Ia berkulit putih, tinggi, dengan wajah seperti orang Arab-Eropa. Pemuda itu terlihat sedang menelpon seseorang.
Melihat dari kemeja jas yang dikenakannya, pemuda itu tak nampak seperti seorang mahasiswa. Meski Anna menaksir usianya mungkin tak lebih dari 25 tahun.
Pemuda itu tak menyadari kalau ia sudah menjadi pusat perhatian segerombolan mahasiswi yang duduk tak jauh darinya.
Anna lalu memperhatikan wajah pemuda itu lebih seksama.
Rambut cokelat kemerahan. Wajah oval. Bibir yang agak pink. Hidung mancung. Alis hitam dan tebal. Terdapat poni belah tengah yang menutupi dahinya. Serta mata setajam elang yang dihiasi oleh bulu mata yang lurus nan panjang.
Anna menduga, mungkin mata pemuda itu sering terlilip oleh bulu matanya sendiri. Membayangkan pemuda itu terlilip oleh bulu mata panjangnya, membuat Anna ingin tertawa.
"Tasya..?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan aneh Anna.
"Tasya..?"
Anna mengerjapkan mata. Suara itu terdengar tak asing di telinganya. Panggilan lembut dengan nada barito.
Anna mngedarkan pandangannya ke asal suara yang menarik hatinya itu. Dan pandangannya terkunci pada mata tajam milik pemuda tampan yang baru tadi diperhatikannya.
Satu detik. Dua detik. Pandangan kedua muda-mudi itu terkunci.
Tetiba saja Anna merasa bunyi keramaian di sekitarnya menghilang perlahan. Hingga hanya terdengar degup jantungnya yang berdetak agak lebih cepat dari yang seharusnya.
Ada rasa hangat yang menelusup ke dalam jiwa Anna secara diam-diam.
'perasaan apa ini? Kenapa aku seolah mengenal pemuda asing itu? Atau.. apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?' Anna membatin.
Segera saja Anna menunduk dan menyadarkan diri. Mencoba menutupi semburat merah yang mulai mewarnai wajahnya.
'apa yang terjadi padaku? Sepertinya aku mulai ikutan gila seperti Zizi,' desah Anna dalam hati.
Anna pun bergegas bangun. Ia berjalan menuju gerobak mie laksa untuk menanyakan pesanannya. Sekaligus melarikan diri dari sumber penyebab munculnya rasa malu dan rasa aneh yang baru saja menderanya.
Tapi kemudian suara pemuda itu terdengar lagi.
"Tasya.."
'siapa sebenarnya yang dia panggil? Tak mungkin aku, kan? Jelas bukan. Ia memanggil nama Tasya. Itu bukan namaku.'
Merasa penasaran, Anna menoleh kembali ke pemuda itu. Dan ia terkejut, ketika pemuda itu tampak menatap lurus padanya.
Anna menengok ke sekelilingnya. Ada seorang wanita yang baru saja berlalu pergi.
'oh.. mungkin perempuan itu yang dipanggilnya..?' Anna menduga.
Anna pun melanjutkan langkahnya kembali menuju gerobak mie laksa. Berusaha keras tak menghiraukan sosok pemuda tampan di belakangnya.
Sayangnya di sekitar gerobak ada cukup banyak orang yang berkerumun sehingga ia harus menunggu selama beberapa saat.
Setelah kerumunan itu berkurang sedikit demi sedikit, Anna pun menanyakan pesanannya pada Bapak pedagang.
"Pesanan laksa saya dua bungkus sudah jadi, Pak?" Tanya Anna.
"Yang sambalnya dipisah ya, Neng?"
"Iya, Pak!"
"Ini, Neng,"ucap Bapak pedagang sambil menyerahkan bungkusan mie laksa kepada Anna.
"Jadi berapa, Pak?"
"Udah dibayar, Neng," Jawab Bapak itu.
"Ehh?.. belum, Pak. Saya belum bayar. Tadi kan saya baru mesen dulu," Jawab Anna jujur.
"Udah, Neng.. tadi udah dibayarin kan sama temen lakinya Neng."
"Mm..kayaknya Bapak salah orang deh. Saya sendirian kok, Pak."
"Beneran, Neng. Tadi udah dibayarin sama anak laki ganteng yang datang bareng Neng. Orang dia jelas nunjuk Neng pas mau bayarnya kok."
"Mm.. tapi kayaknya Bapak salah orang deh. Saya tadi datang ke sini sendirian, Pak. Ini, biasanya 7 ribu kan seporsinya? Uang saya pas 14 ribu, Pak. Tolong terima ya, Pak. Terima kasih."
Anna bergegas pergi. Sebelum Bapak pedagang mie laksa itu mengembalikan uang yang telah diberikan padanya.
Sembari melangkah cepat, Anna sedikit merasa penasaran. Apakah tadi benar ada yang sudah membayar pesanannya. Atau Bapak itu yang lupa dan salah orang.
'ah.. apa peduliku. Itu sudah pasti salah orang. Di tempat tadi tak ada orang yang kukenal," Gumam pelan Anna.
Saat Anna hendak menaiki angkot biru 02 yang akan mengantarkannya pulang, tiba-tiba saja wajah pemuda tampan yang tadi memanggil nama 'Tasya' itu melintas di benaknya.
Spontan saja, wajahnya kembali merona. Ia pun tak menyadari bahwa mengingat pemuda itu telah memunculkan segaris senyuman di wajahnya.
***
~ketidak adilan yang kau dapatkan, bisa jadi adalah kesempatan bagimu menuju jalan kebahagiaan.
Tetap berbaik sangka lah kepada takdir. Karena kita tak akan pernah tahu, kapan takdir menunjukkan jalan kebahagiaan itu~
***
Di dalam angkot, selama beberapa waktu Anna masih mengingat wajah pemuda tadi. Ia merasa sosok pemuda itu nampak familiar baginya. Walau seingatnya, ia tak pernah mengenal pemuda asing itu.
'apa...aku mungkin mengenalnya ya?.… Ah. Sudahlah!' gumam Anna dalam hati.
Akhirnya Anna memutuskan untuk menikmati pemandangan lalu lalang mobil dari kaca angkot yang dinaikinya.
Beberapa kali angkot yang ditumpangi Anna berhenti untuk menurunkan dan atau mengangkut penumpang baru.
Anna selintas mengamati penumpang lain di angkot itu. Hanya ada enam orang termasuk dirinya di sana. Seorang ibu-ibu dengan anak lelakinya yang berumur sekitar tujuh tahun, serta tiga siswi SMA yang nampaknya baru pulang sekolah.
Tak sengaja, telinga Anna ikut menyimak pembicaraan ketiga siswi yang sedari awal naik angkot memang sudah cukup ramai berceloteh.
"Eh, tahu enggak. Sepupu gua balik loh dari Aussy." Ucap seorang siswi yang paling cantik di antara ketiganya.
"Sepupu yang mana, Den?"
"Andrew."
"Kyaa! Andrew balik?! Sejak kapan, Den? Kok lu baru bilang sih!" Teriak seorang siswi berambut panjang sepinggang.
Teriakan siswi itu sempat menarik mata semua penumpang di angkot jadi tertuju padanya.
"Syuut.. jangan berisik napa. Malu tahu!" Tegur siswi berambut sebahu, sebelum akhirnya kembali bertanya pada siswi yang paling cantik.
"Andrew yang mana sih? Aku kenalnya sepupu kamu cuma Dimas doang."
"Yaahh Ela payah nih. Masa gak tahu Andrew. Padahal dia sering mantengin majalah fashion. Masa ga pernah ngelihat mukanya Andrew sih di situ." Siswi yang tadi histeris, setengah meledek temannya.
"Hah? Majalah fashion? Maksud kamu bukan Andrew Lawalata kan?"
"Nah. Persis Andrew yang itu tuh sepupunya Denada kita tercinta."
"Ya ampun Den! Kok aku baru tahu sih kalo kamu sepupuan sama Andrew? Curang nih. Kenalin dong..!"
Bla bla bla.. bla bla bla..
Mendengar celotehan ketiga siswi itu membuat Anna merasa sedikit iri pada kebebasan masa remaja mereka. Anna menyadari kalau ia tak seberuntung ketiga siswi itu.
Seingat Anna, masa-masa SMA nya ia lalui dengan kegiatan sekolah-mengurus Zizi-sekolah-mengurus Zizi. Tak ada waktu untuk merenda hubungan dengan teman sebaya apalagi dengan pria.
'putih abu-abu. Masa-masanya mengenal cinta. Hhh..' Anna mendesah pelan.
Setelah melalui 20 menit perjalanan pulang, Anna akhirnya tiba di rumah.
Rumah Anna berada di kompleks perumahan Anggrek Ayu. Salah satu kompleks perumahan di Jakarta yang terkenal ditempati oleh kalangan menengah ke atas.
Umumnya tak sembarang orang asing bisa memasuki kawasan komplek tersebut, jika tak ada penghuni komplek yang dikenalnya.
Terdapat dua pos satpam yang berada di depan pintu masuk serta di gerbang belakang komplek, dengan CCTV yang tersebar di banyak tempat. Jadi keamanan di komplek Anggrek Ayu bisa dibilang cukup aman.
Saat itu waktu sudah menunjuk pukul 2 siang ketika Anna menyapa Pak Satpam Diro di gerbang depan komplek.
"Sepeda nya mana, Neng Anna? Kok jalan kaki?" Tanya Pak Diro.
"Rusak, Pak. Sementara jalan kaki dulu ini," Jawab Anna.
"Oo.."
"Mari, Pak!" Dan Anna pun berlalu pergi.
Anna memang biasa mengendarai sepeda untuk beraktivitas jauh. Mungkin karena bersepeda ini pula sebabnya Anna bertubuh ramping dan tinggi seperti model.
Sayangnya, dua hari lalu ban sepedanya bocor parah. Dan ia belum memiliki uang lebih untuk mengganti ban baru sepedanya. Alhasil Anna pun menaiki angkot.
Anna tiba di depan rumahnya. Rumah Anna berukuran sama luasnya dengan rumah lain yang berada di komplek perumahan Anggrek Ayu.
Dengan luas sekitar 250 meter, rumah bergaya vintage dengan dua lantai ini tampak meneduhkan dengan pekarangan yang dipenuhi oleh jejeran bunga yang bermacam-macam.
Tak jauh di pojokan halaman pun terdapat kolam kecil yang ditinggali ikan-ikan emas. Anna lah yang merawat taman di rumahnya hingga tetap asri. Anna pula yang memelihara ikan di kolam pekarangannya itu.
Ketika memasuki halaman rumah bercat hijau lime itu, Anna mendapati sebuah motor gede di garasi kecil rumahnya.
'Sepertinya ada tamu,' tebak Anna.
"Assalamu'alaikum.." sapa Anna saat memasuki pintu.
Tak terdengar suara yang menjawab salam Anna. Tapi ketika ia sudah akan menaiki tangga yang menuju kamar tidurnya sekaligus Zizi (mereka memang tidur berdua sekamar), terdengar suara tawa yang muncul dari arah dapur.
"Hahahaha.. gila asli! Terus Tante masih ngebiarin orang gila itu tinggal di sini, Tan?" Terdengar suara bass yang samar-samar dikenal Anna.
Mendengar suara itu telah memunculkan perasaan tak enak di hatinya.
"Mau gimana lagi? Si Anna pingin melihara tuh orang gila. Biarin aja lah. Toh dia dikunci di kamarnya ini. Jadi aman.."
"Tetep aja sih, Tan, ngeri.. gimana kalo-- ehh, nona cantik dah pulang. Ga ada kelas sore, cantik?"
"... Frans. Mama." Anna malas-malasan menyapa Frans, lelaki paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Keponakan Mama Ira ini usia nya 25 tahun. Tampan, tapi angkuh dan playboy.
Anna memilih untuk tak menjawab pertanyaan Frans, dan langsung meneruskan langkahnya menuju kamar.
Tapi Frans tak memusingkan sikap Anna padanya, lalu mengikutinya naik tangga.
"Eits. Ngapain buru-buru sih, Cantik. Gak kangen apa sama sepupu gantengmu ini?"
"... Sorry, Frans. Aku capek."
"Oo.. capek.. mau ku pijatin sini?"
Anna terkejut ketika bahunya tiba-tiba direngkuh Frans. Untung mereka sudah ada di lantai atas. Jika mereka masih di tangga, dan Anna refleks mendorong Frans, pemuda itu mungkin bisa saja terjatuh.
"Apaan sih!? Lepasin!" Anna menampik tangan Frans.
"Katanya capek.. sini ku pijatin.. yang mana yang pegal? Bahu, tangan, pinggang, atau.. ini?"
Anna menjerit dalam hati ketika Frans menggerayangi setiap anggota badan Anna yang disebutnya.
Terlebih ketika pemuda itu mulai menarik tubuh Anna hingga menempel ke tubuhnya. Spontan saja, Anna berteriak.
"Frans! Jangan kelewatan! Lepasin, enggak!"
"Mm.. enggak mau ah."
Frans lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Anna. Hal ini membuat Anna jadi semakin panik.
Akhirnya Anna pun melakukan hal yang sedari tadi sudah ingin dilakukannya. Ia menginjak jempol kaki Frans kuat-kuat.
Lalu ketika pelukan di tubuhnya sudah mengendur, Anna pun menendangkan kakinya ke arah genital pemuda itu.
"****! Cewek brengsek!" Seketika saja Frans mengaduh dan memegangi area vitalnya yang baru ditendang Anna.
Sementara Anna bergegas mengambil kunci kamarnya di kantong lalu membuka kamar, masuk, dan membanting pintunya cukup keras. Segera pula Anna mengunci kamarnya dan mengumpat Frans dari dalam kamar.
"Kamu yang brengsek! Cowok Gila!"
Buk.
Frans menendang pintu Anna sekali.
"Awas lo, An! " Ancam Frans sebelum akhirnya berlalu pergi dengan tertatih-tatih.
Dibalik pintu, tubuh Anna rubuh. Dengan rasa takut yang masih tersisa, dipeluknya kaki dan tubuhnya sendiri erat-erat.
Ini bukan kali pertama Frans melecehkannya. Dan Anna sudah sering mengadu pada Mama Ira tentang kelakuan keponakannya itu. Tapi aduan Anna tak dianggap.
Beruntungnya ia selalu bisa melawan dan lepas dari pemuda itu. Jika tidak, entahlah.
Anna menunduk dan menyembunyikan wajahnya. Ia pun menangis. Merasa terpuruk karena harus mengalami tindak pelecehan ini lagi dan lagi.
Harapan untuk bisa hidup dengan aman dan tenang di rumah ini terasa seperti mimpi yang terlampau jauh.
Sosok Ayah dan Bunda yang dilupakannya pun amat dirindukannya kini. Ia ingin memiliki sosok yang bisa dijadikannya untuk bersandar. Sosok yang mau mendengar keluh kesahnya.
Membelanya ketika dibuli. Menghiburnya ketika merasa sedih. Memeluknya ketika terluka. Tapi...
Sebuah pelukan tiba-tiba didapat Anna. Selama sesaat ia bergeming, sebelum akhirnya menyadari sosok yang memeluknya. Zizi.
Adiknya itu terus memeluk sambil menepuk-nepuk pundak Anna. Dalam diam, Zizi merengkuh Anna. Hingga perlahan tubuh Anna mulai bergetar. Anna pun menangis dalam diam.
***
~Jodohmu bisa jadi adalah dia yang amat kau kenal.
Mungkin kau hanya lupa untuk benar-benar melihatnya sebagai "si dia"~
***
Belasan kilometer jauhnya dari rumah Anna. Di sebuah rumah megah bergaya bangunan Eropa lama, seorang pemuda tengah duduk dan menenggak soft drink.
Pandangan pemuda itu menembus pemandangan ke kaca jendela kamar yang cukup megah. Usianya masih muda, sekitar 25 tahun. Wajahnya tampan, tubuh tinggi dan cukup atletis. Jika dilihat sekilas, ia tampak seperti orang Arab-Eropa. Wajah yang membuatnya digilai oleh banyak wanita.
Ya. Adalah seorang Daffa Scholinszky, pemuda tampan itu. Ia kini sedang menunggu kedatangan Pak Kiman, sopir pribadinya. Ada hal yang mengganggu pikirannya sedari siang tadi. Dan ia menunggu jawaban yang akan dibawa oleh Pak Kiman nanti.
Tak perlu waktu lama, terdengar suara pintu kamarnya diketuk.
"Masuk." Perintah Daffa.
"Tuan Muda, saya sudah menyelidiki gadis tadi siang." Suara Pak Kiman perlahan mengisi keheningan kamar megah itu.
"Lanjutkan."
"Gadis itu bernama Anna Maharania. Usianya 21 tahun. Statusnya sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tingkat 4 Universitas Airlangga. Ayahnya adalah aktor terkenal Jordan yang diisukan telah menghilang enam tahun lalu. Kini ia tinggal bersama ibu sambung, kedua adik laki-laki, serta satu adik perempuan yang..gila."
"...gila?"
"Ya, Tuan. Seperti itu hasil penyelidikan saya. Menurut laporan, adik perempuan nya berusia 15 tahun tapi dikurung hampir seharian dalam rumah. Disinyalir menderita schizophrenia."
"..."
"Nona Anna juga berjualan donat dan alat tulis, Tuan. "
"Berjualan?"
"Ya, Tuan. Sepertinya ibu sambung Nona Anna mengendalikan keuangan dengan cukup ketat. Jadi untuk mencukupi kebutuhannya, nona Anna berjualan donat dan alat tulis di kampus"
"... Pacar?"
"... Tak ada, Tuan Muda. Tapi.."
"tapi apa?"
"...ini baru sekadar isu, Tuan. Menurut informan saya, ibu Ira, Mama sambung non Anna, hendak menjodohkan non Anna dengan keponakannya yang bernama Frans."
Mendengar berita itu, Daffa sedikit menegakkan tubuhnya.
"Siapa dia?"
"Frans Sihombing adalah putra bungsu jendral Sihombing, partner lama Tuan Besar di Zi-Tech."
"..."
"..."
"Hobi, teman pergaulan, kegiatan sehari-hari?"
"Semua ada di laporan, Tuan. Mau saya bacakan atau Tuan Muda baca--?"
"Tinggalkan saja di meja. Kau boleh pergi."
Tak lama kemudian Pak Kiman keluar ruangan. Meninggalkan Daffa seorang diri. Pemuda itu berusaha mencerna semua informasi yang baru saja didengarnya. Setelah mencerna semua informasi asing itu, Daffa menghela nafas.
Anna Maharania. Gadis itu memiliki kemiripan yang teramat banyak dengan sosok Tasya yang diingatnya. Entah wajahnya, atau pun sikapnya.
Tasya adalah puteri sulung keluarga Frost sekaligus teman masa kecilnya. Sudah enam tahun berlalu sejak Daff melihat Tasya terakhir kalinya. Tasya menghilang tanpa jejak bersama puteri Zaiji, adiknya.
Bertahun-tahun lamanya Daff mencari sahabat kecilnya itu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Anna, sosok yang sangat mirip dengan Tasya. Tapi mendengar latar belakang gadis bernama Anna itu, membuat Daff jadi menyangsikan ingatannya.
Entah ia yang salah mengingat rupa Tasya, atau ada hal lain yang tersembunyi terkait gadis bernama Anna itu.
Anehnya ketika pandangan mereka bertemu di tempat makan mie laksa tadi, Daff merasakan perasaan yang sama seperti yang dirasakannya setiap kali bertemu dengan Tasya.
Sepertinya Daff harus menyelidiki gadis bernama Anna ini dengan lebih teliti. Ia harus menemui Anna kembali. Sesegera mungkin.
***
"Anna gak mau!"
Suara Anna terdengar lantang memecah keheningan di meja makan. Saat itu Anna sedang makan bersama Mama Ira, Dodi, serta Tedi. Sementara Zizi berada dalam kamar, seperti biasanya ia berada. Mama tak pernah membolehkan Anna mengajak Zizi untuk makan bersama di meja makan.
Karena pernah satu kali ia membawa Zizi, dan Bi Arum tak sengaja memecahkan piring yang kemudian mengagetkan Zizi. Zizi yang kaget akhirnya berbuat tantrum.
Kembali ke pembicaraan di meja makan saat ini. Mama Ira yang tetap cantik meski sudah memasuki usia 45 tahun itu tetap santai melanjutkan makannya. Ia tak menggubris keengganan Anna terhadap ucapannya sebelumnya. Bahwa ia memutuskan untuk menjodohkan Anna dengan Frans.
"Frans itu playboy, Ma. Dia juga abuse. Berkali-kali dia udah lecehin Anna. Dan Anna udah bilang ke Mama juga berkali-kali soal itu. Anna gak mau dijodohin sama dia, Ma. Daripada sama dia, mending Anna nikah sama Dodi."
"Ngawur kamu, An!" Bentak Mama Ira kepada Anna.
Sementara di sudut meja, Dodi yang disebut namanya malah tersedak. Remaja lelaki yang akan lulus SMA Juni nanti itu tak menyangka kalau namanya akan terseret dalam obrolan Mama dan Kakak tirinya. Diam-diam ia menunduk, untuk menyembunyikan rona merah yang menyelimuti wajahnya.
"Dodi itu adik kamu!" Bentak Mama Ira kembali.
"Adik tiri, Ma. Secara hukum dan agama, kami masih bisa menikah."
"Jangan bantah Mama, An. Kamu akan menikahi Frans. Titik."
"Tapi dia playboy, Ma. Dia bahkan udah hamilin adiknya teman Anna."
"So what? Yang penting dia kaya. Papanya eks jenderal. Keluarganya punya mitra sama perusahaan global Zi-Tech. Kamu bakal punya kehidupan yang mewah."
"Kemewahan gak bisa ngejamin kebahagiaan, Ma."
"Tapi untuk bahagia juga diperlukan uang, An."
"Tapi, Ma--"
"Dengarkan Mama! Dodi harus masuk kedokteran tahun ini. Dia perlu biaya besar. Dan Tedi, adik kandungmu juga perlu biaya untuk pengobatan jantungnya. Biayanya mahal, An. Sementara warisan Ayahmu gak bisa diambil langsung semuanya. Cuma sedikit yang bisa diambil setiap bulannya."
"Dan Paman Sam-mu bilang, kalo warisan Ayahmu bisa diambil semua ketika kamu sudah menikah. Jadi, kamu harus menikahi Frans, Anna. Demi adik-adikmu!" Jelas Mama Ira panjang lebar.
Dada Anna terasa sesak. Ada pertentangan yang sebenarnya masih ingin diteriakkan olehnya. Tapi mendengar penjelasan Mama Ira, mulutnya tiba-tiba saja terkunci.
Anna melihat Dodi, adik tirinya yang meski tak banyak waktu yang mereka lewati bersama, tapi Anna merasakan simpati untuk remaja yang akan memasuki masa dewasanya sesaat lagi itu.
Dan Tedi, adik kandung hasil pernikahan Mama Ira dan Ayah Jordan itu nampak mungil di tempat duduknya kini. Tedi memang sedari kecil sudah memiliki kelainan jantung. Di usianya yang baru menginjak umur lima tahun, Tedi sudah sangat sering bolak-balik ke rumah sakit.
Anna menunduk, mencoba memikirkan permintaan ibu sambungnya itu.
"Oke Anna harus menikah. Tapi gak harus sama Frans juga kan?"
"Kamu mau nikah sama siapa, An?" Tanya Mama Ira.
"Anna.."
"Kamu gak punya pacar. Dan Frans suka kamu. Dia udah berkali-kali bilang ke Mama kalo dia mau nikahin kamu. Pas kan."
"Tapi..."
"Udah. Kamu pikirin aja baik-baik. Tapi Mama sampein ke kamu, An. Kamu harus menikah sesegera mungkin."
Dengan kalimat terakhirnya, Mama Ira menutup pembicaraan terkait perjodohan itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!