Raisa selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Bram suaminya.
Melayani apapun yang suaminya butuhkan, meskipun hanya dipandang sebelah mata.
"Kamu ngapain setiap hari ngurusin anak pungut itu terus.?"
Setiap hari ibu mertuanya selalu mengatakan hal yang sama, bahkan sampai saat ini mungkin sudah ribuan kali ia mendengar kata-kata itu dari mertuanya.
"Mendingan kamu cari kerja, dari pada dirumah gak ngapa-ngapain, sedangkan pengeluaran terus-terusan."
"Maaf ma, kan dulu mas Bram yang melarang Raisa untuk kerja. Lagian siapa yang mau jaga elena."
"Itu dulu, sekarang keadaanya berbeda. Ekonomi suamimu sedang sulit, anakmu biar dirumah sama mama."
Sejak Raisa tinggal dirumah mertuanya, hampir setiap hari ibu mertuanya selalu mempermasalahkan Raisa yang hanya pengangguran. Mertuanya menganggap keberadaanya dan anaknya hanya menjadi beban bagi suaminya.
Belum lagi suaminya yang selalu acuh tak acuh terhadap keberadaanya.
Setelah ayah Rima meninggal beberapa bulan lalu, rumahnya digadaikan ke salah satu bank. Sekarang rumah itu disita karena Bram tak mampu bayar angsuran tiap bulanya. Bram yang meminta Raisa untuk meminjam uang dibank dengan alasan uangnya akan digunakan untuk memperbesar usahanya.
Bukan jadi besar eh usaha yang digeluti mertuanya malah bangkrut tak bersisa, sedangkan Bram yang bekerja disebuah berusahan tersebar dikota ini diberhentikan secara tidak hormat.
Setelah ketahuan menggelapkan dana perusahaan yang gak sedikit, uang hasil pinjaman dari bank sudah habis untuk membiayai proses hukum yang menjeratnya.
"Raisa akan coba cari kerja ma."
Tak ingin terus berdebat dengan mertuanya, Raisa mengalah.
Pagi ini Raisa dengan membawa berkas yang ada ditanganya ingin mencoba keberuntungan dengan mendatangi perusahaan yang mau menerimanya bekerja.
Lelah seharian berjalan keliling belum ada perusahaan yang mau menerimanya, Raisa akan mampir kerumah sahabatnya yang ada disekitar sini.
"Mel aku ingin bekerja sepertimu bisa gak?"
" Pekerjaanku kasar Sya, gak cocok untuk lulusan sarjana sepertimu."
"Mel aku bisa buat lamaran dengan ijazah SMA atau SMP ku, aku butuh banget pekerjaan sekarang."
"Besok aku rekomendasikan ke kepala bagian ya."
Raisa pulang dengan berjalan kaki puluhan kilo, mau naik angkot gak ada uang sama sekali didompetnya
"Gimana apa udah dapet kerjaan kamu.."
"Belum ada yang mau nerima ma.."
"Harusnya kamu gak usah pulang dulu, harus Sampek dapet."
Raisa meninggalkan mertuanya yang duduk disofa ruang tamu, dirumah ini tidak ada yang diandalkan. Raisa harus pintar menghadapi situasi yang seperti ini, dilihatnya Elena sudah tertidur dikamar.
Ini sudah terlalu malam jam menunjukkan pukul 21:00, suaminya setiap hari menghabiskan waktu dengan bermain game online setiap harinya.
Seolah tidak pernah ada bosannya, siapa yang mau kasih kerjaan kalau gak nyari. Dikira uang akan datang sendiri kali, tanpa harus repot-repot kerja.
Setelah mempersiapkan diri Raisa berbaring disebelah anaknya, memang sejak menikah sampai sekarang ia gak pernah tidur satu kamar dengan suaminya.
Entah suaminya impoten atau gimana Raisa gak pernah tau, maka dari itu Raisa memilih mengambil anak disebuah panti asuhan untuk menghiburnya.
Kadang melihat anaknya tertidur timbul perasaan yang sangat bersalah, mengadopsinnya dari panti asuhan bukan membuatnya bahagia malah membuatnya menderita dengan keadaanya sekarang.
Subuh Raisa sudah bangun memasak sarapan untuk seisi rumah, kemudian memandikan anaknya dan menyuapi.
Semua pekerjaan rumah Raisa yang kerjakan termasuk belanja kebutuhan sehari-hari, dulu saat suaminya masih bekerja gaji suami mertuanya yang nerima. Raisa hanya dikasih secukupnya kadang juga harus dicukup-cukupin.
Mertuanya hanya duduk manis dirumah, setiap hari anaknya hanya bermain games mertuaku hanya diam saja.
Mulai hari ini aku bertekad untuk membahagiakan diriku sendiri dan anakku, masalah yang lain-lain itu urusan nanti.
Hari ini ada kabar baik dari Amel, aku sudah bisa mulai bekerja besok. Aku bersykur yang tak terhingga, ada setitik cahaya terang
Setidaknya aku tidak selalu direndahkan sama mertuaku, aku selalu dibanding-bandingkan dengan menantu tetangga sebelah.
Cantik rapi dan wangi, juga memiliki pekerjaan bagus, menjadi sekretaris perusahaan ternama.
Bisa beli mobil sendiri, mandiri dan masih banyak pujian dari mertuanya.
Aku tidak pernah membalas semua perlakuan mertuaku, aku masih menghormati nya sebagai orang tuaku.
Dulu saat aku hampir wisuda mas Bram melamarku, dan ayahku langsung menyetujuinya. Aku hanya pasrah dengan pernikahan ini, ku anggap sosok laki-laki yang bertanggung jawab dan mapan.
Aku tak pernah mencari tahu latar belakang keluarganya, yang aku tahu dia anak tunggal dan bekerja disalah satu perusahaan terbesar dikota ini. Ayahnya telah tiada ibunya menjalankan bisnis properti milik keluarganya, waktu awal-awal juga ibunya sangat ramah terhadapku.
Dua bulan pernikahan ayahku menyusul ibu ke surga, dan sekarang menginjak 7 bulan pernikahan.
Pernikahan diatas kertas, kenyataan jauh berbeda dari impian.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya, aku gak pengen hari pertamaku bekerja memberi kesan buruk pada atasanku.
Elena sudah mandi dan wangi, aku sudah menyuapinya dan membuatkan susu untuknya.
"Sayang mama kerja cari uang dulu ya."
"Iya mama, ati ati dijayan.."
Elena mencium punggung tanganku dan aku mengecup keningnya.
Hanya denganku elena banyak bicara, dengan yang lainya hanya diam seperti ketakutan.
Aku gak masalah mungkin suami dan mertuaku tak pernah mengajaknya bermain makanya Elena jadi pendiam
"Kenalkan ini ada karyawan baru yang akan bergabung dengan kalian, saya harap kalian bisa menerimanya dengan baik."
Bisa dibilang dia adalah mandor pabrik tempatnya bekerja, bersyukur ada Amel yang telaten mengajarinya sebagai pemula.
Disini para pegawainya juga baik-baik, ada rasa kekeluargaan bekerja disini.
Pabrik pembuatan kain jeans, kerja dimulai pukul 7 pagi sampai 3 sore. Jika ada yang bekerja lebih dari jam 3 dianggap lembur, begitu penjelasan Amel.
Amel sering ambil lembur, karena uang lembur selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan bayar kos-kosan. Sedangkan gajinya sebagian dikirim ke kampung ada adiknya yang masih sekolah, sebagian ditabung tentunya.
Untuk pemula tidak terlalu sulit mengikuti hanya butuh ketelatenan, dan kesabaran.
Untuk menghemat aku membawa bekal ke pabrik untuk makan siang, jika lembur bekalnya setengah untuk makan siang dan setengahnya lagi untuk makan malam.
Aku sudah sangat berterimakasih, masih ada yang menerimaku untuk bekerja. Saat ini kerja apa aja aku gak masalah, asal ada pendapatan dari pada menganggur.
Dirumah itu sebenarnya juga aku seperti gak betah, tapi gak ada pilihan lain. Aku harus bekerja lebih keras lagi, mengambil lembur setiap hari gak masalah. Jika ada uang mau ngapain aja bisa, tapi emang kenyataanya seperti itu.
Awal kerja pas jam makan siang aku nangis, ingat sama Elena dirumah. Apa mertua dan suamiku menjaganya dengan baik, tapi Amel terus menyemangatiku aku bekerja juga untuk membahagiakan Elena jadi aku harus kuat.
Satu bulan sudah aku bekerja dipabrik, hari ini tanggal aku menerima gaji dan uang lemburan.
Aku gak tau kenapa kebutuhan rumah semuanya dibebankan padaku, listrik, air, kebutuhan dapur, uang rokok suamiku, uang untuk mertuaku karena merawat Elena selama aku kerja.
Jika aku tidak lembur mungkin gajiku gak cukup untuk kebutuhan rumah ini, aku gak apa-apa ini hanya sementara. Nanti setelah suamiku kembali mendapatkan pekerjaan aku yakin semua akan kembali seperti semula.
Aku menjadi tulang punggung sekarang, tidak ada pemasukan selain dariku. Meskipun pekerjaanku kasar tapi gajinya bisa untuk menyambung hidup keluarga.
Setiap hari suamiku meminta uang padaku dengan alasan untuk mencari kerja, akupun gak keberatan dan berdo'a semoga segera mendapatkan pekerjaan.
Ini adalah hari Sabtu, aku tak ingin lembur hari ini. Aku akan mengajak Elena jalan-jalan dan membelikan baju, mainan untuknya.
Setibanya dirumah Raisa melihat mertuanya sedang duduk disofa ruang tamu, tak menyadari kedatangannya.
"Ma... Elena dimana.?
"Kamu sudah pulang, kok gak lembur.?
Aku yang menanyakan anakku malah dijawabnya dengan pertanyaan padaku juga.
"Aku gak ambil lembur Ma, Aku ingin istirahat.?"
"Kalau kamu kerja malas-malasan gitu gimana kita mau punya hidup yang layak ."
"Satu bulan ini hampir setiap hari Ica lembur ma, badanku rasanya sakit semua. Sekarang Ica mau istirahat." Raisa berlalu masuk kamar gak ingin berlama-lama mendengarkan mertuanya yang terus mengomel.
Telinganya mulai menebal karena hampir setiap hari seperti mendengarkan radio rusak dari mertuanya.
Pintu kamar dibukanya dengan sangat pelan, takut jika anaknya sedang tidur.
"Mama..." Begitu bahagianya gadis kecil itu melihat bundanya yang pulang awal.
"Sayang kok main sendiri gak diluar dengan nenek."
"Enggak ma, ena suka main sendili." Ucapnya.
"Muah.. Anak mama makin pinter nie. Elena belum mandi.?"
"Beyum mamma...."
"Mandi bareng mama ya, Yuk udah sore..?"
Elena berlari mengambil handuknya dan mengandeng tangan Raisa. Mungkin karena elena sering ditinggalnya bekerja, gadis itu cukup mandiri, Elena juga jarang menangis seperti anak-anak pada umumnya. Keduanya berjalan gontai menuju kamar mandi, 15 menit berlalu kini keduanya sudah rapi.
*Kalian mau kemana...?" Tanyanya ketus.
Sontak gadis kecil itu langsung bersembunyi dibelakang tubuh ibunya.
"Ica mau ajak Elena kepasar malam Ma, mau beli mainan sama baju. Baju Elena sudah pada gak muat."
"Beli bajunya nanti aja kalau udah punya uang banyak, kebutuhan kita sehari-hari aja masih bingung mau beli baju. Tadi mama beli elpiji sama telur, gantiin uangnya 50 ribu.."
Tanpa pikir panjang Raisa segera mengambil uangnya dan memberikannya pada mertuanya, segera berlalu pergi meninggalkan rumah bersama Elena.
"Mamma nenek malah yaa..?" Tanyanya polos
"Enggak sayang nenek gak marah, nenek sayang sama Elena." Raisa tak ingin elena jadi takut dengan mertuanya.
Di persimpangan tak jauh dari rumahnya biasanya Raisa menunggu angkot yang lewat, sudah berdiri lebih dari 20 menit belum ada angkot yang lewat.
Peluh sudah membasahi kedua wanita beda usia itu, dari jauh terlihat angkot yang mulai mendekat.
Raisa segera melambaikan tanganya kearah angkot, begitu masuk didalam angkot penuh Raisa duduk dengan sangat berdempetan. Raisa duduk dengan memangku Elena, Elena seperti gak nyaman berada di angkot itu. Gak ada pilihan lain baginya, Elena juga sangat memahami kesusahan sang mama.
Sesampainya di pasar malam Raisa membelikan 3 steel baju untuk Elena, dan membelikan mainan pilihannya.
Boneka Barbie berwarna pink, setelah itu keduanya mampir disebuah angkringan untuk makan.
"mamma unya uang..?"
"Punya sayang, Elena mau apa nak..?" jawanya lembut.
"Ena au es plim mamma.."
"Habiskan dulu makanya terus mama ajak Elena makan ice cream.."
Elena memeluk Raisa kemudian melanjutkan lagi makanya, Raisa mencium kepala Elena dengan sayang.
Gadis kecil itu terus bercerita dengan bahasanya sambil memakan ice cream yang ada ditanganya.
Raisa mendengarkan ocehan anaknya dan sesekali menimpali, terlihat rona bahagia terpancar jelas diraut mukanya.
Kini keduanya duduk disebuah kursi dibawah pohon.
"Sayang.. Elena suka gak diajak jalan-jalan..?"
"Cuka cekali mamma.."
Raisa berjongkok dibawah dengan tanganya memegang tangan putrinya.
"Sayang Do'ain kerjanya mama lancar, terus mama dapet rejeki yang banyak. Biar bisa terus ajak Elena jalan-jalan."
"Iya mammma... Tiap hali ena do'a untuk mama.
bial cehatt.."
"Terimakasih sayang.."
Ayra bangkit dan segera memeluk anaknya, satu-satunya orang yang bikin ia bahagia.
Raisa kembali kerumah pukul 19:00 dengan menenteng banyak belanjaan, dan menggendong Elena yang sedang tidur.
Ia berjalan sedikit kesusahan, tapi tak ingin membangunkan putrinya.
Elena yang sudah kelelahan berjalan jauh sejak sore, dibukanya pintu rumah dengan sangat pelan. Berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kamar, membaringkan Elena ditempat tidur dan menyelimuti tubuh mungil itu.
Dua pasang mata yang sejak tadi terus saja melihatnya dengan tatapan tidak suka, mertuanya dan suaminya Bram.
Uang belanja yang berkurang karena Raisa terus saja mengurus anak pungut itu, alasan keduanya tidak pernah menyukai Elena.
Raisa tidak pernah memikirkan tanggapan orang lain padanya dan Elena, Elena begitu memahami bahwa yang mama sangat menyayanginya.
Dibandingkan hidup di panti asuhan, hidup dengan sang mama sudah membuatnya bahagia.
Dulu saat Raisa mengambil Elena, pihak panti asuhan sudah memberitahukan pada Raisa bahwa Elena masih memiliki orang tua.
Elena sengaja diletakkan didepan pintu panti asuhan, waktu umurnya sudah 1 tahunan.
Tapi sayangnya orang tua elena tidak menyadari gerak-gerik nya diawasi cctv, Raisa sudah memegang bukti rekaman itu. Sampai detik ini gak pernah sekalipun Raisa membukanya, pengakuan pihak panti sudah membuktikan bahwa Elena sengaja dibuang.
Tidak terpikirkan oleh Raisa untuk mencari keberadaan orang tuanya, apapun masalah mereka membuang anak pada panti asuhan sudah dianggapnya tepat.
Pasti pihak panti akan merawatnya dengan baik, syukur-syukur mendapatkan orang tua asuh.
Daripada membuangnya dipinggir jalan atau mem****hnya. Tidak ada anak yang dapat memilih akan dilahirkan dari rahim seseorang seperti apa.
Seperti nasib Raisa, pernikahannya tidak sesuai harapannya. Jauh dari yang dirinya bayangkan, Entah bagaimana nanti biar waktu yang bisa menjawab.
Perasaanya pada Bram juga sudah membeku, gak ada lagi cinta dihatinya.
Jika bisa memilih, ia tak ingin menikah dengan Bram waktu itu.
Nasi sudah menjadi bubur, hanya bisa menjalani.
Ia bertekat suatu hari akan memperjuangkan statusnya.
Malam ini Raisa dan Elena tidur sangat nyenyak, tanpa terasa adzan subuh sudah berkumandang.
Raisa buru-buru bangun berjalan kekamar mandi, merasakan ibunya bangun Elena mengikuti dari belakang.
Keduanya sholat subuh lebih dulu kemudian Raisa segera memasak untuk sarapan pagi, Elena tak ingin tinggal diam. Sebisanya ia membantu mamanya, jam setengah 6 Raisa mandi dan akan segera berangkat kerja. Elena yang sudah rapi disuapinya dengan sangat telaten, dan membawa bekal untuknya sendiri kemudian melangkah keluar rumah.
Suami dan mertuaku masih tertidur aku sudah berangkat bekerja, Elena masuk ke kamarnya dan main boneka yang kemarin dibelinya bersama sang bunda.
Hari-hari Elena dirumah ia habiskan hanya didalam kamar, bermain sendiri lelah bermain tertidur makan pun gak ada yang memperhatikan.
Elena tak pernah mengadu pada Raisa, tak ingin membuat sang bunda mengkhawatirkannya. Elena juga takut sang nenek akan memukulinya bila mengadu, seperti saat dirinya nangis minta jajan.
"Ca Lo pagi amat datengnya.."
"Daripada kesiangan kan Mel.."
Keduanya bersiap-siap lebih dulu sebelum jam kerja dimulai, tepat pukul 7 mesin-mesin pembuat Jean beroperasi.
Semua karyawan harus sudah siap pada bagianya masing-masing, begitupun dengan siang dan sore hari. Kepala pabrik mungkin kita sebut juga mandor setiap saat mengawasi kerja para karyawannya, mandor bertangguang jawab penuh operasional pabrik beserta karyawannya.
"Ca Lo mau lembur lagi..?" Amel yang melihat Raisa membawa bekal tinggal setengahnya.
"He'em Mel, kebutuhan rumah banyak.."
"Suami Lo suruh kerja Napa ca.."
"Dia udah berusaha nyari Mel, tapi belum dapet aja.."
Amel menghembuskan nafasnya kasar, Raisa terkekeh melihat sahabatnya.
Amel belum menikah tiap hari kerja lembur juga, dikarenakan sebagian penghasilannya dikirim ke kampung halaman untuk membantu adiknya sekolah.
Sedangkan kedua orang tuanya hanya buruh tani, menggarap sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih kurang, Amel sebagai anak pertama bertekat mengubah nasib dikota. Bisa kerja dipabrik udah sangat bersyukur bagi Amel, daripada menjadi beban orang tua.
Sepulang dari lembur seperti biasa Raisa dan Amel bergegas pulang kerumah masing-masing, sesampainya dirumah pukul 22:00 semua anggota keluarga sudah terlelap.
Aku segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berbaring disamping anakku.
Lelahku seharian bekerja seolah sirna melihat wajah polos putriku, kerinduanku seharian aku lambiaskan dengan menciuminya.
Tidur nyenyak nya tidak terusik dengan ulahku, lelah seharian bekerja tidak membuatku berlama-lama mengusik putriku. Raisa segera tertidur dengan memeluk tubuh mungilnya, sumber kebahagiaannya dirumah ini.
Adzan subuh sudah berkumandang Raisa sudah terjaga dari tidurnya kini ia bangkit menuju kamar mandi, selesai dengan ritual paginya Raisa segera memasak untuk sarapan. Dan untuknya membawa bekal, tidak seperti biasanya Elena yang membantunya didapur.
Elena masih tertidur, dan Raisa tak ingin membangunkan putrinya.
Setengah jam berlalu Raisa sudah siap dengan setelan kerja dari pabrik dan alat-alat kerjanya, ia menghampiri elena untuk berpamitan.
Pelan-pelan ia mendekati wajah putrinya dan mencium keningnya, setiap hari sebelum berangkat kerja Raisa selalu menciumi putrinya lebih dulu.
"Loh.. Kok panas.."
Raisa segera bangkit dan menempelkan telapak tanganya pada kening Elena.
"Sayang kamu demam..?"
"Mamamaa... pala ena ******..."
"Ya Allah sayang... kita kerumah sakit ya nak.."
Raisa segera menggendong tubuh mungil putrinya keluar rumah, di persimpangan jalan ia menghentikan angkot yang sedang lewat.
"Pak kerumah sakit.."
"Baik Bu.."
Disepanjang perjalanan mulut Raisa tak henti-hentinya melafalkan do'a untuk kesembuhan putrinya. Air mata sudah tak terbendung lagi.
Dilihatnya tubuh mungil yang ada dipangkuanya, terlihat sangat pucat, bibir yang membiru, tubuh menggigil kedinginan tapi badannya panas.
"Sayang bertahan yaa... Mama sayang Elena.."
Kalimat yang berulang-ulang kali dibisikkan pada putri kecilnya, angkot berhenti persis didepan rumah sakit.
Raisa segera turun dan berlari masuk ke sebuah ruangan yang bertuliskan IGD didepanya.
"suster... dokter.... Tolong selamatkan anak saya.."
Sambil terus menangis Raisa berteriak-teriak memanggil dokter, datang beberapa suster dengan membawa berankar dan menidurkan elena disana.
"Ibu silahkan tunggu diluar dokter akan memeriksa putri ibu.."
Dengan berjalan sedikit terseok-seok Raisa melangkan kakinya keluar, ia mendudukkan tubunya dikursi ruang tunggu.
Tak berapa lama keluarlah seorang laki-laki sekitar 30 tahun berjas putih keluar dari ruang IGD, "Keluarga adek Elena..?" Suara bariton itu mengagetkan Raisa dari lamunan.
"saya ibunya dokter.." Raisa segera bangkit dan menghampiri sang dokter.
"Bisa ikut keruangan saya sebentar..!" Laki-laki itu berjalan memasuki sebuah ruangan. Ruang kerja dokter lengkap dengan meja kerja yang diatasnya terdapat laptop dan tumpukan berkas, lemari kecil tersusun beberapa file disana. Dan satu set sofa mungkin untuknya menerima tamu.
"Silahkan duduk.."Dokter itu menunjuk pada kursi yang berada didepan meja kerjanya, ia kemudian berjalan dan duduk dikursi didepan Raisa.
Seketika dokter menatap mata sayu milik Raisa, dokter baru menyadari betapa cantiknya seorang wanita yang duduk dihadapannya. Tanpa polesan makeup justru terlihat sangat cantik menurutnya.
"Elena anak ibu diagnosa awal saya hanya demam, tapi perlu dilakukan opname karena saya akan terus memantau kondisi Elena. Takut seandainya Elena dibawa pulang terus panas tinggi bisa berakibat kejang.."
Mendengar penjelasan dokter Raisa terus terisak, tak kuasa mendengar kondisi putrinya.
"Lakukan yang terbaik untuk putri saya dokter, saya akan berusaha untuk cari biaya pengobatannya."
"Maaf ibu kalau boleh saya bertanya..?"
"silahkan dokter saya akan menjawab sebisa mungkin..!"
"Kenapa dibeberapa bagian tubuh anak ibuk terdapat banyak memar, apa ibu memukulinya..?"
"Mana mungkin saya memukulnya dokter, saya begitu menyayanginya. mencubitnya aja saya belum pernah bahkan tak akan pernah.."
Air mata Raisa mengalir dengan derasnya, seolah menggambarkan bagaimana perasaanya saat ini.
Setelah melakukan pendaftaran Raisa memasuki ruang tempat Elena dirawat, betapa putrinya yang begitu periang sedang terbaring lemah tak berdaya.
Beberapa alat medis menempel ditubuhnya, selang infus dan selang oksigen dihidungnya.
Aku segera menghambur memeluknya, seolah memberinya kekuatan untuk sembuh. Elena menatapku dengan tatapan penuh kasih.
Ku hujani mukanya dengan ciuman sayang, kupeluk tubuh mungilnya dengan erat. Kulitku menyentuhnya masih terasa panas, suster memberikan nampan berisi bubur padaku untuk Elena.
Aku lupa perut mungilnya belum terisi makanan dari pagi, Elena menghabiskan semangkok bubur dan segelas susu. Anakku bener-bener lapar batinya, perutku yang begitu melilit aku masih bisa menahannya.
Elena yang sudah mendapatkan perawatan membuatku sedikit lega, aku meraih tas kecilku dan melihat ponselku.
Puluhan pesan dan panggilan masuk disana, pasti dari pabrik pikirnya.
Puluhan panggilan dari Amel dan pak Andik mandor nya, Raisa segera menempelkan benda pipih itu ditelinganya.
"Hallo Ca, Lo kemana aja gak jawab telpon ku. kenapa gak masuk kerja..?" suara Amel diseberang sana terdengar mengkhawatirkan dirinya.
"Maaf Mel aku merepotkan, aku lupa mau bilang hari ini gak masuk.." Raisa menceritakan kejadian yang menimpa Elena pada Amel.
"Ya udah Ca nanti aku coba bilang ke pak Andik, soalnya tadi ada kunjungan dari direktur perusahaan. Terus mejamu kosong, aku juga gak tau kamu kemana.."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!