NovelToon NovelToon

Cinta Haqiqi

Kekuatan Cinta

Hot News

Telah terjadi penembakan terhadap Jaslin. Putri tunggal dari Gilbert Atmadja, seorang pengusaha sukses terkenal sekaligus crazy rich Surabaya. Penembakan itu didalangi oleh Grace Atmadja, istri sah dari mendiang Maxime Atmadja dan sekarang sudah ditetapkan menjadi tersangka utama penembakan itu. Kejadian penembakan itu terjadi dini hari tadi di desa Sidomulyo. Terdapat 3 luka tembak yang bersarang dipunggunya, dan korban sekarang mengalami kritis.

Berita ini cukup menggegerkan publik dan dunia maya, karena menguak misteri dari keluarga Atmadja yang ditutup-tutupi selama bertahun-tahun ini dari publik. Terutama mengenai Lily dan Louis Johan seorang pengusaha yang merupakan Putra kandung Maxime Atmadja dari istri pertamanya yang disembunyikan. Dan kita ketahui bersama, keluarga Atmadja hanya mempublikasikan Grace sebagai Istri dan menantu satu-satunya dari keluarga mereka yang kenyataannya hanyalah istri kedua.

Dan yang kembali menggegerkan dunia linimasa. Grace wanita paruh baya itu terlibat dalam beberapa tindak kriminal. Diantaranya tentang pembunuhan Lily, istri pertama dari Mendiang Maxime Atmadja. Terlibat perampokan sekaligus pembakaran Gedung Notaris pengacara Kondang Albert Hutapea. Penculikan sekaligus penyekapan terhadap Jonathan Atmadja dan Sabiru Putra yang tak lain cucunya sendiri. Dan yang terakhir mengenai penembakan terhadap Jaslin, yang menyebabkan korban mengalami kritis.

Seperti yang kita ketahui, Jaslin merupakan Putri dari keluarga Atmadja yang hilang bertahun-tahun silam. Dan baru beberapa minggu ini ditemukan. Wanita cantik dengan kulit putih Langsat ini ditemukan dan di rawat oleh Almarhum orang tua angkatnya yang berasal dari kota Bandung.

Disini kami mengumpulkan cuplikan-cuplikan potret mengenai Jaslin Putri Atmadja yang lebih di kenal dengan nama Meida Khanza. Korban penembakan oleh neneknya sendiri,

Nagara yang sedang melihat berita di kantornya itu membelalakan matanya tak percaya mengenai berita tersebut. Ia menatap dalam potret Meida yang di putar satu persatu di layar televisi ruangannya.

“Jadi wanita yang dicintai Melvin adalah Putri Gilbert yang hilang itu? Ya Tuhan, kenapa dunia ini sesempit ini.” Gumam pelan Gilbert menatap serius kearah layar. Ia kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Meida. Ketika Meida dan Melvin berkolaborasi di acara ulang tahun perusahaannya bulan lalu.

“Ternyata gadis itu adalah Jaslin ...  “ Nagara menatap kosong kearah layar. Ia menggigit punggung tangannya ketika melihat tubuh lemah Meida yang baru keluar dari ruang operasi menuju ruang ICU.

Sementara di ruang santai, Melisa nampak menjerit memanggil nama mamihnya. Ia tak percaya melihat berita yang sedang ditontonnya. Wajahnya pias bagai tak dialiri darah dengan jantung yang berdetak cepat.

“Mamih! Mamih! Mamihhh!!!”  Teriak Melisa menggema di ruang santai dengan suara bergetar dengan mata yang tak beralih dari layar televisi. Helena datang dengan terpogoh-pogoh sambil membawa cemilan yang ada di tangannya.

“Ada apa Nak? Kenapa teriak-teriak?” Melisa menunjuk ke layar televisi dengan tangan bergetar.

“Mei..da Mih!” Ucap terbata-bata Melisa yang masih menatap layar televisi dengan mata yang sudah berkabut. Setelah beberapa minggu tak bersua dengan meida, kini ia di kagetkan dengan kondisi meida yang berada di luar perkiraannya.

“Yaa Tuhan Meida!" Gumam pelan Helena yang menjatuhkan cemilannya ke lantai. Lalu duduk di samping Melisa. Ia cukup shock melihat berita itu, calon menantunya kini benar-benar berada diambang Kematian, antara hidup dan mati.

“Mih ... Meida mih ... dia kritis. Dia di tembak neneknya ... bagaimana ini?” Helena masih menatap fokus kearah televisi tanpa bergeming sedikitpun. Matanya berkaca-kaca menatap kearah sekumpulan orang yang menyorot kearah meida yang sedang terbaring lemah dengan alat medis di tubuhnya di dorong oleh para Dokter dan keluarganya menuju ruang ICU setelah menjalani operasi.

“Pak Gilbert, tolong jelaskan kronologi penembakan Putri Bapak?”

“Apa Jaslin benar-benar Putri Bapak yang hilang?”

“Bagaimana dengan Nyonya Grace? Apa tanggapan anda sebagai putra kandung nya setelah Nyonya Grace ditetapkan tersangka?”

“Apakah anda mengetahui tentang Pak Louis Johan dari dulu? Kenapa anda menutupinya?”

“Apa anda sendiri yang membuang Putri anda, Jaslin?”

“Apa benar, penembakan yang terjadi terhadap Jaslin akibat dari sengketa harta warisan?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan tak satupun di jawab oleh Gilbert. Ia terus saja berjalan dengan wajah pucatnya dengan mengenggam tangan putrinya erat.

“Saya sebagai perwakilan keluarga Atmadja, tolong minta kerja samanya! Keluarga kami sedang berduka dan terpuruk! Kami harap kalian bersimpati sedikit saja dengan musibah yang menimpa keluarga kami! Dan ini Rumah sakit, harap untuk tenang! Karena banyak pasien yang membutuhkan ketenangan disini! Dan kami tak bisa menjawab satu persatu pertanyaan yang kalian lontarkan. Kami akan mengklarifikasi semuanya, tapi bukan sekarang! Jadi mohon pengertiannya!” ucap Jack yang memakai Jas kebesarannya menghalau pergerakan beberapa wartawan yang akan mengejar Gilbert. Ia dan Andress dengan sekuat tenaga menghalangi pergerakan para wartawan yang bergerombolam yang akan mengejar keluarganya menuju ruang ICU.

“Mih aku harus bagaimana? Meida sekarang kritis, surat yang koko titipkan belum sampai ke tangannya. Surat itu masih berada pada kita. Bagaimana jika Koko disana mengetahui semua ini? Bagaimana perasaannya ketika mengetahui calon istrinya sedang kritis, sedang berjuang antara hidup dan mati, dan dia tak ada disisinya. Perasaan koko pasti hancur mih! Mamih tahu sendiri, koko sangat mencintai Meida.” Lirih Melisa dengan suara paraunya. Ia kembali menghapus air matanya lalu menangkup wajahnya.

“Entahlah mamih bingung dengan semua ini. Ujian berat terus saja menimpa mereka. Padahal pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari. Seharusnya Melvin dan Meida sekarang sedang bahagia mempersiapkan hari pernikahannya. Tapi kenyataannya ... mempelai pria tak ada, entah dimana. Dan mempelai wanita terbaring kritis. Lelucon apa ini?” Kekeh getir Helena yang menjatuhkan dirinya ke sofa dengan wajah sendunya. Ia menatap kearah televisi dengan binar penuh kesedihan.

“Kita harus apa Melisa? Kenapa kebahagiaan sulit sekali mereka rasakan? Kenapa Tuhan selalu saja memberi ujian yang berat pada mereka? Padahal mereka hanya manusia biasa yang ingin bahagia,” ucap parau Helena dengan wajah frustasi melempar keras remot ke lantai sampai hancur berantakan.

-

Setelah menyudahi bacaan Al-Qur’an nya. Melvin nampak termenung dengan tatapan kosong. Ia masih duduk bersila dengan tangan menompang dagunya, keadaan posisi yang tidak berubah dari 2 jam yang lalu. Buya Hanafi berjalan menghampirinya.

“Faris, kamu kenapa Nak? Buya perhatikan wajahmu murung dari tadi. Seharusnya kamu bahagia sudah bisa membaca Al-Qur’an sesuai cita-citamu. Tapi kenapa air mukamu sangat berlainan Nak? Cerita sama Buya ada apa? Jangan menyimpan persoalan sendiri, itu gak baik buat kesehatan mu Nak!” Buya Hanafi menepuk pelan bahu Melvin yang sedang melamun dengan tatapan kosong kearah sajadah yang didudukinya. Wajah Melvin nampak tak bersemangat, dan sangat kentara raut gelisah di wajahnya.

“Entahlah Buya, dari semalam perasaan saya tak enak. Saya tak bisa tidur, saya tak nafsu makan, saya malas melakukan sesuatu, rasanya tubuh saya lemah Buya. Tiba-tiba hati saya gelisah, dada saya sesak, hati saya terasa kosong. Saya tak tahu apa yang menimpa pada diri saya Buya. Tetapi saya ingin menangis, rasanya saya sedih Buya. Tapi saya tak tahu alasannya sampai hati saya sesedih ini.” Curhat Melvin dengan suara bergetar menahan tangis. Tak tahu apa yang dirasakannya sekarang, tanpa dorongan apapun tiba-tiba ia ingin begitu saja menangis.

“Perbanyak Dzikir Nak agar hatimu tenang! Jangan dipikirkan, tapi perbanyak do'a. Semoga Allah selalu melindungi dan menjaga orang yang kamu cintai. Berprasangka baiklah sama Allah.” Nasihat Buya Hanafi sambil mengelus pundak Melvin yang nampak Bergetar.

Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa hati saya tak tenang begini? Yaa Allah lindungi orang yang saya cintai disana! Tolong jaga mereka ... jauhkan mereka dari segala marabahaya.

“Apa kau rindu dengan keluargamu? Apa kau ingin pulang?” Tanya Buya Hanafi mencoba menerka kegelisahan di hati Melvin. Ia kembali mengelus bahu Melvin yang pundaknya semakin bergetar.

Buya Hanafi melihat kearah mimbar, dengan pandangan menerawang.

“Buya ingat dengan perkataan guru Buya dulu. Ketika Buya ingin menyerah, ketika Buya sedang berputus asa, ketika kondisi Buya benar-benar terpuruk. Guru Buya pernah mengatakan,

‘Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada perintahnya.’

Dan jika Buya sedang merindukan orang tua Buya yang berada di pulau terpisah. Guru Buya selalu memotivasi Buya untuk bertahan. Ucapannya sampai sekarang selalu Buya ingat dan terngiang-ngiang di telinga Buya.

'Kehidupan itu laksana lautan. Orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera yang luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tepi.'

Kata-kata itu seakan menjadi penyemangat ketika Buya sedang kehilangan arah. Kata- kata itu mampu menghadirkan aura positif pada diri Buya.

Dan sebelum Buya berangkat mondok ke pulau Jawa. Ayah Buya pernah mengatakan sebuah kalimat.

‘Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.’

Awalnya Buya tak paham apa maksud dari perkataan itu. Tapi setelah sampai di sana, Buya baru paham. Seberapapun sulitnya, seberapapun sakitnya, seberapapun rindunya dengan kampung halaman, Buya jangan dulu pulang, sebelum keinginan Buya tercapai.

Kamu pasti paham apa maksud Buya Nak..” Kekeh Buya Hanafi yang kembali memandang kearah Melvin. Melvin mengangkat wajahnya lalu menatap Buya Hanafi dengan riak air mata di wajahnya.

“Buya, saya sangat merindukan orang yang saya cintai ... tiba-tiba hati saya sesak ketika mengingatnya.” Lirih Melvin yang kembali menundukkan wajahnya. Buya Hanafi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Nak, Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.” Ucap bijak Buya Hanafi sambil menyodorkan sapu tangan kearah Melvin. Dengan tangan yang bergetar, melvin menerima sapu tangan itu dan langsung menyusut air matanya.

Buya Hanafi melanjutkan ucapannya,

“Asal kamu tahu Nak! Cinta bukan mengajar kita untuk lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.”

“Karena sejatinya cinta adalah perjuangan Nak. Perjuangan untuk kuat, perjuangan untuk bangkit, perjuangan untuk menerima takdir, perjuangan untuk menahan rindu, perjuangan untuk tegar, perjuangan untuk mengikhlaskan.” Tutur lembut Buya Hanafi dengan mata berkaca-kaca tak mampu melanjutkan perkataannya. Melihat Melvin, ia kembali mengingat sosok putranya yang lebih dulu pergi meninggalkannya menuju sang khalik. Buya Hanafi menghapus sudut matanya menggunakan ujung sorban nya, dan ia kembali dengan senyum tegarnya.

“Ayoo kita pulang! Kamu belum makan dari pagi ... Sudah 4 jam kamu berdiam diri disini. Ayoo Nak!” Ajak Buya Hanafi yang mendapat gelengan lembut dari melvin.

“Buya duluan saja! Nanti saya nyusul! Saya masih betah disini!” Jawab Melvin sambil melihat ke sekeliling Masjid itu yang sudah sepi. Semua santri telah pulang ke pondok mereka masing-masing setelah belajar kitab sehabis shalat Ashar tadi.

“Yaudah, Umi dan Buya tunggu kamu di rumah yah!” Setelah Melvin mencium tangannya. Buya Hanafi langsung berdiri dan meninggalkan Melvin sendirian di dalam Masjid itu.

Meida, apa kau baik-baik saja disana? Kenapa hati saya tiba-tiba gelisah ketika mengingatmu? Hati saya tak tenang meida.

Yaa Allah, jagalah meida disana. Semoga dia selalu ada dalam lindungan mu. Sampaikan salam rindu saya padanya. Gumam pelan Melvin dengan air mata yang begitu saja jatuh dari wajahnya membasahi sampul Al-Qur’an yang berada di pangkuannya.

Yaa Allah, kenapa dengan saya? Saya ingin menemuinya! Saya ingin memastikan keadaannya! Tapi saya tak mungkin mengingkari janji saya!

Meida, nama mu selalu ada di setiap helaan nafas saya, selalu ada di setiap nadi saya, selalu ada di setiap do'a saya.

Meida, saya merindukan mu ...

-

Yeayyy perdana up disini..

Kuyylahh Like, vote, komen, rate sama hadiahnya ..

buat ramein novel ini🤗😘♥️♥️♥️

Guru-Nya Buya Hanafi adalah Buya HAMKA yah🥰 Biar gak gagal fokus hehe

Hatur nuhun😘

Menahan Rindu

“Buya, Umi, keadaan Mas Faris baik-baik saja. Mungkin dia kurang istirahat sehingga seperti ini. Apalagi dia belum pulih benar.” Dokter Aisyah meletakkan stetoskop ke lehernya setelah memeriksa kondisi Melvin yang baru siuman dari pingsannya. Melvin memandang lemah kearah Dokter Aisyah lalu membuang pandangannya kearah luar jendela.

“Mungkin Faris kurang istirahat Nak. Apalagi hari sebelumnya dia jarang tidur. Dia terlalu semangat belajar, sampai tak memperhatikan kondisinya sendiri.” Jawab Buya Hanafi sambil mengelus lembut kepala Melvin yang masih memandang kosong kearah Jendela. Perasaan Melvin tiba-tiba berkecamuk. Antara rasa sakit, rasa gelisah, rasa khawatir, rasa rindu membaur jadi satu.

“Mi, Buya ke Masjid dulu! Para santri sudah menunggu Buya di sana! Tolong jaga Faris dulu sebentar! Setelah mengecek hafalan para santri, Buya langsung pulang kesini!”

“Silahkan Buya! Biar Faris bersama Umi dan Dokter Aisyah disini!” Jawab Umi Fatimah sambil duduk di samping Melvin.

“Buya ke Masjid dulu! Assalamualaikum,” Pamit Buya Hanafi berjalan meninggalkan kamar Melvin menuju Masjid yang berada tidak jauh dari rumahnya.

“Waalaikumsalam.” Jawab serempak Dokter Aisyah dan Umi Fatimah

“Nak makan dulu yah! Dari pagi kamu belum makan.  Umi sudah buatkan bubur loh.” Melvin kembali tersadar dari lamunan panjangnya ketika Umi Fatimah mengusap lembut kepalanya.

“Melvin belum lapar Umi.” Sahut pelan Melvin sambil berusaha bangun dari posisi tidurnya. Ia menyandarkan kepalanya di headboard ranjang yang terbuat dari kayu jati.

“Kamu harus makan Nak! Kamu harus sehat! Banyak yang harus kamu lakukan! Jangan seperti ini, masih banyak impian yang belum kamu wujudkan. Mana Faris Umi yang kuat dan tegar? Kenapa jadi melempem kayak gini?” ucap Umi Fatimah dengan berapi-api agar Melvin terpengaruh dengan ucapannya.

“Makan Yah!” Bujuk Umi Fatimah dengan wajah memohon. Melvin menganggukkan kepalanya lemah kearah wanita paruh baya yang kini tersenyum lebar padanya. Umi Fatimah langsung berjalan kearah dapur mengambil bubur untuknya. Sementara Dokter Aisyah masih berada di kamar itu, menemani Melvin yang masih asik terdiam dengan dunianya sendiri.

“Mas, apa yang di rasa sekarang?” Tanya Dokter Aisyah berusaha mencairkan suasana hening itu. Melvin malah asik melihat keluar jendela dengan mode silint-nya. Dokter Aisyah memandang kearah Melvin dengan perasaan sedikit kecewa, karena kehadiran nya merasa diacuhkan oleh Melvin.

Keheningan itu kembali mencair, takala Umi Fatimah datang dengan semangkok buburnya. Ia tersenyum kearah Dokter Aisyah lalu duduk kembali di samping Melvin.

“Umi! Biar saya saja yang menyuapi Mas Faris!” Tawar Dokter Aisyah yang mengambil lembut mangkok yang berada di tangan Umi Fatimah. Umi Fatimah tak bisa menolak, karena mangkok buburnya kini sudah beralih ke tangan Dokter Aisyah.

“Silahkan Nak!” Umi Aisyah bergeser dari posisinya. Ia lebih memilih duduk di kursi kayu yang berada di kamar Melvin.

Melvin nampak memandang bingung kepada Dokter Aisyah yang kini sedang menyondorkan sesendok bubur ke mulutnya. Karena tak enak, Melvin menerima suapan itu. Memakan bubur itu, ia kembali mengingat sosok calon istrinya.

Meida, saya benar-benar merindukan mu! Saya merindukan suapan dari tanganmu ketika saya sakit. Batin Melvin sambil memejamkan matanya. Ia tak ingin lemah dan cengeng ketika mengingat calon istrinya.

“Letakan buburnya di atas nakas saja! Nanti saya akan memakannya sendiri!” ucap lirih Melvin yang masih memejamkan matanya. Mendengar perkataan Melvin, sontak saja wajah Dokter Aisyah memerah karena malu. Tak di pungkiri dalam hatinya terbersit rasa kecewa, atas penolakan Melvin yang terang-terangan padanya.

Melvin menyampingkan posisinya kearah dinding, ketika air mata tiba-tiba menetes di wajahnya.

Meida, saya benar-benar lemah! Merindukanmu, mampu membuat saya menangis.

-

Di ruang ICU.

Keadaan ruang itu cukup mencengkam. Suara peralatan monitoring yang terpasang untuk memantau denyut nadi (Jantung) dan pernafasan, terdengar bagai deting nyaring penjemput kematian. Selang ventilator terpasang di hidung Meida, dengan tangan terifus. Beberapa peralatan medis lainnya terpasang di beberapa tubuh Meida yang masih belum tak sadarkan diri.

Ruang itu di pantau ketat selama 24 jam oleh para Dokter spesialis, Dokter jaga, dan perawat yang kompeten, dengan perawatan yang sangat serius. Dan nampak di luar ruang ICU di jaga ketat oleh para body guard keluarga Atmadja yang sudah stand by dari kemarin untuk menjaga ruang tersebut.

Keluarga besar Atmadja hanya bisa melihat kondisi Meida lewat kaca, karena jadwal besuk masih sangat ketat dan di batasi.

Selama 2 hari ini, Meida mampu melewati masa kritisnya, dan berakhir dengan koma.

“Jo, apa Melvin sudah ada kabar? Apa dia sudah mengetahui keadaan Meida?” Bisik pelan Bi Ina kearah Jonathan yang wajahnya tampak lesu. Jonathan hanya menggelengkan kepalanya lemah dengan pandangan yang masih menatap kearah Meida yang sedang terbaring tak sadarkan diri.

“Sampai sekarang nomor koko tak bisa dihubungi Bu. Koko sepertinya memilih menghilang dari keluarga kita, mungkin karena kita terlalu menyusahkannya hingga koko memilih pergi.” Jawab putus asa Jonathan sambil menyandarkan dahinya di kaca ICU tersebut. Bi Ina menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Jonathan, dengan memegang lembut kepalanya, lalu disandarkan ke bahunya.

“Melvin gak mungkin seperti itu. Ibu percaya sama dia. Mungkin sesuatu telah terjadi padanya, hingga ia menghilang sampai sekarang. Apa kamu sudah menghubungi keluarganya?” Bi Ina mengelus kepala Jonathan yang kondisinya sangat menyentuh hatinya. Sejak kemarin, ia tak beranjak dari ruang ICU sedikitpun, kecuali untuk shalat.

“Nomor mbak Lisa sama Bu, tak bisa dihubungi. Malahan Jo dan Jack pernah datang ke rumahnya, tapi di jaga ketat. Kami tak diizinkan masuk, hanya bisa mengawasi dari kejauhan.” Jawab pelan Jonathan yang memandang nanar kearah Meida. Sementara Johan dan Gilbert sedang menyandarkan kepalanya di kaca. Keadaan mereka sama-sama berantakan, dengan kantong mata hitam yang memerah dengan pakaian yang digunakan sama dengan yang dikenakannya kemarin. Helena masih menangis dipelukan Dian. Setelah sadar dari pingsannya, ia lebih memilih menunggu putrinya, walaupun keadaannya belum pulih 100%.

“Jaslin, Mommy harus apa?” ucap Zaina yang sudah beberapa kali di ulang. Ia tak berhenti menangis sejak kemarin. Setelah mendengar musibah yang menimpa pada putrinya, ia sempat beberapa kali pingsan, dan baru sekarang kembali tersadar.

“Jo, apa kita coba ke rumahnya lagi? Mudah-mudahan sekarang mereka mengizinkan kita untuk masuk. Ibu hanya ingin bertemu Melvin dan memastikan keadaannya. Ibu hanya ingin menagih janji-janjinya untuk mencintai cici-mu.”

-

Jam 12 Malam. Melvin masih berada di masjid dengan Al-Qur’an yang berada di depannya. Sesekali ia menghapus air matanya dan kemudian melanjutkan bacaannya. Ia berusaha mengalihkan perasaan rindunya dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an, dengan harapan perasaan rindu dan gelisah itu hilang.

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Melvin membaca ayat itu berulang-ulang kemudian kembali menangis tergugu. Ia tak mampu melanjutkan bacaannya. Ia tak bisa menahan perasaan sedih dan gelisahnya ketika membaca Ayat tersebut.

Yaa Allah, saat saya kehilangan harapan dan rencana, tolong ingatkan saya bahwa cinta-Mu jauh lebih besar daripada kekecewaan saya, dan rencana yang Engkau siapkan untuk hidup saya jauh lebih baik daripada impian saya. Lirih Melvin sambil menutup Al-Qur’an itu lalu menciumnya dengan berderai air mata.

Yaa Allah, saya sangat yakin, jika cinta sejati akan datang tepat waktu. Itulah sebabnya saya akan selalu berharap dan bertahan meskipun pernah merasa kecewa.

Yaa Allah yang maha membolak-balikkan keadaan. Mungkin sekarang kami ditakdirkan untuk saling berjauhan, tapi Saya yakin, Kau juga akan membuat kami berdekatan kelak.

Yaa Allah, Jika bukan karena keyakinan saya bahwa takdir-Mu lebih indah dari segala rencana saya, mungkin saat ini saya sudah menyerah dengan hidup ini.

 Melvin kembali meletakkan Al-Qur’an di rekal (Meja lipat Al-Qur’an) lalu mendongkakkan kepalanya kearah lampu yang berada diatasnya.

Untukmu yang jauh di sana, saya harap engkau selalu menjaga hatimu. Seperti saya di sini yang senantiasa menjaga hati saya.

Meida, mungkin mendoakanmu dari jauh adalah cara terbaik agar saya bisa memelukmu dalam rasa rindu ini.

Parau Melvin sambil menghapus air matanya. Ia tak menyadari kehadiran Buya Hanafi yang dari tadi sudah berada di belakangnya. Buya Hanafi pun menyahuti ucapan pelan Melvin.

“Hati yang sedang diuji kesabaran itu memang pahit pada awalnya. Tapi percayalah, ia akan manis di akhirnya. Jadi bersabarlah,nsemoga kesabaran ini berbuah kebaikan.” Melvin langsung menghapus air matanya lalu membalikkan tubuhnya. Ia nampak terkejut dengan kehadiran Buya Hanafi yang sudah berada di belakangnya.

“Buya, sejak kapan Buya ada disini?” Buya Hanafi tersenyum lembut dengan menaikan sebelah alisnya.

“Barusan! Buya mengecek kamarmu, tapi kosong. Jadi Buya kesini, karena Buya yakin kamu pasti ada disini.” Jawab Buya Hanafi. Padahal dia sudah lama berada disitu, sejak pertama kali Melvin menangis. Ia memahami kegalauan yang berada di hati anak angkatnya. Melvin menundukkan kepalanya malu, karena Buya Hanafi kembali memergokinya ketika sedang menangis.

“Nak, Yakinlah! Ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit.” Melvin mengangkat wajahnya menatap wajah lelaki paruh baya yang nampak bersinar dengan aura wibawa yang penuh ketenangan.

“Menanti itu berat, kamu perlu banyak bekal agar kuat. Dan bekal itu ialah dengan mendekatkan diri kepada Allah.” Terang Buya Hanafi sambil menyilakan kakinya. Mereka duduk berhadapan, seperti seorang Ayah yang sedang memberikan anaknya petuah.

“Buya, bagaimana caranya melawan rasa rindu? Semakin saya mengabaikannya rasa ini, rasa ini malah semakin menyesakkan hati saya. Rasanya hati saya seperti akan meledak menahan rasa rindu ini. Saya lemah Buya! Saya lemah dalam menahan rasa ini!” Curhat Melvin dengan wajah menunduk. Buya Hanafi mengangguk-nganggukan kepalanya dengan tersenyum. Karena melvin mulai terbuka mengenai perasaannya. Buya menarik nafas dalam, lalu melepaskan peci putihnya.

“Tubuh dibersihkan dengan air. Jiwa dibersihkan dengan air mata. Akal dibersihkan dengan pengetahuan. Dan Jiwa dibersihkan dengan cinta” Buya Hanafi menjeda ucapannya. Ia menatap langit-langit masjid lalu kembali menatap kearah melvin yang masih menundukkan wajahnya.

“Tapi Ingatlah, Allah selalu memberikan kelebihan di balik kekurangan. Allah juga selalu memberikan kekuatan di balik kelemahan. Mungkin bisa jadi rasa lemah itu, malah yang akan menguatkanmu untuk bertahan.”

“Nak, mungkin sekarang kau berada jauh dari orang yang kau cintai, tapi yakinlah suatu saat nanti kau akan berkumpul dengan mereka. Jarak mengajarkan banyak hal, bersabar menanti pertemuan, selain rasa percaya. Walau tak saling bertatap mata, dan saling bersua.” Melvin menghapus air matanya dengan mengangkat wajahnya. Lalu ia tersenyum kearah Buya yang sedang menatapnya dengan tatapan hangat penuh rasa sayang.

“Jangan terlalu bersedih, karena pertolongan akan selalu datang bersama dengan kesabaran.” Buya Hanafi mengelus lembut kepala Melvin yang terhalang oleh peci hitam yang dikenakannya.

“Sekarang kamu istirahat sudah malam. Kamu belum benar-benar pulih. Jangan terlalu memforsir diri, karena kesehatanmu paling utama. Ayoo kita pulang!” Buya Hanafi menuntun Melvin untuk berdiri. Lalu menggandeng bahunya keluar dari masjid itu.

-

Assalamualaikum cici ...

Lirih Jonathan yang mengenakan gaun luar lengkap dengan sarung tangan dan maskernya menutupi pakaian yang dikenakannya. Ia memegang lembut tangan meida dengan tersenyum getir.

Cici sadarlah ... Maafkan jo, karena menolong jo, cici jadi seperti ini... Bisik parau Jonathan di telinga Meida.

Jo tidak bisa memaafkan diri jo sendiri melihat cici seperti ini, jo yang salah. Seharusnya cici tak datang kesana, seharusnya cici mengabaikan ancaman itu...

Ruang itu kembali hening, yang terdengar hanyalah suara Elektrokardiogram, alat pemicu kehidupan Meida, dan isakan lirih Jonathan yang mengaitkan jari-jarinya ke celah tangan Meida yang terasa dingin.

Cici adalah wanita kuat dan tangguh yang Jo kenal. Wanita luar biasa yang hadir di hidup Jo. Jo sangat berterima kasih sama Allah, karena Allah menghadirkan cici di hidup Jo yang kesepian dan kini berubah menjadi berwarna.

Bukankah cici ingin memiliki keluarga yang bahagia? Keluarga yang saling menyayangi? Sadarlah! Mari kita wujudkan sekarang.

 Jonathan kembali menangis dengan menggigit bibirnya.

Ci, bangunlah ...

Sebentar lagi cici akan menikah dengan lelaki yang cici cintai ... apa cici akan melewatinya begitu saja? Sadarlah! Mari kita persiapkan pernikahan yang cici inginkan, bukahkah sebentar lagi? Lirih Jonathan sambil mencium tangan meida. Ia tak mampu menyembunyikan isakan tangisnya, hingga air matanya membasahi tangan Meida yang terpasang selang infus.

Apa cici betah disana karena Ko Melvin belum datang menemui cici? Ci, sadarlah! Ko Melvin pasti datang, dia sangat mencintai cici. Dia tak mungkin mengingkari janjinya. Jo janji akan membawa ko Melvin kesini, jika dengan kedatangan ko Melvin mampu menyadarkan cici. Asal cici janji, setelah koko datang cici harus sadar!

Janji Jonathan yang begitu saja terucap dari bibirnya. Padahal ia tak mengetahui sama sekali dimana keberadaan Melvin sekarang.

Ko, dimana koko sekarang? Datanglah temui kami! Kami sangat membutuhkanmu! Gumam pelan Jonathan menatap dalam wajah Meida dengan binar kesedihannya.

-

-

☕☕☕☕☕😘😘😘😘

Jangan lupa

Like, komen, vote, rate, sareng hadiahnya 🤗😘

Sadarlah!

“Mih, ada Jonathan di depan! Mamih tolong alihkan perhatian mereka. Biar aku yang menghampirinya lewat halaman belakang!” Bisik Melisa kearah Helena sambil menunjuk kearah beberapa bodyguard yang berjaga di dalam rumahnya. Helena menganggukkan kepalanya sambil menggaruk dagunya mencari ide untuk mengelabui beberapa bodyguard tersebut.

“Yaudah, serahkan semuanya pada Mamih! Sekalian kamu bawa surat yang dititipkan oleh koko-mu! Dalam hitungan 3 mamih akan berteriak, kamu bersembunyi di bawah tangga itu. Ketika bodyguard itu menghampiri mamih, kamu dengan pelan-pelan jalan ke belakang!” Perintah Helena sambil mendorong pelan bahu anaknya untuk segera bersembunyi di bawah tangga. Ia memberi aba-aba pada anaknya lalu langsung berteriak.

Arrgghhhhhh

Teriakan Helena yang memekikan telinga menggema di pendengaran mereka. Para penghuni rumah itu kaget ketika mendengar teriakannya. Mereka langsung berlari terpogoh-pogoh kearahnya. Sehingga penjagaan pun melonggar.

Setelah memastikan keadaan cukup aman, Melisa langsung berlari ke halaman belakang. Lalu berjalan mengendap-endap ke halaman depan.

“Jo ... “ Panggil pelan Melisa sambil melempar kerikil ke kepala Jo yang sedang duduk pasrah di dekat pos penjagaan. Ia sudah beberapa kali menghiba untuk masuk ke dalam rumah Nagara untuk bertemu Melvin dan Melisa tapi tak diizinkan. Jonathan menolehkan kepala mencari sumber suara yang memanggilnya barusan, ia melihat, nampak Melisa sedang berjongkok di bawah jendela dengan melambaikan tangan kearahnya agar Jonathan menghampirinya dengan pelan-pelan. Jonathan pun berjalan mengendap-endap kearah Melisa lalu langsung memeluknya.

“Jo, jangan disini! Ikut dengan mbak!” Melisa melerai pelan pelukan Jonathan lalu menggandeng tangannya ke halaman belakang.

Melisa mengajak Jonathan duduk di kursi yang berada di bawah pohon palem. Ia sengaja duduk disana, karena pohon itu cukup besar yang bisa menutupi mereka dengan akar-akar pohonnya.

“Kita sembunyi disini Dek!” Melisa lebih dulu duduk di bangku tersebut sebelum ada yang mengetahui keberadaan mereka. Ia kembali menatap kearah Jonathan yang sedang menatapnya bingung.

“Kamu pasti bertanya-tanya kan dengan semua ini? Inilah hidup kami sekarang Jo. Tidak bebas seperti dulu! Oh yah, bagaimana keadaan Meida? Apa sudah ada perkembangan?” Jonathan menatap sendu kearah melisa lalu menundukkan wajahnya dengan tangan memainkan akar-akar pohon tersebut.

“Cici belum ada perkembangan mbak, dia masih koma.” Jawab pelan Jonathan yang menyandarkan kepalanya ke pohon tersebut. Ia menerawang pandangannya ke depan dengan melipat sebelah kakinya. Suasana pun mulai hening, Melisa dan Jonathan tenggelam dengan pikiran masing-masing.

“Jo ...” Parau Melisa sambil memegang bahu Jonathan agar tersadar dari lamunannya.

“Semenjak Keislaman koko terungkap, keadaan ternyata di luar dari yang kami perkirakan. Papih dan keluarga besar sangat menentangnya. Hingga Papih membatasi pergerakan kami dengan cara menambah bodyguard untuk memantau kami, dan Papih juga menyita semua akses yang kami miliki. Inilah alasan kalian tidak bisa menghubungi kami selama ini. Bukannya kami menghilang atau apa ... tapi inilah kenyataannya!” Jonathan menolehkan kepalanya kearah Melisa yang sedang tertunduk. Kini ia mengetahui alasannya, kenapa keluarga Nagara tiba-tiba menghilang.

“Mbak, Ko Melvin dimana? Tak bisakah mbak membawanya kesini? Cici menunggu kedatangannya selama berminggu-minggu ini, sampai terjadi penembakan itu. Cici ingin sekali bertemu dengan koko. Tak bisakah mbak membawanya kesini? Jo ingin mengatakan sesuatu padanya. Jo ingin menagih janjinya untuk mencintai cici setulus hatinya. Jo sengaja datang kesini untuk menemuinya, untuk melihat cici meida. Sebelum kejadian itu, cici sangat merindukan nya.” Mendengar ucapan Jonathan. Melisa malah menangis tergugu sambil menyembunyikan wajahnya di lututnya. Ia tak bisa berbuat banyak, hatinya ikut sakit mendengar meida yang selalu menunggu Melvin untuk datang, dan Melvin yang pergi karena keadaan, yang entah sekarang berada di bumi bagian mana.

“Mbak, Jo mohon ... sampaikan pada Ko Melvin, tolong jenguk cici Meida ... dia sangat membutuhkan kehadiran Ko Melvin di sampingnya. Karena Jo yakin, lewat kehadiran ko Melvin akan mempercepat kesadaran cici ... Jo tak tega melihat keadaannya ... Mbak tahu sendiri, Jo sangat menyayanginya ... Jo tak ingin kehilangannya ... Jo tak ingin mengakhiri perpisahan kami dengan keadaan yang sama-sama menderita ...” Lirih Jonathan dengan suara bergetar. Bahunya ikut terguncang dengan bibir yang menggigit tangannya yang terkepal. Melisa menolehkan kepalanya kearah Jonathan dengan air mata yang dibiarkannya berderai.

“Jo, mbak tahu kamu kesini untuk mencari ko Melvin. Karena koko yang tiba-tiba menghilang dari keluarga kalian. Tapi asal kamu tahu, mbak pun tak tahu koko sekarang berada dimana ... “ Melisa tak mampu melanjutkan ucapannya yang tercekat di tenggorokannya. Jonathan langsung menatap dalam kearahnya.

“Maksud mbak apa?” Jonathan belum bisa mengerti dengan ucapan yang melisa katakan.

“Subuh itu, setelah ko Melvin mengantarmu dan Meida untuk mengunjungi rumah orang tua mu untuk pertama kalinya ... Koko pergi ... dia terpaksa pergi ... untuk menjalani hukumannya, karena telah membawa aib untuk keluarga kami dengan keislamannya ... koko terpaksa diasingkan ke pulau terpencil ... tak ada yang mengetahui dimana-mana nya ... Sebelum kepergiannya subuh itu, dia menitipkan ini untuk Media.” Melisa mengambil lipatan kertas yang berada di kantong celana hotpants nya. Ia menyodorkan kearah Jonathan. Jonathan menerima lipatan kertas itu dengan tangan bergetar.

“Koko hanya menitipkan ini pada Meida ... surat ini dia tulis di depan kami dengan tangan bergetar dan bercucuran air mata ... dia sangat mencintai meida Jo ... sampai detik-detik kepergiannya ... yang dipikirkannya adalah cici-mu. Boleh mbak pinjam ponsel mu? Mudah-mudahan ini bisa membantu Meida.” Jonathan menganggukan kepala dengan wajah tak percaya dengan air mata yang berlomba-lomba keluar dari matanya. Selama 3 minggu ini, ternyata Melvin menghilang bukan karena lelah menghadapi mereka, tapi karena terpaksa.

Ko, maaf aku pernah berprasangka buruk pada-Mu. Maafkan aku ... tetaplah kuat disana ... ada kami yang menunggu mu disini.  Gumam Jonathan dalam hati sambil menyusut air matanya.

Melisa buru-buru mengambil ponsel Jonathan lalu merekam suaranya.

Meida, ini saya Melisa ... saya tak tahu apa yang kamu rasa sekarang, tapi saya sakit mendengar keadaanmu seperti ini. Maaf, kami tak bisa menjengukmu, walaupun kami sangat ingin kesana. Lirih Melisa sambil menghapus air matanya.

Meida, bertahanlah! Maaf, selama ini kami membuatmu bertanya-tanya tentang kami yang tiba-tiba menghilang, dan tanpa memberi kabar. Asal kamu tahu! Semuanya tak seperti apa yang kamu bayangkan ... keluarga kami menghadapi masa-masa yang sulit ... mengambil jalan yang sangat bertentangan dengan kata hati kami ... bukan maksud kami menjauh, tapi keadaan yang membuat kami menjauh. Melisa kembali menjeda ucapannya dengan menarik nafasnya dalam.

Meida, asal kamu tahu ... koko sedang berjuang disana untuk kembali! Sadarlah! Sambut koko datang! Dia sangat mencintai mu ... seluruh cintanya sudah ia berikan padamu ...

Mbak mohon sadarlah! Sambutlah perjuangannya! Dia rela meninggalkan semuanya demi kamu ... jangan kau biarkan perjuangannya sia-sia ketika melihat mu seperti ini ..

Kau tahu, ia paling tak bisa melihat mu terluka ... jika melihat kamu yang terbaring seperti ini, bagaimana perasaannya? Perasaan dia pasti hancur meida, benar-benar hancur. Dia pasti terpuruk disana ... apa kamu rela melihat dia seperti itu?

Berjuanglah untuk sadar ... berjuanglah untuk kembali ... banyak orang menantimu disini ... apa kamu tega melihat orang tercintamu menangis? Apa kamu tega melihat orang tercintamu terpuruk?

Berjuanglah! Karena dia disana sedang berjuang untukmu! Dia sedang berjuang untuk kembali.

Melisa menyudahi rekaman suaranya dengan bercucuran air mata. Ia tak bisa melanjutkan ucapannya ketika membayangkan perasaan kokonya disana seperti apa, jika melihat kondisi meida yang sekarang.

“Jo, sampaikan pada keluarga besarmu. Maaf kami belum bisa kesana, belum bisa menjenguk cici-mu. Sampaikan salam kami. Dan tolong sampaikan, bahwa ko Melvin benar-benar mempunyai itikad baik dengan keluarga kalian, dan kami mohon jangan pernah meragukannya. Kami minta do’anya semoga ko Melvin cepat-cepat kembali dengan keadaan sehat dan tak kurang satupun.” Jonathan menganggukkan kepalanya dengan menggenggam erat tangan Melisa.

“Iya mbak. Kenapa kejadiannya bisa seperti ini? Jo benar-benar tak menyangka ... kenapa semua sesulit ini ... Jo harus apa? Padahal Jo sudah berjanji pada cici untuk membawa koko kesana.” Melisa tersenyum dengan air matanya. Ia memegang bahu Jonathan dan menepuk-nepuknya.

“Ini semua takdir Jo. Kita tak bisa melawan takdir yang sudah di tulis Tuhan. Kita hanya mampu menerimanya dengan lapang dan bersabar.”

“Jo, pergilah! Sampaikan surat ini pada Meida. Sebelum ada orang yang memergoki kita disini.” Jonathan menghapus air matanya lalu menganggukan kepalanya. Sebelum Jonathan pergi, melisa terlebih dahulu memeluknya. Pelukan perpisahan yang entah kapan mereka akan bertemu kembali.

“Kamu jangan lewat depan! Lurus aja dari sini! Di depan ada pintu keluar menuju jalan raya, nanti kamu masukan password 4575 untuk membuka pintunya.” Melisa menunjuk kearah depannya. Kearah jalan setapak yang lurus, yang kiri kanannya di tumbuhi pohon-pohon.

“Mbak, aku pergi. Semoga kita terus kuat melewati semua ini.”

“Iya Jo, semoga saja. Hati-hati!” Jonathan terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Karena ia tahu, melisa sedang menatap kepergiannya dengan pandangan nanar.

-

Sore itu, Buya mengajak Melvin untuk berkeliling-keliling kampung. Ia ingin memperkenalkan tentang kampung Sido Mukti pada Melvin. Ia ingin menghibur Melvin, karena  melihat wajahnya yang kembali murung. Selama perjalanan, Buya terus memancing melvin agar banyak bicara.

“Nak, inilah kampung Sido Mukti. Walaupun kampung kami tertinggal dari kampung yang lain, tapi kampung kami masih mengutamakan kebersamaan yang tak dimiliki kampung lain.” Ujar Buya Hanafi sambil menunjuk kearah ibu-ibu yang sedang berkumpul nonton televisi di salah satu rumah warga. Karena di kampung itu hanya beberapa orang yang memiliki televisi, karena keterbatasan ekonomi. Jadi setiap warga yang tidak memiliki televisi, pasti menonton di salah satu rumah yang memilikinya.

“Mau kemana Buya?” Tanya salah satu ibu-ibu yang berada di perkumpulan itu. Mereka berkumpul sambil membawa anaknya untuk bermain.

“Mau lihat-lihat kampung ini Bu. Oh yah, perkenalkan ini anak angkat saya, namanya Faris.” Buya memperkenalkan Melvin kearah ibu-ibu tersebut. Melvin pun tersenyum lalu menganggukan kepalanya.

“Wajah masnya tampan, saya serasa pernah melihat gitu. Tapi lupa dimana.” Timpal salah satu ibu-ibu dengan badan yang cukup berisi. Buya pun hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, karena ia yakin ibu-ibu tersebut pernah melihat Melvin di televisi.

“Itu perasaan ibu-ibu aja. Lagi ada acara apa nih ngumpul-ngumpul?” Buya Hanafi mengalihkan pembicaraan. Agar tidak memperpanjang topik pembicaraan tentang Melvin.

“Biasa Buya, kami habis nonton berita. Berita tentang orang kaya yang pada gila harta.” Ceplos salah seorang ibu-ibu sambil menyuapi anaknya.

“Bener Buya. Demi harta, Nenek kandung sampai rela menembak cucunya sendiri. Nauzubillah!” Saut ibu-ibu yang lainnya. Melvin hanya mendengarkan tanpa mencerna ucapan ibu-ibu tersebut. Ia tak sadar, yang sedang dibicarakan oleh ibu-ibu tersebut adalah calon istri yang sangat dirindukannya.

“Sudah-sudah, jangan membicarakan kejelekan orang lain, gak baik. Jatuhnya ghibah!” ujar Buya Hanafi sambil merapikan sorbannya, ia menepuk pundak Melvin yang kembali sedang melamun.

“Kami permisi dulu. Assalamualaikum.” Pamit Buya Hanafi mengajak Melvin untuk kembali ke pesantren.

Jingga mulai menguning, surya mulai meredup, awan hitam mulai menggantung.

Kepadamu senja saya titipkan salam, sampaikan kepada sang rembulan malam, bahwa disini saya sangat memendam rindu yang amat dalam. Batin Melvin sambil menatap kearah temaram senja yang berada di depannya.

_

☕☕☕☕☕☕☕☕

Jangan lupa, like, komen, vote, rate, sama hadiahnya 🤗😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!