''Syifa, Liza kalian keruangan saya sekarang!'' Tegas Pak Rudi dengan nada sedikit marah, Syifa dan Liza yang berada di sisi ruangan membuat semua orang melihat mereka dengan penuh ledekan, hanya Fitri dan Hani yang selalu di sisi Syifa yang menguatkan dirinya.
Syifa pun melangkahkan kakinya mengikuti Pak Rudi bersama Liza yang membuat Syifa melakukan keributan kembali. Hari ini Syifa sangat jengah dengan semua yang terjadi ia ingin sekali marah tapi ia tahu ia pun salah di dalam hal yang membuat dirinya kembali terseret ke ruang BK.
Syifa hanya bisa diam dan mematuhi semua perintah gurunya. Ia begitu kacau pikirannya tidak beraturan semua yang ia lakukan hari ini memang salah. Ia sendiri pun mengakui kesalahannya.
''Kalian berdua duduk di sana!'' tanpa basa basi pak Rudi berkata dengan kata penuh penekanan. Syifa dan Liza hanya tertunduk, Syifa hanya terus menyesali kesalahan yang telah ia perbuat.
''Kalian tahu apa yang kalian lakukan ini benar-benar membuat saya dan guru-guru di sekolah ini lelah. Kali keduanya setelah kami memperingatkan kalian! apa yang membuat kalian terus begini? kalian tahu hal apa yang akan kalian dapat dari semua perbuatan kalian hah!'' dengan marahnya pak Rudi berkata.
Syifa dan Liza tidak mampu berkata apa-apa mereka tertunduk lesu dengan apa yang mereka perbuat.
''Saya sudah panggil kedua orang tua kalian, mungkin ini yang terbaik untuk kalian.''
Degh. Syifa terkejut dengan semua perkataan pak Rudi. Syifa saling beradu pandang dengan Liza, hal yang mungkin benar-benar akan terjadi ia akan di skors kah? atau malah ia akan di keluarkan.
Ia hanya takut jika ia tidak akan mendapatkan perhatian dari ayahnya kembali.
''Assalamualaikum?''
Terdengar salam dari luar ruangan. Syifa telah menduga kalau itu ayahnya bersama orang tua Liza.
''Waalaikumsalam, silahkan masuk pak, bu!''
Sorot mata ayah begitu tajam melihat Syifa yang hanya bisa diam, Syifa pun hanya bisa tertunduk lesu kembali melihat ayahnya begitu terlihat sangat kecewa pada dirinya.
''Sebelumnya saya minta maaf Pak Saya memanggil Bapak Ibu sekalian, perlu Bapak dan Ibu tahu kejadian tempo hari itu kini terulang kembali.'' kata pak Rudi yang berkata dengan sorot mata yang sedikit menakutkan.
''Dan Bapak tahu kalau kejadian ini terulang kembali maka, dengan sangat terpaksa kami dari pihak sekolah akan mengeluarkan putri Bapak dan Ibu sekalian.''
''Mohon maaf pak tapi kami akan kembali mendidik anak-anak kami,'' sahut ayah khawatir dengan apa yang pak Rudi katakan.
Pak Rudi diam sejenak ia mengambil nafasnya dengan kasar dan menatap kearah Syifa dan Liza.
''Tapi mohon maaf, anak bapa dan ibu sekalian akan kami beri hukuman berupa skorsing selama tiga hari ke depan.''
Ayah dan ibu Liza hanya bisa pasrah mereka menyadari jika anak mereka memang bersalah.
Syifa pun keluar bersama ayahnya, setelah bersalaman dengan Pak Rudi.
Ayah yang memang berjalan sedikit lebih cepat membuat Syifa sedikit berlari di lorong utama sekolah yang menghubungkan dengan tempat parkir.
Ayah membuka pintu mobil dan mendudukkan dirinya di kursi, dengan cepat ayah menyambungkan seat belt nya. Syifa tahu jika ayahnya memang sangat kecewa pada dirinya.
''Ayah aku minta maaf,'' tutur Syifa yang merasa bersalah, sementara ayahnya segera melajukan mobilnya ke jalanan dengan kecepatan yang tinggi.
20 menit berlalu akhirnya Syifa telah sampai di kediamannya, ia pun turun dengan perlahan dari mobil yang ia kendarai.
Syifa pun melangkahkan kakinya yang hendak masuk ke dalam rumah namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar ayahnya yang marah pada seseorang yang sedang ia telepon.
''Kamu pikir ini semua salah aku?'' teriak Ayah dengan nada yang tinggi.
Entah dengan siapa Ayah berbicara Syifa merasa tidak peduli dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Ia pun berlari menaiki tangga dengan perasaan yang campur aduk, ia sangat benci dengan kehidupannya, ia yang selalu berulah karena ia ingin mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, namun sayang kenyataan pahit yang ia dapatkan ayahnya bahkan tidak peduli dengan perasaannya sekarang.
Brak! Suara pintu yang terdengar nyaring di pendengarnya membuat Syifa menghapus jejak air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
''Syifa!'' teriak ayah yang terdengar menghampiri kamarnya.
Syifa hanya diam, ia sudah tidak peduli dengan kemarahan ayahnya itu.
Plak. Ayah yang telah masuk ke kamar Syifa dengan cepat ia mendaratkan tamparannya di pipi mulus putri semata wayangnya.
''Anak yang tak berguna, apa yang kamu inginkan hah?'' tanya ayah dengan sorot mata yang begitu tajam.
Tatapan yang selalu ia dapatkan, setelah ayah dan ibunya berpisah.
Perih hatinya sangat perih mendapat perlakuan yang selama ini ia rasakan, Syifa merindukan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang telah lama ia tidak dapatkan.
''Pukul aku yah, pukul lagi.'' Syifa mengambil tangan ayahnya yang berusaha menempatkannya kembali.
Aris yang begitu terkejut dengan apa yang Syifa lakukan ia menarik nafas kasar dan hendak berlalu dari kamar putrinya.
''Ayah tahu aku hanya ingin kasih sayang ayah dan ibu.'' Lirih Syifa pelan namun terdengar oleh Aris.
Ia merasa sangat tertampar dengan apa yang putrinya katakan. Ia segera mempercepat langkahnya keluar meninggalkan putrinya menangis tersedu-sedu sendirian.
''Aaahhhhhhh.'' Syifa berteriak meluapkan segala emosi yang selama ini ia pendam, ia melempar semua barang yang berada di sisinya dan kembali menangis hatinya sangat hancur ketika kenyataannya sangat pahit baginya.
Beberapa menit berlalu Syifa yang sudah sedikit tenang ia berjalan menyusuri anak tangga, ia hendak mengambil air untuk menyegarkan tenggorokannya yang sejak tadi terasa sangat perih.
Namun sebelum ia benar-benar sampai terdengar suara ayahnya yang membuat Syifa terhenti.
''Harusnya kamu sebagai ibu dapat mendampinginya!'' teriak ayah dari lantai bawah.
Ia tahu jika kini ayahnya sedang menelpon ibunya.
Syifa pun mengurungkan niatnya dan berbalik kembali ke kamarnya, hatinya kembali merasa sangat perih ketika ia mendengar apa yang ayahnya katakan.
Di kediaman Mira.
Mira berulangkali membuka ponselnya, ia sangat bingung dengan keadaan putrinya sekarang.
Ia pun kembali memencet tombol panggilan dan kembali menelpon mantan suaminya.
''Halo mas?''
''Apa lagi mir?'' Jawab Aris dengan nada dinginnya, ia berusaha menahan emosinya agar tidak memarahi mantan istrinya itu.
''Aku mau kita ketemu sekarang.''
''Baiklah, aku tunggu kamu di tempat biasa.'' Aris pun menutup panggilannya dan bergegas pergi ke tempat biasa mereka bertemu.
30 menit berlalu.
Aris yang sudah sampai di tempat yang sudah mereka janjikan ia memasuki restoran itu dan mencari keberadaan mantan istrinya.
Aris yang telah melihat keberadaan Mira ia segera mempercepat langkahnya.
''Ada apa?'' Tanya Aris dengan sikap yang tetap dingin pada Mira.
''Duduklah mas.''
Aris pun menuruti perintah Mira dan segera duduk di depannya.
''Aku hanya ingin membicarakan ini, kamu bilang aku seharusnya yang mendampingi Syifa. Sepertinya memang saatnya Syifa bersama aku aja mas.'' Tutur Mira mengutarakan maksudnya.
Aris membuka lebar matanya, ia merasa kaget dengan apa yang ia dengar.
''Maksud kamu, kamu mau ambil alih hak asuh Syifa?''
''Syifa udah besar mas, sekarang giliran aku yang merawat Syifa.''
''Gak bisa mir.''
''Kamu egois mas, Syifa juga butuh kasih sayang dari seorang ibu secara utuh, aku gak bisa hanya menemaninya sebentar hanya di saat Syifa libur saja mas.'' Kekeh Mira dengan nada sedikit kesal.
''Mir, udah berapa kali aku bilang sama kamu, Syifa butuh kasih sayang kita. Bukan hanya aku atau kamu tapi kita mir, aku hanya ingin kita balik lagi seperti dulu buat Syifa.'' Aris memegang tangan Mira, ia mencoba memberi pengertian pada mantan istrinya, sungguh hatinya masih mencintai sosok wanita yang selama ini Ia rindukan.
''Aku gak bisa mas, kamu tahu bagaimana ibuku mas.'' Mira menepis tangan Aris dan pergi meninggalkan Aris yang masih terduduk si kursinya.
Mira berlari meninggalkan Aris dan segera masuk ke dalam mobilnya, hatinya perih ketika Aris mengatakan jika Syifa membutuhkan kasih sayang dari mereka berdua, ia tidak bisa menepis jika memang seperti itu kenyataannya.
Mira tahu ia salah, namun ia takut jika ibunya akan memperlakukan Aris dengan sangat tidak baik, hatinya sangat sakit ketika laki-laki yang selama ini menjadi suaminya selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari ibunya sendiri.
''Aku mencintai kamu mas.'' Lirih Mira yang tidak bisa menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Ia pun menjalankan mobilnya untuk segera pulang.
Aris yang tidak menyangka jika usahanya selama ini untuk mendapatkan kembali Mira itu sia-sia bahkan di saat anaknya sendiri membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu dan ayahnya ia masih bisa menolak.
Hari berganti hari Syifa yang masih sering mengurung dirinya di kamar membuat Aris kebingungan, ia takut jika anaknya sakit.
Ketukan pintu membangunkan Syifa yang terlelap di kasurnya.
Ia menggeliat dan memperhatikan siapa yang hendak mendekatinya.
''Ayah....'' kata syifa dengan suara khas bangun tidur.
''Kamu baik-baik saja kan? udah dua hari kamu diam di kamar terus, ayah khawatir jika kamu sakit.'' Tutur Aris yang memandangi putrinya dan mengusap puncak kepalanya.
''Aku baik-baik saja,'' Syifa masih bersikap dingin kepada ayahnya, hatinya masih sangat sakit setelah apa yang ia alami di hari kemarin.
''Ayah minta maaf....'' Lirih Aris yang menatap putrinya dengan lembut.
Syifa tidak menjawab perkataan ayahnya, jujur di dalam lubuk hatinya ia sangat ingin menangis dan memeluk ayahnya, namun ia tidak ingin melakukannya karena ia merasa jika dirinya seperti beban bagi ayahnya sendiri.
''Ayah janji, ayah gak akan kasar lagi, ayah akan lakukan apa mau kamu.'' Tutur Aris yang setia menanti jawaban dari putrinya.
''Aku hanya ingin ayah dan ibu kembali bersama,'' kata-kata itu lolos dari mulut Syifa. Ia sangat ingin jika ayah dan ibunya kembali bersama.
......................
''Bu... aku mohon harusnya ibu bisa mengerti posisi aku sekarang!'' Mira mengutarakan keinginannya untuk kembali rujuk bersama Aris.
''Ibu belum bisa mir, kamu sudah tahu ibu gak bisa jika kamu kembali bersama dengan dia.''
Mira mengusap wajahnya kasar, ia tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi sifat ibunya yang sedikit keras kepala.
''Ibu seorang ibu, dan aku juga sama seorang ibu, aku gak mau jika masa depan anak aku hancur gara-gara dia tidak mendapatkan perhatian dari ayah dan ibunya secara utuh, apa ibu tega melihat cucu ibu sendiri menderita atas kesalahan yang ibu perbuat.'' Mira menaikan suaranya dan berlalu ke kamarnya.
''Syifa....'' lirih nenek Syifa pelan.
Aris yang sedang mengadakan acara di kantornya, ia sedikit tidak fokus, pikirannya terus memikirkan putrinya, ia takut jika Syifa melakukan hal-hal yang tidak di inginkan.
Aris pun berusaha mengalihkan pikirannya ia menarik nafas dalam-dalam.
''Kenapa aku gak kepikiran,'' gerutu Aris yang mengingat Mira.
Ia pun mengambil ponsel dari saku celananya dan segera menelpon Mira.
Beberapa menit kemudian terdengar suara dari sebrang telepon
''Halo mas?'' Tanya Mira dengan suara khas orang habis menangis.
''Kamu menangis?'' tanya Aris yang tahu jika Mira sudah menangis.
''Enggak ko, aku sedikit gak enak badan.'' Tutur Mira berbohong.
''Oh, tadinya aku mau suruh kamu untuk menemani Syifa, aku takut dengan keadaan Syifa, apalagi dia sendirian di rumah.
Mira yang mendengar perkataan Aris ia sangat terkejut dan segera bangun dari duduknya.
''Oh, gapapa mas, biar aku aja yang ke rumah kamu.'' Mira pun menutup panggilannya dan bergegas berganti pakaian, ia takut dengan kondisi anaknya.
Aris bernafas lega karena Mira mau menemani putri mereka, ia pun kembali ke ruangannya.
Mira yang sudah siap dengan pakaian yang rapih, ia pun menuruni satu persatu anak tangga dengan cepat.
Ibunya yang sedang berada di dapur dibuatnya heran, ibu pun segera menghampiri putrinya yang terlihat buru-buru.
''Kamu mau kemana?'' tanya ibu pada Mira.
''Aku mau pergi dulu bu, aku harus menemani Syifa, mas Aris bilang jika Syifa sendirian di rumah apalagi setelah kejadian kemarin ia sering mengurung diri di kamarnya bu,'' lirih Mira pelan, ia benar-benar sangat khawatir pada putrinya.
Ibu yang mendengar perkataan Mira ia pun dibuat khawatir.
''Kalau begitu, ibu ikut kamu.'' Tutur ibu yang yang berjalan meninggalkan Mira, untuk mengambil tas di kamarnya.
Mira pun segera mempercepat langkahnya, pikirannya tak tenang bahkan hatinya sedikit tidak enak, ia pun terus berdoa untuk putrinya.
Ibu yang merasa bersalah memang karena dirinya Syifa menjadi seperti itu, ia sangat menyesal karena telah memisahkan ayah dan ibunya dari dirinya.
Ibu menghela nafas panjang, pikirannya menolak jika Mira kembali bersama Aris, namun tidak dengan hatinya, hatinya merasa perih saat mengetahui jika cucu kesayangannya menderita karena ulah dirinya sendiri.
''Mir.'' Ibu berkata sedikit pelan.
Mira yang sedang fokus menyetir ia hanya menoleh ke arah ibunya dan kembali menatap jalanan.
''Mir ibu minta maaf, karena ibu kamu sama Aris berpisah, bahkan karena ibu anakmu menderita.'' Tutur ibu yang terdengar sangat menyayat hatinya.
Mira kembali menoleh ke arah ibunya, ia tak bisa berkata apa-apa, hanya ia dapat merasakan setitik harapan muncul dalam dirinya.
''Apa ibu mau menerima mas Aris kembali dalam hidupku?'' Mira dengan penuh harapan.
''Iya.'' Ibu pun membalas senyuman dari putrinya, hatinya terasa sangat lega ketika ia berkata iya untuk kedua kalinya setelah dulu merestui putrinya menikah dengan Aris yang menurutnya tak layak jika harus bersama putrinya.
30 menit berlalu, Mira dan ibunya pun telah sampai di halaman rumah Aris.
Syifa yang mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya, ia pun segera membuka pintu rumah.
Namun, kali ini ia terkejut karena kedatangan nenek bersama dengan ibunya.
Syifa pun segera berlari dan memeluk ibunya yang sudah lama tidak bertemu.
Syifa yang telah melepas pelukan dari ibunya kini ia beralih memeluk nenek yang sangat ia sayangi.
''Kamu baik-baik aja kan? tanya nenek yang melihat keadaan cucunya.
''Alhamdulillah baik nek, ayo kita masuk ke dalam.'' Syifa pun mengajak kedua wanita yang sangat ia rindukan ke dalam rumahnya.
terlihat rumah mewah dengan desain yang modern, ibu memandangi seisi rumah itu yang terlihat sangat nyaman.
Dulu Aris memang hanya seorang pegawai rendahan yang membuat ibu tak merestui hubungan mereka, ibu malah menjodohkan Mira dengan lelaki pilihannya, namun Mira yang bersikeras tak mau menerima perjodohan itu sehingga ia kabur dari rumah, ibu yang memang keras kepala ia selalu menginginkan apa yang menjadi keinginannya agar terwujud ia tak ingin jika putrinya menjalani hidup yang serba kekurangan.
Tapi kini ibu dibuat sangat malu atas apa yang ia perbuat pada menantunya.
.
Aris yang sudah selesai ia bergegas untuk segera pulang.
Ia sangat bahagia karena kali ini Mira ada di rumahnya, yang memang saat ini ia rindukan.
Jalanan yang sedikit macet membuatnya harus sedikit bersabar.
Jarak antara kantor Aris dengan rumahnya terbilang lumayan dekat hanya memakan waktu 20 menit dan itu jika jalanan tidak macet.
Beberapa menit kemudian Aris telah sampai di halaman rumahnya dan segera melangkahkan kakinya untuk masuk, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar suara anak dan mantan istrinya bahkan suara yang sangat ia kenal terdengar jelas di telinganya.
''Assalamualaikum.'' Salam Aris pada orang-orang yang berada di dalam ruangan.
Mereka pun menoleh ke arah suara yang terdengar jelas kalau itu ayah dari depan pintu.
‘’Waalaikumusalam''
''Aris,'' ibu tersenyum pada laki-laki yang pernah menjadi menantunya itu.
''Ibu apa kabar?'' Tanya Aris yang menyalami punggung tangan ibu mertuanya.
''Ibu baik, kamu sendiri?'' Tanya ibu yang menatap menantunya itu. Ibu merasa sangat malu karena sikapnya dulu yang sering merendahkan dirinya.
Mereka pun berbincang cukup banyak hal hingga Syifa berkata pada ayah dan ibunya.
''Ayah, ibu Syifa mau bilang sesuatu pada kalian.'' Tutur Syifa menundukkan pandangannya.
Ayah dan ibunya menatap lembut pada anak mereka yang kini sudah tumbuh dewasa, apa yang mau kamu katakan nak?'' Tanya ibu yang mengusap punggung tangan anaknya.
''Aku hanya ingin minta maaf jika selama ini aku selalu membuat kalian khawatir, dan membuat kalian malu.'' Tutur Syifa tertunduk
Ayah dan ibu Syifa menatap lembut pada dirinya. Mereka tak pernah mendengar perkataan Syifa yang terlihat sangat terpukul.
Syifa melanjutkan kembali perkataannya yang seperti tercekat ia menarik nafasnya dalam- dalam.
''Ayah, ibu Syifa janji akan berubah, Syifa akan belajar lebih baik lagi tapi Syifa mohon, Syifa hanya ingin jika ayah dan ibu kembali bersama.'' Ia tak bisa menahan air matanya, hatinya sakit mengingat saat- saat pilu sendirian tak ada pelukan hangat dari seorang ibu yang selalu ia rindukan.
''Aris ibu minta maaf atas apapun kesalahan ibu di masa lalu, ibu rasa ibu egois atas apa yang terjadi, ibu tau ibu salah dan ibu minta maaf ibu baru menyadarinya, sebelum semua terlambat ibu mohon agar kamu bersama mira kembali rujuk gimana kamu mau kan?''
Ucapan nenek dengan penuh harapan.
''Ibu... ibu tak perlu meminta maaf atas semuanya karena aku merasa kalau ini sudah takdirku, dan aku dari dulu sampai sekarang aku selalu menanti Mira kembali.
''Kalau seperti itu segeralah kalian kembali agar itu lebih baik.''
Syifa tersenyum penuh dengan kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan, ia berharap semoga akan menjadi awal yang baik untuk keluarganya.
Tiga hari berlalu setelah kejadian itu ayah dan ibu telah resmi menjadi suami istri kembali, Syifa selalu bahagia di rumah tak pernah kembali sendiri ayah yang mulai mengurangi aktivitas di kantor agar selalu bersama menambah kebahagian.
''Mas apa sebaiknya jika Syifa kita pindahkan sekolahnya?'' tutur ibu yang mengusulkan perpindahan sekolah yang menurutnya lebih baik.
''Entahlah, mas belum memikirkannya, mas rasa sekolah Syifa sekarang itu cukup baik, cuma bagaimana kita mendidik anak kita kembali kecuali jika Syifa memang ingin pindah sekolah mas akan serahkan semua pada Syifa.''
Syifa yang mendengar perbincangan ayah dan ibunya ia duduk berdampingan dengan mereka.
''Ayah, ibu jika aku mau mondok bagaimana? Aku ingin jika aku bisa belajar lebih banyak tentang agama, mungkin jika aku lebih banyak memahami agama aku akan lebih baik lagi, aku hanya ingin bisa membahagiakan kalian, Syifa janji tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah Syifa perbuat ''
''Itu bagus nak,'' ibu tersenyum hangat memandangi putrinya.
''Iya ayah akan mendukung apa yang kamu mau. Ayah tau kemana kamu akan mondok ayah ada seorang kenalan iya cukup baik.''
''Benarkah? dimana aku akan mondok?'' Tanya Syifa yang sedikit antusias.
''Di Bandung? di pesantren Kyai Agus jarak antara Bandung dan Jakarta tak begitu jauh sayang.''
''Tapi aku belum terlalu yakin juga yah,''
''Ayah tau Syifa ini berat tapi kamu tau kan ilmu agama itu lebih penting dari segala sesuatu karena dengan ilmu agama kita akan menjadi hamba yang lebih mengenal Rabb Nya, ayah rasa itu pilihan yang bagus. Kamu tahu, ayah sedikit sekali ilmu agama yang mungkin tak bisa ayah berikan pada kamu dan juga ibumu, tapi dalam hal lain mungkin ayah dan ibu mampu untuk beri jadi apa kamu masih ragu?
''Ayah tak pernah memaksa kamu tapi jika kamu siap kita akan berangkat besok sore''
''Hah besok sore? apa ini tak terlalu terburu buru? aku bahkan belum menyiapkan apapun yah?''
''Benar yah, apa ini tak terlalu cepat?'' tanya ibu serius karena memang hanya satu hari syifa punya kesempatan berkemas.
''Kalau begitu hari Minggu kita berangkat, sekalian ayah libur kerja, gimana?''
''Baiklah, makasih ayah ibu.''
Aku pasti akan sangat rindu ayah dan ibu.'' Syifa memeluk erat ibunya seakan takut kehilangan kembali.
''Belum juga berangkat sudah bilang rindu, jangan sampai nanti kamu kabur yah.'' ayah tertawa kecil membuat ibu geleng-gelang kepala.
''Jangan dong, masa kabur.'' Tutur ibu mengingatkan syifa.
Kebahagian yang sebelumnya tak Syifa dapat kini ia rasakan, Syifa sangat bersyukur atas rencana Allah yang sangat berharga untuknya, ia berjanji tak akan mengecewakan kedua orang tuanya.
Hari ini tepatnya hari Minggu dimana Syifa akan berangkat untuk mondok, semua barang-barang telah ia kemas sejak kemarin,
bahkan berkas- berkas untuk perpindahan sekolah pun telah selesai tak ada satu pun yang tertinggal namun hati kecilnya sedikit ragu. ''Apakah aku benar siap? aku gak mau membuat ayah kecewa lagi.'' Tutur Syifa dalam hatinya.
''Syifa?''
''Apa kamu sudah siap sayang?'' Ibu memanggil Syifa dari lantai bawah membuatnya kaget.
Syifa masih diam di kamar, ia melihat sekeliling kamarnya, ''aku pasti sangat rindu kamar ini terutama ayah dan ibu.'' Syifa tersenyum dan segera bergegas turun.
''Aku udah siap bu'' Syifa menuruni tangga dengan perlahan.
Terlihat ayah dan ibu sedang menunggu dirinya.
Ayah tersenyum dengan penuh bangga ''akhirnya.''
''Kenapa yah?'' tanya Syifa yang tidak mengerti.
''Akhirnya anak ayah sudah siap tapi hanya satu yang belum siap,'' ayah tersenyum melihat Syifa.
Ayah dan ibu saling pandang dan tersenyum.
''Ibu lupa yah sungguh, tapi semua perbekalan ibu yang siapin ko gak mungkin salah.'' ibu tertawa kecil.
''Kenapa, apa ada yang salah?'' tanya Syifa yang memperhatikan penampilannya kembali.
''Bukan salah sayang, tapi kurang tepat.'' Ayah melirik penampilan Syifa.
''Oh, aku kira ini tak apa, lagian perjalanan dari Jakarta menuju Bandung cukup lumayan jauh. Aku kira nanti kita istirahat dan ganti pakaian dulu.'' Syifa tertawa kecil dan kembali ke kamarnya.
''Lebih baik kamu ganti pakaian yang lebih sopan.''
''Iya.'' Syifa mengacungkan jempol tangannya. Ia memang memakai baju pendek dan celana jeans dan membawa tas kecil dengan sepatu flatshoes yang ia suka ''ternyata ini salah ya,'' gumam Syifa yang telah memasuki kamarnya.
Ibu yang mengikuti langkah kaki Syifa ke kamar, ia berniat mencari pakaian yang akan Syifa kenakan.
''Nih kayaknya ini lebih baik, kamu mau pakai gamis? atau rok sayang?''
''Aku mau pakai rok aja bu.''
''Baiklah kamu ganti baju dulu, oh iya jangan lupa kerudungnya pakai, biar kita benar-benar siap, anggap saja kamu latihan.'' Ibu mengusap puncak kepalanya.
ibu tersenyum melihat Syifa yang sedikit cemberut karena pasti di dalam mobil itu panas, apalagi di tambah pakai kerudung.
''baiklah'' Syifa hanya bisa pasrah, dan menuruti semua perintah ibunya.
Syifa lupa tak memikirkan lebih jauh tentang hal itu, ia memang tak selalu menggunakan kerudung kalaupun itu keluar rumah, tapi kini ia akan ke pondok ia lupa kalau lingkungan pondok itu harus berpakaian tertutup.
Setelah sekian lama berganti pakaian Syifa pun kembali turun dengan menggunakan rok plisket dan baju kemeja yang di masukan ke dalam dan tak lupa kerudung yang ia pakai, dengan santai Syifa pun kembali turun dari kamarnya.
''Aku udah siap bu yah'' teriak Syifa yang berada di tangga.
Namun ia tak mendapati kedua orang tuanya, Syifa pun berjalan ke arah pintu untuk mencari keberadaan mereka.
''Oh baiklah, saya belum berangkat mungkin tiga jam kami akan sampai ok terima kasih.'' Ayah pun menutup panggilannya setelah mengucap salam.
''Kamu sudah siap sayang?'' tanya ayah ia pun memperhatikan Syifa dan tersenyum. ''Kamu cantik sekali sayang, kamu udah siap?''
''Iya, siapa yah? apa pekerjaan ayah menunggu?'' tanya Syifa menatap ayahnya.
Syifa khawatir jika ayahnya tidak fokus saat di jalan nanti.
''Bukan Sayang, itu dari Pak Rahman kenalan ayah itu ia saudara dari Kyai Agus, dimana nanti kamu akan mondok, ayah memberi kabar kalau kita pergi hari ini ayah harap kalau mereka ada di sana agar ayah bisa titipkan kamu biar ayah lebih tenang kamu mondok di sana.''
Syifa hanya mengangguk dan berjalan keluar untuk segera pergi.
''Ibu aku kira ibu masih di dalam,'' tutur Syifa yang duduk di belakang kursi kemudi.
''Enggak, ayo naik kita sedikit kesiangan, kalau hari Minggu itu semua orang pada jalan biar kita gak kena macet di jalan biar gak capek kita harus lebih awal apa semua udah siap?''
Syifa hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat menjawab.
Ia memandangi halaman rumah tempat dimana ia di besarkan. ''Aku pasti akan rindu rumah ini,'' lirih Syifa yang tak terdengar.
''Kita berangkat sekarang ya sahut ayah yang memandanginya, dan menjalankan mobilnya.
Perjalanan pun cukup ramai memang benar apa kata ibunya jika hari Minggu itu semua orang pada jalan tapi beruntung mereka tidak kena macet.
Pukul 09:30 mereka pun sudah berada di kota Bandung, kota yang cukup ramai namun tak seramai Jakarta.
Suasana yang cukup terbilang asri jalanan yang tidak terlalu banyak kendaraan membuat Syifa menyukainya.
Setelah beberapa menit kemudian jalanan masuk ke daerah perkampungan Syifa terus memandangi pemandangan yang berbeda, terlihat rumah-rumah yang sederhana dan tumbuhan yang terlihat dimana-mana sepertinya ia akan betah disini.
Syifa membuka jendela mobil dan menghirup udara segar kota Bandung ia begitu suka dan tersenyum melihat pemandangan sekitar yang cukup membuatnya betah.
''Kamu suka sayang?''
Ibu menoleh ke arah Syifa dan menyunggingkan senyum padanya.
''Iya aku suka pemandangannya sangat indah udaranya yang sejuk aku suka.''
Syifa membalas tatapan ibu yang tak berhenti tersenyum padanya.
''Sepertinya kamu bakalan betah tinggal disini.'' Ledek ayah yang tak hentinya melihat putrinya tersenyum.
''Aku betah karena ada ayah dan ibu disini tapi aku akan berusaha betah disini buat kalian.''
Syifa tersenyum dan menatap kembali keluar, ia takut akan menangis mengingat ia belum cukup kuat untuk berpisah dengan ayah dan ibunya.
''Itu harus, ayah dan ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.''
Ayah berkata dan menampilkan senyum pada pada putri ke sayangannya.
15 menit berlalu akhirnya mereka sampai tujuan, ayah memarkirkan mobilnya di sebuah halaman yang cukup luas dan terlihat bahwa di sampingnya ada sebuah pondok yang bertuliskan Pondok Pesantren Nurul Huda, dan tak jauh dari sana ada sebuah masjid yang besar yang terdapat taman di sisi kiri dan kanan yang membuat nyaman.
Syifa dan kedua orang tuanya pun turun dan menyalami beberapa orang yang menanti mereka di depan rumah besar itu, ia yakin kalau itu adalah Pak Rahman yang tadi ayah bicarakan di telepon tadi pagi dan mungkin ini adalah rumah Pak Kyai Agus itu.
''Assalamualaikum.'' Ucap ayah dan ibu dan saling berjabat tangan.
''Waalaikumsalam mari ayo masuk.''
''Gimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?'' ucap salah seorang dari mereka dengan ramah.
''Lumayan cukup lelah soalnya jalanan cukup ramai hari ini.'' Sahut ayah menjawab pertanyaan bapak-bapak itu yang terlihat sudah saling mengenal.
Tak berselang waktu datang seorang bapak-bapak yang terbilang cukup berusia berkopiah hitam datang.
Mereka pun saling berjabat tangan kembali, ''apa kabar Aris?'' tanya pak Kyai yang duduk bersama mereka.
''Alhamdulillah pak Kyai baik, bagaimana kabar pak Kyai semoga sehat selalu,'' sahut ayah penuh penghormatan.
''Aamiin aamiin, ini toh anak mu yang mau pesantren disini?''
''Iya kyai.''
Syifa tersenyum pada pak Kyai itu dan menunduk kembali.
''Siapa namamu nak?''
Tanya pak Kyai itu padanya.
''Syifa Nadira, pak.''
Pak Kyai itu hanya mengangguk dan berkata.
''Semoga kamu betah disini ya.''
''Ummi,'' ia memanggil seseorang.
''Iya sebentar bah.''
Datanglah seorang wanita paruh baya membawa nampan berisi minuman yang segera di hidangkan.
''Ini Syifa Nadira yang mau pesantren disini. Ummi tolong bawa Syifa keliling pondok dan biar dia istirahat di kamar.'' Tutur pak Kyai menjelaskan.
Wanita paruh baya itu pun mengajak Syifa pergi dari ruangan mereka berada.
Syifa pun mengikuti langkah kaki ummi yang mengajaknya pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!