Permisi paket!
Entah sudah berapa kali suara itu terngiang-ngiang di dalam mimpinya yang jelas itu sangat mengusik sekali. Sudah jam 09.00 pagi penghuni kamar ini masih saja bermain-main di alam mimpinya. Hingga untuk terakhir kalinya suara yang sudah mengusik alam mimpinya kembali bersuara dan berhasil membangunkan penghuni kamar ini.
"Permisi paket!"
Dengan rambut yang masih acak-acakan dan nyawanya pun masih belum terkumpul sepenuhnya, ia bangkit dari ranjang tidurnya, kemudian menghampiri asal usul suara yang sudah berani mengusik mimpinya tadi.
"Ternyata suaranya beneran nyata. Gue kira jin dalem mimpi gue!" gerutunya masih dengan suara khas bangun tidur.
Setelah pintu utama terbuka, ia melihat kurir laki-laki berjaket serta helm yang terpasang di kepalanya tak lupa juga ditangannya masing-masing memegang ponsel dan barang berbentuk kotak yang terbuat dari kardus.
"Paket atas nama Ezra Arsenio Lewend?" tanya kurir laki-laki itu seraya menyerahkan paket berbentuk kotak kepada gadis yang ada di hadapannya.
Tak ada keraguan atau kebingungan darinya, ia pun menerimanya.
"Hm."
Kurir itu pun nampak ragu-ragu mengarahkan kamera ponselnya ke arah sang penerima paket, pasalnya kondisi tampilannya sangat-sangat tidak mendukung jika harus mengambil gambar diri pada gadis ini.
Lantas ia pun langsung pergi dari rumah gadis itu begitu saja, ia tidak jadi mengambil gambar untuk dijadikan bukti bahwa paket sudah diterima oleh penerimanya. Jujur saja dari atas rambut sampai ujung kakinya sangat begitu urakan sekali dan ketahuan sekali jika gadis itu baru bangun tidur dan nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
Suara pintu rumah tertutup lumayan kencang sehingga menyebabkan kurir laki-laki itu yang masih ada di sana terlonjak kaget seraya mengusap dadanya.
"Astaghfirullah, ujian pertama kali gue jadi kurir begini banget, ya Tuhan." Setelah itu ia pun pergi untuk meneruskan pekerjaan kurirnya untuk mengantarkan paket-paket yang sudah ia bawa.
...Ω...
Setelah menutup pintu rumah, paket kardus berbentuk kotak itu pun ia letakan di atas meja ruang tamu saat kakinya hendak kembali menuju ke dalam kamarnya, kedua matanya pun sempat menoleh sekilas ke arah jam dinding. Setelah selesai ia hendak melangkah, tetapi lagi-lagi ia kembali melihat jam dindingnya dan tepat jarum panjang di angka 12 kedua matanya terbelalak sempurna bahkan hampir saja menggelinding ke lantai dan seketika nyawanya yang tadi hanya ada 15% kini menjadi 100% full.
"Gue tidur apa mati suri?" tanyanya ke diri sendiri seraya menepuk-nepuk kedua pipinya. "Jam sepuluh gila! Kalo ada tante bisa-bisa gue di pendem ke dalem lumpur ini mah."
Dengan gerakan grasak-grusuk ia pun sudah selesai mandi dan juga selesai sarapan paginya. Tidak ada aktifitas apa pun hari ini, karena hari Sabtu waktunya merilekskan tubuh dan pikiran yang sempat terkuras habis-habisan akhir-akhir ini.
Bunyi notice pada ponselnya membuyarkan lamunannya, ia membuka serta membaca pesan masuk tersebut.
Clauuu : Tha entar malming anak-anak katanya mau pada main, lo mau join nggak?
Dengan cepat ia pun membalas pertanyaan yang mungkin dari temannya itu.
^^^taDhi : Join lah. Btw, mau main ke mana dah?^^^
Clauuu : Ke rumah Koko.
Tidak ada balasan karena malas juga mau balas apalagi, begitu lah prinsip hidupnya. Gadis itu pun bangkit dari sofa dan hendak berjalan melewati meja yang ada di hadapannya baru saja ingin mengambil remote televisi, atensinya teralihkan pada benda berbentuk kotak yang terbuat dari kardus itu. Ia pun mendekat, kemudian mengambilnya seraya mengingat-ingat kejadian tadi pagi.
"Ezra Arsenio Lewend?" ucapnya setelah membaca nama penerima paket tersebut.
...Ω...
"Morning, Ma, Pa," sapa seorang pria dengan lengkap setelan jasnya yang sangat rapih sekali di tubuhnya ini.
Dua orang paruh baya menoleh seraya tersenyum sekilas ke arahnya.
"Morning too duda hot," celetuk wanita paruh baya yang duduk berhadapan dengannya.
Seperti ini lah suasana pagi setiap harinya di ruang makan. Kadang hanya ada suara dentingan sendok dan garpu saja, terkadang diiringi obrolan-obrolan kecil saja. Tidak ada yang spesial memang di kediaman rumah ini.
"Ma …," tegurnya tidak terima.
Pria paruh baya yang duduk di tengah antara keduanya, telah selesai menikmati sarapan paginya. Kini ia pun fokus menatap pria yang jauh lebih muda darinya sekitar 25 tahun yang saat ini tengah menikmati sarapan seraya memainkan ponsel yang ada di atas meja makan.
"Za," panggilnya.
Merasa namanya dipanggil, pria itu pun mendongak dan menatap pria paruh baya tersebut.
"Ya? Kenapa, Pa?" tanyanya kembali menyendok sarapan ke dalam mulutnya.
"Hari ini kamu ada jadwal kemana?"
"Ke sekolah, mau tanda tangani berkas."
"Setelah itu?"
"Mungkin pulang ke rumahku. Kenapa emangnya, Pa?"
"Ngg—"
"Permisi, Maaf ganggu waktu sarapan, Tuan, Nyonya dan Mas."
Tiga orang yang berada di sana pun menoleh ke arah sumber suara, setelah itu mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Nggak ganggu kok, Lu," ucap wanita paruh baya yang baru saja menyelesaikan sarapannya setelah itu, ia pergi meninggalkan ruang makan.
"Mas, mobilnya sudah siap," ujar pria dengan seragam hitam kerjanya yang berdiri tidak jauh dari kedua pria yang ada di hadapannya.
"Oke."
Setelah mendengar tanggapan dari majikannya, pria seragam hitam itu pun meninggalkan ruang makan diikuti majikannya.
"Pa, aku pergi dulu," pamitnya kepada pria paruh baya yang ada di hadapannya.
"Ya, hati-hati."
...Ω...
"Gue rasa mata kurir tadi minus 180. Rumah aslinya dia aja kayak begini, malah ini paket nyasar ke rumah kayak gembel. Jauh banget pengelihatan lo bang kurir!"
Di tempat ini lah gadis yang menerima paket tadi berada. Sudah hampir setengah waktunya terbuang demi mengagumi rumah dengan bertingkat tiga tersebut. Tak lepas juga pandangannya dari mobil-mobil yang tengah berada di dalam garasi, nampak ada lima mobil di dalam sana.
"Emejing ini mah namanya. Kalo disamain sama Koko– eh nggak bisa disamain deh, pokoknya kalo ini 100 kalo dia mah cuman dapet satunya aja, wkwk."
Setelah menelisik dari kejauhan dan ternyata tidak ada yang menjaga di pekarangan rumah tersebut, ia pun dengan cepat mendekati dan baru saja ingin masuk ke dalam gerbang tersebut sudah ada suara yang sangat nyaring menggema gendang telinganya.
Gog Gog Gog
"Anjing! Gila! Ada anjing!"
Gadis itu pun refleks menaiki kap mobil seraya mulut yang komat-kamit, tanpa ia ketahui ada sepasang mata yang sedang memperhatikan dirinya.
"Tolong! Tolongin gue dong! Plis!" teriaknya yang sepertinya tidak ada yang menghiraukan teriakannya itu.
"Hush … hush … pergi dong! Majikan lo ke mana sih?! Woi! Tolongin gue dong!"
......Ω......
"Jal, kamu sudah cek pesanan saya?" Pria dengan tinggi badan 178 cm berjalan mendahului pria berseragam hitam yang tak lain adalah sopir pribadinya.
"Pesanan apa, Mas?" Kening sopir itu mengkerut.
Kebingungan sopirnya itu membuat dirinya menghentikan langkah kakinya yang di mana hendak masuk ke dalam mobil, kemudian dia menatap sang sopirnya itu.
"Kado untuk salah satu anak panti. Kamu lupa?"
Pria berseragam hitam itu pun seketika menepuk keningnya dan segera dia pamit ke dalam kamarnya untuk mencari ponselnya yang tertinggal.
"Ya, sudah sana. Buruan, ya," kata majikannya yang langsung diiyakan olehnya.
Kini ia sudah berada di dalam mobil dan tengah sibuk mengecek tablet lebar tersebut. Alih-alih ingin fokus membaca berita news hari ini, malah ada saja suara kegaduhan yang tidak jauh dari tempatnya berada. Kedua matanya menyipit ke arah suara itu berasal tak lama, kemudian kap mobilnya dinaiki seorang gadis seraya berteriak-teriak meminta tolong.
Tak ingin mobil miliknya tambah rusak oleh gadis itu, ia pun turun lalu menghampiri anjing dan mengusirnya untuk kembali ke kandang. Setelah kepergian hewan tersebut ia pun fokus menatap gadis di hadapannya saat ini yang malah tenang-tenang saja serasa tidak punya dosa sudah menaiki kap milik orang lain, terlebih yang punyanya sudah ada di hadapannya sendiri.
Ditatapnya penuh tajam membuat gadis di hadapannya yang di mana semakin berani melancarkan aksi tidak sopan santunnya itu.
Astaga, bar-bar sekali gadis ini. Dari manakah manusia satu ini berasal, batinnya yang sudah sangat jengah menyaksikan kelakuan bar-bar gadis tersebut.
Dengan cepat ia menggendong tubuh gadis di sampirkan di bahu layaknya sedang menggendong sekarung beras, tanpa mendengarkan ocehan gadis tersebut akibat kesal main gendong-gendong saja dan terakhir ia menidurkannya di tanah yang beralasan rumput-rumput halus.
"Sialan!" umpat gadis di hadapannya.
"Kamu tukang kebun yang dicari sama mama saya, kan? Ya, sudah laksanakan tugas kamu hari ini." Setelah mengatakan demikian pria dengan setelan jasnya itu pergi meninggalkan gadis yang terus saja mengumpat dirinya.
"Gue bukan tukang kebon, ya! Enak aja kalo ngomong!" teriak gadis tersebut. Ia pun tidak mau kalah begitu saja, selepas membersihkan pakaiannya yang kotor sedikit, ia menyusul langkah kaki pria yang sudah seenaknya saja merendahkan harga dirinya.
"Mas Ezra, dari mana?" tanya sang sopir yang sudah kembali dengan membawa ponselnya.
"Abis menjinakkan sesuatu yang sangat buas."
Jawaban dari majikannya itu membuat arah pikirannya menjadi traveling dan membuat dirinya mendadak terdiam ditempat tidak berkutik sama sekali. Pria di sampingnya itu menatap sopirnya bingung karena mendadak diam, ia pun menyentuh bahu sopirnya itu.
"Jalu! Kamu kenapa? Hei!"
Jalu tersentak dari diamnya saat merasakan perutnya ada yang mencolek dan ia pun tersenyum kikuk ke arah majikannya. Saat keduanya sedang menatap satu sama lain mereka dikejutkan dengan benda yang sengaja dibanting di hadapan keduanya. Mereka berdua melihat ke arah benda tersebut, kemudian beralih melihat ke arah si pelaku yang membanting benda berbentuk kotak kardus tersebut dan pelakunya adalah seorang gadis dengan rambut yang tergerai serta pakaiannya yang terlihat seperti berandalan, menurut pengelihatan kedua pria dewasa itu.
"Dia siapa, Mas?" tanya Jalu berbisik kepada majikannya. Kedua
"Yang tadi saya jinakkan," jawab berbisik majikannya.
Jalu menatap gadis di hadapannya dari atas sampai bawah dan berhenti tepat di bibir gadis itu.
Jadi, maksudnya cewek ini yang, Mas Ezra jinakkan? Pikiran saya udah melayang ke mana-mana aja tadi, batin Jalu, seraya mengalihkan tatapannya ke tempat lain.
"Mba, sebenarnya ada keperluan apa datang ke sini?" tanya Jalu kepada gadis di hadapannya.
Sebelum menjawab pertanyaan pria yang sedikit ganteng menurut gadis tersebut, ia pun menatap tajam sekilas ke arah pria di samping pria berseragam hitam tersebut, kemudian beralih menatap pria yang bertanya kepadanya.
"Tadinya saya mau antar paket itu!" tunjuk gadis tersebut pada kardus berbentuk kotak
"Lalu?" tanya Jalu penasaran dengan kelanjutan omongan pada gadis di hadapannya.
"Terus tiba-tiba ada anjing yang dateng jelas aja saya kaget plus takut, refleks lah saya naik ke kap mobil yang entah punya siapa …."
"Abis itu datanglah manusia dengan tidak tau dirinya main gendong-gendong saya kayak karung beras dan manusia itu menidurkan saya di rumput-rumput dan di situlah saya di ania—"
"Jangan ngarang kamu!" tukas pria yang saat ini tengah menatap gadis di hadapannya dengan tajam.
Gadis tersebut membulatkan kedua matanya.
"Ngarang apanya sih? Jelas-jelas, Om tadi aniayanya—"
Pria itu maju untuk mendekatkan diri ke arah gadis yang hanya sebatas bahunya saja itu.
"Saya cuman menidurkan kamu, bukan menganiaya kamu."
Jalu yang mendengar ucapan majikannya itu, mencerna sedikit demi sedikit setiap kata yang diucapkannya. Hingga di mana dirinya langsung dibuat tidak percaya oleh perlakuan yang dilakukan oleh majikannya terhadap gadis di hadapannya saat ini. Dia pun melangkah mendekati majikannya tersebut.
"Ma … maksud, Mas Ezra 'menidurkan' yang …." Tatapan tajam yang menembus kedua bola matanya sukses menghentikan ucapan Jalu. Majikannya itu masih menatap dirinya dengan tatapan tajam dan membuat Jalu tidak berhenti memperlihatkan deretan gigi rapihnya itu.
"Maaf, Mas saya cuma—"
"Sudah kita berangkat sekarang bisa-bisa sudah nggak ada orang nanti." Majikannya itu menunjuk kardus berbentuk kotak.
"Kamu ambil itu, Jal. Jangan ladenin lagi wanita nggak jelas ini." Setelah berkata demikian ia ingin masuk ke dalam mobil bagian kursi penumpang tidak keburu, karena jas bagian belakangnya ditarik begitu saja.
"Apakah, Om lagi menyindir saya?" Pria itu pun kembali menghadap gadis dihadapannya.
"Memangnya di sini wanita ada lagi, selain kamu?" Pria itu sepertinya menyukai sebuah tantangan, bahkan ia pun dapat merasakan remasan pada jas bagian belakangnya yang disebabkan oleh gadis tersebut.
Dasar bajingan! Sumpah, ya. Gue nggak mau ketemu lagi sama orang satu ini. Jangankan ketemu ngobrol pun rasanya cuman bikin darah gue mendidih, batin gadis tersebut, seraya menarik tangannya dan menjauhkan jas milik pria di hadapannya.
"Maaf, Mba. Kalo udah nggak ada keperluan lagi, bisa ke pinggir? Mobilnya mau lewat," ucap Jalu. Sengaja mengubah topik pembicaraan sebelum pertikaian antara dua orang di hadapannya di mulai.
"Entar dulu, urusannya masih ada yang belum selesai." Dua orang pria itu memperhatikan gadis tersebut yang tengah duduk di kursi yang menghalangi pintu gerbang.
"Ganti rugi! Ongkos dari rumah saya ke sini itu mehong, ya!" ucap gadis tersebut seraya satu tangannya menengadah ke arah dua orang pria tersebut.
"Berapa memangnya, Mba?" tanya Jalu yang hendak mengeluarkan dompet. Namun, tidak jadi karena tangannya dihentikan oleh majikannya.
"250 ribu."
Gadis itu tampak sedikit tercengang setelah uang yang dia minta langsung berada di atas telapak tangannya.
"Selesai, kan? Kamu bisa pergi dari sini atau dari bumi ini juga nggak apa-apa."
Ingin rasanya memaki-maki, tetapi nyatanya ia masih punya sopan santun. Akhirnya gadis itu pun pergi dari sana tanpa mengucapkan terima kasih kepada yang sudah memberinya uang 250 ribu.
"Untung istri saya tidak mempunyai sifat seperti itu, ya, Jal."
Jalu tersenyum manis. "Bisa-bisa ubanan, ya, Mas kalau seperti gadis tadi."
"Bukan ubanan lagi, Jal. Mungkin saya sudah tinggal nama."
...Ω...
Alur kehidupan seseorang tidak ada yang tahu, karena pada dasarnya kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia pertelevisian dengan skenario yang dibuat oleh para produser-produser handal.
Seorang gadis SMA dengan balutan seragam sekolahnya yang lengkap, tetapi cukup menarik perhatian teman-teman kelasnya. Pasalnya di hari ini penampilannya sedikit berubah dari hari-hari sebelumnya. Rambut yang sebelumnya di ikat dengan model buntut kuda kini ia membebaskan rambutnya diterpa angin, begitu pula dengan warna rambutnya yang diubah dengan warna hitam pada umumnya. Setelah itu lengan baju yang sebelumnya ia gulung sekarang tidak lagi.
Saat dirinya tengah membaca satu persatu untaian kata yang ada di mading sekolahnya, tiba-tiba dengan lancangnya entah siapa yang membunyikannya sehingga membuat dirinya hampir berteriak. Siapa yang tidak kaget mendengar bel yang begitu nyaring tepat dirinya berada berbunyi begitu saja. Ia menatap tajam ke arah kantor, kemudian beralih menatap mading kembali.
"Brengsek! Untung yang bunyi bel sekolah, gimana jadinya kalo yang bunyi terompet Izrail?" gerutunya. Saat hendak memutar tubuhnya untuk masuk ke dalam kelasnya, entah dari mana asal wujudnya tiba-tiba saja ia mendengar suara yang tidak begitu asing di telinganya.
"Kalau terompet sangkakala yang bunyi, itu artinya kita semua bakalan mati. Gitu saja tidak tahu."
Kayak nggak asing sama suaranya, batin gadis tersebut.
Ia pun langsung menoleh ke arah sumber suara, tetapi nyatanya yang ia bisa lihat hanya belakang punggungnya saja tidak dengan wajahnya.
"Mungkin itu orang suruhan Izrail," selorohnya dan tentu membuat dua orang siswa yang sedang berlalu-lalang menatap heran kearahnya.
...Ω...
Jika ada perlombaan 'Kelas Yang Paling Berisik', mungkin saja juara satunya akan dimenangkan oleh Kelas ini. Kelas 12 IPS 5, kelas yang sudah dicap jelek, dicap paling rusuh dan tidak bisa diatur memang sangat pantas Kelas 12 IPS 5 menangkan.
Seseorang datang dan baru saja langkah kakinya berhenti di ambang pintu kelas, mendadak telinganya seperti sudah berada di dalam neraka. Yang di mana di penuhi dengan suara jeritan para pendosa akibat merasakan panasnya api neraka, begitulah kira-kira. Ia langsung masuk ke dalam kelas dengan membawa gagang sapu yang tidak mudah patah lalu ia pun langsung benturkan di meja guru entah berapa kali yang jelas sampai suara dan kondisi di ruangan kelas ini bisa tenang.
Dirasa sudah lebih tenang, ia menatap satu persatu murid yang ada di hadapannya saat ini. Beberapa dari mereka ada menundukkan kepala, ada juga yang menghalangi wajahnya dengan buku alih-alih sedang menghindari tatapan maut dari pria paruh baya tersebut.
"Jujur, saya udah capek sama kalian. Terserah kalian mau berbuat apa, karena setelah ini saya udah nggak ada tanggung jawab untuk kalian. Alias saya udah lepas tangan menjadi wali kelas ini."
Suara bisik-bisik mulai kembali terdengar di telinganya, ia biarkan sejenak untuk memberi waktu kepada anak didiknya itu. Entah akan menyuarakan pendapatnya atau tidak yang jelas menjadi wali kelas ini sangat begitu lelah, setiap harinya tidak berhenti menerima laporan-laporan negatif, mulai dari anak-anak didiknya yang susah diatur terkadang bolos di dalam jam pelajaran ijinnya ke toilet malah nyasar ke kantin bahkan ada yang lebih parah, beberapa diantaranya anak didiknya ada yang mengadakan tawuran terhadap adik kelasnya.
Isu-isu itu mulai terdengar setelah beberapa hari yang lalu wali kelasnya memergoki anak didiknya yang sudah berkumpul dan bersiap untuk melancarkan aksi tawurannya dari sanalah, ia menyerah dan juga sudah mengajukan surat pergantian wali kelas untuk Kelas 12 IPS 5.
"Pak!" panggil salah murid perempuan yang duduk di tengah-tengah urutan kursi ketiga dekat jendela. Pria paruh baya itu pun menatap ke arah muridnya.
"Ada apa?"
"Kalo saran saya sih begini, ya, Pak. Kita, kan sekolah tinggal beberapa bulan lagi. Saran saya, Bapak lanjut terus jadi walas kita. Jujur aja nih, ya, Pak. Kita-kita suka banget punya walas yang kayak, Bapak ini. Sabar banget ngadepin kita."
"Betul, Pak! Kalo guru-guru lain mungkin langsung nolak dari awal buat jadi walas kita nah kalo, Bapak jelas nggak. Buktinya udah hampir dua tahun, Bapak masih bisa bertahan jadi walas kita," imbuh murid laki-laki dengan wajah yang sangat mirip dengan aktor Thailand.
"Koko, kalo jadi aktor cocok, ya?" tanya gadis berbisik dengan teman sebangkunya.
"Iya," jawab seadanya temannya itu, karena jujur saja ia sangat malas menanggapi ucapan sahabatnya.
Pria paruh baya yang merupakan wali kelas mereka, bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat salah satu meja anak didiknya dan ia menatap satu persatu anak didiknya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, kemudian tatapannya jatuh kepada siswi yang tengah asik memakan kuaci. Tanpa siswi sadari seluruh penghuni kelas sedang menatapi dirinya, siswi tersebut tidak sadar karena ia makan seraya menunduk kebawah memainkan ponselnya.
Merasa suasana sangat sepi sekali bahkan tidak ada bisik-bisik tetangga, siswi itu pun mendongak dan melihat ke arah sekitarnya. Detik kemudian ia tersedak kulit kuaci, teman yang di sampingnya memberikan air. Merasa sudah tenang siswi itu pun terlihat santai-santai saja.
"Sorry, Pak. Saya belom makan soalnya, harap dimaklumi lah," ujarnya. Pria paruh baya itu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi, kalian mau bag—"
"Kita maunya, Bapak masih endure jadi walas kita."
Seluruh anak didik yang ada di hadapannya serempak menganggukkan kepala masing-masing, tanda menyetujui perkataan ketua kelasnya itu. Pria paruh baya tersebut menghela napasnya, sebelum mengeluarkan suaranya.
"Apa yang bisa kalian ubah, kalo saya masih jadi walas kalian?"
"Kita janji nggak berisik lagi."
"Setuju banget!"
"Kita nggak bakalan bikin onar dan segala macam lainnya."
"Setuju banget!"
"Kita juga janji bakalan jadi murid yang bisa lebih disiplin lagi."
"Sedikit setuju!"
Jawaban serempak terakhir yang ia dengar membuat pria 48 tahun itu membulatkan kedua matanya. Namun, detik setelahnya ia ikut tertawa saat mendengar ralatan salah satu siswi yang tadi makan kuaci.
"Jangan diseriusin, Pak. Abis mabok sate babi itu mereka," cetus siswi tersebut.
"Bisa aja lo, Ditha kerang!"
"Koko, sialan! Awas lo, ya, mata lo gue pelintir!" teriak siswi tersebut. Ia tidak terima belakang namanya yang dikasih embel-embel 'kerang'. Apa itu? Tidak adakah yang bagusan sedikit namanya?
"Sudah-sudah jangan ribut lagi," lerai wali kelasnya. "ada info penting yang ingin saya sampaikan," lanjutnya.
"Btw, jangan-jangan guru pengganti pak Aron udah ada, Tha?" tanya siswi berbisik pada temannya yang tadi makan kuaci.
"Bisa duda," seloroh temannya itu.
"Kalian masih ingat dengan pak Aron?" tanya pria paruh baya yang langsung di anggukkan oleh anak-anak didiknya. "Pengganti dia sudah ada."
Uhuk!
Uhuk!
Uhuk!
"Ck, Tha lo makan gimana sih? Dari tadi keselek mulu," kesal siswi dengan rambut pirangnya itu yang tergerai.
"Nggak tau kenapa kali ini feeling gue nggak enak," kata temannya sesuai menenggak air minum.
"Mati gue, Ri!" bisik murid laki-laki yang mirip dengan aktor Thailand kepada teman bangkunya.
"Mati? Lah lo masih hidup gini dibilang mati, mabok tulang babi lo?" selorohnya temannya.
"Nggak gitu maksud gue, tau lah. Sama aja lo kayak, Ditha kerang."
"Koko, kampret! Ngapain lo sebut-sebut nama gue pake embel-embel 'kerang' lagi hah?!"
"Mampus! Mamaknya babi ngamok." Murid laki-laki yang bernama Koko itu pun menoleh ke arah teman bangkunya yang sedang mengejek dirinya. Tanpa aba-aba, ia pun langsung menelusupkan kepala temannya itu ke dalam ketiaknya.
"Bangsat! Lo makan babi jenis apaan sih? Bau banget gila!" teriak temannya itu yang berada di dalam ketiak Koko.
"Zea! Mantan lo urusin apa! Sekali lagi dia sebut nama gue pake embel-embel 'kerang' gue ganti bibirnya dia jadi bibir kingkong!"
...Ω...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!