"Lanjutkan!" ucap Nasya dengan nada suara bergetar.
Klek
Saklar lampu di nyalakan, kedua orang tengah bergumul saling menyatukan diri menghentikan aktivitasnya.
"Nasya!" serentak sepasang manusia itu langsung menutupi tubuh polos mereka dengan selimut.
"Hebat, ya kamu, Ra?! Kamu juga, Wir!"
Nasya mengangkat telapak tangannya, melepas cincin yang melingkar indah di jari manisnya itu. Cincin yang selama ini mengikatnya dengan Wira, kekasih tercintanya. Namun rela tak rela Nasya melepasnya karena matanya telah terbuka dan menemukan Wira telah berselingkuh dengan sahabatnya, Tiara.
"Ini, aku kembalikan! Tidak ada gunanya!" ucap Nasya sambil melemparkan cincin itu ke wajah Wira.
"Nasya, jangan begitu, Baby! 5 hari lagi kita menikah! Tolong maafkan aku, aku khilaf!" Wira memakai pakaiannya dengan terburu-buru.
"Khilaf? Tapi aku melihat kamu dan Tiara saling menikmati tadi. Mana ada khilaf saling menikmati! Jangan bahas pernikahan, aku akan menemukan pengganti kamu, segera!" Nasya menegaskan.
Baru saja Nasya akan berbahagia, namun harapan dan impiannya pupus sudah hanya dalam waktu 1 jam saja.
"Nasya, please jangan tinggalin aku! Aku mencintai kamu!" Wira meninggalkan Tiara dengan bertelanjang dada mengejar Nasya yang sudah akan memasuki lift.
"Please, Baby! I love u!"
"I heat you, Wira! Kamu b*jingan paling gila yang pernah ada. Kenapa harus Tiara? Hah?! Kenapa?!" Nasya berteriak, tanpa ampun dia mendorong Wira keluar dari lift dan segera menutupnya.
"Arrrghhhh...!!!" Wira menggeram frustasi.
***
"Darimana aja kamu, Nasya?" kedatangan Nasya di sambut pertanyaan oleh ibunya.
"Dari apartemen, Mom."
"Kamu itu sudah mau menikah, jangan keluyuran terus!"
"Batalkan saja pernikahannya, Mom!" ucap Nasya, berhasil membuat jantung ibunya seakan berhenti berdetak.
"No! Mana bisa? 5 hari lagi kamu menikah. Jangan bercanda, Nasya! Kamu sendiri yang memutuskan menikah dengan Wira, kenapa sekarang ingin di batalkan? Mommy tidak mau tahu, kalau ada apa-apa bereskan sendiri, jangan buat malu Mommy dan Daddy!" tegas ibunya Nasya.
"Mom, stop! Nasya mau istirahat, cape!"
Tanpa melirik lagi ibunya yang mengoceh, Nasya bergegas menaiki tangga menuju kamarnya terletak.
Menangis? Itulah yang saat ini ingin Nasya lakukan. Sejak tadi Nasya berusaha menguatkan diri agar tak terlihat lemah di hadapan kedua pengkhianat dalam hidupnya. Kali ini, kesempatan untuknya menumpahkan apa yang di tahannya.
"B*jingan! Tidak tahu diri!" Nasya berteriak lirih dalam tangisnya. "Kenapa harus Tiara?! Kenapa?!"
1 jam menangis, Nasya memilih mengakhirinya dengan tidur.
***
Di tempat lain, siang hari menjadi waktu yang tepat untuk Arka beserta keluarganya berkumpul.
"Arka, kapan kamu akan menikah? Mama sama Papa udah tua, pengen gendong cucu." Aisha kembali mengutarakan permintaannya.
"Stop, Ma! Kalau sudah waktunya pasti Arka menikah, tapi please jangan jodoh-jodohkan Arka lagi dengan wanita-wanita pilihan Mama itu. Sungguh, Arka tidak berselera melihat mereka!"
"Arka!" bentak Ananda, ayahnya Arka.
"Pa, please! Arka bisa cari wanita pilihan Arka sendiri!"
"Ya sudah, terserah. Tapi berjanjilah hari minggu nanti kamu harus ikut Papa dan Mama ke acara pernikahan anak temannya Papa!" Ananda menegaskan.
Arka mengangguk menyanggupi, daripada harus berdebat dengan kedua orang tuanya, Arka terpaksa menyetujui permintaan mereka.
***
"Apa Nasya sudah siap?"
"Siap, Bu."
Pagi hari yang sangat sibuk, hari dimana Nasya akan melangkah melanjutkan perjalanan baru dalam hidupnya.
Bersikap santai seolah semua baik-baik saja, itulah yang Nasya lakukan kini. Tapi tidak dengan hatinya, yang sudah siap mempermalukan dirinya sendiri ketika saatnya tiba, namun mempelai pengantin prianya tak kunjung datang.
Dalam balutan gaun panjang berwarna putih dan riasan yang semakin menambah kecantikan, Nasya tersenyum menghadap cermin meja riasnya.
"Maafkan aku, Mom. Tapi aku tidak mau menikah dengan pengkhianat." Gumam Nasya bermonolog.
"Nasya, ayo kita keluar! Mungkin sebentar lagi Wira dan rombongannya akan segera datang!"
Nasya segera mengikuti ibunya keluar, tak terbesit dalam benaknya bagaimana ia akan mengatasi hari yang pasti akan menjadi momen dimana dirinya mempermalukan keluarganya sendiri.
1 jam menunggu, kegelisahan mulai melanda hati kedua orang tua Nasya.
"Nasya, coba hubungi Wira! Kenapa dia belum datang juga?" pinta ibunya Nasya dengan berbisik.
"Tidak usah, Mom!" tolak Nasya.
Ia melihat ke sekeliling, tampak seorang pria menghentikan pandangan matanya. Dengan berjalan sambil mengangkat gaun yang menyapu tanah, Nasya menghampiri pria itu.
"Menikahlah denganku!"
"Apa?!" Arka tersentak.
"Menikahlah denganku!" ulang Nasya dengan tangan terulur.
"Kau sudah gila!" pekik Arka.
"Menikahlah denganku!" Nasya mengulang kalimatnya untuk ke tiga kalinya.
"Baik," Arka tersenyum seringai, ia menerima permintaan Nasya tanpa syarat. "Jangan menyesal, kau yang meminta!"
Semua orang ternganga, terutama ayah dan ibunya Nasya dan termasuk kedua orang tua Arka juga.
"Nasya, apa maksudnya ini?!" pekik ibunya Nasya tak percaya.
"Mom, diamlah, lebih baik kita mulai pernikahan ini!" Nasya menegaskan.
Ayahnya Nasya hanya mampu terdiam dan menuruti permintaan Nasya.
Acara pernikahan selesai, beruntung saat semua selesai tamu-tamu baru berdatangan untuk mengucapkan selamat.
"Kita bicarakan yang lainnya nanti malam!" bisik Nasya pada Arka.
Dari kejauhan orang tua Arka memperhatikan Arka yang bersanding dengan Nasya di pelaminan. Ada rasa bahagia, namun terkejut juga mengingat semuanya sangat mendadak.
"Pa, kita tidak punya persiapan apapun, bagaimana ini?" Mama Aisja mengutarakan kegundahan hatinya.
"Jangan khawatir, Bu Aisha. Tidak usah persiapkan apapun, ini permintaan Nasya." ibunya Nasya menghampiri Bu Aisha ketika melihat wajah bingungnya.
"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa jadi Arka yang menikahi Nasya?"
"Kami juga tidak tahu,"
***
"Tolong jelaskan, ada apa ini? Nasya kenapa kau malah menikahi Arka?"
Malam yang baru saja tiba, waktu untuk dua keluarga yang kini menjadi besan dadakan untuk mengintrogasi mempelai pengantin wanita tersebut.
"Please, jangan tanyakan itu sekarang! Biarkan aku istirahat! Aku juga ingin berbicara secara pribadi dengan suamiku!"
Nasya menarik tangan Arka menaiki tangga, membawanya masuk ke dalam kamar.
"Tanda tangani ini!"
Nasya melemparkan map berwarna biru ke atas meja.
Arka meraihnya, membukanya, kemudian membacanya.
"Wow, poin-poinnya sangat merugikan!" ketus Arka.
"Tulislah apa yang kau inginkan dalam kehidupan satu tahun pernikahan ini! Aku yakin, pria sepertimu sama saja, ingin bebas dengan wanita mana saja, bukan?" Nasya memberikan ekspresi melecehkan.
"Ck, kau tahu itu ternyata!"
Arka mencorat-coret surat itu, kemudian menuliskan kata demi kata yang akan menjadi poin perjanjian dalam pernikahannya.
"Lihat ini!" ia balik melempar map itu pada Nasya.
"Ok, aku tak masalah. Artinya setelah 1 tahun kita bercerai!" Nasya menegaskan.
Keduanya saling berjabat tangan, tanda persetujuan dengan syarat-syarat yang mereka buat sendiri.
"Tidak ada cinta, sampai kapanpun tidak ada! Dasar wanita!" Arka tersenyum melecehkan.
"Sekarang kau keluar!" Nasya melemparkan selimut dan bantal pada Arka.
"It's okay, lihat saja besok kau juga akan aku buat seperti ini!" Arka terkekeh, kemudian berjalan membawa selimut dan meletakannya di sofa.
"Aku bilang keluar!" teriak Nasya.
"Diamlah! Kalau aku keluar, maka kontrak itu berakhir sekarang juga!"
"Sialan!" desis Nasya.
"Kau pikir kau ini siapa?! Bersyukurlah, karena aku menerima pernikahan gila ini!"
Nasya melangkahkan kakinya, menghampir Arka yang kini duduk santai bersandar pada kepala ranjang.
"Kau..."
Bruk...
Nasya tidak melihat adanya kursi, sehingga kakinya tersandung kursi dan tubuhnya jatuh tepat menimpa Arka yang masih duduk santai di sana.
"Kau ingin menggodaku, ya? Dasar wanita gatal!" umpat Arka sambil menurunkan tubuh Nasya dari atas tubuhnya.
"Aku terjatuh!" desis Nasya sambil turun dari ranjang dan mengambil bantal serta selimut, kemudian membawanya menuju sofa panjang di ujung ruang kamar.
"Ini kamarku, tapi aku yang harus tersiksa!" gerutu Nasya pelan.
Namun Arka masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Kamarmu, kamarku!" ucapnya dengan bangga, matanya terpejam, bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Nasya merebahkan diri di atas sofa, berusaha memejamkan matanya, mengistirahatkan tubuh yang lelah seharian berdiri hanya karena pernikahan yang menurutnya tidak berharga tersebut.
Kau akan menyesalinya, Wira! umpat Nasya dalam batinnya. Mengingat apa yang telah di lakukan Wira dengan sahabatnya.
Meski sudah berjam-jam berusaha memejamkan mata, namun mata indah Nasya tidak bisa terpejam barang semenit pun. Hal itu di ketahui oleh Arka, ia juga tak tidur.
Kamar asing yang kini menjadi tempatnya terbaring seakan menjadi alasan mengapa kantuk tak kunjung hinggap.
Di hempaskannya selimut yang berbahan bulu halus nan lembut tersebut, ia turun dari ranjang. Pandangan mata terarah ke balkon kamar milik Nasya.
Klek...
Nasya yang pura-pura terpejam membuka matanya, dalam gelap memperhatikan suami sementaranya itu keluar.
Mau kemana dia?
Hendak menghidupkan lampu, Nasya mengurungkannya. Arka akan tahu bahwa Nasya belum tidur. Memutuskan memperhatikan Arka meski berbekal cahaya dari lampu tidur yang redup.
Arka mendudukan diri di atas kursi kayu jati yang memang sengaja di pasang.
"Takdir yang aneh," gumam Arka sambil terkekeh. "Bagaimana bisa dalam beberapa jam aku menjadi suami seorang perempuan gila!" desisnya.
Berdiri menatap langit yang tampak indah, kemudian berbalik dan melangkahkan kaki memasuki kamar, Arka tidak ingin berlama-lama di luar.
Namun, ketika dirinya sudah berada di dalam kamar, ia memutar bola matanya malas.
Di atas tempat tidur kini sudah terbaring sosok wanita yang sudah bisa di sebut istrinya.
Klek...
"Jangan hidupkan lampunya, bod*h!" ketus Nasya. "Aku tidak bisa tidur dalam terang!"
Arka menarik selimut yang menutupi tubuh Nasya, membuat pemandangan tubuh terbalut gaun tidur tipis itu terpampang jelas dan nyata di hadapan matanya.
"Si*l!" umpat Arka, kembali melemparkan selimut menutupi tubuh wanita berkulit kuning langsat tersebut.
Nasya menatap nyalang Arka.
"Dasar tidak tahu diri!"
"Siapa yang menyuruhmu pindah ke atas tempat tidur? Cepat, enyahlah dari hadapanku!" Arka memerintah.
"Ini tempat tidurku!"
"Oh, ya?"
Melangkah ke samping lain tempat tidur, Arka merebahkan dirinya dengan begitu saja, menarik selimut yang di pakai Nasya dan menutupi kaki hingga dadanya.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Nasya, berusaha merebut selimut.
"Aku suamimu," ucap Arka tersenyum seringai. "Kau harus berbagi tempat tidur dengan suamimu!" sambungnya tersenyum seringai lagi.
"No!" Nasya terus menarik selimut.
"Jika kau terus membangkang, maka bukan lagi selimut dan ranjang yang harus kau bagi denganku!"
"Lalu?!"
"Kau juga harus berbagi t*buhmu denganku!"
"Kau sudah gila!" pekik Nasya.
Tidak ada yang mengalah, akhirnya Arka mengambil inisiatif. Meletakkan guling dan bantal di tengah-tengah mereka sebagai batas mereka.
"Itu lebih baik!"
...****************...
"Aaaaaaaaa......"
Pagi yang cerah, harus di sambut teriakan yang memekakan telinga yang mendengarnya.
Arka terperanjat, membuka matanya dengan terpaksa.
Ia hampir saja meloncat, mendapati tubuh dengan dada tel*njangnya sudah menempel dengan Nasya.
"Kemana hilangnya pembatas itu?! Apa kau sengaja melakukan ini?!" Arka segera beranjak, memakai kemeja yang menghilang entah kemana semalam.
"Apa?! Kau menuduhku?! Pasti kau yang sengaja!"
"Si*l!"
Tidak memperpanjang perdebatan, Arka memasuki kamar mandi. Dia tidak ingin pendengarannya rusak hanya karena teriakan seorang wanita di pagi hari.
"Dasar pria mes*m!" umpatan terus keluar dari mulut Nasya.
"Ini salahku, kenapa aku menariknya dalam pernikahan ini!"
......................
"Nasya,"
Panggilan sebuah suara diiringi ketukan pintu mengejutkan Arka yang baru akan memakai pakaian namun tersentak ketika tak ada pakaian untuknya.
"Nasya!" lagi, panggilan itu terdengar, suara ketukan pintu semakin keras.
Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya pintu sedikit demi sedikit terbuka. Arka segera meraih selimut tipis yang tersampir di atas sofa, menutupi tubuh setengah tel*njangnya.
"Arka?!"
"Ya, Bu?" Arka menjawab dengan gelagapan. Terus berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut tipis itu.
"Kenapa tidak memakai pakaian?"
"Mungkin Ibu lupa, aku ke sini tidak membawa apapun,"
Bu Mira tersentak, ia lupa bahwa pernikahan Arka dan Nasya terjadi dengan sangat tiba-tiba.
"Ya sudah, kamu tunggu di sana. Mommy akan mencarikan pakaian untukmu."
Pintu di tutup rapat, namun beberapa detik kemudian terbuka kembali.
"Oh iya," Bu Mira menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang terbuka. "Katakan pada Nasya untuk menemui Mommy di kamar Daddy, ya? Kamu juga ikut nanti sesudah memakai pakaian!"
Kalimat Bu Mira berakhir beriringan dengan kembalinya pintu tertutup rapat.
"Huft," Arka menghela napas panjang. Kesal, itulah mungkin yang kini ia rasakan. Masalah diminta menikah selesai, kini masalah dalam kehidupan pernikahan dadakan yang melebar.
Klek...
Pintu kamar mandi terbuka perlahan, menampilkan Nasya yang terbalut handuk hanya menutupi dari dada hingga setengah bagian p*hanya saja.
Deg—
Arka membuang pandang, berusaha menetralisir perasaan yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya.
Sementara Nasya terlihat acuh, entah ia sengaja, atau memang melupakan adanya Arka di dalam kamarnya.
Sreett...
Handuk terjatuh, memampangkan tubuh mulus nan indah.
"Kau sengaja, ya?!" bentak Arka.
"Haaahh ...?!" kepanikan melanda, Nasya segera berjongkok, meraih handuk dan berusaha membelitkannya kembali menutupi tubuh indahnya.
Beberapa detik,
Arka membuka selimut tipisnya, berjalan dan melemparkannya menutupi seluruh tubuh Nasya.
"Kau sengaja?!" bentak Arka. "Aku juga manusia! Memiliki hasrat dan nafsu!"
Nasya tertunduk dalam selimut.
"Pakai pakaianmu cepat! Aku akan masuk ke kamar mandi lagi!" langkah cepat di ambilnya, mengunci kamar mandi rapat-rapat dan menghidupkan guyuran air shower.
Berharap air dingin bisa meredam gejolak aliran darahnya yang memanas, Arka terus berdiri di bawah air shower.
"Gadis tidak punya akhlak!" gerutunya samar-samar tidak terdengar karena berpadu dengan gemercik suara air yang keluar dari shower.
Di luar kamar mandi, Nasya masih terdiam. Saat sadar ia langsung memakai pakaiannya, khawatir Arka keluar dan melihatnya masih polos tertutupi selimut tipis saja.
Tok tok tok
Pintu di ketuk, kemudian terbuka.
"Arka, ini—"
Bu Mira terkejut ketika melihat Nasya dengan rambut basahnya. Pikiran yang di pikirkan orang tua yang baru menikahkan putrinya sudah masuk ke dalam kepalanya.
"Ada apa, Mom?"
Bu Mira tersadar, kemudian memberikan satu stel pakaian laki-laki.
"Berikan pada Arka, tadi dia belum memakai pakaian."
Nasya menerimanya, kemudian meletakannya di atas tempat tidur begitu saja.
Klek...
Arka keluar dengan rambut basah, dada bidang dan perut yang bergaris terbagi menjadi empat itu terpampang jelas.
Seakan menghipnotis, Nasya tidak bisa mengalihkan pandangannya.
"Aku memang tampan," ucap Arka sambil tersenyum sombong.
"Terlalu percaya diri!" umpat Nasya tersenyum sinis.
Bruk...
Di lemparkannya pakaian yang diberikan ibunya pada Arka.
"Pakailah!" perintah Nasya.
Arka mengambilnya, satu stel kemeja berwarna navy dan celana jeans coklat siap di gunakan. Membuka handuk yang melilit Arka lakukan dengan sengaja.
"Kau!" Nasya membuang pandangannya.
"Kau tadi melakukan ini, sekarang giliranku!" ucap Arka tersenyum seringai.
"Sial!"
Nasya melangkahkan kakinya, bermaksud keluar dari kamar.
"Hei!"
Arka meraih lengan Nasya, menyentakannya hingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat.
Di raihnya leher Nasya, di dekatkannya wajahnya.
Hembusan napas Arka bisa di rasakan Nasya. Matanya terpejam, merasakan hembusan napas itu semakin dekat dan terasa segar.
Bahkan bisa di rasakannya Arka meniup telinga Nasya.
"Ibu menyuruh kita ke kamarnya!" bisik Arka ke telinga Nasya.
Deg—
Nasya tersadar, kemudian mendorong Arka hingga hampir terjungkal ke lantai.
"Jangan coba-coba mendekatiku, apalagi menyentuhku!"
......................
Lanjut? Aku usahakan nanti malam, kalau enggak dusta, hehe... Tunggu besok saja kalau malam tidak update lagi...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!