*****
Bagiku bahagia itu sederhana. Cukup bisa merasakan nyamannya bersandar pada sofa empuk, dengan semangkuk besar berisi buah-buahan di atas pangkuan. Sambil menikmati saluran televisi yang menayangkan gosip-gosip para artis yang tak bisa kunikmati di hari biasa. Ya, hanya sesederhana itu.
Aku tak butuh yang namanya menghabiskan liburan dengan pergi keluar kota, keluar pulau, atau pun keluar negeri. Bagiku dapat merasakan kembali damainya rumah tanpa ada kejaran deadline mematikan adalah cara terbaikku dalam menikmati hari libur. Mengingat hampir dua bulan ini, aku terlalu sering berkutat dengan pensil dan buku sketsa.
Baiklah, mari aku perkenalkan diriku sebentar. Namaku Aqilla Khanza. Aku lahir di Semarang, namun memutuskan untuk tinggal di Jogjakarta karena tuntutan pekerjaan. Aku bukan wanita kantoran, melainkan hanya seorang desainer pakaian khusus kebaya dan gaun pengantin. Berkat suntikan dana yang di berikan Bapak, aku berhasil membuka sebuah butik kecil dengan dua lantai. Lantai pertama aku khususkan untuk menaruh koleksiku dan juga tempat bekerja para penjahitku. Sedangkan lantai atas, aku gunakan untukku bekerja sekaligus kujadikan tempat tinggalku.
Namun saat ini aku sedang berada di rumah yang ada di Semarang, dalam rangka menikmati hari libur ceritanya.
"Qilla."
Panggilan suara dari Ibu membuatku menoleh. Kulirik Ibu sekilas yang kini sudah duduk tepat di sebelahku.
"Hmmm," jawabku seadanya.
Dan kali ini tanpa menoleh ke arahnya. Pandanganku lurus ke depan layar televisi, yang menayangkan berita perceraian salah satu artis papan atas yang terkenal dengan keharmonisan rumah tangga mereka.
Sebenarnya, aku bukan tipekal perempuan yang doyan mengikuti perkembangan artis ibukota. Namun, karena karyawanku heboh membahasnya beberapa hari ini, otomatis membangkitkan jiwa kekepoanku yang sudah mendarah daging sejak balita.
"Kamu tau nggak si Dewi. Anaknya Pak RT. Yang baru lulus SMA tahun ini, nduk. Inget, enggak?" tanya Ibu.
Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat siapa yang dimaksud Ibu. Setelah bayangan gadis belia yang sedikit centil namun manis itu mulai menyapa ingatanku, aku pun mengangguk.
"Inget kayaknya," kataku sambil menusuk potongan buah apel sebelum memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya perlahan.
"Katanya, dia mau nikah bulan depan loh, nduk."
Rasa manis campur sedikit masam dari buah apel yang baru saja ku kunyah mendadak berubah menjadi hambar. Kebahagiaanku seolah langsung sirna, begitu mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ibu. Sebisa mungkin, aku menahan diri untuk tidak memutar kedua bola mataku. Demi sopan santun dan juga tata krama yang selalu diajarkan Ibu dan juga Bapak sejak dulu.
"Terus?"
Aku mencoba untuk berpura-pura tak paham. Meski pada kenyataannya aku sangat paham maksud dari kalimat Ibu tadi.
"Ya, masa kamu kalah. Ibu ya gengsi to, Nduk. Masa anaknya juragan tanah di kampung sini kalah sama anaknya Pak RT. Dibandingkan Dewi, yo, jelas cantikan kamu, toh. Mana dia baru lulus SMA lagi." Ekspresi Ibu terlihat benar-benar tak suka.
Sambil menghela nafas, aku mencoba mengontrol diri untuk tak tersulut emosi. Aku wanita dewasa. Dan wanita dewasa tidak boleh gampang tersulut emosinya. Begitu segestiku dalam hati. Munafik, kalo aku nggak kesal dengan kalimat Ibu barusan.
"Bu, nikah itu kan bukan ajang balapan. Tapi tentang--"
"Kesiapan mental," sambar Ibu sembari mendengkus bosan.
Aku mengangguk, membenarkan, sembari mengacungkan jempolku. Membuat Ibu langsung melotot tak suka ke arahku.
"Halah, itu cuma alasanmu saja. Dari jaman Mbakmu hamil si Kafka sampai sekarang, Mbakmu hamil lagi, jawabanmu ya cuma itu. Gimana Ibu ndak sampai hafal," gerutu Ibu dengan nada yang tidak bisa ku bilang santai. Ku lihat ekspresi Ibu benar-benar kesal saat ini.
"Ya, mau gimana lagi to, buk. Orang Qilla emang belum siap, masa ya mau dipaksain. Ya ndak baik to."
"Kamu itu lho, nduk, ada aja jawabannya. Mau sampai kapan kamu sama si Kenzo itu pacaran terus. Nggak enak jadi obrolan tetangga to, nduk. Kamu sama Kenzo itu udah kelamaan pacarannya. Kalau kamu ndak yakin sama Kenzo, uwes to, putusin wae. Mending bubaran. Cari yang bisa bikin kamu yakin untuk nikah. Kamu ini selot tua, nduk, ora selot enom. Eling! Nikah itu sunah lho. Ora dolanan wae."
"Buk, sinten to seng dolanan? Mboten woten to. Qilla sama Kenzo serius, Bu. Qilla juga yakin sama Kenzo. Qilla mau nikah sama Kenzo. Tapi enggak sekarang atau dalam waktu dekat."
"Arep ngenteni opo maneh to, nduk. Jaremu mben, pengen kuliah sek, barang wes lulus pengen duwe butik dewe, rak yo wes do kelakon to. Jane ki arep ngenteni opo maneh to, nduk? Ngenteni Ibumu sekarat sek ngno, opo ben Ibumu iki mati sisan ngono?"
(read: Mau nunggu apa lagi sih, Dek. Katamu dulu ingin kuliah, pas udah kuliah, ingin punya butik sendiri, bukannya sudah terwujudkan. Sebenarnya mau nungguin apa sih, Dek? Nunggu Ibumu sekarat dulu gitu, apa biar Ibumu ini mati sekalian gitu?)
"Astaghfirullah, Ibu ini lho omongannya."
"Sak karepmu dewe kono lah. Ibu ora urus. Ibu pusing mikirin kamu."
(read:terserah kamu sendiri lah. Ibu nggak peduli.)
Dengan perasaan kesal, Ibu segera berdiri. Kemudian berjalan meninggalkan aku yang mulai merasa bersalah.
Sumpah, demi Tuhan. Aku memang belum siap jadi istri mau pun ibu. Aku masih terlalu egois untuk membina rumah tangga. Aku benar-benar merasa belum siap. Dan aku tak harus memaksakan diri untuk menikah hanya karena para anak gadis tetanggaku sudah pada menikah.
Tidak. Aku tidak akan begitu.
Aku kembali menghela nafas sambil melirik mangkuk. Potongan buah-buahan ini masih penuh karena baru ku makan beberapa potong. Tapi nafsu makanku kini mendadak hilang.
Dengan perasaan sedikit kesal, aku pun ikut berdiri. Mematikan televisi, kemudian berjalan menuju dapur. Meletakkan mangkuk berisi buah-buahan ke dalam kulkas. Baru kemudian berjalan keluar rumah.
Tujuanku saat ini mengunjungi rumah Mas Adi, yang kebetulan jaraknya tak terlalu jauh dari rumah.
"Jelek banget mukanya. Belum mandi pasti, ya?"
Sambutan manis dari Mbak Lusi, kakak iparku, sama sekali tak ku gubris. Mengabaikan sopan santun dan juga tata krama, aku langsung memilih nyelonong masuk.
"Mas Adi ada kan, Mbak?" tanyaku tanpa menoleh.
Terkesan tidak sopan sih, memang. Tapi mood-ku benar-benar sedang jelek saat ini. Jadi aku tidak terlalu peduli.
"Ngapain nyariin suami Mbak?" ketus Mbak Lusi merasa jengkel karena tadi sempat aku abaikan.
"Pengen curhat. Butuh dada bidang buat sandaran juga. Dada suami Mbak Lusi kan emang paling enak buat senderan," jawabku asal, setengah bercanda.
Karena dada Mas Adi biasa saja, tidak bidang sama sekali, cenderung sedikit kurus untuk ukuran pria yang hobi makan sepertinya. Tapi untuk ukuran pria normal cukup besar.
Aku kemudian mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, tanpa menunggu dipersilahkan si pemilik rumah.
"Berantem lagi sama Ibu?" tebak Mbak Lusi tepat sasaran.
Kakak iparku ini selain jago masak dan berwajah manis. Dia ini tipekal orang yang punya kepekaan tingkat wahid. Mbak Lusi bisa nikah sama Mas Adi pun, berkat keistimewaannya itu. Luar biasa bukan?
Sebenarnya Aku juga ingin mengelak, namun karena sepertinya akan berakhir sia-sia. Jadi akhirnya aku memilih untuk mengangguk, membenarkan.
Setelah mengangguk paham, Mbak Lusi pun langsung bergegas naik ke lantai atas.
"Kalau butuh minum ambil di kulkas sendiri, ya. Mbak mau panggilin Masmu dulu di atas," katanya sebelum menaiki anak tangga.
Aku hanya mengangguk sembari mengacungkan jempol sebagai tanda jawaban.
Tak lebih dari lima menit Mas Adi pun turun.
"Dada Kenzo nggak seenak dadanya Mas, ya?" tanya Mas Adi setelah mendudukkan pantatnya di sebelahku.
Aku menggeleng tak setuju, namun tetap menyenderkan kepalaku di dada Mas Adi. Karena jelas, dada Kenzo sandaran paling oke se-dunia.
Versi siapa?
Jelas versiku lah.
"Kenzo kan ada di Jogja, Mas. Masa iya, aku kudu balik ke Jogja cuma nyari dada buat senderan. Mending ke sini kan, deket."
Mas Adi mendecakkan lidahnya, memasang wajah pura-pura merajuk.
"Jadi Mas cuma dijadiin pemeran pengganti?"
"Bukan dong." Aku menggeleng.
"Terus, apaan?" tanya Mas Adi dengan sebelah alis yang terangkat.
"Pemeran cadangan," kelekarku sembari memainkan alisku naik turun.
"Pulang, sana!" rajuk Mas Adi sembari menjauhkan kepalaku darinya, kemudian mendengkus tak percaya.
Aku terkekeh geli.
Kasian banget ya, Mbak Lusi dapet suami tukang ngambekan gini.
"Lagi butuh sandaran, Mas," kataku membujuk. Memasang wajah semelas mungkin.
Dan.... berhasil.
Meski sambil berdecak, Mas Adi kembali menarik kepalaku untuk disandarkan di dadanya. Aku tersenyum sembari memejamkan kedua mataku.
"Kamu ini, wanita mandiri yang nggak pernah suka merepotkan. Tapi kenapa sih kalau sama Mas, kamu manja gini. Bikin cemburu Mbakmu aja," gerutu Mas Adi yang membuatku terkekeh.
"Ya, nggak papa. Manjanya sama Kakak sendiri ini," balasku acuh. Padahal sebenarnya aku juga takut sih, kalau-kalau Mbak Lusi cemburu dengan kedekatan kami. Mengingat sifatku sendiri yang suka cemburu dengan Kesha, adik Kenzo.
"Tapi harusnya kamu ini manjanya ke suami kamu. Udah 27 tahun loh. Ma--"
"Mas Adi nggak asik deh. Ikut-ikutan Ibu."
"Jadi gara-gara ribut sama Ibu, kamu kabur ke sini?" tembak Mas Adi.
"Enggak lah. Emangnya aku anak kecil," kilahku, bohong.
"Oh iya, kamu kan udah gede. Bukan anak kecil, ya. Harusnya mah udah bisa bikin anak kec--"
"Mas Adi!" pekikku sembari mengeplak lengan Mas Adi dengan kesal.
Kemudian melotot tak terima. Sementara Mas Adi justru terbahak, bukannya mengaduh kesakitan. Heran. Lengan Mas Adi itu nggak gede loh, tapi kenapa nggak sakit.
"Lama-lama aku berasa jadi anak tiri, dinistain mulu," gerutuku di sela dengkusan.
"Gimana kabar Kenzo?" tanya Mas Adi setelah meredakan tawanya. Mencoba mengalihkan pembicaraan tadi.
Aku mengangguk. "Baik. Cafe-nya lagi rame kalo pas weekend gini. Jadi nggak aku ajak."
"Oh iya, Airin abis lamar--"
"Iya, tahu. Kemarin udah kasih kabar kok sama yang dilamar," potongku sambil menghela nafas pendek.
Jika ku endus dari bau-baunya sih, kayaknya pembicaraan kita sekarang ini masih sama.
"Kamu kapan siap dilamar Kenzo?" tanya Mas Adi serius.
Nah kan!
"Mas," panggilku pelan. Kedua mataku terpejam karena frustasi
Demi Tuhan, aku memutuskan untuk pulang ke Semarang bukan untuk ditanya kapan menikah begini. Tapi liburan.
"Kamu itu udah bukan anak remaja yang masih butuh pacaran untuk belajar saling mengenal, Dek. Kamu ini sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Kamu sama Kenzo baik-baik saja kan?"
Lah, apa korelasinya dengan hubunganku dan Kenzo. Nggak nyambung banget.
"Mas, aku sama Kenzo baik-baik saja apa enggak, itu nggak ada hubungannya sama aku yang belum ingin nikah. Aku nggak mau nikah cuma gara-gara umur atau karena aku sudah punya pacar makanya harus cepet-cepet nikah." Aku menghembuskan nafas frustasi. "Aku mau nikah kalau emang aku udah yakin untuk nikah, Mas. Bukan karena didesak kalian. Tolong hargai keputusanku," pintaku sedikit memohon.
"Kamu masih belum yakin sama Kenzo?"
Aku kembali menggeleng lemah sebagai tanda jawabannya.
"Kalo gitu lepasin dia. Cari orang lain yang bikin kamu yakin."
Lagi-lagi Aku menggeleng, namun kali ini gelengan kepalanya jauh lebih tegas.
Apa-apaan maksudnya. Cari orang lain?
"Aku sayang sama Kenzo, Mas," tegasku tak ingin dibantah.
"Sayang aja nggak cukup kan?"
Aku tahu kalimat Mas Adi barusan, memang sedang menyindirku. Tapi aku mencoba tidak memperdulikannya.
"Tapi bagi Kenzo itu cukup, Mas."
"Tapi nggak cukup buat kamu kan?"
Harus ku akui bakat terpendam milik Mas Adi soal urusan tebak-menebak dan sindir-menyindir memang perlu diajungi jempol.
"Mas, aku lagi berproses--"
"Enam tahun belum cukup?" potong Rendra cepat.
Aku mengerang jengkel, karena merasa kalah.
"Belum," jawabku pelan, sangat pelan.
Mas Adi bahkan sekarang tidak dapat berkata-kata. Yang dilakukannya hanya memijit pelilisnya yang mendadak pening. Mungkin.
"Terserah kamu, Mas cuma ngingetin. Semoga enam tahun yang kalian lewati ini nggak harus berakhir sia-sia kalau pada kenyataannya kalian nggak bisa bareng."
Sebentar! Ini Mas Adi doain aku sama Kenzo putus?
Seketika aku lansung menatap Mas Adi, meminta penjelasan.
"Kalau kamu ngerasa Kenzo beneran jodoh kamu. Mas rasa kamu nggak akan ragu sama dia," kata Mas Adi sebelum beranjak pergi, meninggalkanku yang kini diam membisu.
*****
Setelah pulang dari rumah Mas Adi, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku butuh bertemu dengan Kenzo untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba kacau hanya karena kalimat Mas Adi barusan. Semasa bodoh lah dengan jadwal liburanku yang harus berakhir gagal. Aku benar-benar butuh bertemu dengan Kenzo. Hari ini juga, agar aku tidak goyah.
Setelah berganti pakaian dan membereskan barang-barang, aku langsung bergegas turun ke lantai bawah dan berpapasan dengan Bapak yang baru saja keluar dari dapur.
"Loh, mau ke mana, nduk?" tanya Bapak sambil memandangiku heran.
"Balik ke Jogja, Pak," jawabku pendek.
"Katanya mau liburan, kok udah mau balik aja to? Masih marah sama Ibuk-mu?"
"Loh, kok Bapak tahu?" Aku memandang Bapak heran.
"Ibu-mu tadi ngomel-ngomel pas bapak baru pulang abis liat tanahnya pak Husein. Gimana Bapak ndak tahu, lha wong Ibu-mu tembangane yo, kamu. Kalo kamu lagi di Jogja bilangnya kangen sama kamu, nanyain kamu kapan pulangnya. Tapi kalo udah pulang ke Semarang gini, pasti susah akurnya. Heran deh Bapak."
Aku meringis tak enak dengan gerutuan Bapak. Merasa bersalah karena belum mampu membahagiakan Ibu dan Bapak.
"Lah, iki bocah, malah ngalamun. Jadi balik ke Jogja ora, nduk?"
Aku tersenyum sembari mengangguk, kemudian maju untuk memeluk Bapak. Cinta pertamaku sebelum kenal Kenzo dan mantanku yang lain.
"Aqilla balik ke Jogja bukan karena Ibu kok, Pak."
"Lha terus?"
Aku mendongak untuk melihat wajah Bapak. Rasanya bersalah saat melihat wajah beliau yang kian menua. Tapi aku belum bisa memberikan kebahagiaan seperti yang dilakukan kebanyakan anak pada usia sepertiku ini.
"Ada kerjaan yang belum beres. Tapi Qilla baru ingetnya tadi di rumah Mas Adi."
Karena tak mungkin untuk mengatakan yang sejujurnya, aku lebih memilih berbohong. Meski tidak sepenuhnya berbohong juga sih, soalnya memang ada pekerjaan yang kutinggal padahal belum benar-benar beres.
"Kamu ini persis Ibumu. Yowes, sana berangkat, nanti keburu siang. Panas. Macet."
Aku tersenyum sambil mengangguk dan mulai melepaskan pelukannya.
"Aqilla pamit ya, Pak? Ibu mana?" tanyaku sembari celingukan mencari keberadaan Ibu.
Bapak menggeleng. "Bapak juga ndak tahu. Tadi katanya mau pergi keluar."
"Terus Aqilla gimana?"
"Gimana piye to? Emang butuh sangu dari Ibumu?"
Aku tersenyum geli sembari menggeleng.
"Bukan, Pak. Maksudnya, masa Aqilla nggak pamit sama Ibu?"
"Nanti Bapak pamitin. Kamu mending langsung berangkat."
Dengan sedikit tak sabaran, Bapak langsung menuntunku keluar rumah.
"Nanti kalo Ibu ngambek?"
"Bapak yang bujuk dong," kata Bapak sembari membukakan pintu mobilku. Mendorong tubuh langsingku agar segera masuk ke dalam mobil.
"Oke. Aqilla berangkat deh. Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumsalam. Hati-hati! Ndak usah ngebut," pesan Bapak sembari menutupkan pintu mobilku.
"Siap laksanakan!"
Tbc,
******
Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, karena macet yang cukup menyebalkan itu. Kini akhirnya aku sampai di Cafe milik Kenzo. Seperti tebakanku di awal, Cafe Kenzo terlihat ramai.
Aku menghela nafas sejenak sebelum memutuskan untuk masuk. Entah kenapa aku merasa sedikit deg-degan.
Kenzo terlihat cukup terkejut saat kedua mata kami bertemu. Aku tersenyum sembari melambaikan tangan kiriku untuk menyapanya.
"Kok di sini?" tanya Kenzo masih dengan wajah bingungnya.
Duh, imutnya pacarku kalau lagi bingung gini. Jadi pengen nyium kan.
"Kangen kamu," kataku sambil terkikik geli.
Bukannya terharu atau pun tersanjung, Kenzo justru menatapku dengan kedua mata menyipit, seperti curiga akan sesuatu.
"Mau naik ke atas?" tawarnya kemudian. Setelah tadi sempat mengedikkan bahunya.
Aku menggeleng, "Aku nggak lama, cuma mampir sebentar."
Kenzo mengangguk, kemudian mengajakku untuk duduk di salah satu kursi.
"Katanya liburan kok ke sini?" tanya Kenzo saat kami sudah duduk berhadapan.
Aku tersenyum, "Kan aku tadi udah bilang."
"Kangen aku?" ulang Kenzo sembari tersenyum geli. Kedua matanya terlihat memandangku tak percaya.
Sementara aku langsung mengangguk, mengiyakan.
"Dan kamu pikir aku percaya?"
"Why not?"
"Sekarang kamu bilang, kenapa kamu bisa di sini. Berantem sama Ibu lagi?" tembaknya langsung dan tepat sasaran.
Aku tersenyum kecut karena Kenzo yang begitu peka. Kalau kebanyakan perempuan di luar sana merasa gemas dengan sikap pacar mereka yang tidak peka. Lain lagi denganku, aku justru kadang ingin Kenzo tidak peka seperti sekarang. Karena punya pacar peka itu tidak selamanya enak. Dan mungkin punya pacar nggak peka pun nggak selamanya buruk juga.
Ya, mungkin saja.
"Kenapa sih kamu peka banget?" gerutuku dengan bibir cemberut.
Kenzo tersenyum, "Kalau aku nggak peka, kamu pasti rewel," katanya sembari menjawil hidungku gemas, membuatku kembali memasang wajah cemberut. Sementara Kenzo kembali tersenyum.
"Jadi kenapa?" tanyanya masih penasaran.
"Sebenernya nggak berantem sih, cuma aku kesel sama Ibu dan Mas Adi." Akhirnya aku memilih mengaku.
"Mas Adi juga?"
Aku mengangguk, membenarkan.
"Kenapa?"
"Ibu cerita kalau anaknya Pak Rt mau nikah bulan depan. Terus Mas Adi juga cerita si Arin baru aja dilamar."
"Oh." Kenzo mengangguk sambil ber'oh'ria.
Aku mendelik tak terima dengan respon Kenzo yang hanya mengeluarkan dua huruf saja. Kemudian saat hendak membuka suara, Kenzo kembari bersuara.
"Ya udah, ayo nikah! Kamu maunya kapan?"
Ebuset. Pacarku ini punya mulut enteng banget ya, kayak nenteng plastik kresek tapi nggak ada isinya. Ngajak nikah udah kayak ngajak jajan cilok, tanpa perlu banyak mikir.
"Enteng banget sih mulut kamu," ketusku sembari menunjuk bibir Kenzo kesal.
"Kita udah sama--"
"--sama dewasa," sambarku cepat. "Usia hubungan dan umur kita udah nggak cocok lagi buat pacaran. Gitu?" sambungku dengan raut wajah emosi yang kentara.
Kenzo terkekeh sembari menggeleng. Tangannya kemudian terangkat untuk mengacak rambutku dengan gemas. Aktifitas yang selalu membuatku kesal dan juga kangen disaat yang bersamaan.
"Bukan," katanya sambil tersenyum. "Sama kayak prinsip kamu. Bagiku umur kita maupun umur hubungan kita memang nggak bisa dijadikan alasan untuk segera menikah. Tapi aku rasa masalah kesiapan, kita udah cukup siap mengingat banyak hal yang udah kita lalui bareng. Itu menurutku. Kalau menurutmu sendiri, bagaimana?"
Aku menggeleng sembari memainkan jari jemari Kenzo yang panjang dan juga cantik, yang kadang suka membuatku iri.
"Aku belum siap," akuku jujur dengan kepala yang sedikit tertunduk.
Kenzo kembali tersenyum, lalu menggenggam jari jemariku. Membuatku mengangkat wajahku secara reflek.
"Ya udah, kalo memang belum siap. Kita nikahnya kalau kamu udah siap."
Tidak ada raut wajah kecewa maupun bosan dari wajah Kenzo. Wajah itu masih tampak tenang dengan senyum manis disertai lesung pipit samar di pipi kirinya. Seketika perasaan lega menghampiriku. Kenzo adalah pria terbaik untuk kujadikan suami kelak. Dan tak ada alasan bagiku untuk mencari orang lain. Aku sudah yakin untuk menikah dengannya, tapi itu nanti kalau mentalku sudah siap.
Toh, Kenzo tidak pernah menuntut apapun dariku. Dia tipekal pria terbuka dan juga penyabar. Meski tak jarang ia bersikap manja saat kami sedang berdua saja, tapi Kenzo tipekal pria penuh pengertian dan juga dewasa.
"Melamun?"
Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan hidungku yang tidak terlalu mancung ini dicubit Kenzo. Aku mendelik sebagai tanda protes.
"Mau pesen sesuatu apa langsung pulang?"
"Kamu ngusir?" Aku mendengkus samar. Kemudian kembali mendelik ke arahnya.
Namun justru disambut gelak tawa gemas dari Kenzo. Membuatku makin mendelik ke arahnya.
"Tanya doang, sayang. Kamu kayaknya mau kedatengan si dia, ya?"
Aku menerjap bingung. Si dia siapa yang lagi diobrolin ini? Kenzo nggak lagi nyangka aku selingkuh kan?
"Lagi mikir yang enggak-enggak ini pasti," celetuk Kenzo sembari menunjuk-nunjuk dahiku.
Dengan gerakan spontan, aku menyentuh dahiku, "Siapa itu si dia?" tanyaku bingung.
Kenzo kembali terkekeh, kemudian memajukan wajahnya sedikit. Membuatku ikut memajukan wajah.
"Menstruasi," bisiknya sambil terkikik geli.
"Orang gila!" makiku setengah jengkel, sementara Kenzo malah terbahak. Dengan gerakan kesal ku dorong dahinya dengan cukup keras. Dan bukannya marah, Kenzo malah makin terbahak. Sehingga mengundang perhatian beberapa pengunjung Cafe yang kebanyakan anak muda.
"Jadi gimana? Pengunjung mulai ramai tuh, kasian anak-anak kalau nggak aku bantuin. Kamu mau pulang, apa naik ke ruanganku aja?" tanya Kenzo setelah berhasil menghentikan tawanya.
Aku mendengkus kemudian memilih langsung berdiri.
"Aku balik ajalah. Terang-terangan diusir gini masa masih mau di sini. Bisa-bisa kamu panggilin satpam aku," dumalku memasang wajah pura-pura kesal.
Kenzo tersenyum sembari mengangguk kemudian ikut berdiri di sebelahku. Tangan kanannya menyusup di antara jari-jemariku, kemudian menuntunku keluar Cafe.
"Yuk, aku antar sampai depan."
Meski sambil mendengkus aku tetap menurut.
"Nanti aku main ke butik ya?" tanyanya setelah kami sampai di parkiran.
Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum sembari mengangguk.
"Malem?"
Kenzo mengangguk sembari membukakan pintu mobilku.
"Aku pergi, ya? Jangan kecantol sama fans-fans kamu," pamitku setengah mengancam.
Kenzo terkekeh kemudian mengangguk. "Hati-hati!" pesannya sambil menutup pintu mobilku.
"Sampai ketemu nanti malem," kataku sebelum meninggalkan tempat parkir.
Kenzo tersenyum sembari mengangguk. Baru melambaikan tangannya. Sementara aku mendesah lega.
Setelah bertemu Kenzo, hatiku jauh lebih tenang. Perasaan ragu-ragu karena kalimat Mas Rendra tiba-tiba lenyap. Kenzo pria yang baik. Dia juga pacar yang baik. Jadi, aku tidak punya alasan untuk ragu kalau kelak aku dan Kenzo akan menikah.
*****
"Sore semua!"
Kedua karyawanku langsung mengangkat kepalanya dengan kompak saat mendapatiku masuk ke dalam butik. Mereka sempat melirik satu sama lain sebelum akhirnya berdiri dan menyambutku.
"Loh, Mbak Qilla kok udah ada di Jogja?"
Aku tersenyum kecil saat mendengar pertanyaan Mbak Husna, salah satu penjahit andalanku karena jahitannya super halus. Umurnya baru 29tahun, tapi anaknya sudah dua, dan sudah sekolah semua. Perbedaan umur kami memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja Mbak Husna jauh lebih tua, mana kesan yang ditampilkan keibuan banget lagi. Jadi rasa-rasanya terdengar tidak sopan jika aku hanya memanggil Husna saja.
Baiklah, mari aku perkenalkan karyawanku yang lain.
Selain Mbak Husna, aku masih punya satu penjahit andalanku yang lain. Namanya Jihan, umurnya baru 24th. Manis, kalem, nurut, nggak banyak tingkah, dan single. Dan yang terakhir ada Sandra.
Sandra bukan penjahitku, tapi dia semacam orang kepecayaanku yang memonitor keuangan. Dan orang yang membantuku mengurus ini itu, bisa dibilang dia assisten pribadiku.
"Kangen kalian," sahutku asal.
Mbak Husna langsung terbahak.
Sebelum akhirnya mendengkus samar.
"Nggak percaya aku. Paling juga karena pengap itu kupingnya," celetuk Mbak Husna.
"Pengap kenapa, Mbak?" tanya Jihan bingung. Pandangannya melirikku dan Mbak Husna secara bergantian.
Mbak Husna meringis ke arahku kemudian menggeleng. "Uwes, ayo lek dhang mancal. Ora usah digagas."
Aku hanya **** senyumku, melihat tingkah gugup Mbak Husna.
"Lah, gimana si Mbak Husna ini. Aneh," gerutu Jihan, kembali mendudukkan pantatnya di kursi dan mulai kembali menjahit.
"Kenapa nggak pada libur?"
Mbak Husna dan Jihan menghentikan kegiatannya, kemudian mendongak ke arahku.
"Emang ini hari apa, Mbak?" tanya Jihan.
"Minggu."
"Ah, masa, Mbak?"
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa saat mendengar pertanyaan polos Jihan. Yang membuat Mbak Husna berdecak sembari melirik Jihan tajam.
"Makanya punya pacar, Han," celetuk Mbak Husna yang membuatku tertawa kecil.
"Lah, apa hubungannya nggak punya pacar sama lupa hari? Nggak ada hubungannya Mbak Husna-kuhh."
"Jelas ada dong. Kalau kamu punya pacar, minimal kamu pasti bakalan selalu nunggu hari sabtu, otomatis kamu hafal sama hari," kata Mbak Husna yang membuatku geleng-geleng kepala.
Mereka berdua ini sering banget beda pendapat yang berakhir pada adu mulut tak berkesudahan. Tapi untungnya nggak pernah mempengaruhi kinerja mereka. Itulah, alasan kenapa aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Kalian udah makan? Mau jajan?" tawarku yang langsung diangguki Jihan dengan semangat.
"Han, kamu abis makan soto sama gorengan lima ribu. Masih mau nambah?" sindir Mbak Husna sebelum menggeleng padaku. "Nggak usah, Mbak. Kita baru aja jajan tadi," lanjutnya yang membuatku mengangguk paham dan memutuskan untuk pamit ke atas.
Begitu sampai di atas, aku langsung masuk ke kamar. Meletakkan tasku di atas meja rias dan menjatuhkan diriku di atas kasur.
Tubuhku benar-benar terasa lelah karena menyetir. Dan aku benar-benar butuh tidur saat ini.
Namun sayang, semesta sedang tidak ingin bersahabat denganku.
Getaran benda pipih dari tas yang tadi kuletakkan di atas meja rias, berhasil membuatku gagal menikmati nikmatnya bergelung dengan mimpi. Dengan erangan tertahan, aku pun beranjak bangun, meraih tas kecilku dan mengeluarkan ponselku.
Terdapat dua panggilan suara dan satu panggilan video call dari Kenzo. Setelah itu disusul pesan teks yang Kenzo kirimkan.
My Luv Ken💞:
Belum nyampe?
Me:
Udah.
Me:
Udah otewe bobo
malah 😪😪
My Luv Ken💞:
Aku ganggu dong?😳
My Luv Ken:
Maaf.
Ya udah, sekarang mandi
Terus dilanjut bobonya😊
My Luv Ken💞:
👋 bye2
Luv U syang 😚
My Luv Ken💞:
Sampai ketemu nanti
malem😙💏
Me:
😥😥
Me:
Spam terossss😒
Me:
👋😗😴
My Luv Ken:
😂😂
Aku hanya tersenyum saat membaca balasan dari Kenzo. Niatan untuk sekedar membalas pesan Kenzo pun, tak kulakukan karena kantuk yang makin memdera. Tanpa sadar pun genggaman ponsel di tanganku terlepas dan aku pun masuk ke alam mimpiku setelahnya.
Tbc,
*****
Aku menggeliat saat merasakan sebuah tangan melingkari pinggangku. Dengan sedikit tak rela aku membuka kedua mata, yang sebenarnya masih sangat mengantuk. Baru kemudian membalikkan badan, dan menemukan Kenzo dengan kedua mata terpejamnya.
Tanpa sadar, aku tersenyum. Tangan kananku terulur untuk menyentuh pipinya dan mengelusnya perlahan. Membuat Kenzo menggeliat karena merasa terusik.
"Kapan nyampe?" bisikku lalu memindahkan tangan kananku ke pundaknya.
"Baru aja. 20 menit yang lalu mungkin." Kenzo mengedikkan bahunya dan kedua matanya masih terpejam. Kemudian kembali bersuara tanpa perlu repot-repot membuka matanya. "Sholat dulu sana! Aku mau tidur bentar." Tangan kanannya yang tadi merangkul pinggangku kini ia selipkan di antara kedua lututnya.
Aku mengangguk, "Dingin ya?" tanyaku saat mendapati tubuh Kenzo yang semakin meringkuk, khas orang dingin. "Perlu aku matiin AC-nya?"
Kenzo menggeleng, "Jangan! Nanti gerah."
"Ya udah, pake selimutnya kalo gitu."
Kenzo hanya mengangguk dan menjawab dengan gumanan. Sementara aku memutuskan untuk turun dari kasur.
Kulirik jam weker yang ada di meja rias dan sukses membuat kedua mataku membulat dengan sempurna.
20:49 WIB.
"Astaghfirullah! Ini udah malem?" seruku panik.
Kenzo menyipitkan matanya, karena terlalu males untuk membuka mata, "Lebay! Aku kan tadi bilangnya mau ke sini kalau udah malam, sayang. Kenapa gitu banget deh?" gerutunya kesal. Kemudian membalikkan badannya untuk mencari posisi nyaman.
"Bukan gitu, Ken, maksud aku kalo ini udah malem, itu artinya aku udah ngelewatin sholat azhar dan juga maghrib."
Kenzo langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku, setelah mendengar jawabanku. Kedua matanya melotot sambil berdecak.
"Kamu sampai sini emang belum masuk waktu Azhar?"
Aku meringis sembari menggaruk tengkukku. Sementara Kenzo mendengkus sebelum membanting kepalanya kembali di atas bantal.
"Udah sana, mandi! Terus sholat isya', minta ampun sama Allah karena udah melalaikan kewajiban-Nya."
Aku mengangguk disela ringisanku. Mengambil handuk dan juga piyama, baru kemudian berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Butuh waktu sekitar 20 menit, aku akhirnya menyelesaikan mandi dan menunaikan ibadah sholat isya'. Setelah itu aku kembali ke kamar dan menemukan Kenzo masih tertidur pulas di kasur.
Aku tersenyum sembari menggeleng, melihat tubuhnya yang meringkuk tanpa selimut.
"Ken, aku lapar. Kamu mau sesuatu?" tanyaku sembari duduk di tepi kasur.
Kenzo mengangguk, masih enggan untuk membuka matanya. "Bentar, 5 menit lagi. Kamu jangan masak atau order delivery. Aku yang masak, tapi nanti. Bentar lagi," ucapnya kemudian.
"Tapi kamu keliatan capek gitu. Biar aku aja ya?" tawarku yang tidak disetujuinya.
Kenzo langsung menggeleng. "Sabar, sayang. 5 menit lagi kok. Kamu laper banget emang?"
"Bukan gitu. Tapi--"
Kalimatku terhenti karena Kenzo yang tiba-tiba terbangun. "Udah. Mau makan apa?" tawarnya sembari menatapku lembut.
Aku tersenyum penuh haru dengan perhatian ini.
Ugh!
Gimana aku nggak tambah cinta deh, kalau punya pacar seperhatian ini.
"Ditanya malah senyam-senyum. Jawab, yang!"
"Kamu pengen banget masak, ya?" tanyaku memilih mengabaikan kalimatnya.
"Kalo ditanya itu dijawab, sayang. Bukan malah balik tanya," gerutunya sambil turun dari kasur. Berjalan keluar kamar, menuju dapur. Sementara aku hanya mengekor di belakangnya.
Dapurku bisa dibilang bercampur dengan ruang tamu. Sebenarnya aku tak begitu yakin untuk menyebutnya dapur. Karena di sana hanya ada meja untuk menaruh kompor dan juga rice cooker. Lemari gantung untuk menaruh piring, gelas dan peralatan dapurku yang tak seberapa. Wastafel untuk mencuci piring, dan kulkas untuk menaruh bahan makanan. Terdengar seperti dapur sungguhan sih memang, tapi entah kenapa di mataku tetap tak terlihat seperti dapur sungguhan. Karena kegunaannya yang tak banyak selain untuk mencuci piring dan memanaskan makanan. Ya, hanya itu. Bisa dibilang aku sangat jarang memasak. Pembatas ruang tamuku dan juga dapur hanya meja konter yang berjarak sekitar 4 meter. Sementara meja kerjaku tepat bersebelahan dengan kamar tidur.
"Kamu duduk aja di sana!" ucap Kenzo sembari menunjuk sofa.
Aku yang baru saja sampai di meja konter pun mengerutkan dahi bingung.
"Duduk di sana, sayang!" katanya sekali lagi.
Baiklah, kalau didengar dari nada bicaranya. Perintah Kenzo tak boleh dibantah. Maka dengan patuh, aku berbalik dan berjalan menuju sofa.
"Kalau butuh bantuan, bilang ya," kataku sembari menyalakan televisi, sedikit melongok ke arahnya yang sibuk mencari sesuatu di dalam lemari gantungku.
"Cari apaan?" tanyaku berniat menghampirinya.
"Panci. Dan udah ketemu," katanya sembari menunjukkan panci kecil yang aku sendiri tak menyadari pernah memilikinya.
Aku mengangguk paham, kembali mendudukkan pantatku di sofa saat Kenzo mengacungkan jempolnya. Pertanda jika ia tak membutuhkan bantuanku sama sekali.
Tak lama setelahnya, Kenzo memanggilku, mengintruksi jika masakannya sudah selesai. Dengan raut wajah bingung aku beranjak dari sofa menuju dapur.
"Kok cepet?" tanyaku heran.
Kupandangi wajah Kenzo yang kini sedang nyengir, menambah kerutan di dahiku.
"Tadi aku beli soto daging sama gorengan. Tinggal ngangetin doang," akunya dengan wajah cengengesannya.
Aku menahan nafas sejenak sebelum menggeleng tak habis pikir. Pantesan aja cepet.
"Astaga!" responku secara spontan.
Kenzo mendelik tak suka. "Astagfirullah!" koreksinya dengan wajah kesal.
"Hehe, iya, itu maksudnya," cengirku sebelum menyomot tempe mendoan dan langsung mengigitnya. "Astagfirullah."
"Cuci tangan dulu, sayang!"
Aku kembali nyengir saat mendapati pelototan tajam darinya. Dengan patuh, kuletakkan tempe mendoan itu kembali di atas piring, lalu bergerak menuju westafle dan mencuci tanganku di sana.
"Tanganku bersih tau, Ken. Kamu cerewet banget sih kayak Ibu," keluhku sembari mengelap tanganku menggunakan kain serbet bersih.
"Bersih apanya? Orang kamu abis pegang remote tv gitu," dumelnya seraya mengaduk-gaduk kuah sotonya. "Kurang pedes," lanjutnya setelah menyeruput kauh sotonya.
Aku melotot saat mendapati tangannya aktif menyendok sambal. Dengan gerakan gemas, kupukul lengannya.
"Udah. Itu kebanyakan. Kamu bisa sakit perut, Ken," omelku seraya merebut mangkuk kecil yang berisi sambal. Untuk dituangkan ke mangkukku. "Kamu beli sambal juga? Kok dapet banyak gini sambelnya?"
"Itu kamu juga kebanyakan!" protes Kenzo tak terima. Kembali merebut mangkuk berisi sambal. Mengabaikan pertanyaanku tadi.
Begini lah kegiatan kami saat lagi bersama. Lebih banyak dihabiskan dengan berebut. Mulai dari berebut sambal seperti sekarang ini, berebut makanan, berebut remote hingga berebut kamar mandi. Meski yang satu ini jarang ya, karena kami tidak tinggal bareng. Eh, belum maksudnya.
"Perut kamu kan nggak tahan pedes," gerutunya sembari menuangkan sambal ke dalam mangkuknya lagi.
Aku memang suka pedas sih, kayak Kenzo. Tapi untuk masalah perut, benar kata Kenzo kalau perutku tidak tahan pedas. Meski mulutku masih sanggup makan yang pedas-pedas, tapi perutku lebih sering memprotes jika aku makan terlalu pedas. Ya seperti orang Jawa bilang kapok lombok, kapok yang bikin ketagihan gitu.
"Malah ngelamun, abisin! Nanti keburu dingin. Aku susah-susah manasin loh."
"Astagfirullah!"
"Nah, gitu kan cantik," ujarnya sembari mengacungkan jempolnya. Kemudian mengalungkan lengannya di leherku dan memberikan kecupan di pelipisku.
"Bibir kamu berminyak, Ken!" amukku yang justru tak diabaikannya. Bahkan tanpa berdosa dia malah tertawa terbahak-bahak.
Ugh!
Menyebalkan.
****
Setelah perut kami kekenyangan, kami memutuskan untuk bersantai sembari menonton acara tv yang sebenarnya tidak benar-benar kami tonton. Karena sedari tadi kita malah sibuk ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas.
"Besok sibuk?"
Aku mengangkat kepalaku, "Kenapa?" tanyaku heran.
Tak biasanya Kenzo bertanya tentang kesibukanku. Karena biasanya ia selalu paham kalau aku memang sibuk. Masih dengan kerutan di dahi, aku menanti jawaban Kenzo.
"Mama ngundang kamu besok. Tapi kalo kamu sibuk datengnya malam aja, nggak masalah."
"Ada acara apaan emang? Pengajian rutinan?"
Kenzo menggeleng, "Bukan. Acara lamaran Kesha. Mama minta kamu bantu-bantu di sana, cuma kalo kamu-nya nggak sibuk. Kalau sibuk, ya nggak usah. Di sini aja, kerja. Biar cepet kekumpul duit buat resepsinya." Dengan tanpa dosanya, ia malah memainkan kedua alisnya naik turun.
Sementara aku memilih diam, karena tak tahu harus merespon bagaimana. Perasaan bersalah tiba-tiba menghampiriku. Kesha yang umurnya 5 tahun dari Kenzo saja sudah lamaran. Sedangkan Kenzo masih harus menunggu aku yang entah kapan siapnya untuk dilamar.
"Melamun?"
Aku tersentak dari lamunanku, kemudian menggeleng pelan, "Maaf," kataku kemudian.
Kenzo menaikkan kedua alisnya hingga membuat kerutan di dahinya. "For what?"
"Everything."
"Semuanya?" ulang Kenzo setengah menyindir.
Aku tersenyum kecut sembari mengangguk sebagai tanda jawaban.
"Kamu udah nggak cinta sama aku?"
"Eh, kok ngomongnya gitu?" protesku nggak terima. Enak banget dia main ngambil kesimpulan sendiri gitu.
"Iya, itu. Kamu pake minta maaf segala, bukannya dalam cinta itu nggak ada kata terima kasih dan maaf, ya? Kamu lho yang ngomong gitu. Udah lupa?"
Aku tersenyum kala mendapati wajah cemberut Kenzo yang diiringi dengkusan kecil. Kami memang sepakat tidak akan menggunakan kata maaf dan juga terima kasih selagi kami masih bersama. Yang kata Monik apa yang kita sepakati kami ini aneh dan tidak manusiawi.
"Oh, jadi bener udah nggak cinta?"
Aku makin terbahak melihat ekspresinya saat ini. Astaga, eh, astaghfirullah maksudnya. Kok gemes ya, jadi pengen nyium.
"Ck. Malah ketawa." Kenzo kembali berdecak.
"Sayang kamu," bisikku tepat di telinga kirinya. "Aku minta maaf karena belum bisa nerima lamaran kamu," lanjutku, merasa bersalah.
Kenzo langsung mencibir, "Minta maaf lagi. Lagian siapa juga yang mau lamar kamu."
"Astaghfirullah! Jahatnya," rajukku pura-pura ngambek.
Kini giliran Kenzo yang tertawa. Dengan gerakan gemas, ia mencubit kedua pipiku. Mengabaikan pekikanku karena cubitannya.
"Sayang kamu juga," bisiknya setelah mengecup bibirku sekilas. "Dengar baik-baik! Aku nggak masalah meski harus dilangkahi Kesha. Asal kamu tetap menjadi mempelai wanita untukku kelak. Aku juga nggak masalah meski kamu belum berkeinginkan menikah sekarang atau dalam waktu dekat. Asal kelak, kamu yang akan menjadi istri dan juga ibu dari anak-anakku. Selama kamu masih mau bareng aku sampai menua, aku nggak masalah gini-gini aja. Aku cinta kamu."
Aku merasakan bibirku basah saat bibir Kenzo menempel di bibirku. Dengan spontan, aku menutup kedua mataku saat bibir Kenzo mulai bergerak perlahan. Ciuman kami berlangsung tidak lama karena kami sama-sama mulai kehabisan nafas.
"Maaf," bisik Kenzo disela kekehannya.
Dengan gerakan sigap ia mengelap bibirku yang sedikit membengkak karena ulahnya.
"Nakal," geramku sembari mencubit pinggangnya. Kenzo mengaduh sebentar sebelum akhirnya kembali terkekeh.
"Hehe, khilaf, yang. Tapi untung nggak sampai keblabasan ya?"
"Ya, mana aku tahu orang kamu masih di sini. Bisa aja abis ini kamu gelap mata abis ini."
"Oh, kode 919. Diusir halus. Oke, aku pulang ya?"
Tanpa menunggu jawaban dariku, Kenzo langsung beranjak dari sofa. Membuatku ikut berdiri.
"Mau nganter?" tanyanya saat Kenzo menemukan aku berdiri di belakangnya.
Aku mengangguk.
"Ohya, jadi besok kamu bisa datang sebelum acara atau pas acara aja?"
"Sebelum aja, aku masih agak lowong kok. Kan masih dalam masa liburan, ceritanya."
"Oke. Besok aku jemput ya?"
Aku tersenyum sembari mengangguk mengiyakan.
"Pulang dulu, ya. Jangan kangen," kedip Kenzo genit sebelum mencium keningku dan masuk ke dalam mobilnya.
Aku mengangguk, "Udah sana pulang!" usirku setengah bercanda.
"Siap. Sana masuk, di luar dingin."
"Iya. Hati-hati!"
Tbc,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!