NovelToon NovelToon

Mendadak Nikah

Sesuatu di pinggir sungai

Zena Widia Septha gadis cantik berwajah oriental, berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas.

Zena tinggal berdua dengan sang nenek yang bernama Mutia, akrab disapa nek Uti disebuah rumah sederhana peninggalan mendiang kakeknya juga sepetak sawah yang tidak begitu luas untuk menyambung hidup.

Orang tua Zena telah meninggal dunia sejak dirinya duduk di kelas empat sekolah dasar karena kecelakaan.

Ditinggal orang tua sejak kecil menjadikan Zena pribadi yang mandiri & pemberani & tangguh, dia juga sangat menyayangi nenek Uti yang merupakan satu satunya keluarga yang ia punya.

Sejak memasuki sekolah menengah pertama gadis dengan tinggi badan 170 cm itu mulai belajar ilmu bela diri.

Sore itu Zena tengah asik memukul samsak ala kadarnya yang terbuat dari karung dan diisi pasir.

"Widi!" Panggil nek Uti dari ambang pintu.

"Ya Nek," sahut Zena menoleh seraya menyeka keringat di pelipisnya menggunakan tangan.

"Mari temani nenek ke sungai."

"Udah sore nek, buat apa?"

"Mau pasang bubu (alat penangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu), siapa tau dapat banyak. Bisa buat makan sisanya di jual," Tukas nek Uti.

"Huh dasar nenek!" bisik hatinya lalu menghampiri sang nenek.

Nenek dan cucu tersebut melenggang ke sungai meskipun senja mulai menyapa, warna jingga yang terlukis di langit tidak menyurutkan niat nenek tua yang keras kepala tersebut.

Beruntung jarak rumah dan sungai tidak begitu jauh, cukup berjalan sekitar lima menit sudah sampai.

Sesampainya di tempat tujuan Zena dan nek Uti langsung memasang bubu pada berapa titik.

Ekor mata Zena menangkap sesuatu di pinggir sungai di bawah rerumputan, karena penasaran dirinya mendekat, menyibak rumput rumput yang menutupi dan seketika tubuhnya lemas di serang rasa takut. Ingin lari tapi akinya seperti terpaku.

"Aaaaa!" pekik histeris Zena mengejutkan sang nenek, nek Uti tergopoh gopoh mendekati cucunya yang menjerit sambil menutup mata.

"Ada apa ada apa? " tanya nenek Mutia panik pasalnya Maghrib segera tiba.

"Ada mayat! " ucap Zena bergetar.

"Astagfirullah! " ucap nenek reflek menutup mulut menggunakan tangan,lalu memberanikan diri memeriksa keadaan pemuda yang terbaring pucat menggunakan tersebut.

"Dia masih hidup!" tukas nek Uti memandang Zena yang membuang nafas lega.

Zena memang jago bela diri, mampu mengalahkan 5 preman sekaligus tapi kalau sudah berhadapan dengan makhluk tak kasat mata nyalinya langsung ciut.

"Ayo kita bawa pemuda ini ke rumah! " titah nek Uti.

"Untuk apa nek? lihat saja wajahnya seperti mayat ada Luka pula sudah mirip zombie."

"Kalau dia orang jahat bagaimana? tiba-tiba komplotannya datang merampok kita bagaimana nek? bayangkan betapa ngerinya!" cerocos Zena dengan wajah yang mendrama.

"Sudah! tidak usah berfikir macam-macam, kau terlalu banyak nonton film." Nenek Mutia mengibaskan tangannya.

"Itu namanya waspada Nek!"

"Ayo kita pulang Nek, tinggalkan atau hanyutkan saja dia, takutnya ini jebakan!" Menarik tangan nenek Mutia hendak keluar dari air namun sang nenek tak bergeming.

"Astagfirullah... Widi! nenek tidak pernah mengajarimu seperti itu. Dimana hati nurani mu? " Tatapnya dengan wajah sangar & terpaksa Zena menuruti perintah nenek.

"Iya nek, baiklah Widi bantu."

Zena dan nenek Mutia terseok-seok membopong pemuda bertubuh besar dengan tinggi kisaran 187 cm tersebut.

"Ini manusia apa gajah sih, berat sekali? Huh berat dosa kali ya? " gerutu Zena dalam Hati sambil memutar mata malas.

Sesampainya di perkampungan Adzan maghrib sudah berkumandang, segera mereka masuk ke dalam rumah lalu membaringkan pemuda tadi di atas kursi panjang yang terbuat dari kayu.

"Dingin sekali!" gumam nenek Mutia lalu memerintah Zena mengambilkan bantal dan selimut untuk pria yang terbaring itu.

Zena menyerahkan sebuah bantal dan kain bermotif batik pada nenek yang kemudian langsung diselimutkan ke tubuh sang pemuda hingga ke leher.

"Widi! nenek mau shalat maghrib dulu habis ini mau keluar cari obat dan minyak angin," ujar nenek bangkit dari kursi.

"Iya Nek, barengan aja Widi juga mau shalat!"

*****

Selepas shalat, nenek Mutia meninggalkan rumah menuju warung, sementara Zena di tugaskan menjaga si pemuda kalau kalau dia sadar.

"Hei! Apa yang terjadi padamu hingga sampai ke desa ini" Zena bermonolog sendiri sambil memandang ke arah orang yang terbaring.

Zena duduk di seberangnya, dengan sebuah meja menjadi pemisah.

"Kalau kau masih hidup ayo bangunlah, buka matamu!" monolog Zena lagi.

"Sebentar coba aku cek lagi, siapa tau nenek salah maklum sudah tua," ujar Zena lalu tertawa kecil yang dapat terdengar oleh dirinya sendiri.

Zena mendekati pria terbaring itu, mengamati wajahnya yang ternyata tampan juga pikirnya. Rasa penasaran mendorong Zena untuk meletakkan jari telunjuk di bawah hidung si pemuda untuk memastikan ada tidak udara yang keluar, satu.. Dua... Tiga.. Zena menghitung namun tak ada tanda tanda pernapasan.

Seketika bulu kuduknya berdiri, rasa takut langsung menyelimuti dirinya, ingin lari namun kaki tak bisa melangkah hanya lutut yang gemetar.

"Astaghfirullahaladzim... ternyata dari tadi aku menemani hantu," ucapnya dengan suara bergetar dan wajah pucat.

"Ya Allah.. Ya Allah... Tolong aku! " pekik Zena namun suaranya hanya tertahan di tenggorokan.

"Bis-bis-bismillah ...

Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar Aamiin!" Zena membaca doa sangat gugup hingga lupa doa apa yang ia panjatkan karena otaknya tiba tiba nge-blank.

Dengan tenaga yang tersisa dirinya mati matian menyeret kaki yang menempel erat pada lantai, berpegangan pada meja namun karena gemetaran kakinya malah tersandung pada kaki meja membuat tubuh Zena jatuh menimpa badan si pemuda.

Disaat bersamaan mata pemuda tersebut terbuka, dia sadar dari pingsannya.

Mata mereka bertemu bertatap intens "hantuuu!" Zena berteriak histeris lalu reflek berlari ke arah pintu, entah itu keberanian atau terlalu ketakutan.

Nenek Mutia muncul dari balik pintu, beliau baru kembali dari warung.

"Ada apa Widi?" tanya nenek Mutia bingung.

"I.. I.. Itu mayat hidup." Tunjuk Zena kearah pemuda yang sudah terduduk itu dari balik badan sang nenek.

"Ish kau ini dasar penakut!"

Nenek Mutia lalu menghampiri si pria diikuti Zena di belakangnya yang menempel bak perangko.

"Duduk!" titah nenek pada cucunya.

"Tidak mau! Takut nanti dia mencekik," ucap Zena pelan di telinga nenek masih dengan posisi yang sama.

"Widi! Dia manusia bukan hantu! " tegas nenek.

"Ya sudah, Widi kau tolong buatkan teh hangat untuknya," titah nenek.

"Baik Nek! " Zena langsung mengambil langkah lebar menuju dapur.

Pemuda itu tampak linglung, nenek Mutia mulai menanyainya. Untuk beberapa saat si pria diam namun tak berselang lama ia membuka suara, untung dia tidak amnesia karena kecelakaan itu.

"Badanku sakit semua!" bisiknya dalam hati.

"Namaku Satya nek, aku terpisah dari rombongan ketika melakukan penjelajahan hutan. Aku sangat bersyukur diselamatkan oleh orang baik seperti nenek. Terima kasih," ucapnya tulus.

"Oh begitu ya, sebaiknya kamu istirahat dulu, pasti kamu sangat lelah."

"Iya nek terima kasih." Satya memeluk badannya kedinginan dengan baju basah masih menempel di tubuhnya.

Nenek Mutia beranjak dari tempat duduk  berjalan menuju kamarnya, semetara Zena belum juga selesai membuat teh panas.

Rupanya sedari tadi Zena mengintip nek Uti & Satya mengobrol untuk memastikan dia benar benar manusia " Aman! kakinya napak." gumamnya.

"Semoga dia orang baik," Doa Zena dalam Hati.

Nenek Mutia keluar dari kamar membawa pakaian lalu menyerahkannya pada Satya.

"Apa ini nek? " Meraih pakaian tersebut.

"Ini baju almarhum kakek, kamu bisa pakai ini dulu biar tidak masuk angin.

Memang bajunya mungkin agak kekecilan tapi untuk celana sepertinya tidak ada yang cukup untukmu, jadi pakai sarung ini  dulu," jelas nenek Mutia panjang lebar.

"Terima kasih nek, " ucapnya tulus lalu menanyakan letak kamar mandi.

Selepas kepergian Satya Zena datang membawa secangkir teh panas, meletakkan di atas meja lalu duduk samping nenek.

"Kau ini lama sekali bikin teh saja, apa kau bertelur dulu!" tukas Nenek.

"Maaf Nek, hehe," hanya kata itu yang keluar dari mulut gadis cantik itu.

Tamu di siang bolong

Satya kembali, mengenakan baju lengan pendek kombor kombor dan kain sarung yang seperti orang habis sunat.

Penampilan yang lucu membuat Zena terbahak dalam hati namun di bibirnya menahan agar tak kelepasan.

Setidaknya baju over size dan sarung itu dapat menghangatkan tubuh dari pada harus memakai baju basah miliknya tadi.

Satya meringis karena ada beberapa luka dibagian tubuhnya termasuk wajah, spertinya dia terkena kayu atau bebatuan tajam hingga merobek kulitnya.

Satya mengobati luka lukanya dengan salep dibantu oleh nenek dan Zena.

Selesai diobati Satya menarik selimut lalu tidur, dirinya belum kepikiran rencana kedepannya apa yang saat ini dia hanya ingin istirahat.

Satya tidur di kamar Zena, karenanya jika malam udara di desa itu akan terasa sangat dingin.sementara Zena tidur dengan nenek Mutia.

Tentu saja ia kesal dengan kehadiran pria asing itu yang menyita perhatian nenek juga merebut kamarnya, namun tak berani membantah sang nenek.

"Huh! Menyebalkan sekali! Semoga saja dia cepat sembuh dan segera kembali ke asalnya!" gerutu Zena dengan mata tertutup namun belum tidur.

Nenek memiringkan badan namun rambutnya mengenai wajah Zena, langsung saja dirinya mengerutkan kening karena bau tak sedap dari rambut sang nenek.

"Aduh Nenek ini rambut sudah berapa tahun tidak di keramas, bau sekali! Sangit!" bisik hatinya sambil menyingkirkan rambut nenek, lalu memiringkan badan membelakangi sang nenek, mereka saling memunggungi sekarang namun wanita tua itu sudah lama terlelap.

Pagi pagi sekali nenek Mutia sudah kembali dari sungai dengan wajah sumringah karena mendapat banyak hasil tangkapan.

Nenek tua tersebut seakan tak merasakan dingin sama sekali, atau mungkin dirinya sudah kebal.

Zena yang baru bangun melihat nenek sibuk berkutat di dapur dengan ikan ikan lantas ia melirik jam dinding untuk memastikan apakah dirinya kesiangan? namun di luar belum terang sepenuhnya, atau cuaca sendang mendung?

Jarum jam menunjukkan angka lima pagi "Dasar nenek ajaib! Aku yang muda saja menggigil," bisik hati Zena sambil menenggak segelas air putih.

"Ada yang bisa dibantu nek? " tawar Zena mendekati sang nenek yang sibuk memisahkan ikan untuk dimakan dan dijual.

Nenek hanya menyuruh Zena memasak ikan yang sudah dipisahkannya, cucunya tersebut menurut saja langsung melaksanakan perintah.

Matahari sudah mulai siang, Satya membuka mata akibat terkena pancaran cahaya  yang menyelinap dari celah dinding.

Menggeliat lalu melakukan peregangan otot yang menimbulkan bunyi sendi sendinya.

"Jam berapa ini?" bisik hatinya. Masih belum beranjak dari tempat tidur, mengumpulkan energi untuk berjalan keluar kamar karena badannya terasa seperti remuk.

Di seretnya kaki yang terasa berat melangkah ke luar, melirik jam dinding menunjukkan angka sembilang pagi. Rumah nampak sepi seperti tak berpenghuni, hanya terdengar suara ayam tetangga yang berisik.

"Kemana semua orang? " tanya hatinya sambil mencari kesana kemari termasuk belakang rumah, siapa tahu Zena ada di sana.

Tak berselang lama nenek Mutia datang, entah dari mana beliau "Kau sudah bangun rupanya," tukas nenek.

"Iya nek, maaf sepertinya aku kesiangan," ucap Satya merasa tak enak hati, anak bujang kok bangun siang pikirnya.

"Oh tidak apa-apa nenek mengerti, kalau mau istirahat lagi juga tidak apa-apa. Pulihkan dirimu, tapi sebelum itu makanlah dulu!"

"Iya nek, terima kasih," Satya mengembangkan senyum canggung ke arah nenek tua yang duduk di seberang kursinya.

"Apa mau diambilkan?" tanya nenek melihat anak muda tersebut masih diam berada di tempat duduk.

"Ah, tidak usah Nek, Satya ambil sendiri saja." Beranjak menuju dapur diikuti oleh sang nenek.

Sementara itu Zena sedang berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan ikan hasil tangkapan nenek dengan menggunakan sepeda ontel peninggalan kakek.

"Ikan ... Ikan ... " teriak Zena penuh semangat sambil mengayuh sepeda.

"Ikan segar baru ditangkap, mari beli bu ibu .... "

"Pasti segar seperti yang jual dijamin tak akan nyesal!"

Dalam waktu berapa jam ikan ikan tersebut habis terjual, Zena tersenyum bangga melihat hasil kerja kerasnya hari ini "Alhamdulillah." lalu memasukkan lembaran uang ditangan ke dalam tas kecilnya.

"Hidup dikampung enak juga ya? Suasana damai, alamnya masih asri, semua benar benar masih alami," bisik hati Satya yang kini duduk di bawah sebuah pohon sambil menatap langit biru, juga sesekali matanya memperhatikan sepasang burung yang bermain di ranting pohon.

Hembusan angin sepoi sepoi menerpa tubuh dan rambut menghipnotisnya akan susana alam desa tersebut.

Dua minggu berlalu...

Luka luka pada tubuh dan wajah Satya sudah sembuh meski meninggalkan bekas, berkat ketelatenan nenek dan cucu tersebut merawatnya.

Ia beruntung dipertemukan oleh tuhan dengan orang sebaik nenek dan Zena, ya walaupun Zena terkadang mengesalkan.

Rencana Satya minggu depan akan kembali ke kota asalnya, untuk semetara ia bekerja demi mendapatkan uang untuk ongkos pulang mengingat semua barangnya hilang. Tidak mungkin kan meminta pada nenek Mutia? Memalukan sekali pikirnya.

Ia bekerja di kebun ataupun sawah tetangga, baginya yang penting menghasilkan uang.

Seumur hidup Satya baru kali ini ia turun langsung membantu menanam jagung, menanam padi, memanggul hasil kebun dan lainnya yang pasti sangat melelahkan.

Menjelajah hutan itu seru namun,bekerja seperti ini merupakan pengalaman baru yang tak kan pernah terlupakan.

*****

"Zena...Zen!" teriak tiga manusia di depan rumahnya.

Zena yang hendak memulai tidur siang itu terusik, dirinya mendengus lalu membukakan pintu yang sudah diduga kalau itu adalah teman sepermainannya.

"Silahkan masuk!" ujar Zena sambil mengembangkan senyum yang dipaksakan, padahal dirinya sangat mengantuk.

"Kamu kemana aja sih Zen, kok sudah dua minggu gak ngumpul sama kita," tukas Nuril  seraya mendaratkan bokongnya di kursi kayu.

"Iya, seperti ditelan bumi aja tiba tiba ngilang!" sahut Mita yang duduk disebelah Nuril.

"Ehm, kita tidak dikasih minum apa Zen, rasanya kering amat!" tukas Andreas mengusap ngusap tenggorokannya.

"Oh iya, tunggu sebentar." Zena langsung melenggang ke dalam.

Tak lama kemudian Zena kembali dengan nampan berisi ditangannya lalu meletakkan satu toples keripik pisang dan air putih.

"Nah gini kan enak!" celoteh Mita langsung memutar tutup toples.

Mereka terus bercerita ria seperti teman yang sudah bertahun tahun tak bertemu, suara gelak tawa empat sahabat tersebut berhasil membangunkan Satya dari alam mimpinya.

"Nek Uti mana? " tanya Andreas sambil memasukkan keripik kedalam mulutnya.

"Paling di rumah nek Hawa, biasalah nenek nenek rempong!" jawab Zena sambil mengunyah.

"Aku harap kita nanti juga seperti mereka, tetap bersahabat sampai tua," ujar Mita yang diaminkan oleh mereka semua.

"Eh Zen, kamu belum jawab pertanyaan tadi!" ujar Nuril dengan nada sedikit jengkel.

"Pertanyaan apa?" sahut Zena ringan sambil mencomot keripik.

"Huh! Belum tua sudah pikun saja, itu lho kamu kemana ngilang selama dua minggu ini? " jelas Mita.

"Oh, itu.... " jawab Zena mengangguk anggukkan kepala.

"Itu apa? " sahut ketiganya kompak menatap ke arah sahabat satu itu.

"Aku sibuk!" jawab Zena asal.

"Bantu nenek?" timpal Andreas.

"Apalagi," jawab Zena cuek.

Satya beranjak dari tempat tidur lalu menuju dapur, tenggorokannya terasa kering, butuh air untuk menghilangkan dahaga namun ternyata air minum habis,

Ia lantas berjalan menghampiri Zena yang sibuk dengan teman temannya.

"Zen, air minumnya habis," ujarnya seraya memegang sebuah gelas.

"Aish! Ngapain sih bang Sat muncul disini, ah ela!" gerutu Zena dalam hati sambil memandang kesal pria yang tengah berdiri itu.

Sementara Nuril, Mita dam Andreas melongo

Tidak percaya mengapa ada pria di rumah Zena tampan pula. Dua gadis teman Zena menatap Satya kagum.

"Alamak....tampan sekali kakak ini!" gumam Mita yang terdengar di telinga Nuril.

"Kau benar Ril, mungkin dia seorang Aktor," bisik Nuril.

"Tapi aku tidak pernah melihatnya di tv?" sahut Mita juga berbisik.

"Lebih baik kita nikmati saja pemandangan yang menyejukkan mata dan hati ini," sahut Nuril yang mendapat anggukan dari temannya, "ho'oh jangan menyiak nyiakan kesempatan!" Keduanya lalu tertawa kecil yang dapat didengar oleh mereka saja.

Satya merasa aneh mendapat tatapan dari dua gadis itu, ia mengembangkan senyum canggung yang membuat hati dua gadis itu meleleh.

Semur jengkol

"Hem hem." Zena dan Andreas berdehem menyadarkan dua dara yang terpaku pada pesona seorang Satya.

"Oh, itu aku belum beli air," sahut zena seraya meraih gelas ditangan Satya, menuang air dari teko di atas meja lalu memberikannya.

"Terima kasih," ucap Satya tulus seraya ikut duduk di kursi.

Nuril dan Mita mengulurkan tangan bergantian mengajak pemuda tampan dengan brewok tipis tipis itu berkenalan.

"Kenalkan bang namaku Nuril Azura Permata."

"Satya!" ucapnya seraya menyambut tangan gadis tersebut sambil mengembangkan senyum.

"Aku Pramita Putri Danira Purnama wijaya"

Satya melakukan hal sama kepada Mita.

Zena tak lupa memperkenalkan teman laki lakinya juga.

"Bang Satya ini Andreas, Andreas ini bang Satya," ujar Zena sambil tangannya mengarah ke orang yang disebut.

"Abang! ibunya dulu hamil ngidam apaan sih? tukas Mita.

"Gak tau, soalnya masih dalam perut." sahut Satya ringan membuat Zena, Nuril dan Andreas menahan tawa "pfttt."

Mita mendengus kesal namun berusaha tak ditampakkannya, niat hati ingin menggombali si tampan eh malah gagal.

"Bang Satya suka makan nasi ya?" Kini giliran Nuril yang mencoba peruntungan.

"Iya, kenapa?" Jawab Satya santai.

"Soalnya abang kiyowo bangeeet," ujar Nuril dengan nada manja sambil menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk love ala korea.

Krik krik krik...

Suasana hening sesaat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nuril yang sangat aneh, mereka semua saling berpandangan lalu terbahak "Hahaha!"

"Apa hubungannya coba?"

"Terima kasih, kamu juga cantik!" sahut Satya dengan memuji kembali gadis aneh agar hatinya senang.

"Oh tuhan! Mimpi apa aku semalam? Dibilang cowok tampan ini aku cantik aa... Senangnya... " Jerit Nuril dalam hati sambil senyum-senyum sendiri seperti orang gila seakan tak ada orang di sekitarnya. sementara Mita memasang wajah cemberut karena gombalannya tak berhasil.

"Huh! Mode ulat bulu on," gumam Andreas memutar bola mata malas.

"Satu ulat yang aneh, apa dia salah makan daun? hehe." bisik hati Andreas sambil terkekeh.

"Ya Allah teman temanku yang bertingkah kok aku yang malu ya?" ucap Zena dalam hati sambil tersenyum miring seraya menundukkan kepala dengan tangan menyangga pelipis.

"Eh Zen bagaimana kamu ketemu sama dia sampai bisa tinggal di rumahmu? " tanya Andreas yang sudah dirundung rasa penasaran sejak tadi, mamun pertanyaan itu tertunda karena ulah teman centilnya itu.

"Oh itu, jadi begini ceritanya.... "

Zena menceritakan semuanya tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun, Satya juga ikut menjelaskan jika dirinya terpisah dari rombongan dan jatuh menggelinding ke jurang saat melakukan penjelajahan hutan.

Setelah sadar Satya mulai mencari jalan keluar dari hutan hingga ia menemukan sebuah sungai.

Rasa haus yang menggerogoti kerongkongan mendorong dirinya untuk minum dari sungai yang ada di depan matanya itu, namun naas nasib sial kembali menimpa pemuda tersebut, kakinya terpeleset saat sudah berada di bibir sungai, terbentur batu dan akhirnya tercebur ke dalamya. Satya yang lemas tak punya tenaga lagi untuk berenang & akhirnya tak sadarkan diri.

"Wah kuat juga kamu! Untung tidak ilang ingatan, m" tukas Andreas.

"Kasihan kamu bang kiyowo," timpal Mita.

"Iya, untung nenek sama Zena cepat nemuin Abang, kalau tidak... Ih tidak tau apa yang terjadi kalo misalnya hujan deras." Nuril ikut menimpali.

"Ya paling terbawa arus dan jadi almarhum," sahut Zena santai sambil mencomot keripik.

"Tega banget kamu Zen sama bang kiyowoku! " Kesal Nuril.

Perbincangan itu berlarut hingga sore, mulai dari gombalan, hal serius sampai hal hal tidak penting juga mereka bicarakan sebagai bahan untuk tertawa.

Tiba saatnya untuk teman teman Zena pulang, setelah berpamitan dengan pemilik rumah mereka melenggang meninggalkan kediaman Zena.

"Bau apa ini?" bisik hati Satya saat mencium aroma tidak sedap menusuk hidungnya, tidak mau ambil pusing dengan bau itu ia memilih masa bodoh.

Setelah kembali dari mengantarkan galon, Zena membantu nenek Mutia mengupas jengkol. Mereka akan masak semur jengkol sore ini, menu favorit keluarga.

Jengkol tersebut di beri oleh nenek Hawa karena nenek Mutia sudah membantunya tadi.

Saat makan malam tiba, makanan sudah terhidang sempurna di atas tikar anyam daun pandan.

Tidak ada meja ataupun kursi, mereka duduk lesehan.

Satya membulatkan mata dengan menu yang terhidang "Ha? Jengkol!" ucap Satya dalam hati.

Dengan semangat nenek Mutia membubuhkan nasi serta menyendok semur jengkol,sambal juga lauk lainnya lalu menyodorkan piring yang berisi itu pada Satya, ia tak sabar anak muda tersebut mencicipi masakannya.

"Ini, untukmu!"

"Aku?" Satya nampak kebingungan, dipikirnya tadi itu buat si nenek sendiri tapi ternyata buatnya.

"Ah nenek, aku ambil sendiri saja." Tolak Satya halus karena porsinya yang banyak sedangkan dirinya bukan pecinta jengkol.

Mencium aromanya saja kepalanya sudah pusing namun sedari tadi ia menahannya.

"Terima saja bang! sudah diambilkan juga. Itu berarti nenek menganggapmu seperti cucunya sendiri," tukas Zena.

Dengan terpaksa Satya meraih piring yang diberikan sang nenek apalagi mata nenek itu berbinar ketika ia menerimanya. tentu dirinya merasa tak enak menolak tadi, orang sebaik beliau harus kecewa dengan sikapnya pikir Satya akhirnya.

Satya menelan ludah melihat makanan di depan mata bukan karena tak sabar ingin menikmati namun ia merasa tak sanggup memasukkan makanan itu dalam mulutnya.

"Dimakan toh Bang! bukan cuma di lihat! " tukas Zena menyadarkan Satya dari pikirannya.

"Baca doa dulu," sahut Satya cepat.

"Kamu belum mencobanya, ini sangat enak! Kalau sudah makan kau pasti akan ketagihan seperti Widi," ujar nenek Mutia.

"Iya Nek." Satya tersenyum.

Suapan pertama mendarat di mulutnya, Satya memejamkan mata mati matian mendorong makanan tersebut agar bisa melewati kerongkongan dan segera sampai di lambung.

"Kamu kenapa?" tanya nenek melihat ekspresi Satya.

"E.. Enak nek," ucap Satya sambil mengacungkan jempol demi menyenangkan hati nenek tua tersebut.

"Alhamdulillah kalau kau suka, lain kali nenek akan buatkan lagi lebih banyak! "

"Uhuk uhuk." Satya kebengkelan mendengar penuturan sang nenek.

Zena segera memberikan segelas air putih pada Satya. "Makanya makannya pelan pelan tidak usah buru buru!"

"Iya maaf." Meraih gelas dari tangan Zena.

"Jangan khawatir, semurnya masih banyak!" Tukas nenek mengehentikan gerakan tangan yang hendak masuk ke mulut, dirinya salah paham mengira jika Satya kebengkelan karena buru buru takut kehabisan.

Satya membulatkan mata. "Oh tuhan! Bantu aku," jerit Satya dalam hati.

"Zen please habiskan! Habiskan! Jangan sisakan! Ayo habiskan! Ayo! ayo!" teriak Satya menyemangati dalam hati melirik Zena yang makan dengan lahap.

"Kenapa melihatku!" ketus Zena mengangkat kepala menyadari ada yang memandanginya.

"Ah tidak, aku lihat kamu makannya lahap sekali!"

"Tentu, ini adalah favoritku!"

"Hueek favorit igh..." bisik hati Satya.

Zena menaruh segelas teh hangat di depan atas meja " Bang ini tehnya di minum, nenek yang buatkan," ujar Zena.

"Iya, terima kasih," sahut Satya sambil memijat pelipisnya karena pusing, ditambah lagi bau yang keluar dari mulut gadis itu begitu menusuk hidung. Ia hanya bisa menahan napas dan bersabar.

"Bilang pada nenek, bukan aku yang buat."

"Sampaikan saja." Masih dengan posisi yang sama.

Satya menyeruput teh tersebut untuk menetralkan lidahnya yang terasa aneh.

"Seumur hidupku baru kali ini aku memakan buah itu yang ternyata rasa jengkol aneh tapi mengapa mereka sangat menyukai makanan tidak enak ini? Apalagi baunya juga busuk!" Tanya Satya dalam hati.

"Aduh perutku, kenapa juga terasa aneh? " Satya mengusap ngusap perutnya.

"Bruuut." Suara dengan nada panjang itu menyelip lewat celah pantat Satya, dirinya terkejut. "Loh kenapa begini?" Paniknya seraya matan melirik kesana kemari memastikan tidak ada nenek dan Zena, kalau ketahuan bisa malu pikir si pemuda.

Tak berselang lama suara itu kembali terdengar bahkan semakin sering dengan bau yang luar biasa. Satya saja menutup hidung mencium aroma kentutnya apalagi orang lain.

Menit berikutnya perutnya kembali terasa aneh dan mengeluarkan gas lagi. "Kenapa tidak bisa berhenti?" Suara hati Satya masih membekap hidungnya.

"Semoga saja nenek dan Zena gak kesini." Doanya dalam hati.

"Ah sudahlah, aku pura pura udah tidur aja!" Satya segera menghabiskan teh hangat lalu masuk ke dalam kamarnya.

Dirinya sudah terbaring namun angin masih saja belum berhenti untuk keluar dibarengi dengan suara merdunya, Satya merasa malu sendiri. Bisa gawat kalau nenek dan Zena mendengarnya apalagi kamar mereka sebelahan.

"Ternyata kentutku bau juga!" gumam Satya mengipas ngipaskan tangan di depan hidung mengusir aroma yang menyeruak dalam kamarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!