Pendahuluan
"AKU!"
Aku menepuk dadaku penuh rasa jumawa.
"Namaku Arkha Waradana. Tampan, berpengaruh dan punya banyak harta. Uang adalah segalanya bagiku. Apapun bisa kudapatkan dengan uang."
Seorang pria muda nan tampan tersenyum sumbang membanggakan dirinya.
Arkha Waradana, dia adalah seorang pria kaya raya pemilik perusahaan pengalengan ikan terbesar di kota itu.
Kekayaan yang dimilikinya adalah warisan dari orang tuanya. Dari kecil Arkha sudah terbiasa dengan kemewahan, dan dengan kekayaannya ia dengan mudah mendapatkan apa saja yang menjadi kehendaknya.
Didikan orang tuanya yang memang adalah pekerja keras membuatnya tumbuh menjadi seorang pria yang sangat ambisius. Apapun yang menjadi keinginannya harus bisa dia dapatkan meski dengan cara apapun.
Memiliki paras rupawan dan tubuh yang proporsional tentunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Arkha. Ditambah lagi dengan kekayaan yang dia miliki, tentu tidak sedikit wanita yang ingin dekat dengannya.
Akan tetapi, hanya ada satu wanita yang bisa menggetarkan hatinya.
Livina, seorang gadis dari keluarga sederhana yang merupakan sahabat dari masa kecilnya telah membuat Arkha jatuh cinta dan tergila-gila. Namun, Livina dengan tegas menolak cintanya, karena gadis itu sudah mempunyai tambatan hati yang lain. Bahkan, pria yang dicintai oleh Livina tidak lain adalah sahabat serta bawahan Arkha sendiri.
Bukan Arkha namanya kalau dia tidak berjuang mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Penolakan Livina justru membuatnya semakin berambisi memiliki gadis pujaan hatinya dengan berbagai macam cara.
Materialistis adalah sifat alamiah seseorang yang muncul ketika mereka ditawarkan banyak uang dan kemewahan. Apalagi disaat kehidupan mereka serba kekurangan serta memiliki banyak hutang.
Memanfaatkan hal itulah, Arkha berhasil menikahi Livina. Arkha menjerat orang tua Livina dengan hutang lalu mencari perhatian mereka dengan memberikan banyak uang, rumah serta pekerjaan yang layak. Hingga akhirnya semua yang dilakukan Arkha berhasil membuat orang tua Livina setuju menikahkan Livina dengannya walau mereka sendiri tahu kalau Livina tidak pernah mencintai Arkha. Harta sudah membutakan mereka.
Lalu apakah dengan uang Arkha akan mampu menemukan cinta sejatinya?
Atau akan ada wanita lain yang bisa menerimanya, meski harus hidup sederhana bersamanya?
_______________________
Eps. #1 Awal Kisah
Arkha POV
Aku berdiri di depan cermin besar di kamarku, ku pandangi tubuhku yang masih tanpa busana. Dari bayangan cermin, tatapanku ku arahkan kepada seorang wanita yang tengah duduk di atas ranjang memangku wajahnya dengan kedua lututnya.
Perlahan ku raih pakaianku yang berserakan di lantai dan ku kenakan celana pendekku. Namun, aku masih bertelanjang dada, lalu ku hampiri wanita itu dan ikut duduk di tepi ranjang.
Saat ku dekati, dia semakin erat memeluk kedua lututnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya, karena dia juga sedang tak memakai sehelai benangpun saat itu.
Ku tatap wajahnya yang tampak penuh penyesalan, air matanya terus mengalir di pipinya dan dia menundukkan wajahnya, membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya. Perlahan ku angkat dagunya dengan dua jariku lalu kuusap air mata itu dengan lembut. Namum, dia justru menatapku dengan rona kebencian di wajahnya.
"Kamu jahat, Arkha! kau sudah merenggut kesucianku!" hanya kata itu terucap ketus dari bibirnya yang bergetar menahan kemarahan yang teramat kepadaku.
Ku hela nafasku panjang. Apa aku sudah salah melakukan semua ini?
"Sudah enam bulan kau menjadi istriku, Livina, dan selama itu aku tidak pernah menyentuhmu sama sekali karena aku menghargai perasaanmu yang belum bisa mencintai aku seutuhnya!" ucapku dengan nada datar dan aku masih berusaha tenang menghadapi kemarahan Livina.
Memang sudah enam bulan lamanya aku menikahi Livina. Akan tetapi, selama itu pula kami belum menjalankan ritual malam pertama kami. Livina belum bisa menerimaku, makin hari hanya kebencian dan penyesalan yang aku lihat dimatanya.
Tapi, malam ini aku sudah memaksakan keinginanku untuk mengambil hak ku sebagai suaminya. Itu aku lakukan karena hari itu aku sangat cemburu melihatnya bersama sahabatku. Kemarahanku mendorongku untuk segera mendapatkan hakku sebagai suaminya meskipun harus dengan cara memaksa. Aku harus memiliki Livina sepenuhnya agar tidak ada pria lain yang bisa mengambilnya dariku.
"Kau boleh merasa hebat, Arkha! Kau boleh berfikir kalau kau bisa memiliki apapun dengan uangmu. Bahkan, kau juga bisa membeliku dari orang tuaku, tapi tidak dengan cintaku, Arkha! Selamanya aku tidak akan pernah mencintaimu!" ketus Livina sambil mengarahkan telunjuknya ke wajahku dengan air mata yang masih mengalir deras dari kedua bola matanya.
Setelah mendengar kata-katanya aku langsung beranjak dari ranjang itu dan ku pakai semua pakaianku. Aku sangat kecewa terhadap Livina. Enam bulan aku berusaha bersikap lembut padanya, memberikannya banyak cinta dan juga harta. Apapun yang diinginkannya selalu ku penuhi. Aku berharap dia bisa belajar mencintaiku setelah kami berumah tangga.
Tanpa sepatah katapun terucap dari bibirku, aku tinggalkan Livina sendiri di kamar lalu aku keluar dan berjalan menyusuri jalan di depan villa itu. Udara yang dingin malam itu terasa menusuk, menyelusup hingga ke tulangku, namun aku tidak peduli. Sambil terus berjalan ku hisap sebatang rokok dan aku terus saja melangkahkan kakiku tanpa tujuan yang pasti.
Akhirnya, aku hentikan juga langkahku di tepi pantai dan aku duduk di atas pasir sambil memandangi sinar rembulan berharap semua itu bisa membuatku lebih tenang dan juga bisa mengurangi rasa kecewaku.
Akan tetapi rasa kecewa itu semakin menghujaniku ketika aku ingat tadi siang aku melihat Livina jalan bersama Alfin sahabatku. Mereka bergandengan tangan dan terlihat begitu mesra.
Apa sebenarnya hubungan antara Livina dan Alfin?
Mengapa mereka terlihat begitu dekat? Pertanyaan itu selalu saja memenuhi kepalaku.
Aku, Livina dan juga Alfin adalah sahabat sedari kecil, kami memang sering menghabiskan waktu bersama, susah senang kami hadapi bersama. Tapi, entah mengapa melihat kejadian tadi siang aku begitu merasa cemburu, aku curiga Livina dan Alfin sedang bermain di belakangku.
Kalau iya mereka ada hubungan lebih dari sekedar sahabat, lalu hubungan apa?
Aku baru saja merenggut kesucian Livina, walau dengan cara memaksa setidaknya dari sana aku punya bukti kalau Livina tidak pernah berbuat curang di belakangku, dia masih suci, masih perawan dan akulah yang mendapatkan semua itu.
Suara deburan ombak di pantai masih terus terdengar, malam semakin larut dan aku masih tetap duduk sendiri disana. Aku enggan kembali ke villa dan menemui Livina. Niat hati membawanya berlibur di villa pribadi milikku, tapi penolakannya justru membuatku semakin merasa kecewa.
Beginikah rasanya saat cinta hanya bertepuk sebelah tangan?
Aku begitu mencintaimu Livina, tapi mengapa sampai saat ini kau belum bisa menerimaku?
Apa ketampanan dan kekayaanku masih kurang baginya?
Mengapa sampai sekarang aku masih belum bisa menaklukkan hatinya?
"Genta, panggilkan Alfin kemari, cepat!" perintah Arkha kepada salah seorang asistenya yang bernama Genta.
"Baik, Bos!" sahut Genta dan segera melangkah keluar dari ruangan kerja Arkha untuk mencari Alfin.
Arkha menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Tatapannya kosong, ada amarah dan kecewa yang bergemuruh di dadanya.
"Ada apa kau memanggilku, Kha? Apa ada hal penting?" tanya Alfin yang kini sudah berdiri di hadapan Arkha.
Arkha lalu beranjak dari kursinya dan mendekati Alfin.
"Aku mau bicara serius sama kamu, Bro! Dan aku minta kamu jawab dengan jujur pertanyaanku!" ujar Arkha sambil memegang pundak Alfin sahabatnya, dan menatapnya dengan sorot mata penuh interogasi.
"Apa sebenarnya hubungan kamu dengan Livina, mengapa kemarin kamu bisa ada bersamanya di mall?" selidik Arkha menanyakan tentang hal yang dilihatnya kemarin dan membuat dirinya merasa begitu cemburu terhadap Alfin.
"Hubungan? Hubungan apa maksudmu, Kha? Kita dan juga Livina sudah berteman sejak kecil, kita selalu bersama sama, pertanyaan konyol apa yang sedang kau tuduhkan terhadapku?"
Alfin berkilah, tentu saja dia menjadi sangat heran, mengapa tiba-tiba Arkha begitu curiga kepadanya padahal mereka sangat sering jalan bersama.
"Aku tidak sedang menuduhmu, Al! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau jalan bersamanya dan kalian terlihat begitu mesra. Aku curiga, swbanarnya kalian sedang menyembunyikan sesuatu di belakangku kan?" elak Arkha, merasa tidak puas mendengar jawaban Alfin.
"Arkha, kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu? Menyembunyikan apa? Livina juga sahabatku, kemarin aku hanya kebetulan saja bertemu dengannya di mall dan aku membantunya membawakan barang barang belanjaannya!"
Alfin terus berkilah dan berusaha mencari alasan. Dia terkejut dan sama sekali tidak menyangka ternyata Arkha melihatnya sewaktu kemarin dia menemui Livina secara diam-diam di sebuah mall.
"Kebetulan katamu, Al? Bukankah saat itu seharusnya kau ada di kantor karena itu masih jam kerja? Tapi mengapa kau bisa ada di mall, sejak kapan kantor pindah ke mall?" bantah Arkha semakin kesal, alasan Alfin tidak masuk di akal karena di jam seperti itu seharusnya Alfin masih bekerja di kantor.
Alfin menundukkan kepalanya, ia bingung mencari alasan lagi untuk membela diri.
"A-aku hanya sedang mencari makan siang!" tangkisnya berbohong.
"Makan siang sambil sengaja menemui istriku, kan?" tuduh Arkha menatap tajam ke arah Alfin dengan senyum seringai miringnya.
"Memang apa salahnya, Kha? Kami bertemu dan makan siang bersama juga bukan hanya kali ini saja. Kita sudah biasa seperti itu. Jalan bareng, nonton bareng, makan bareng, apanya yang aneh sih sampai kau begitu marah terhadapku?" kilah Alfin lagi dan tetap tidak terima dengan tuduhan Arkha.
"Cukup, Alfin! Aku muak mendengar alasanmu. Kau boleh saja mengelak saat ini, Al. Tapi aku akan terus mencari tahu, ada apa sebenarnya antara kau dan Livina!" tegas Arkha kembali menudingkan telunjuknya ke wajah Alfin.
"Dengar, Alfin! Livina sudah sepenuhnya jadi milikku. Tadi malam aku juga sudah merenggut kesuciannya, aku sudah mengambil hakku sebagai suaminya. Jadi, aku pastikan tidak akan ada seorangpun yang bisa merebutnya dariku!" pekik Arkha mempertegas kemarahannya.
Mendengar hal itu Alfin langsung membulatkan matanya.
"Kau bilang apa, Kha? Kau sudah merenggut kesucian Livina?" tanya Alfin terlihat begitu marah setelah mendengar pengakuan Arkha.
"Sungguh biadab kamu, Kha! Mengapa kau setega itu menodai Livina!" bentak Alfin penuh kemarahan.
Denga sorot mata memerah dan tangan yang bergetar hebat, Alfin mencengkram kerah kemeja Arkha dan mengepalkan tangannya, ia sangat ingin melayangkan tinjunya ke wajah Arkha.
Arkha mendorong tangan Alfin dengan kasar untuk melepaskan cengkraman tangan Alfin dari lehernya. Arkha lalu mundur selangkah menjauhi Alfin yang terlihat makin marah padanya.
"Hei, Alfin! Kenapa kau begitu marah? Livina adalah istriku, aku tidak salah melakukan itu terhadapnya!" teriak Arkha. Ia sangat bingung dengan sikap Alfin yang tiba-tiba begitu marah padanya tanpa alasan yang jelas.
"Tentu saja kau salah, Kha! Livina tidak mencintaimu. Walau dia adalah istrimu tidak seharusnya kau memaksanya melakukan itu!" teriak Alfin.
Ia menjadi semakin kecewa saat mengetahui kalau Arkha sudah mengambil kegadisan Livina.
Bagaimana tidak, Alfin sudah menjalin hubungan bertahun-tahun dengan Livina dan selama itu dia sangat menjaga kehormatan Livina, dia menjadi sangat marah ketika Arkha dengan entengnya mengatakan bahwa ia sudah merenggut semuanya dari Livina.
"Kau tidak perlu menggurui aku, Al! Aku tahu apa yang boleh dan yang tidak boleh aku lakukan terhadap istriku. Dan apa urusanmu melarangku melakukan itu terhadap istriku sendiri?" seringai Arkha seraya menggelengkan kepalanya, kemarahan Alfin membuatnya merasa sangat heran.
"Aku berhak marah padamu, Kha! Livina juga adalah sahabatku. Jadi, kau jangan coba coba menyakitinya lagi!"
"Cukup! Kau sudah sangat menyiksanya karena mengikatnya dengan pernikahan palsu kalian!" tegas Alfin merasa sangat tidak tahan mendengar semua perkataan Arkha.
"Apa maksudmu dengan pernikahan palsu? Kau berkata seolah oleh kau lebih tahu segalanya dari pada aku, Alfin!" seru Arkha kembali menudingkan telunjuknya ke wajah Alfin.
"Aku sedang tidak ingin berdebat lagi denganmu, Arkha!" tegas Alfin berusaha menahan amarahnya. Tanpa berkata apapun lagi, ia lalu bergegas keluar meninggalkan Arkha di ruangannya.
"Alfin sangat marah ketika aku bilang aku sudah mengambil kesucian Livina. Aku jadi sangat yakin kalau di antara Alfin dan Livina ada hubungan lain selain hanya sahabat!" gumam Arkha dalam hatinya.
"Aku akan mencari tahu. Dan kalau terbukti ada apa apa diantara mereka, maka aku tidak akan segan menyingkirkan Alfin untuk selama-lamanya!"
Arkha meremas kasar rambutnya, sambil terus mengerutu. Rasa cemburu dan kecewa semakin menyesakkan dadanya saat itu.
Alfin masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu dengan cara membantingnya kasar.
"Aahh, sial! Dasar bajingan kamu, Arkha!"
Alfin mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kenapa dia begitu tega menggagahi Livina? Bertahun-tahun aku menjaga kesucian Livina, tapi Arkha dengan begitu mudah merenggutnya!" dengus Alfin kesal sambil memukul meja di hadapannya dengan tangannya yang mengepal.
"Arkha! Aku sangat membencimu! Dengan uangmu kau sudah mengambil Livina dariku dan sekarang kau juga sudah merebut kesuciannya. Aku tidak akan tinggal diam, Arkha! Aku pasti akan membalasmu! Livina harus kembali jadi milikku!"
Sorot mata kebencian terpancar jelas dari tatapan Alfin.
"Uang!"
"Iya ... hanya uang yang bisa membeli segalanya. Saat ini kau boleh membanggakan uangmu, Arkha! Tapi lihat saja, aku akan merebut semuanya darimu, Livina dan juga perusahaanmu! Tunggu saja pembalasan dariku, Arkha!" Dengan penuh kekesalan Alfin membanting vas bunga yang ada di mejanya hingga jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping. Kebencian terhadap sahabat dan juga atasannya itu semangin memuncak di jiwanya.
Ting!
(Temui aku sekarang juga di tempat biasa. Ada hal penting yang harus kita bicarakan).
Livina terlihat begitu gelisah membaca sebuah pesan singkat di ponselnya. Seharian ini, Alfin beberapa kali mengirim pesan singkat untuknya dan memaksa untuk bertemu hari itu.
Meski sudah menikah dengan Arkha, Livina dan Alfin memang masih sering berhubungan, ikatan cinta antara mereka masih begitu kuat sehingga diam diam mereka masih menjalin hubungan tanpa sepengetahuan Arkha.
Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya perlahan Livina meraih tasnya dan mengambil kunci mobil lalu keluar dari kamarnya hendak menemui Alfin.
"Mau pergi kemana kamu sudah sore begini, Livina? Apa kamu tidak tahu kalau sebentar lagi suamimu pulang dari kantor?" seringai Mama Yuna yaitu ibu mertuanya, saat melihat Livina akan pergi, ia langsung menghadang langkahnya.
"Aku akan keluar sebentar saja, ada urusan sama temanku!" jawab Livina singkat tanpa memberi banyak alasan.
"Apa tidak ada hal lain yang bisa kau kerjakan selain keluyuran di luar dan menghambur hamburkan uang saja?" ketus Mama Yuna tidak senang dengan jawaban Livina.
Mama Yuna memang tidak menyukai Livina, dan dari dulu sebenarnya tidak menyetujui pernikahan Arkha dengan wanita itu.
Bukan tanpa alasan, dari awal dia sudah tahu kalau Livina tidak pernah mencintai Arkha. Dia bersedia menikah dengan putranya hanya karena keluarga Livina yang sangat materialistis dan hanya menginginkan kekayaan saja.
"Apa kamu tidak lihat ini sudah jam berapa, Livina? Seharusnya kamu ada di rumah saat suamimu tiba, bukan? Menapa harus keluar lagi di jam segini?" ketus Mama Yuna menampakkan wajah tidak suka, menanggapi sikap tidak sopan Livina terhadapnya.
"Cuma sebentar saja! Tidak akan lebih dari satu jam!" sanggah Livina dengan nada suara mengacuhkan.
"Apa kau sudah menyiapkan makan malam untuk Arkha? Jangan katakan kalau kamu lupa akan tanggung jawabmu sebagai seorang istri dan juga menantu di rumah ini!"
Mama Yuna menatap Livina sangat kesal dan berkata dengan aura kemarahan di wajahnya.
"Sudah ada banyak pelayan disini yang bisa menyiapkan makan malam untuk Arkha, kenapa Mama menyuruhku? Buat apa punya banyak uang kalau hanya untuk menyiapkan makan malam saja masih harus aku yang mengerjakannya?" pungkas Livina semakin acuh.
"Jaga bicaramu, Livina! Kau sungguh tidak sopan terhadap orang tua! Aku ini mamanya Arkha, kau seharusnya menghormati aku!" bentak Mama Yuna sambil menatap Livina dengan sorot mata tajamnya.
"Dasar menantu tidak tahu sopan santun!" umpat Mama Yuna dalam hatinya dan ia sangat jengkel dengan kelakuan Livina yang memang tidak pernah bersikap sopan terhadapnya.
Tanpa ingin berdebat panjang demgan ibu mertuanya, Livina segera keluar dari rumahnya dan bergegas mengarahkan mobilnya menuju tempat biasa dimana Alfin sudah menunggu.
"Maaf aku terlambat, Al. Apa kau sudah lama menungguku?" tanya Livina kepada Alfin yang sudah duduk di bangku di sebuah taman yang ada di pusat kota.
"Selama apapun aku akan selalu menunggumu, Livina. Dan kau sudah tahu itu!" jawab Alfin dingin tanpa menoleh ke arah Livina yang kini sudah ikut duduk di sebelahnya.
Alfin tetap duduk, diam, sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya dan tatapannya tampak kosong. Ada rasa kecewa yang masih terlihat jelas di raut wajahnya.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Al? Kenapa kau ingin sekali kita bertemu sekarang?" tanya Livina, ia bisa menyadari kalau ada yang berbeda dari sikap Alfin terhadapnya hari itu.
"Katakan padaku apa yang Arkha telah lakukan terhadapmu? Apa dia menyakitimu lagi?" Alfin bertanya masih tanpa menatap ke arah Livina.
Mendengar pertanyaan Alfin, Livina langsung menundukkan wajahnya, ada bulir air mata yang tak tertahankan menetes dari kedua bola matanya. Dari perubahan sikap Alfin hari itu, Livina sudah langsung bisa menebak kalau Alfin sudah tahu semuanya yang sudah terjadi antara dirinya dan Arkha.
"Maafkan aku, Al! Aku tidak bisa menjaga kesucianku, Arkha sudah merenggut semuanya dariku!" ucapnya lirih sambil menahan isak tangisnya.
Alfin lalu menatap Livina sambil memegang pundaknya dan mengusap air mata di pipi Livina dengan telunjuknya penuh rasa tidak terima.
"Arkha memang sudah sangat keterlaluan! Laki-laki sombong itu sudah tega memaksakan kehendaknya terhadapmu! Aku tidak bisa terima dengan perlakuannya! Aku bahkan sangat membencinya!" gerutu Alfin sambil menatap mata basah Livina dan ia terlihat begitu kecewa.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Al. Bagaimanapun juga Arkha adalah suamiku. Aku sudah tahu kalau cepat atau lambat dia pasti menuntut itu dariku, karena dia memang berhak melakukan itu!" Sembari terus menangis, ucapan Livina terdengar tenang. Meski menyesali semuanya, tapi ia berusaha menerima kalau faktanya saat ini Arkha sudah menjadi suaminya dan sudah menjadi haknya melakukan itu terhadapnya.
"Walaupun begitu, dia tetap salah karena sudah memaksamu, Vin! Kau tidak mencintainya dan kau menyerahkan dirimu padanya juga dengan terpaksa kan?" sahut Alfin tidak bisa terima penjelasan Livina. Ia kembali memalingkan wajahnya tak mau menatap wajah Livina lagi. Kekecewaan itu makin jelas tampak dari tatapannya.
Livina hanya bisa diam, dia merasa ada di posisi yang serba salah. Sudah enam bulan menikah dengan Arkha, dan selama itu juga Arkha selalu bersikap baik kepadanya. Arkha tidak pernah memaksa apalagi berbuat kekerasan terhadapnya, kecuali hanya malam itu saja.
Livina menjadi sangat bimbang dengan pikirannya. Di satu sisi ia ingin belajar menerima kenyataan bahwa Arkha sudah menjadi suaminya, tapi di sisi lain Livina tidak bisa mencintai Arkha. Cintanya hanya untuk Alfin seorang.
"Bertahun-tahun aku menjagamu, Vin. Meski aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak pernah berani menyentuhmu. Arkha sungguh biadab! Dia dengan bangganya menunjukkan kalau kau sekarang sudah jadi miliknya seutuhnya di hadapanku!" ucap Alfin dengan nada kemarahan makin menggelegar dari nada suaranya.
"Tapi aku tidak akan tinggal diam, Vin. Aku akan membalasnya! Laki-laki sombong seperti Arkha harus aku beri pelajaran!"
"Apa yang akan kamu lakukan terhadap Arkha? Aku nggak mau kamu melakukan hal-hal yang justru bisa membahayakan dirimu sendiri, Al. Kamu tahu kan seperti apa Arkha? Dia tidak pernah takut kepada siapapun dan dia akan berani melakukan apa saja bila ada orang yang ingin menentangnya. Dia pria yang sangat ambisius!" tepis Livina. Dia menjadi sangat khawatir dengan rencana Alfin yang ingin membalas dendam terhadap Arkha.
"Kamu tidak perlu khawatir, Vin. Aku dan Arkha sudah menjadi sahabat dari kecil dan aku tahu betul bagaimana cara menghadapinya!" jawab Alfin dengan entengnya.
Livina kembali hanya terdiam dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi kemarahan Alfin. Dia merasa sangat bingung karena ada di tengah-tengah dua orang yang sedang berjuang untuk bisa memilikinya.
"Sekarang kau ikutlah denganku! Aku tidak rela Arkha melakukan itu secara paksa terhadapmu, Vin. Kalau dia bisa mendapatkanmu, maka aku juga bisa melakukan hal yang sama!" tegas Alfin. Dia kemudian menarik tangan Livina dan membawanya menuju ke mobil.
"Kau mau membawaku kemana, Al?" tanya Livina terlihat bingung.
"Nanti saja kau akan tahu sendiri!" jawab Alfin singkat sambil melajukan mobilnya menuju ke suatu tempat.
"Hah, ini kan hotel?"
Livina membulatkan matanya saat Alfin menghentikan mobilnya di lobby sebuah hotel.
"Untuk apa kau membawaku kesini, Al? Jangan coba-coba berbuat nekat terhadapku!" heran Livina semakin bingung dengan sikap Alfin yang nampak tidak biasa saat itu.
"Sebaiknya kau menurut saja, Vin!" tegas Alfin, lalu ia membawa Livina ke sebuah kamar yang memang sudah dipesannya sebelum bertemu dengan Livina sore itu.
"Kamu mau apa, Al?"
Livina tiba-tiba merasa khawatir dan sangat takut ketika menyadari dia dan Alfin kini sudah ada di dalam satu kamar dan Alfin juga men-double lock pintu kamar hotel itu.
"Aku juga ingin melakukan apa yang Arkha sudah lakukan terhadapmu, Vin. Aku tidak rela dia berbuat ini terhadap wanita yang sudah aku jaga selama bertahun-tahun lamanya. Aku berhak mendapatkan hal yang sama!"
Ada kilatan gairah yang tersirat dari balik ucapan Alfin.
"Aku ingin kau membuktikan kalau kau benar-benar mencintaiku, Vin! Katakan padaku kalau hanya aku yang seharusnya berhak melakukan ini terhadapmu ... dan bukan Arkha!" seru Alfin seraya mendekap Livina serta memojokkannya ke atas tempat tidur.
"Jangan, Al! Kau tidak boleh melakukan ini terhadapku. Bukan seperti ini caranya membuktikan cinta kita!"
Livina berusaha menolak tapi Alfin terus mendesak tubuh Livina, sehingga mereka sama-sama jatuh berguling di atas ranjang dengan posisi saling menindih. Alfin lalu mencumbu Livina dengan penuh gairah.
Sebelumnya mereka sudah sering berciuman mesra. Mencumbu Livina seperti itu sudah biasa dilakukan Alfin secara sembunyi-sembunyi bahkan saat Livina sudah menjadi istri Arkha. Tetapi, ada satu hal selalu dijaga oleh Alfin, dia tidak ingin melakukan lebih, karena ingin tetap menjaga kesucian Livina.
Entah mengapa, hari itu dia menjadi sangat ingin melakukannya. Karena, ia merasa tidak terima dengan perlakuan Arkha yang sudah lebih dahulu merebut semuanya darinya.
Meski mengatakan jangan, namun Livina tidak mampu menolak semua sentuhan Alfin dan mereka pun hanyut dalam gairahnya malam itu.
Livina duduk di tepi ranjang. Dia menangis tersedu menyadari kesalahan yang telah dia lakukan bersama Alfin.
"Kau tidak perlu menyesali semua ini, Livina! Kita melakukannya karena kita saling mencintai!" hibur Alfin sambil memeluk tubuh Livina yang saat itu masih belum memakai pakaiannya.
"Ini hubungan terlarang, Al. Tidak seharusnya kita melakukan ini," ucap Livina dengan suara serak menahan isak tangisnya.
"Yang Arkha lakukan terhadapmu jauh lebih salah, Vin! Aku sungguh tidak rela dia melakukan itu terhadapmu!" ujar Alfin berusaha menenangkan Livina sambil mengecup lembut kening Livina.
"Arkha hanya sekali saja melakukan itu terhadapku, Al!" kilah Livina.
"Iya saat ini memang hanya baru sekali. Tapi besok-besok, pasti dia akan memaksamu melakukan itu lagi. Dia suamimu bukan? Dia bisa melakukannya kapan saja yang dia mau!"
Alfin semakin erat memeluk Livina, dia sungguh tidak bisa terima Livina jatuh ke tangan Arkha, sahabatnya yang kini sangat dia benci.
.
Semenjak kejadian hari itu, Alfin dan Livina makin sering berhubungan secara diam-diam, meskipun di sisi yang berbeda Arkha juga terus berusaha mencari tahu tentang kedekatan hubungan Alfin dan Livina.
Kendati demikian, Arkha susah mendapatkan informasi yang dicarinya. Alfin dan Livina sangat tahu kelengahan Arkha, sehingga mereka tetap bisa mencari kesempatan untuk bertemu secara sembunyi-sembunyi.
🌹🌹🌹🌹
Yang mengharapkan adegan 21+ antara Alfin dan Livina tanpa sensor tunggu setelah episode 20 ya guys.... episode awal haram hukumnya menulis cerita yang terlalu vulgar sebelum bisa lulus kontrak (^_^)
⤵️⤵️⤵️⤵️⤵️⤵️
Di episode ini aku juga mau kasih visualnya Livina.
Visualnya Arkha silahkan buka kembali di episode 1.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!