NovelToon NovelToon

MUSE

ARTI KELAHIRAN

MUSE

EPISODE 1

ARTI KELAHIRAN

\~Sudah cacat miskin pula\~

“ARG...! HAH...! HAH...! ARG...!” pagi itu Mama terus mengerang kesakitan.

Perutnya terasa seperti ter iris-iris dengan pisau dari dalam. Tangannya meremat seprei sampai seprei itu berubah menjadi kusut.

“Sudah bukaan 8, Nyonya. Anda pasti bisa.” seorang  perawat mengecek sudah sejauh apa bibir rahim Mamaku terbuka saat itu.

Papa mengamati keadaan Mama dengan cemas, dia sama sekali nggak beranjak dari sisi istrinya yang menangis karena kesakitan.

“Kepalanya mulai keluar, ayo tarik napas dan mulai mengejan!” seorang dokter memberikan instruksi kepada Mama untuk segera mengeluarkanku.

“OEK... OEK... OEK...” beberapa waktu kemudian akhirnya suara tangisan ku pecah dan terdengar memenuhi ruangan.

Semua mata memandang kepadaku, tapi bukan ekspresi kebahagiaan yang terlukis di wajah dokter, suster, dan juga Papaku. Melainkan ekspresi kaget dan heran dengan keadaanku.

Mama berusaha mengumpulkan tenaganya untuk bangkit dan melihat diriku. Tangannya menarik lembut lengan kemeja Papa.

“Di mana dia? Aku ingin melihatnya, aku ingin menyusuinya.”

Papa sempat ragu memperlihatkanku kepada Mama, mungkin takut istrinya akan kecewa dan mengalami syok. Tapi akhirnya Papa menyerah karena Mama terus merengek. Papa memberikan kode kepada dokter untuk menyerahkanku.

Mama melihatku dengan bola matanya yang indah, aku merasakan adanya kehangatan menyelimuti kulitku saat kulit kami saling menempel. Degup jantungnya yang semula kencang kini berangsur-angsur stabil, membuat

hatiku-pun merasa nyaman. Mulut mungilku bergerak mencari-cari sumber air susu, dan dengan sigap aku meminum air kehidupanku itu.

Hanya Mama yang  tidak memandangku berbeda, hanya Mama yang tanpa syarat tersenyum padaku.

“Selamat datang ke dunia bayiku yang cantik.” Mama mencium tangan mungilku dan membisikkan kata-kata doa di telingaku.

—MUSE—

Namaku Cellena, dalam bahasa Yunani artinya bulan. Keluargaku biasanya memanggilku dengan sebutan Lenna, dan aku seorang pennyandang kelainan bawaan bernama  albino.

Apa itu ALBINO?? Kalian pasti pernah mendengar hal ini saat bangku sekolah. Albino adalah suatu kelainan pada produksi melanin yang membuat penderitanya kekurangan melanin atau tidak memiliki pigmen sama sekali.

Yup, ujung rambut hingga ujung kuku kakiku berwarna putih. Semuanya putih, bulu mataku yang lentik pun berwarna putih, alisku putih, hanya bola mataku yang berbeda karena warnanya adalahvioletterang.

Kalian tahu, aku memaknai arti kelahiranku ini dengan bersungut-sungut dan menggerutu pada Tuhan. Sampai akhirnya, aku mulai bisa melihat keindahan yang aku miliki lewat sebuah karya seni yang indah.

—MUSE—

.

.

.

Aku merenggangkan badanku dan menguap beberapa kali sebelum beranjak dari tempat tidurku. Aku melihat wajahku di kaca, terlihat sedikit kemerahan akibat sinar matahari. Harusnya aku lebih banyak memakai  sun cream  kemarin, aku nggak tahu kalau OSPEK ternyata banyak memiliki kegiatan  outdoor. Seperti yang kalian tahu, kulitku amat sensitif terhadap sinar matahari karena kurangnya melanin dalam tubuhku.

“Atau aku minta keringanan karena kondisiku, ya?” gumamku. Kekuranganku selalu bisa aku jadikan alasan saat mencari keringanan hukuman.

Tapi aku tepis angan-anganku. Bukankah aku ingin mencoba hidup normal selayaknya anak-anak lain? Kalau aku mendapatkan keringanan dan nggak mengikuti OSPEK, bagaimana aku bisa mengenal dan punya teman?

Aku memakai kemeja putih dengan lengan panjang dan rok hitam di bawah lutut. Rambutku yang lurus dan panjang aku kuncir menjadi 5 bagian, karena memang begitu dandanan hari ini. Kekejaman OSPEK yang sedikit kekanakan.

“Sayang, sarapannya sudah siap!” Mama berteriak dari bawah.

“Iya, Ma.I’m coming. ” Aku menyahutbackpackyang terbuat dari kantong gandum bekas dan bergegas turun.

“Pagi, Ma... Pagi, Pa...” Aku mencium pipi Papa dan Mama.

“Hmm....” Papa hanya membalasnya dengan deheman singkat, matanya masih berfokus pada koran yang dibacanya.

“Jangan bermain dengan makananmu, Vin!” Mama menyuruh adikku untuk tidak mengaduk-aduk serealnya terlalu lama.

“Aku bosan makan sereal.” Adikku cemberut dan dengan terpaksa menghabiskan semangkuk sereal di depannya.

“Kau mau sereal juga?” tanya Mama padaku.

“Nggak, Ma. Ini saja,” jawabku sambil mencomot selembar roti bakar.

Aku nggak pernah tahu alasan Mama selalu menyiapkan sarapan kami sendirian setiap pagi. Padahal ada selusin pelayan dan koki yang bisa memasak untuk kami. Tapi Mama lebih memilih memasak masakan sederhana yang dia bisa. Sereal, nasi goreng, roti bakar, danwafflemerupakan menu yang selalu menemani kami setiap pagi.

“Aku berangkat dulu, ya,” pamitku pada mereka berdua, dan mengacak-acak rambut adikku sebelum keluar.

“Jangan lupa topi dan sunblock!” teriakan Mama masih terdengar sampai pintu gerbang rumah.

“Sudah siap berangkat, Neng?” senyuman pak Gino membuatku ikut tersenyum.

Pak Gino adalah sopir pribadiku. Ya, aku punya sopir pribadi, asisten pribadi, dan ibu asuh, tapi ibu asuhku sudah berpindah ke tangan adikku yang saat ini masih kelas 3 SD. Adikku juga punya sopir dan asisten miliknya sendiri. Aku berasal dari keluarga yang cukup terpandang di kota ini. Ayahku punya pabrik kertas, pabrik pemotongan kayu dan juga beberapa usaha kecil lainnya. Coba saja aku terlahir dari keluarga miskin, mungkin saat itu protesku kepada Tuhan akan semakin menjadi-jadi. Sudah cacat, miskin pula.

Aku memandang ke luar jendela mobil, hamparan pohon-pohon rindang berjajar di sepanjang jalan metropolitan ini. Beruntunglah pohon-pohon itu, walaupun tidak bisa berbicara setidaknya mereka punya warna, warna yang membuat tubuh mereka menjadi cantik. Warna yang selama ini selalu aku idam-idamkan.

Seperti apakah wajahku kalau aku punya warna, apakah aku akan menjadi cantik?

Apakah semua orang akan mendekati ku?

Apakah semua orang akan menjadi temanku?

Setidaknya kalau aku punya warna, mungkin masa kecilku tidak akan terlalu sengsara.

Masa kecil yang ingin aku lupakan dan aku kubur dalam-dalam.

—MUSE—

Like, comment, and +Fav

Follow dee.meliana for more lovely novels.

❤️❤️❤️

Jangan lupa Votenya.. 😘

MASA KECILKU

MUSE

EPISODE 2

MASA KECILKU

\~Bukan.. bukan aku.. tapi perkataan merekalah yang membunuhku\~

“Wah, rambutnya putih sekali, seperti orang asing, ya?”

“Iya, matanya juga berwarna lain,Violet yang menyala.”

“Kasihan Nyonya, anak pertamanya ada kelainan, ya.”

Setiap hari itulah yang akan digosipkan dan dipergunjingkan oleh para pelayan di rumahku setelah aku lahir.

Walaupun Papa sempat kecewa dengan keadaanku, namun dia nggak bisa menahan nalurinya sebagai orang tua untuk mencoba menyayangiku. Mama juga adalah wanita tegar yang selalu melimpahiku dengan kasih sayang dan dekapan hangat.

Beliau yang paling tidak pernah peduli dengan omongan orang tentangku. Baginya, aku adalah dewi bulan atau malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk menemaninya di dunia ini.

Aku sendiri juga nggak pernah protes dengan kondisi dan keadaanku. Bagiku, yang terlihat di kaca adalah sosok anak kecil yang enerjik dan selalu ceria. Aku mencintai seluruh apa yang aku punya, boneka pony kesayanganku, seluruh mainanku, seluruh hiasan rambut, seluruh pakaian, dan seluruh topiku.

Semuanya terlihat baik-baik saja, sampai suatu ketika aku mendengar Mama dan Papa bertengkar karena aku harus bersekolah.

Memangnya apa yang menakutkan dari  sekolah sampai Mama dan Papaku bertengkar?

Padahal mereka adalah pasangan harmonis yang selalu saling menyayangi. Kenapa hanya karena masalah sepele saja mereka bertengkar?

“Papa.. Mama.. jangan bertengkar, kata Nenny itu tidak baik,” kataku polos. Nenny adalah panggilan untuk wanita yang mengasuhku.

Mama langsung terisak dan memelukku. Papa hanya terdiam dan membuang mukanya, otot-otot leher dan wajahnya yang semula menegang kini tampak lebih santai.

“Lenna, kemari sayang!” Papa menyuruhku datang dalam pelukannya, aku menurut. Kakiku yang kecil melangkah masuk ke dalam lingkaran tangannya.

Papa menaikkan tubuhku dan menaruhku dalam pangkuannya.

“Apa kamu mau sekolah, Sayang?” tanyanya lirih.

“Sekolah itu apa, Pa?” Aku membalasnya dengan pertanyaan lain.

“Sekolah itu tempat belajar, supaya Lenna bisa jadi anak  yang pintar. Dan juga punya banyak teman-teman untuk diajak bermain.” Papa mulai menjelaskan perihal sekolah kepadaku. Aku menerima penjelasannya dengan anggukan- anggukan penuh semangat.

“Kai, aku mohon. Lenna home schooling saja.” mata Mama masih tampak berkaca-kaca.

“Rose, jangan halangi Lenna mengenal dunia luar.” wajah Papa mulai kembali menegang.

“Tapi... tapi... Bagaimana kalau dia dikucilkan? Bagaimana kalau teman-temannya menghina Lenna?” air mata turun dari bola mata Mama yang indah.

Aku benar-benar nggak mengerti bahasa dan istilah mereka saat itu. Dikucilkan? Dihina? Apa itu?

“Dia anakku juga! Aku juga nggak rela dia dihina atau dikucilkan. Tapi aku mau dia menjadi anak  yang kuat. Sampai kapan kita akan melindunginya terus?” Papa mencengkram lengan Mama dan memberikan semangat.

“Mama, apa sekolah itu sangat menakutkan?” tanyaku lirih.

“Nggak, Sayang. Sekolah nggak menakutkan.” jawab Mama.

“Kalau gitu Lenna mau sekolah, Ma,” jawabku penuh keyakinan.

Papa dan Mama tersenyum saat melihatku tersenyum lebar. Rasanya begitu menyenangkan melihat mereka berdua tersenyum.

—MUSE—

(Credit to owner)

Papa mengajakku berkeliling melihat sekolahan yang akan aku masuki. Mataku berputar melihat-lihat tempat itu. Masih teringat di benakku, berbagai macam hiasan dinding yang terbuat dari kertas berwarna-warni, gambar-gambar yang di warna dengan rapi menggunakan crayon, dan beberapa kertas bertuliskan puisi yang mulai tampak usang di dalam bingkai. Semua itu adalah karya para murid. Aku juga masih ingat dengan bau lemon yang tercium dari pendingin udara di ruangan kepala sekolah.

“Namanya Lenna, dia memang spesial.” Papa memperkenalkanku pada Bu Sari, kepala sekolah dari SD MATAHARI  yang akan aku masuki.

“Baik, Pak. Pasti akan kami jaga.” senyum terkembang di wajah wanita separuh baya itu, saat bergantian melihatku dan Papa.

“Belajar yang rajin, ya, Sayang.” Papa mencium keningku sebelum meninggalkanku sendiri di tempat asing ini.

Walaupun aku berkata ingin bersekolah tapi nyatanya ada rasa takut menyelimuti hatiku saat ini. Tidak ada sosok Papa, Mama, atau Nenny yang menemaniku di tempat yang baru ini, membuat nyaliku ciut. Tapi aku nggak mau menangis, aku nggak mau bikin Papa dan Mama kecewa.

“Anak-anak, kita punya teman baru, hlo!” Bu Sari mencoba mencari perhatian dari anak- anak yang masih asyik berteriak, mengobrol, dan yang sedang asyik dengan dunia mereka sendiri.

“Kemari, Nak!”  wanita itu melambaikan tangannya padaku. Aku menurut dan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kelas.

“Perkenalkan namaku Cellena, aku biasa dipanggil Lenna.” Aku mencoba sekeras mungkin untuk memperjelas pelafalan namaku.

Suasana mendadak begitu hening  dan semua mata tertuju padaku. Adakah kesalahan yang ku perbuat? Pandangan mereka menunjukan rasa kaget dan takut.

“Ibu guru, dia itu apa?” tanya seorang anak kecil, suaranya terdengar begitu lantang.

“Dia mirip vampir, badannya putih sekali.”

“Vampirkan merah, dia lebih mirip hantu.”

“Hantu?? Aku takut.”

“Anak-anak tenang dulu. Lenna adalah manusia seperti kalian. Hanya saja Lenna terlahir spesial. Kalian berteman yang baik dengan Lenna, ya.”

“Baik, Bu.” jawab mereka serempak.

Namun jawaban mereka hanyalah sekedar jawaban untuk memberikan rasa lega pada Bu Sari. Nyatanya setelah tidak ada guru yang mengajar, mereka tetap merundungku. Tidak ada satupun anak yang mau mendekatiku karena warna kulitku yang berbeda.

Saat Kelas 1 SD, aku tidak begitu menggubris ucapan mereka.

Saat Kelas 2 SD, mereka mulai menjahiliku, terutama para cowok.

Saat Kelas 3 SD, bullying mereka padaku semakin menjadi-jadi.

Saat Kelas 4 SD, aku mulai muak dan merasa ingin mati saja.

Aku nggak pernah menceritakan masalahku pada Papa dan Mama. Aku takut mereka akan bertengkar lagi karena aku. Tapi ambang toleransiku seakan-akan semakin menipis dan mulai menggrogoti jiwaku. Aku sering menangis sendiri dimalam hari, nafsu makanku hilang, dan aku lebih sering memuntahkan makanan yang masuk ke mulutku.

Sampai akhirnya aku merasa kalau lebih baik aku mati saja, nggak ada gunanya aku hidup.

Mereka bilang aku menyusahkan Papa dan Mamaku dengan kelahiranku di dunia ini.

Mereka bilang Papa dan Mamaku pasti malu saat mengenalkan aku dengan kerabat dan temannya

Mereka bilang kalau aku hanyalah anak pembawa sial.

Mereka bilang aku cacat.

Mereka bilang aku abnormal.

Mereka bilang aku ini hukuman Tuhan pada orang tuaku.

Mereka bilang..........

Mereka bilang.........

Terus dan terus..

Lagi dan lagi....

Terngiang-ngiang memenuhi pikiranku.

“ARGH.....!!!” Aku berteriak dan membanting gelas kaca yang ada di sebelah tempat tidurku. Mataku merah karena mengantuk dan muncul lingkaran hitam di sekitar mataku. Mungkin sudah 3 hari aku nggak bisa tidur.

“Lenna, buka pintunya!” suara Mama menggedor pintu terdengar di telingaku, namun aku nggak menggubrisnya.

Tangan mungilku mengambil serpihan gelas yang berhamburan di lantai, dengan gemetaran aku mengambil serpihan yang paling besar, juga dengan ujung yang paling tajam. Nalarku seakan menghilang, tangisanku pun mulai meredup. Nafasku mulai tak teratur, rambutku acak-acakan.

Kata mereka darahku juga berwarna putih seperti rambut dan kulitku. Darahku adalah darah terkutuk yang di berikan Tuhan padaku.

Crooot..

Bunyi darah yang menyembur dari pergelangan tanganku masih terngiang jelas di benakku. Aku mengiris sendiri urat nadiku. Entah setan apa yang merasuki ku saat itu. Satu hal yang ku ingat dengan jelas adalah aku tersenyum saat melihat ternyata darahku berwarna merah.

Dan setelah itu pandanganku mulai kabur, dan semuanya berubah menjadi hitam.

Suara tangisan dan jeritan Mama terdengar sangat jauh di ujung telingaku. Sayup-sayup ku mendengar Mama menangis dan memanggil namaku berulang-ulang.

Kenapa aku melakukan ini?

Padahal aku masing ingin memeluk Mama, merasakan kehangatan kasihnya, merasakan jari-jemarinya menggelitik perutku saat aku nakal.

Kenapa?

Kenapa aku begitu bodoh membunuh diriku sendiri?

Bukan.. bukan aku.. tapi perkataan merekalah yang membunuhku. Perkataan merekalah yang membuatku melakukan ini.

Aku belum mau mati.

Aku mau hidup.....

Tuhan tolong aku.

—MUSE—

.

.

.

Pip pip pip...

Bunyi layar monitor pemantau tanda vital pasien terus berbunyi dan mulai terdengar di telingaku.

“Semua ini karena kamu, Kai. Sekarang apa yang aku takutkan terjadi.” Mama mulai memaki Papa, nampaknya dia syok karena aku mencoba bunuh diri.

“Aku pikir nggak akan sampai begini. Maafkan aku, Rose.” Papa berjongkok di sudut ruangan dan menjambak rambut dengan kedua tangannya yang kekar.

“Minta maaflah pada, Lenna. Jangan kepadaku!”

Nampaknya apa yang telah kulakukan berdampak serius pada Papa dan Mama. Aku ingin memanggil mereka, namun tenggorokanku seperti tercekat. Rasanya begitu sakit dan kering.

Samar-samar aku bisa mendengar mereka bertengkar. Mama memukul-mukul dada Papa, dan Papa hanya diam tak membalas atau pun mencoba untuk menghindar. Amarah Mama mulai mereda dan berganti dengan isakan tangis. Papa memeluk Mama dan mencoba memberikannya ketenangan. Tampaknya berhasil, tangisan Mama mulai berhenti dan kini mereka bergegas masuk ke dalam mendekatiku.

“Kau sudah bangun, Nak?” Mama mengusap air mata yang jatuh perlahan dari sudut mataku yang lancip.

“Maafin Lenna, Ma..., Pa...” ucapku lirih.

“Hush..stt... bukan kamu yang salah. Kami yang salah.” Mama menggenggam erat tanganku, sementara tangannya yang lain menelus-elus rambutku.

“Maafin Papa, Nak.” Papa mendekat dan mengelus lembut pipiku.

Ya Tuhan! Apa yang telah aku lakukan hingga menyakiti kedua orang tua yang begitu menyayangiku?  Bagaimana mungkin aku bisa melakukan tindakan bodoh ini? Padahal aku tahu masih ada orang yang begitu mencintaiku apa

adanya.

“Keluar saja dari sekolahan, home schooling saja.” Papa mengangguk dan menahan tangisannya.

“Iya, Pa.”

Dan akhirnya, aku mengahabiskan masa remajaku dengan belajar di dalam rumah. Aku tidak pergi ke mall, belanja, ke ti**zone, atau pergi ke salon seperti remaja seharusnya. Bagiku membantu Mama mengurus adikku, Arvin yang baru saja lahir sudah membuatku bahagia. Dia lahir saat aku berusia 10 tahun. Thanks God, Arvin tidak terlahir sama sepertiku. Dia normal dan punya banyak warna dalam dirinya.

Aku menikmati saat-saat bersama keluargaku. Aku merasa bahagia sampai suatu ketika, akhirnya Papa dan Mama kembali memutuskan untuk mengirimku masuk ke dunia luar.

“Kuliahlah, Lenna! Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu.” ucap Papa sambil menikmati secangkir kopi.

“Carilah teman, dan bergaulah dengan baik.” Mama ikut tersenyum.

“Baiklah akan ku coba,” pada akhirnya aku hanya bisa berharap untuk tidak kembali pada neraka sialan itu lagi.

—MUSE—

Like, comment, and +Fav

Follow dee.meliana for more lovely novels.

❤️❤️❤️

Thank you readers ^^

OSPEK

MUSE

EPISODE 3

OSPEK

\~Walaupun sedikit sesak tapi nyatanya rasa itu mampu membuatku sedikit berwarna.\~

Day 2

“Sudah sampai, Neng.” suara pak Gino membuyarkan lamunanku.

“Aku masuk dulu, ya, Pak.”

“Siap, Neng.”

Aku bergegas turun dari mobil. Aku harus berjalan beberapa saat, sebelum sampai di aula utama kampus. Seperti biasa aku menutup mataku dengan kaca mata hitam dan mengangkat tudung jaket. Hal ini aku lakukan untuk melindungi mata dan wajah dari sinar matahari. Hari ini cukup cerah, kebanyakan orang menyukai sinar matahari yang hangat dipagi hari, tapi aku malah cenderung menghindarinya.

“AYO CEPETAN!! MASUK!! MASUK!!” teriakan para kakak senior membuatku mempercepat langkah kaki menuju aula.

Sepertinya aku nggak sendirian. Semua mahasiswa baru yang masih berada di luar, berlarian dan

menghambur masuk ke dalam ruangan aula. Para mahasiswa baru nggak mau kena hukuman dari para senior karena terlambat. Hukuman mereka sangat sadis.

“Baik! Semuanya sudah berkumpul? Perkenalkan namaku, Sasya, ketua BEM tahun ini. Salam kenal adik-adik

sekalian.”

OSPEK merupakan kegiatan rutin yang terjadi pada setiap tahun ajaran baru dalam sebuah universitas. Mereka membagi mahasiswa baru dalam sebuah kelompok-kelompok. Kelompok ini berisikan 20 orang anggota dari berbagai fakultas. Di sini kami belajar saling mengenal, bekerja sama, dan tolong menolong selama OSPEK berlangsung. Lewat OSPEK kami jadi bisa mengenal dengan dekat teman-teman kami, kampus kami, dan diharapkan antar fakultas pun bisa selalu bekerja sama dengan baik nantinya.

Setelah beberapa menit sambutan dari ketua BEM, akhirnya kami dibagi dalam beberapa kelompok. Aku mendapatkan kelompok no 13.

“Angka sial,” pikirku sebal.

“Hei, 13 kan? Sekelompok denganku?” seorang gadis cantik menyapaku dan menunjukan no undiannya.

“Ha..hai..” dengan gugup aku menyapanya. Jujur setelah kejadian di masa lalu, aku belum pernah berteman dengan siapa pun selain adikku.

Aku memandangnya, dia begitu bersinar dengan rambutnya yang hitam, lurus, dan panjang. Wajahnya yang cantik dihiasi bibir mungil berwarna merah, bola matanya juga hitam dan berbinar.

“Jessica, panggil aku Jessi.” tangannya terangkat untuk mengajakku bersalaman.

“Len...na.” Aku membalas salaman tangannya. Dia teman pertama yang aku punya saat ini.

Kami duduk dalam sebuah lingkaran besar untuk memperkenalkan diri. Satu per satu menyebutkan nama dan fakultasnya, juga jurusan kami masing-masing.

Kampusku merupakan kampus yang cukup elit. Hanya orang dengan banyak uang atau dengan kemampuan yang hebat yang bisa masuk ke dalamnya. Nggak heran mahasiswanya juga nggak terlalu banyak. Tapi fakultasnya terbilang lengkap, fasilitasnya oke, dan para pengajarnya merupakan orang-orang pilihan.

Ada beberapa fakultas di kampus ini,

FAK EKONOMI, meliputi Akutansi, Managemen, dan Bisnis

FAK SENI & DESAIN, meliputi Seni Murni, Graphic Design, Interior Design.

FAK KEDOKTERAN, meliputi Kedokteran Umum, dan Kedokteran Gigi.

FAK SASTRA, meliputi Sastra Inggris, Jepang, Cina, dan Jawa.

.

.

.

Akhirnya tiba saatnya Jessi memperkenalkan diri.

“Jessi, Fakultas Ekonomi, jurusan management.” Jessi tersenyum manis dan memamerkan deretan giginya yang rapi.

“Kau sangat cantik! Aku iri dengan anak-anak management, mereka semua modis dan berkelas.” Nora, salah seorang cewek dalam kelompok kami memuji Jessi.

“Namaku Cellena, panggilanku Lenna, aku Fakultas Ekonomi, jurusan bisnis,” akhirnya tiba saatnya aku memperkenalkan diri.

“Wah anak ekonomi tahun ini cantik-cantik, ya.” puji mereka.

Hah?? APA?? Cantik?? Kata-kata itu terngiang di benakku saat ini.

“Maksud kalian aku cantik?” tanyaku meyakinkan pendengaranku.

Mereka tampak bingung dan saling mengadu pandang antara satu dengan lainnya. Mereka terlihat bingung dengan

pertanyaanku.

“Apa ada yang salah saat kami bilang kamu cantik? Apakah itu menyinggungmu?” seorang cowok mulai berbicara dengan hati-hati, kelihatannya dia takut menyinggung perasaanku.

“Kamu cantik, Lenna, terlepas dari segala kekuranganmu.” Jessi tersenyum padaku.

Mataku berkaca-kaca, baru kali ini ada orang yang tidak membicarakan hal buruk di depanku. Walaupun itu hanya sekedar basa-basi pun aku merasa bahagia. Tanpa sadar air mataku turun dan menetes, aku menangis.

“Kenapa menangis? Cengeng amat.” seorang cowok mendekat dan duduk di sampingku.

Ucapannya terlihat menyebalkan, namun ada benarnya juga. Untuk apa juga aku menangis hanya karena ada seseorang yang mengatakan kalau aku cantik?

“Namaku Davin Alexander, panggil aku Alex, aku jurusan seni murni.”

“Kamu terlambat, dari mana saja?” tanya senior pendamping  dengan sedikit emosi.

“Maaf hari ini saya harus mendampingi Prof. Bram dalam pamerannya.” Alex menjawab kakak senior, namun wajahnya tetap acuh dan masih berfokus pada layar ponselnya.

“Lain kali kamu harus ijin dulu.”

“Baik.”

Aku melihatnya memasukan ponsel ke dalam tas, wajahnya ternyata sangat tampan. Kulitnya kuning dan bersih, terlihat terrawat untuk ukuran seorang pria. Rambutnya coklat kemerahan, sedikit panjang dan bergelombang. Sorot matanya tajam, dan bibirnya benar-benar merah. Sampai aku mengira dia mengoleskan lip tint.

“Mirip V- BTS, ya?” Jessi membisikan sesuatu ke telingaku.

“Siapa itu?” tanyaku pada Jessi.

Jessi menatapku dengan keheranan, “Kau nggak tahu BTS?”

Aku gelengkan lagi kepalaku. Kali ini Jessi langsung membuka ponsel dan mengetik di halaman sebuah situs pencarian.

"V- BTS." ketiknya.

Muncul gambar seorang cowok super ganteng dan juga super imut, dengan wajah oriental memenuhi layar ponselnya.

“Ganteng banget,” gumamku saat melihat foto itu.

“Tuh, kan.. Gantengkan? Makanya gaul. Ini namanya idol.”

“Idol?” tanyaku lagi.

“Iya... cowok keren, nyanyi, dance, boyband.” Jessi mengepalkan tangannya, lalu bergerak mengikuti gerakan orang bernyayi sambil menari. Tanpa sadar aku terkikih pelan melihat tingkahnya yang lucu.

“Hei... kalian berdua! Jangan ribut!” tegur seorang senior.

“Baik, Kak.” Jessi mendengus kesal.

Kami menikmati menyelesaikan OSPEK hari ini dengan baik. Rasanya waktu berjalan dengan cepat. Hal buruk yang aku takutkan pun tidak terjadi. Mereka tidak memelototiku seperti teman- teman SD ku dulu, atau merasa sungkan dan menjauhiku karena aku berbeda. Mereka menganggapku sama dengan mereka, mengobrol, tertawa, dan bahkan makan semeja denganku. Aku merasa bahagia saat ini. Ya, Tuhan bolehkah aku merasakan kebahagiaan ini selamanya?

“Alex tolong tulis no ponselmu di sini. Kita mau bikin grup chat.” Aku menyodorkan kertas dan bolpoin padanya. Tanpa ragu dia mengambil bolpoin dan menuliskan sederetan angka.

Aku mengamati wajahnya yang tampan. Aku terkagum karena tak mendapati ada satupun cela di wajahnya. Warnanya sungguh bersinar, rona merah terlukis lembut di kedua pipinya. Ingin rasanya aku mencubit pipinya, melihat itu asli atau boneka?

“Ini.”

“Makasih, ya, Lex.” Aku memalingkan wajahku saat mata kami bertemu.

BODOH!! Kenapa aku malah berpaling? Sudah terlanjur berpaling, dari pada malu mending aku bergegas meninggalkannya. Toh, apa yang aku cari sudah aku dapatkan.

Aku memasukan semua no ponsel anak-anak dalam grup chat. Rencananya kami akan membuat barbeque party untuk malam pengakraban, malam terakhir sebelum OSPEK selesai.

—MUSE—

.

.

.

Day 3

Aku bersiap-siap pergi ke kampus dengan lebih bersemangat pagi ini. Baru kali ini aku merasakan dorongan dan

rasa bahagia saat ingin segera melakukan sesuatu. Kalau nggak salah, orang menyebutnya dengan EUFORIA?

Keceriaanku memunculkan tanda tanya, namun juga perasaan lega di hati ke dua orang tuaku. Setelah mencium pipi Papa dan Mama, aku mengacak-acak rambut Arvin dan bergegas masuk ke dalam mobil.

“Sampai, Neng.” senyum Pak Gino. Aku membalasnya juga dengan senyuman yang nggak kalah manis.

Aku sedikit berlari saat memasuki area kampus, kali ini aku tidak duduk sendirian. Ada teman-teman satu kelompok yang menantiku. Ada Jessi, Nora, Jovan, Alex, dan lainnya, mereka semua menungguku.

“Kau terlihat bersemangat?” Jessi memberikan sebuah selebaran padaku.

“Apa ini?” tanyaku padanya.

“Formulir ekstrakurikuler.”

“Oh.. aku belum pernah memasuki eskul apapun sebelumnya karena aku selalu home schooling,” nada datar keluar dari pita suaraku, sedikit menyiratkan rasa kecewa.

“Kau nggak bisa kegiatan outdoor -kan? Pilih aja yang indoor.” Jessi mengetuk lembaran formulir dengan bolpoin.

“Pustakawan, menari, band, paduan suara. Coba kau pilih salah satunya.” suara Jessi kembali terdengar.

“Iya, coba aku pertimbangin dulu.”

“Melukis, kau bisa pilih eskul melukis.” suara Alex terdengar jelas di belakangku.

“Aku nggak bisa menggambar, apalagi melukis,” jawabku sambil berusaha tersenyum senatural mungkin.

Sejujurnya, aku cukup senang saat Alex ngajakin ngomong duluan seperti saat ini. Tapi aku juga sebal karena nggak bisa menahan ekspresi itu terlukis jelas di atas wajahku.

“Sayang sekali padahal kita bisa sering ketemu.” Alex berlalu dan berbaur duduk dengan para cowok di kelompok kami.

Apa yang dia katakan tadi? Sering bertemu? Apakah dia mengaharapkan untuk bisa sering bertemu denganku? Ataukah itu hanya basa-basi biasa antar teman? Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada rasa bahagia namun sedikit sesak di dalam dadaku.

“Len.. wajahmu merah. Kau nggak pa-pa, kan? Apa kepanasan?” tanya Jessi.

“Nggak, kok. Aku ke toilet dulu.”

Aku menghindari tatapan Jessi dan bergegas masuk ke dalam toilet. Kulihat pantulan wajahku di atas cermin

wastafel. Kulitku yang putih berubah sedikit kemerah-merahan. Merah tapi bukan karena sinar matahari seperti biasanya. Aku meraba pipiku yang merona, dadaku masih sesak, jantungku masih berdegup kencang. Rasanya baru kali ini aku merasakan getaran seperti ini. Rasanya baru kali ini juga aku merasakan pipiku hangat karena darah mengalir kencang di dalamnya. Ya, Tuhan rasa apa ini yang muncul di dalam hatiku? Walaupun sedikit sesak tapi nyatanya rasa itu mampu membuatku sedikit berwarna.

—MUSE—

“Cheeeersss..”

Klang Klang..

Bunyi dentingan gelas saat beradu dan gelak tawa memenuhi suasana makrab malam ini. Kami membuat barbeque daging sapi dan jagung bakar. Para cowok membeli beberapa botol bir dan soda sebagai teman makan. Aku tersenyum saat anak-anak tertawa menikmati suasana ceria itu.

“Hore!! Bebas dari hukuman dan caci maki senior!” Nora seorang maba (mahasiswa baru) jurusan interior mengangkat gelasnya. Ia meneguk seluruh isinya sampai habis dalam sekali minum. Semuanya bersorak saat Nora selesai menghabiskan seluruh isi gelas.

“Giliranku.” Jessi mengambil segelas minuman dan ikut menenggaknya.

Jessi orangnya begitu mudah bergaul dan dekat dengan banyak orang. Nggak sepertiku yang dalam keramaian pun hanya terduduk diam dan mengikat kedua kakiku dengan tangan.

“Ayo Lenna..! Nikmati juga minumanmu.” teriak Jessi dari tengah teman-teman.

“Nggak, aku nggak bisa minum. Aku minum soft drink saja.” Aku mengangkat kaleng soft drink yang dari tadi tergeletak di sampingku.

Aku kembali mengikat kedua kakiku dan meletakan dagu di atas lutut.  Mataku mulai mencari keberadaan Alex yang belum terlihat dari tadi.

“Padahal dia kelihatannya adalah anak yang ceria, kenapa malah nggak ikutan ngumpul?” Aku menghela nafas.

Akhirnya aku putuskan untuk sedikit berjalan-jalan dan merenggangkan tubuhku. Udara malam ini cukup dingin

ternyata. Di sekitar area kampus banyak anak-anak dari kelompok lain. Mereka juga duduk-duduk dan menghabiskan malam pengakraban dengan kelompoknya masing-masing.

Tanpa aku suruh, mataku jelalatan mencari sosok Alex dalam keramaian ini. Sosoknya yang begitu berwarna pastinya terlihat mencolok di antara kerumunan ini. Namun aku tetap nggak bisa menemukannya. Akhirnya aku terdampar pada sebuah bangku di taman pinggir danau. Suasananya nampak tenang, sinar lampu-lampu taman terpantul di air danau yang bergerak pelan. Aku menikmati angin malam di pinggir danau buatan yang cukup besar ini. Di sekeliling danau ada taman yang dihiasi banyak pohon rindang.

Beberapa orang kakak senior dan mahasiswa baru juga duduk di pinggir danau, ada yang sibuk dengan laptopnya, ada yang sibuk ngobrol, sampai pacaran.

Aku menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku, sejenak hatiku menjadi sangat tenang.

“Not Bad,” kataku lirih.

—MUSE—

Like, comment, and +Fav

Follow dee.meliana for more lovely novels.

❤️❤️❤️

Thank you readers ^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!