"Makan terus. Gimana mau kurus,” ledek sang kakak pada adiknya yang duduk di meja makan dan menyantap semangkuk mie instan yang khusus dibawa sang ibu sebagai oleh-oleh dari kampung halaman.
“Ck. Biarin. Gendut begini juga yang penting punya pacar. Dari pada abang ganteng-ganteng jomblo,” sahut sang adik dengan tetap meneruskan aktivitasnya.
“Tian itu cuma manfaatin kamu. Dia ga bener-bener cinta sama kamu,” ujar sang kakak lagi yang kemudian ikut duduk di samping sang adik.
“Udah deh, Jangan jelek-jelekin Tian terus! Pokoknya ga mempan. Ayesha bisa rasain kalau Tian tuh cinta mati sama Ay.”
“Wek ...” sang kakak itu pun menjulurkan lidahnya ke arah sang adik. “Sini Abang minta mie nya.” Pria itu bernama Vinza.
Vinza menarik mangkuk yang ada di hadapan sang adik.
“Ih, apaan sih. Ga boleh minta. Bikin sendiri!” Ayesha menarik lagi mangkuknya.
“Pelit. Wee ...” Vinza berdiri dan kembali menjulurkan lidahnya ke arah Ayesha.
“Iya, Ma. Ini Ayesha makan mie malem-malem,” ujar sang kakak tiba-tiba ke arah kaamr orang tuanya.
Sontak Ayesha pun menoleh ke arah kamar itu. Lalu, dengan cepat Vinza mengambil mangkuk sang adik dan memakan sisa mie itu dengan lahap sambil menjauhkan diri darinya.
Kemudian Ayesha menoleh. “Abang ...” teriaknya ketika melihat sang kakak melahap habis makanannya di pojok sana.
“Mie Ayesha, Abang ...” rengek gadis gempal itu sambil memukul lengan sang kakak.
“Hmm ... udah lama ga makan mie cita rasa Indonesia.”
“Abang ...” teriak Ayesha merengek karena ternyata Vinza sudah melahap habis makanannya. “Nih, cuci. Itung-itung ngurangin karbo di tubuh kamu.”
Vinza memberikan mangkuk kosong itu pada Ayesha.
“Abaaanng ...” teriak Ayesha hingga terdengar melengking.
Vinza hanya tertawa dan segera berlari ke kamarnya, sebelum sang adik dengan brutal memukulnya.
Vinza dan Ayesha adalah anak dari Vicky Prayoga dan Andrea Maleeka. Dahulu, ayah Ayesha adalah seorang asisten handal dari keluarga terkaya di Indonesia. Namun, ia memilih pensiun dini dan menetap di Australia. Kebetulan Vicky memiliki adik perempuan yang tinggal di negara ini dan memiliki suami pengusaha muda. Kini, Vicky membangun usaha bersama adik iparnya di sini, di bantu oleh anak laki-laki mereka yang sudah mumpuni untuk bekerja dan mengelola bisnis.
Vely adalah adik Vicky yang memiliki suami berkewarganegaraan Australia yang bernama Dave. Mereka dikaruniai seorang putra dengan nama Daren. Usia Daren hanya terpaut enam bulan lebih tua dari Vinza. Saat ini kedua anak muda itu kompak membantu perusahaan ayah mereka.
Sedangkan Ayesha masih kuliah semester akhir. Kini, ia sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Ayesah memang bertubuh gempal. Walau tidak terlalu obesitas. Gadis itu juga tidak senang berdandan seperti gadis pada umumnya. Biasanya seusia Ayesha senang bersolek agar mendapat pujian dari lawan jenisnya. Bagi Ayesha penampilan tidak penting, yang penting adalah otak. Cantik tidak akan bisa membawa ia mendapatkan mimpinya. Tapi dengan pintar, ia bisa mewujudkan mimpinya, termasuk mendapatkan pria tampan dan terkenal di kampusnya. Pria itu bernama Christian atau biasa di panggil Tian.
Tian adalah salah satu mahasiswa Indonesia paling tampan dan terkenal seantero kampus. Dia juga seorang anak dari pengusaha batubara di negaranya. Perangainya baik dan sopan, sehingga ia pun terkenal di KBRI dan menjadi incaran para wanita.
Di dalam kamar, sebelum tidur Ayesha pasti melihat foto-fotonya bersama Tian dan tersenyum. Ia sangat mencintai pria itu, karena bagi Ayesha, Tian adalah cinta pertamanya. Mereka kenal sejak duduk di high school atau jenjang SMA, karena memang sejak itu Ayesha dan keluarga menetap di negeri ini.
Ayesha dan Tian resmi berpacaran sejak masuk Universitas tingkat dua dan kini mereka sudah tiga tahun berpacaran.
“Selamat tidur, Sayang.” Ayesha mengecup foto Tian yang tengah tersenyum dan menggandengnya dari samping. Lalu, ia tersenyum dan mulai memejamkan mata.
Di apartemen, Tian tidak sendirian. Ia ditemani oleh seorang wanita yang bernama Jessica. Wanita itu juga merupakan mahasiswa Indonesia sekaligus sahabat dekat Ayesha.
“Oh, Yan. Terus ... lagi ...” terdengar suara sensual dari bibir Jessica.
Jessica dan Tian sedang berada di dalam kamar, bahkan di atas ranjang. Ini adalah kesekian kalinya mereka bercinta.
Jessica dan Tian sudah melakukan hubungan terlerang ini sejak enam bulan terakhir. Jessica yang bertubuh langsing dan cantik, mampu membuat Tian tergoda. Padahal jika Ayesha berdandan, pastinya Ayesha jauh lebih cantik dibanding wanita itu. Apalagi perangai Jessica, sangat berbanding terbalik dengan Ayesha. Tidak banyak wanita yang dekat dengan Jessica karena wanita itu egois, dominan, dan ingin menang sendiri dalam hal apapun, hanya Ayesha yang hingga kini betah berteman dengannya. Ayesha tipe pendengar dan mengalah, sedangkan Jessi wanita yang berani. Tidak jarang Jessi melindungi Ayesha ketika ia mendapat bully-an dari teman-temannya. Hal itu yang membuat mereka dekat. Namun, siapa sangka ternyata Jessi menusuknya dari belakang.
“Eum ... Jes. Aku sudah tidak tahan,” ujar Tian dengan anda yang sedikit mengeram.
“Bersama, Sayang. Aku juga sudah ingin ...” sahut Jessi terpotong hingga mereka pun berteriak bersama.
“Arrggg ....”
Nafas Jessi dan Tian naik turun dan dibasahi oleh peluh karena aktivitas panas itu, padahal di luar sana cuaca sangat dingin.
Tian ambruk di tubuh Jessi, setelah beberapa detik ia pun menggulirkan tubuhnya ke samping.
“Yan, sampai kapan kita seperti ini?” tanya Jessi.
“Sabar, Jes. Aku menunggu waktu yang tepat untuk putus dengan Ayesha.”
“Iya, tapi sampai kapan? Atau jangan-jangan kamu memang tidak mencintaiku?” Jessi merajuk.
Tian memiringkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Jessi. Ia mengelus pipi mulus wanita itu. “Tunggu sampai tugas akhirku selesai. Aku butuh Ayesha untuk membantu menyelesaikan tugas itu. setelah itu kita akan bersama, Sayang.”
Tian memang mahasiswa yang sudah lama tidak lulus. Bahkan ia sempat diberi peringatan dari pihak kampus yang mengultimatum bahwa tahun ini adalah tahun terakhirnya untuk lulus.
“Aku minta pengertian kamu ya, Sayang. Aku sangat mencintaimu. Percayalah!” kata Tian lagi.
“Melebihi cinta kamu ke Ayesha?” tanya Jessi lagi.
“Tentu saja.”
Seketika Jessi tersenyum. Bibirnya menyeringai, lalu meminta Tian untuk memeluknya erat. “Tian, aku tidak pernah seperti ini dengan pria manapun. Aku sungguh ingin serius sama kamu.”
“Ya, aku juga.” Tian memeluk erat tubuh polos wanita itu.
Selama berpacaran dengan Ayesha, pria itu tidak pernah merasakan kehangatan diranjang. Berbeda dengan Jessica. Hanya baru beberapa hari mereka dekat, Jessi sudah menyerahkan dirinya pada Tian. Pria mana yang tidak tergoda dengan tubuh molek Jessica. Begitu pun Tian, ia tak mampu menggenggam kesetiannya untuk Ayesha dan sayangnya Ayesha pun tidak tahu hal ini. Bagi Ayesha, Tian adalah kekasih yang sempurna yang begitu mencintainya dan pengertian.
"Bagaimana, Ay? Tugasnya beres? Butuh referensi apa lagi?” tanya Tian pada Ayesha.
Mereka saat ini tengah duduk di perpustakaan dengan posisi Tian yang berada di depan Ayesha. Gadis gempal berkacamata itu pun hanya fokus dengan layar laptopnya.
“Sejauh ini bahan referensi udah oke. Reset juga udah. Tinggal dikembangin aja kata-katanya, Yan.”
“Kamu aja yang buat, Ay. Aku mohon! Soalnya nanti sore aku ada acara di KBRI,” ucap Tian.
“Oh, gitu. Oke.” Dengan polosnya, Ayesha menganguk setuju. Apapun permintaan Tian, pasti Ayesha kabulkan.
“Hai, Ay. Hai, Tian.” Sapa Jessi dari kejauhan.
Jessica langsung duduk di sebelah Tian. “Masih sibuk, Ay?” tanyanya basa basi.
“Eum ...” Ayesha tersenyum dan melirik ke arah Jessi. “Iya nih Jes.”
“So, kamu ga bisa hadir ke acara di KBRI, Yan?” tanya Jessi pada kekasih Ayesha.
“Oh, kamu ikut ke acara itu, Jes?” tanya Ayesha polos.
Jessica mengangguk. “ya, kebetulan aku juga panitianya.”
“Ayo, Ay. Kamu juga ikut yuk. Acaranya seru loh. Kamu kan ngga pernah hadir ke acara KBRI,” bujuk Jessi pura-pura.
“Yah, ini tugasnya ga bisa di tinggal, Jess.”
“Yah, ga asyik kamu, Ay. Tian, ajak Ayesha dong,” ucap Jesi dengan engedipkan satu matanya ke arah Tian.
Tian hanya tersenyum. “Ya udah tugasnya besok di lanjut lagi aja.”
“Tapi minggu depan deadline-nya, Yan.”
Jessi masih santai. Ia memang belum niat untuk mulai melakukan reset akhir, karena masih ada beberapa mata kuliah yang belum ia penuhi.
“Ya udah, kamu aja yang pergi, Sayang. sekalian temani Jessi, kasihan dia sendirian,” ucap Ayesha.
Sontak Jessi dan Tian pun tersenyum ke arah Ayesha yang tengah fokus pada layar laptopnya. Sesekalil Jessica dan Tian pun saling melirik.
“Kamu beneran ga apa-apa, Sayang?” tanya Tian dengan suara manja. “Aku lebih baik ga usah ikut ke acara itu. Masa aku senang-senang sementara kamu di sini pusing ngerjain tugas sendiri.”
Ayesha mengalihkan pandangannya ke arah sang kekasih dan tersenyum. “Tidak apa, Sayang. itu kan acara besar kamu dan kamu ketua panitianya. Masa kamu ga ada. Udah ga apa-apa. Aku di sini kerjain tugas kamu dan kamu di sana penuhin kewajiban kamu. Jadi semuanya beres. Oke!”
“Hmm ... makin sayang sama kamu.” Tian berdiri dan langsung memeluk Ayesah, membuat senyum Jessi pun hilang.
“Iya, Sayang. Aku juga saaayaang banget sama kamu.” Ayesha menerima pelukan itu.
“Kalau begitu aku jalan ya. Maaf ya sayang aku jadi tinggalin kamu di sini,” kata Tian.
“It’s oke.” Ayesha tersenyum.
“Kalau gitu, aku juga pergi ya, Ay,” ucap Jessi dengan senyum terpaksa.
Ayesha tersenyum ke arah Jessi. “Oke Jes. Titip Tian ya. Kalau dia macem-macem sama cewek, lapor ke aku ya Jes.” Ayesha tertawa. Tawa yang sangat manis bagi orang yang melihatnya tanpa fisik.
“Aku ga mungkin berpaling dari wanita sebaik kamu.” Tian mengecup pipi kanan dan kiri Ayesha sebelum pergi.
Ayesha kembali tertawa.
“Dah, Ay.” Jessi melambaikan tangannya setelah ia mengecup pipi Ayesha.
“Dah.” Ayesha pun melakukan hal yang sama.
Ia tersenyum ke arah Jessi dan Tian yang sedang berjalan keluar ruangan itu. Lalu, ia menghelakan nafasnya kasar dan kembali fokus pada benda elektronik di meja itu.
****
“Hai, Vin. Apa kabar?” tanya Vicky pada pria tampan yang saat ii berdiri di hadapannya.
Dia adalah Kevin Putra Adhitama, putra pertama Kenan, mantan bos Vicky, ayahnya Ayesha ketika ia masih bekerja di Indonesia sekaligus sahabat Kenan.
“Baik, Om. Om apa kabarnya?”
“Baik.”
Mereka pun saling berjabat tangan, lalu Vicky memeluk tubuh kekar Kevin dan mereka duduk berhadapan. Vicky duduk di kursinya sedangkan Kevin di seberangnya.
“Makin ganteng aja kamu Vin,” ujar Vicky.
“Ah, om bisa aja.” Kevin tersenyum.
“Papa dan Mama mu apa kabar?”
“Baik. Alhamdulillah semua baik. Papa titip salam untuk Om.”
“Oh iya, kalau Keanu apa kabar? Dia masih di Cambridge?” tanya Vicky lagi.
Kevin mengangguk. “Ya, masih Om. Sepertinya Keanu masih lama di sana, katanya dia masih ingin main-main di sana."
Untung saja di sana, Keanu ditemani oleh Oma nya, sehingga sang adik tidak begitu nakal walau ia agak sedikit liar.
Vicky tertawa. “Dia memang berbeda denganmu. Kalau kamu sama persis dengan Papamu.”
“Oh ya?” Kevin ikut tertawa.
Kevin memang memiliki gaya dan karakter yang sangat mirip dengan Kenan muda. Berbeda dengan sang adik Keanu, yang lebih humble, supel dan mudah bergaul. Kevin justru kebalikannya. Ia serius, tidak mudah dekat dengan orang lain apalagi lawan jenis, dan hidupnya berjalan sesuai rencana.
“Oh, ya. Kabarnya Papamu ikut di pemilihan Gubernur tahun ini. benar?” tanya Vicky.
Mengingat hal itu, Kevin pun menghela nafasnya kasar sambil memijat kening. “Entahlah, Om. Kevin juga pusing dengan keinginan Papa itu.”
“Loh, bagus dong. Papa mu ingin mengabdi pada negara. Itu bagus. Lagi pula Papa mu memiliki talent untuk itu. Kamu harusnya bangga, Vin.”
“Ya, sih. Tapi masalahnya. Kevin ikut kena imbas dari keinginan Papa itu.”
“Apa?” tanya Viciky.
“Papa maksa Kevin untuk nikah, karena satu-satunya syarat untuk menggantikan posisi Papa di perusahaan sebagai CEO itu harus sudah menikah.”
Vicky tertawa dan mengangguk. Memang sejak sepuluh tahun terakhir dan sejak perusahaan Kenan menjadi Go publik, ada beberapa peraturan baru di sana. termasuk dalam memilih pemimpin. “Ya memang sudah waktunya bukan?”
“Ah, Om. Jangan seperti Papa? Kevin lelah ditanya hal itu. Jangankan menikah, dekat dengan wanita aja ngga.”
Vicky kembali tertawa. Ia ingat kelakuan Kenan dulu. “Kamu persis Papamu, Vin.”
“Hai, Vin,” sapa Vinza yang baru saja memasuki ruang ayahnya.
“Hai, Za.” Kevin berdiri dan menerima pelukan kakak Ayesha.
“Kapan datang?” tanya Vinza.
“Baru semalam.”
“Sama Sean?” Vinza menanyakan asisten Kevin, putra dari Riza dan Vanesa.
“Nggak. Kebetulan aku sendirian. Sean ngurus yang lain.”
Vinza emngangguk.
“So, Saya ke sini ingin meminta bantuan untuk dapat orang progamer yang handal. Perusahaan sedang krisis di bagian itu, Om. Apalagi ini era digital. Sistem harus semakin dipermudah, right?” kata Kevin.
Vicky dan Vinza pun mengangguk. Kebetulan mereka kini memang bebrisnis di bidang itu. bidang yang biasa dikenal dengan sebutan star up. Vicky dan Dave menekuni bidang sistem yang menjadi jembatan untuk para sistem aplikasi berbasis jual beli dan pemberian diskon secara digital. Perusahaan yang dibangun oleh Vicky dan Dave yang dikelola oleh putra mereka kini sudah merambah ketiga negara yaitu, Thailand, dan Singapura. Recananya ia juga akan membangun bisnis ini di Indonesia. Oleh karena itu Kevin di sini, selain untuk mencari programer handal untuk perusahaannya, Kevin juga akan ikut andil dalam permodalan awal bisnis Vicky yang akan dibangun di Indonesia.
“Ada, sih yang handal. Tapi orangnya belum lulus. Maksudnya sedikit lagi lulus,” ujar Vinza.
Vicky dan Kevin melirik ke arah pria itu.
“Siapa?” tanya Vicky yang tidak sadar bahwa Vinza mengarah pada putrinya sendiri.
“Ayesha, Pa.”
“Ah, ya.” Vicky menepuk jidatnya. “Papa hampir lupa. Dia cukup cerdas di bidang itu. Tapi sayang Ayesha belum lulus.”
“Siapa Ayesha, Om?” tanya Kevin.
“Putri, Om. Vin. Adik Vinza,” jawab Vicky.
“Oh.” Kevin hanya membulatkan bibirnya dan menganggukkan kepalanya.
Ia tak cukup mengingat Ayesha. Kebetulan Ayesha dan Kevin memiliki jarak usia yang cukup jauh yaitu lima tahun. Ketika Ayesha kecil pun, mereka hanya bertemu beberapa kali dan sejak kecil Kevin memang selalu menghindari diri dari yang namanya wanita. Menurut Kevin wanita adalah makhluk merepotkan kecuali ibunya.
Sudah tujuh hari tujuh malam, Ayesha beekrja keras agar tugas akhirnya selesai. Ia juga membantu menyelesaikan tugas akhir Tian. Hampir tujuh puluh persen tugas Tian, Ayesha yang mengerjakannya. Tian hanya membantu merapihkan sedikit, padahl itu adalah tugas akhirnya sendiri. Ayesha terlalu naif dengan cinta, hingga bisa dimanfaatkan seperti itu.
“Hah, akhirnya selesai juga.” Ayesha menarik nafasnya kasar.
Di depannya tengah duduk Tian. Pria itu tersenyum. “Terima kasih, Ay.”
“Sama-sama, Yan. Aku seneng bisa bantuin kamu.”
Tian menagngguk. “Untuk ucapan terima kasih, aku akan mengajakmu jalan-jalan malam ini.”
“Benarkah?” tanya Ayesha antusias.
Tian menggangguk dan tersenyum.
Ayesha pun langsung menghamburkan pelukan hingga Tian yang sedang duduk pun terjungkal. Mereka berdua terjungkal ke belakang karena kursi yang di duduki Tian patah akibat ulah Ayesha yang menubruknya tanpa aba-aba.
“Hahahaha ...”
Sontak seluruh orang yang di ruangan perpustakaan itu menertawai mereka. Tian dan Ayesha menjadi fokus semua orang di sana. Bahkan ada yang mengabadikan momen lucu itu.
“Kamu apa-apaan sih, Ay,” ujar tak senang Tian.
“Maaf, Yan. Aku terlalu senang. Maaf ya.” Ayesha bangkit dan mengulurkan tangannya ke arah Tian untuk membantu pria itu berdiri.
Tapi Tian cukup malu dengan kejadian itu, hingga ia tak membalas uluran tangan Ayesha. Pria itu berdiri sendiri dan segera merapikan barang-barangnya untuk keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin jadi objek bully-an karena memiliki kekasih yang berat badannya melibihi kapasitas semestinya.
Tian malu. Pria itu sungguh malu. Selama ini, ia menahan ejekan orang karena memang menurutnya Ayesha adalah wanita yang baik da selalu membantunya kapan pun itu.
“Yan, maaf. Tolong jangan marah, aku tidak sengaja. Tadi hanya ekspresiku yang terlalu senang, karena sudah lama kita ga jalan bersa ...”
“Stop!” Tian menoleh ke belakang dan memotong perkataan Ayesha. “Cukup, Ay. Kita tidak jadi jalan nanti malam.”
Ian melangkah pergi meninggalkan Ayesha yang masih berdiri mematung di sana dengan memegang laptopnya di dada. Ia tak mungkin mengejar Tian, karena langkah kaki Tian cukup cepat, yanga da Ayesha akan ngos-ngosan dan tambah menjadi pusat perhatian sehingga Tian semakin ilfil dengannya.
Seketika bulir air mata jatuh di pipi Ayesha. Tian masih saja suka seperti ini. padahal ia telah menghabiskan waktu hingga tidak tidur yang cukup selama satu minggu ini hanya untuk menyelesaikan tugasnya. Hanya karena kejadian kecil tadi, Tian menghilangkan kerja kerasnya untuk pria itu. Sungguh keterlaluan.
****
Hampir setiap hari, setiap waktu, Ayesha melihat ponselnya. Tak ada satu pun pesan Ayesha yang dibalas Tian. Pria itu menghilang tanpa kabar beberapa minggu mereka tidak berjumpa, sejak kejadian di perpustakaan waktu itu.
Tugas akhir selesai. Ayesha dinyatakan lulus dan Tian pun demikian. Namun, tidak ada basa-basi dari Tian atau pun sekedar berucap terima kasih. Malah, pesan dari Ayesha saja tidak dibalas olehnya.
“Hei, Ndut. Kenapa ga keluar-keluar kamar?” tanya Vinza yang langsung masuk ke kaamr sang adik dan merebahkan tubuhnya di samping Ayesha yang sedang tengkurap sambil memainkan ponsel.
“Dari tadi ditanyain Maam sama Papa di bawah,” ucap Vinza lagi.
Pria itu ikut tengkurap dan ikut melihat ponsel Ayesha yang terbuka. “Ck. Pasti kamu begini karena Tian kan?”
Ayesha mengangguk. “Aku berbuat salah sama dia, Bang. Sekarang dia ngambek dan ga hubungin aku dua minggu.”
“Ah, emang anaknya aja yang rese. Udahlah putus aja. Cowok kaya gitu ga usah dibelain. Ngga ada terima kasihnya, udah dibantuin tugasnya juga.”
Lalu, Ayesha bangkit dari ranjang itu dan segera mengambil mantelnya.
“Eh, mau kemana?” tanya Vinza yang ikut bangkit dan mengikuti adiknya.
“Aku mau ke apartemennya Tian. Aku mau minta maaf langsung sama dia.”
“Ngapain sih, ini udah malem tau.”
“Sebentar. Ngga jauh juga kok.” Ayesha langsung keluar dari kamar dan turun dengan etrgesa-gesa.
“Ay, mau kemana?” tanya Rea, Ibu Ayesha. Ia sedang duduk di ruang keluarga bersama suaminya.
“Mau ke apertemen Tian, Ma.”
“Sendiri?” tanya Vicky, ayah Ayesha.
Ayesha mengangguk. “Sebentar, Pa.”
Vinza mengikuti adiknya turun dan ia berdiri di anak tangga terakhir sambil memasukkan kedua tangannya ke saku.
“Kamu ga antar adik kamu, Za?” tanya Rea pada putranya.
“Orangnya ga mau, Ma.”
“Ya, tetap diantar dong, Za,” sambung Vicky.
Vinza menaikkan alisnya untuk bertanya pada sang adik. “Di antar ngga?”
“Terserah,” jawab Ayesha yang langsung meluyur keluar.
Vinza pun mengambil mantelnya dan pamit pada kedua orang tuanya.
Sesampainya di apartemen, Vinza tidak ikut ke unit Tian yang berada di lantai dua puluh. Ia lebih memilih menunggu adiknya di lobby.
Kemudian, Ayesha berjalan menuju lift hingga sampai ke lantai unit apartemen kekasihnya. Ayesha memang sudah jarang sekali ke tempat ini. lebih tepatnya sejak enam bulan lalu. Tian melarang Ayesha ke apartemennya dengan alasan, ia tidak ingin terjadi sesuatu, karena sebelumnya Tian memang pernah mencium Ayesha dan seolah ingin melakukan sesuatu pada gadis itu. Namun, Ayesha menolaknya.
Ayesha menekan pascode pintu apartemen itu. Ternyata pascode Tian masih sama, masih menggunakan tanggal lahir pria itu, padahal sejak dulu Tian janji akan merubah pascode itu menjadi tanggal lahirnya, sebagai bukti bahwa Tian sayang padanya. Namun, hingga kini Tian tak melakukan itu.
Perlahan, Ayesha masuk ke dalam apartemen itu. Tidak ada orang di sana. Tetapi, Ayesha mendengar suara dari dalam kamar.
“Ah, Tian ... Terus ...”
“Iya, Sayang. Aku akan puaskan kamu.”
“Tian, aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, Jessi.”
Deg
Sontak jantung Ayesha berdetak kencang. Ia semakin penasaran dengan apa yang dilakukan kekasihnya di dalam sana.
“Bagaimana dengan Ayesha, Yan? Kamu tidak memberi kabar padanya?” tanya waniat di dalam kaamr itu.
Ayesha mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Dadanya sesak ketika ia melihat kekasihnya yang sedang berada di atas ranjang dan menindih tubuh seorang wanita dalm ke adaan polos. Walau ia tak tahu siapa wanita yang berada dalam kungkungan kekasihnya saat ini, tetapi ia kenal jelas suara wanita itu dan panggilan kekasihnya untuk wanita itu.
“Jangan sebut namanya! Aku muak dengan wanita gendut itu.”
“Tapi dia telah membantumu hingga risetmu selesai dan laporanmu diterima.”
“Oh, Jes. Aku sudah tidak tahan ...”
Percakapan pria dan wanita di dalam kamar itu pun tidak berlanjut karena sepertinya sang pria hendak melakukan pelepasan.
Ayesha masuk ke dalam kamar itu dan menyaksikan mereka yang sedang menikmati pelepsannya tanpa menyadari bahwa ada orang yang tengah berdiri di sana.
Dada Ayesha bergemuruh, air matanya sudah sejak tadi mengalir. Ia tak menyangka bahwa dirinya telah dikhianati terlebih oleh sahabatnya sendiri. Rasanya sakit, amat sangat sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!