Alesha Bulan Delona, seorang gadis yang kerap disapa dengan Alesha itu memiliki paras cantik bak dewi Yunani. Kulitnya putih bersinar disertai rambut panjang yang semakin menambah pesona kecantikannya. Dia terlihat begitu imut dengan tinggi badan 160cm. Kini ia sedang berada dalam perjalanan menuju sekolah sembari membaca novel Dia Acha, novel kesayangannya.
Dari malam hingga pagi, gadis itu tak bisa tidur nyenyak. Alesha begitu penasaran memecahkan teka-teki siapa Acha sebenarnya. Misteri yang terkandung di dalam novel tersebut benar-benar dirangkum begitu elok hingga membuat Alesha langsung jatuh cinta. Namun kepalanya terasa pening saat ini. Bagaimana tidak, ia memaksakan diri untuk membaca novel di dalam mobil.
Terpaksa Alesha harus menutup novelnya sebentar. Dia memijat kepalanya dengan pelan. Alesha akan melanjutkan bacaannya ketika sudah jam istirahat di sekolah baru nantinya. Hari ini adalah hari pertama Alesha menjadi murid baru. Tiga hari yang lalu, dia beserta keluarganya pindah dari Bandung ke Jakarta karna pekerjaan ayahnya.
"Kenapa, Sha?" tanya Delon, ayah Alesha.
"Pusing, Yah."
"Kamu baca novel di mobil?"
Alesha mengangguk kecil. "Iya, Yah."
"Kalau membaca di dalam mobil pasti pusing, lebih baik baca di perpustakaan aja, Sha." Tegur Delon.
"Habisnya ceritanya seru sih, kan Alesha jadi pengen cepet-cepet selesaiin,"
Delon geleng-geleng kepala. "Tapi kamu harus jaga kesehatan, Sha. Jangan paksain hal yang tidak baik untuk kesehatan," peringat Delon.
"Iya Ayahku tercinta, Alesha pasti jaga kesehatan." Alesha memeluk lengan Ayahnya. Delon mengelus pelan puncak anak tunggalnya.
"Bentar lagi udah sampe di sekolah baru, belajar yang rajin, Sha. Buat Ayah dan Ibu bangga."
"Siap, Ayah." Alesha memberi hormat.
Delon menghentikan mobil di depan gerbang. Masih tersisa lima belas menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi.
Alesha menjabat tangan Delon. Ia menempelkan tangan Delon ke dahinya. "Alesha sekolah dulu, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumslaam."
Alesha turun dari mobil. Sebelum masuk, ia merapikan seragamnya. Detak jantungnya berdegup kencang. Alesha mengatur napasnya mengurangi rasa gugup.
Delon memencet bel, kemudian beliau pergi bekerja. Alesha melambaikan tangan seraya tersenyum, setelah itu ia menantapkan diri untuk masuk ke dalam sekolah dengan hati berdebar-debar.
...***...
Alesha masuk ke dalam kelas bersama wali kelasnya. Semua pandangan mata teman-temannya tertuju ke arahnya. Alesha menarik napas dalam-dalam membuang rasa nervous-nya.
"Halo semua, perkenalkan nama gue Alesha Bulan Delona, kalian bisa panggil gue Alesha, terima kasih."
Seorang cowok dengan tas yang menyampir di bahu langsung nyelonong masuk tanpa permisi.
"Zafran! Mana etikamu saat masuk kelas!" tegur Dewi.
"Ketinggalan di rumah," Zafran melemparkan tasnya di atas meja kemudia ia duduk dan menelungkupkan kepalanya di atas meja tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Dewi geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Zafran. "Alesha, silahkan duduk di kursi kosong."
Alesha mengangguk dan menuruti perintah wali kelasnya. Dia berjalan menuju bangku kosong yang berada di samping kanan cowok yang bernama Zafran tersebut. Di samping kiri kursinya ada seorang cowok tampan yang diam fokus memperhatikan ke depan.
Alesha tidak berani berkenalan dengan Zafran, karna cowok itu menidurkan kepalanya di meja. Alesha takut mengganggunya. Cewek itu beralih ke arah sebaliknya. Ia menjulurkan tangannya, niatnya untuk berkenalan dengan teman baru.
"Hai nama gue Alesha, lo siapa?"
Tangan Alesha senantiasa mengambang di udara. Cowok itu bahkan tidak melirik Alesha sama sekali. Cewek yang ada di depan Alesha berbalik ke belakang. Ia menurunkan tangan Alesha.
"Nama dia Gavin. Sampe setahun lo julurin tangan lo juga gak bakal di respon sama si kulkas. Mending kenalan sama gue aja," ucapnya berbisik amat sangat pelan.
"Nama gue Martha, ada dua hal yang perlu lo hindari saat sekolah di sini," jelasnya.
Alesha mengangkat salah satu alisnya. "Apa?"
"Nanti pas istirahat gue kasih tau, karna-"
"Berisik! Lo berdua bisa diem gak sih!" Alesha dan Martha terjingkat kaget. Teriakan Zafran menggema di telinga keduanya.
Martha langsung terdiam. Ia kembali ke tempat asalnya. Alesha memandang Zafran tak percaya.
"Apa lo liat-liat?"
Alesha tersadar, ia geleng-geleng kepala dan kembali fokus ke depan.
Zafran menendang bangku Alesha keras hingga kursinya menabrak kursi Gavin. Cewek itu terjatuh dipelukan Gavin. Kelas mendadak ricuh. Sebagian dari mereka bersiul ria.
*Cie.. Cie
Si kulkas otw punya pawang,
Andaikan gue jadi Gavin,
Aa, iri deh sama anak baru bisa meluk Gavin*.
Zafran berdiri dari duduknya, sebelum ia keluar dari kelas, matanya menatap Gavin penuh seringaian.
Lagi-lagi Alesha menjadi pusat perhatian. Apalagi saat dirinya memeluk Gavin. Cowok itu tidak protes bahkan posisinya masih tetap seperti semula. Alesha berkedip cepat. Ia bergegas menjauhkan diri dari Gavin.
"Ma-maaf, gue gak sengaja," Alesha menarik kursinya menjauh. Martha membantunya.
Gavin tak merespon permintaan maaf Alesha. Cowok itu menatap keluar pintu, tempat di mana Zafran keluar. Alesha melihat jika tangan Gavin terkepal erat. Otot-ototnya muncul di permukaan kulitnya. Alesha meneguk salivanya. Ia sedikit takut melihat Gavin yang terlihat menahan amarah.
"Baru aja satu hari lo udah terancam dalam bahaya," ucap Martha.
...***...
Alesha membuka novelnya. Kali ini Martha mencari tempat yang aman untuk membicarakan hal yang paling penting untuk Alesha ketahui sebagai murid baru.
Matanya fokus membaca novel. Tapi telapak tangan Martha merambat ke novelnya dan menutupnya.
"Kenapa?" tanya Alesha.
"Apanya?"
"Kenapa lo bawa gue ke perpustakaan? Kan lebih enak kalau kita ngobrol di kantin," Alesha benar, lebih nyaman jika mereka berdua membicarakan hal penting di kantin bukan di perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat sunyi anti suara, tapi Martha malah mengajaknya ke mari.
Sebenarnya Alesha suka berada di sini, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membaca. Apalagi sekarang Alesha harus mengecilkan suaranya se-pelan mungkin supaya tidak menganggu yang lain.
"Lebih bahaya kalau kita di kantin, nanti si es sama api denger, tambah bahaya."
"Maksudnya es sama api?"
Martha lebih mendekatkan diri ke Alesha. "Gini gue jelasin. Jadi di sekolah kita ini ada api Utara sama es Selatan. Api Utara ini julukan untuk si Zafran, bad boy kelas kakap. Berandalan yang sukanya cari masalah sama si es Selatan, alias kulkas berjalan, yaitu si Gavin,"
"Dua-duanya sama bahayanya. Kalau si Zafran udah ngibarin bendera perang ke Gavin, meskipun si Gavin nih orangnya cuek dan gak pernah ngomong kayak orang bisu, tapi dia selalu nerima tantangannya Zafran. Mereka berdua ini sering banget adu mekanik,"
"Sering keluar masuk Bk. Tapi anehnya, mereka selalu rebutan peringkat satu dan dua. Makanya meskipun mereka suka cari masalah, mereka tetep jadi kesayangannya guru,"
"Terus kenapa mereka bisa berbahaya?"
"Karna kalau lo berani mengusik kehidupan mereka berdua, lo akan jadi korbannya."
"Korban pembunuhan?"
"Lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka gak hanya bunuh lo secara fisik, tapi mereka bakal bunuh lo secara mental."
"Terus? Gue harus lari kalau ketemu mereka?"
Martha menggebrak meja dengan keras. "Lo paham gak sih maksud gue?" ucapnya nge-gas.
"Stt!!! diam!" tegur beberapa orang yang sedang konsentrasi membaca.
Martha langsung menutup mulutnya. Sedang Alesha terkekeh pelan.
"Maksud gue, lo harus menghindari mereka, jangan sampai lo terlibat hal sekecil apapun sama mereka. Kalau gak, lo bakal dapat masalah besar!"
"Apalagi sama si Zafran, dia kalau udah bully orang gak mandang bulu, dan gak bakal nyerah sebelum korbannya masuk rumah sakit atau bahkan keluar dari sekolah ini!"
Mendengar perkataan Martha, bulu kuduk Alesha merinding seketika. Ia teringat beberapa saat yang lalu, saat dia sedang asik berbincang dengan Martha, Zafran tiba-tiba menendang kursinya ke arah Gavin.
Mata Alesha mendelik. Ia mencengkram lengan Martha. "T-tapi Mar, g-gue kan duduk diantara mereka,"
Martha mengangguk mengerti. "Sekarang lo malah duduk di antara mereka berdua. Padahal kursi yang lo duduki memang sengaja dikosongin, karna Zafran sering nendang kursi itu ke arah Gavin,"
"APA?!"
Alesha berdiri. Ia tak peduli tatapan kebencian yang terarah padanya. Ia segera beranjak dari perpustakaan dan berlari ke dalam kelas meninggalkan Martha sendirian.
"Alesha? Lo mau ke mana? Kok gue di tinggal?"
Alesha lari terbirit-birit seakan dikejar hantu. Ia tidak mau mencari masalah lagi, sebisa mungkin Alesha harus pindah kursi.
Kelas kosong tidak ada siapapun, ini kesempatan Alesha untuk pindah tempat duduk. Ia mengambil tasnya, lalu memindahkan kursinya di mana pun asalkan terjauh dari dua orang itu. Karna ia tak mau menjadi korban tendangan Zafran.
Saat Alesha memegang kursinya, tangan seseorang juga menarik kursi tersebut. Buru-buru Alesha mendongak. Betapa terkejutnya ia saat melihat Zafran menatapnya nyalang.
"Siapa lo berani mindahin kursi ini?"
...***...
"Telat 10 menit!"
Alesha merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia terlambat bangun. Padahal ia sudah memasang alarm, tapi entah kenapa kupingnya tidak mendengar bunyi alarm dari ponselnya.
Gara-gara begadang membaca novel, tanpa sadar Alesha tidur pada jam 3 pagi. Dan sekarang, ia harus berlari sejauh berkilo-kilo meter ke sekolah. Ayahnya sudah berangkat jam 5 pagi tadi, karna majikannya harus berangkat pagi ke kantor menyiapkan rapat.
Napas Alesha ngos-ngosan. Dadanya terasa sesak. Badannya bergetar sebab ia belum sarapan. Gerbang sekolah sudah tertutup. Alesha bingung harus memikirkan bagaimana caranya agar dia masuk ke dalam sekolah. Martha juga tidak mengangkat telpon darinya. Mungkin dia sibuk dengan ulangan Matematika pagi.
"Gimana dong? Gerbangnya udah di gembok." Alesha berusaha membuka gemboknya.
"Pak Satpam?" panggil Alesha.
"Pak Satpam?"
"PAK SATPAM?" Alesha menaikkan oktaf suaranya. Tetap saja tidak ada jawaban dari Satpam.
Alesha berdecak kesal. "Ck, masa gue harus bolos sih?"
"Ah jangan, nanti ketahuan sama Ayah."
Alesha memegang dagunya berpikir keras. "Naik gerbang?" gadis itu mendongak ke atas. Di atas gerbang banyak besi berbentuk runcing. "Tapi nanti rok gue sobek lagi,"
Alesha mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh ke kanan. Jantungnya langsung berdetak kencang. Zafran berjalan ke arahnya dengan tatapan yang sangat tajam.
Alesha memundurkan langkahnya beberapa kali. Apa dia masih marah ya gara-gara bangkunya mau gue pindah? batinnya bertanya.
Cewek itu meneguk ludahnya susah payah saat Zafran semakin dekat dengannya. Alesha menggigit bibir bawahnya takut. Keringatnya semakin mengucur deras. Ia teringat pesan Martha untuk menjauhi Zafran. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berlari.
Alesha menghadap ke gerbang. Memeluk gerbang seperti memeluk seseorang. Ia tak berani menatap Zafran lama-lama. Cewek itu menutup matanya erat. Telapak tangannya menggenggam besi gerbang.
Langkahnya perlahan dekat hingga perlahan menjauh. Alesha membuka matanya. Seorang Zafran tidak berada disekitarnya. Dia mencari Zafran. Cowok itu sudah menghilang bagiakan ditelan bumi.
"Hilang?"
"Apa Zafran pesulap, ya?"
Alesha kembali mencari keberadaan Zafran. Jika saat ini cowok itu terlambat, otomatis dia pasti mencari jalan pintas. Alesha berlari mencari Zafran untuk meminta bantuannya.
"Zafran? Di mana lo?" Alesha memberanikan diri memanggil nama Zafran. Ia berlari hingga ke ujung sekolah.
Matanya menelisik setiap jalan. Tidak ada Zafran di mana pun.
"Beneran ilang?"
"Zafran?"
"Boboiboy api!!" Entah dapat ide dari mana Alesha mendapat julukan Boboiboy api untuk Zafran.
"Ish, gue ditinggal!"
Tak!
Sebuah mangga kecil mendarat di kepalanya dengan keras. Alesha meringis pelan. "Awh, siapa yang lempar-"
Alesha menghentikan ucapannya ketika mendapati jari tengah Zafran. Cowok itu berada di atas pohon mangga dekat pagar sekolah.
"Berisik, Anjing!"
Alesha menutup mulutnya. Ia berlari mendekat. "Gue numpang ya, Zafran."
"Lo pikir gue supir angkot?"
Cewek itu nyengir kuda. "Gue gak bisa naik pohon,"
"Bukan urusan gue!" Zafran melompat dari pohon ke dalam sekolah meninggalkan Alesha sendiri.
"Loh! Loh! jangan tinggalin gue!"
Alesha mendekati pohon. "Gue gak bisa naik pohon!"
"Zafran!"
"Kita kan temen sekelas, bantuin gue dong," rengek Alesha.
"Jijik!" umpat Zafran melempar tangga bambu ke arahnya.
Alesha segera minggir. Matanya berbinar mendapati sebuah tangga. Tangga itu jatuh di depannya.
Hatinya terenyuh. Ternyata seorang Zafran tidak seburuk seperti yang diucapkan Martha. Alesha mengangkat tangga dengan sumringah. Lalu ia menaiki tangga satu persatu sampai akhirnya melompat masuk.
"Makasih, Zafran." Ucap Alesha meskipun Zafran sudah menghilang entah ke mana.
...***...
Tangan Alesha terasa pegal. Bahkan sampai detik ini cewek itu sulit untuk bernapas lega. Lebih baik Alesha hormat di depan tiang bendera panas-panas sendirian daripada harus hormat kepada bendera merah putih di cuaca yang sejuk bersama dua cowok berbahaya ini.
Diantara semua siswa yang ada, kenapa hanya ada tiga siswa yang terlambat? Dan ketiga siswa itu adalah Alesha, Zafran, dan juga Gavin. Meskipun cuaca pagi ini sejuk tapi badan Alesha terasa panas. Bukannya terhindar dari mereka, Alesha justru semakin terlibat dengan keduanya.
Dan kini ia berdiri di tengah-tengah mereka.
"Nyesel gue telat," gumam Alesha dengan suara amat pelan.
"Anak teladan kayak lo bisa telat juga ternyata," sindir Zafran pada Gavin.
"Lo ngomong sama gue?" Alesha menatap Zafran, dia menunjuk dirinya sendiri. Cowok itu memutar bola matanya malas.
Sedangkan Gavin, orang yang di sindir tak menjawab. Ia teguh pendirian menatap bendera.
"Gue lupa kalau lo orang tuli,"
Alesha meneguk ludahnya susah payah. Matanya berkedip lambat. "G-gue denger kok," jawabnya.
"Tuli, budeg, goblok. Pantesan Nana pergi."
"Nana siapa? Gue gak kenal sama-"
Bugh!
"Kyaa!!" Alesha terkejut melihat Gavin memukul kepala Zafran dengan keras. Dia menutup mulutnya tak percaya.
"Bangsat lo, Gavin!"
Zafran tak tinggal diam. Cowok itu membalas pukulan Gavin.
"Lo yang brengsek!"
Keduanya saling adu pukul. Alesha bingung harus bagaimana. Dia masih memikirkan pertanyaan Zafran padanya. "Jadi, pertanyaan itu bukan buat gue?" gumamnya.
"****!"
Zafran membogem mentah perut Gavin. Bibirnya sobek dan mengeluarkan darah segar. Bukan hanya itu saja, Zafran juga menendang alat vital Gavin. Namun berhasil ditangkis olehnya
Alesha meringis ngeri. "Aww,"
Gavin tak akan membiarkan Zafran menang. Emosiya sudah diambang batas. Dia menendang tubuh Zafran dengan keras. Cowok itu tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dia memundurkan langkah namun tak sengaja menabrak tubuh Alesha.
Keduanya hampir terjatuh, tapi dengan sigap Zafran menangkap tubuh Alesha. Cewek itu menegang bahunya. Zafran menjauhkan dirinya dari Alesha. Setelah itu ia mendorong Alesha menjauh seraya berkata, "Penganggu!"
Gavin menampilkan senyum smirk saat melihat Alesha terjatuh di lantai. Zafran kembali bangkit, ia memukul dada Gavin. Mereka saling tendang, saling bogem dan Alesha hanya bisa menutup mata.
"Ayah.."
"Alesha harus bagaimana?"
Seluruh koridor sekolah sepi, karna sekarang kelas pelajaran sedang berlangsung.
"Gue gak boleh gini terus, nanti kalau mereka masuk rumah sakit gimana?"
Alesha menyemangati dirinya sendiri. Dia berpikir sejenak. Mencoba mencari cara untuk menghentikan pertengkaran mereka.
"Tapi gue takut," Alesha berdiri tapi kemudian ia duduk kembali. Rasa takut kembali menyerang tubuhnya.
Gavin menjegal Zafran. Cowok itu menendang kepala Zafran dengan keras. Aksi itu dilihat dengan mata kepala Alesha sendiri. Betapa mengerikannya Gavin saat marah. Zafran sempoyongan. Walaupun banyak lebam serta darah yang mengalir di wajahnya. Cowok itu tetap berdiri kokoh.
"Brengsek lo!"
"Pecundang," sahut Gavin.
"Lo yang pecundang! Lo bunuh sahabat gue!"
"Dia bunuh diri,"
"Tapi itu karna lo, brengsek!"
Gavin memukul wajah Zafran sekali lagi. "Sadar diri, Nana pergi gara-gara lo. Bukan gue!"
Zafran mengepalkan tangannya kuat. Rahangnya mengeras. "Cuih!" Zafran meludahi Gavin.
Gavin mengusap wajahnya kasar. Tatapannya menjadi lebih ganas daripada sebelumnya. Alesha memberanikan diri untuk memisahkan keduanya. Dia berdiri, berlari dan merentangkan kedua tangannya ditengah-tengah mereka.
"Stop!"
Bugh!
Pukulan Zafran mengenai wajah Alesha. Zafran dan Gavin terkejut. Cewek itu langsung pingsan di hadapan mereka.
Gavin dan Zafran menghentikan aksi pertengkaran mereka. Mereka menatap Alesha dalam diam. Hidungnya mengeluarkan darah segar.
Zafran terdiam. Dia berdeham mencairkan suasana. " Cukup sampai sini,"
Zafran merapikan bajunya yang kusut. Dia mengambil tasnya dan pergi meninggalkan mereka berdua tanpa bertanggung jawab pada Alesha. Dia seakan tidak memiliki rasa bersalah telah membuat Alesha pingsan.
"Tanggung jawab," tegas Gavin.
Zafran berhenti tanpa melirik ke belakang. "Lo kan ada, kenapa harus gue?"
"Lo gak pernah berubah."
"Gue manusia bukan power rangers!"
Zafran kembali berjalan. Dia benar-benar pergi tanpa membawa Alesha ke uks. Sekarang hanya ada Gavin. Cowok itu mendengus pasrah. Pertengkaran ini terjadi karna Gavin yang memulai.
Sekalipun ini ulah Zafran, tapi sebagai cowok yang baik, Gavin harus bertanggung jawab.
Cowok itu mengeluarkan sapu tangan. Dia membersihkan hidungnya yang berdarah. Lalu memasukkannya ke dalam tas Alesha.
Cowok itu mengangkat tubuh Alesha serta membawa kedua tas mereka. Tubuh Alesha yang kecil terasa sangat ringan bila digendong oleh Gavin. Ditambah lagi badannya yang pendek tak membuat Gavin kewalahan membopongnya.
"Menyusahkan," gumam Gavin tersenyum tipis menatap wajah lembut Alesha.
......***......
Alesha menelungkupkan kepalanya. Hari ini dia berhasil tidak terlambat lagi. Dia sudah trauma dengan yang namanya hukuman. Bukan hanya itu, perasaannya semakin kalut saat kupingnya harus mendengarkan berita yang sedang heboh membicarakan tentang kebodohannya.
"Bodoh, bodoh, bodoh!" Alesha memukul kepalanya sendiri.
"Kenapa sih gue harus misahin mereka berdua? Udah tau Gavin sama Zafran kalau adu jotos berbahaya dan gak bisa di pisah, tapi gue sok-sokan menghentikan pertengkaran mereka," Alesha merutuki dirinya sendiri. "Jadinya gue sendiri kan yang kena tonjok!"
Alesha menggeleng-gelengkan kepala menyesal. Kelas sepi jadi ia bisa berbicara sendiri dengan santai.
Alesha mendongak sejenak. Ia mengusap wajahnya gusar. "Sekarang semua orang dibuat heboh gara-gara si Gavin gendong gue ke uks."
"Wajar kali dia nolongin temannya yang pingsan, gitu aja digosipin."
"Heran deh gue,"
"Emang si Gavin sama Zafran artis papan atas? Setiap kali pergerakan mereka harus selalu jadi berita."
"Argh!! Kenapa gue gak dengerin omongannya Martha sih?"
"Alesha!!" Alesha sedikit terjingkat kaget mendengar suara cempreng Martha yang merusak gendang telinganya.
Cewek itu berlari menghampiri Alesha. Dia menggebrak meja. "Lo tau gak?"
"Gak,"
"Lo viral Alesha!"
Sudah terduga. Pasti Martha akan membicarakan tentang itu. "Oh,"
Martha menunjukkan berita viral dari ponselnya namun cewek itu hanya memutar bola matanya malas.
"Baru kali ini ada seseorang yang berani misahin mereka berdua, dan itu elo Alesha!!" Martha menggoyangkan tubuh Alesha kuat. Cewek itu tak berminat membalasnya.
"Kok bisa sih lo seberani itu?"
"Apalagi lo berhasil buat si Gavin nunjukkin rasa kemanusiaannya. Oh My God!! Itu adalah impian semua cewek bisa digendong sama si Gavin, Sha!"
"Padahal biasanya tuh dia kagak peduli sama orang yang pingsan di depannya," seru Martha heboh.
Alesha menautkan kedua alisnya. "Maksud lo?"
"Waktu olahraga minggu lalu, si Davina pingsan tepat di depannya si kulkas. Dia gak nolongin Davina, tapi Gavin malah melangkah melewatinya tubuh Davina. Kejam banget kan?"
"Kok ada cowok kayak gitu,"
"Nah itu makanya, semua orang heran. Gavin yang cueknya minta ampun, yang gak pernah peduli dengan lingkungan sekitar nekat gendong lo ke uks,"
"Ya karna gak ada orang lain lagi yang ada di sana. Seharusnya kan Zafran yang gendong gue, dia yang udah buat gue terluka. Tapi tuh cowok kagak ada tanggung jawabnya sama sekali!"
Martha manggut-manggut setuju.
"Ngomongin gue di depan, pengecut lo beraninya ngomongin orang di belakang," suara itu membuat Alesha dan Martha melototkan matanya. Mereka berdua meneguk ludahnya susah payah.
Suara bass besar itu milik Zafran. Cowok itu berjalan ke arah kursinya. Tubuh Alesha menegang. Ia terngiang-ngiang dengan pukulan Zafran yang menyakitkan. Cewek itu menahan napasnya saat Zafran berada di sampingnya.
Cowok itu menghisap rokoknya, kemudian menyembulkan asap rokok tepat di depan wajah Alesha.
Cewek itu terbatuk-batuk, begitu juga Martha. Mereka berdua terbatuk-batuk.
Uhuk.. Uhuk..
"Cewek lemah!"
Zafran meletakkan tasnya kemudian berlalu pergi keluar. Sebelum keluar ia menghentikan langkahnya dan menatap Alesha.
"Lo mau ngomongin gue lagi? Gue tendang kepala lo!"
Martha dan Alesha saling pandang. Martha memberikan isyarat diam dengan menempelkan telunjuknya di bibir. Alesha pun mengangguk. Mereka tak lagi membicarakan tentang Zafran. Tapi tentang Gavin.
......***......
"Yakin lo mau jalan kaki, Sha?" Martha menawarkan Alesha untuk pulang bersamanya naik mobil.
Alesha mengangguk yakin, "Yakin Martha, lagian rumah gue deket kok dari sini."
"Yaudah deh, kalau gitu gue duluan ya?"
"Iya, hati-hati di jalan. Jagain Martha ya, Pak." Alesha melambaikan tangan kepada sopir Martha.
Sopir tersebut mengangguk dan tersenyum tipis. "Hati-hati juga, Nona."
Martha melambaikan tangannya. Akhirnya mobil Martha melaju menjauh. Alesha menghembuskan napas pelan. Alesha mendapatkan pesan dari Delon untuk segera menuju ke restoran dekat sana untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting.
Biasanya Delon akan menjemputnya. Tapi kata ayahnya, dia harus menunggu seseorang yang akan berangkat bersamanya.
Alesha masih belum tau siapa dia, jadi dia akan menunggu di depan halte. Cewek menoleh ke kanan kiri. Saat jalanan sudah mulai sepi, Alesha menyebrang jalan. Namun, saat ia sudah berada di tengah-tengah, tiba-tiba dua kendaraan bermotor melaju sangat kencang ke arahnya.
Hal itu mampu membuat kaki Alesha terasa kaku.
Suara motor itu tak kalah dengan suara teriakan para siswa yang berteriak. Tetapi mereka tidak ada yang berani berlari menolong Alesha. Karna masing-masing motor tersebut berada disisi kanan jalan dan disisi kiri jalan. Sehingga satu jalanan dikuasai oleh mereka berdua yang sedang mengejar satu sama lain.
Siapa lagi kalau bukan Gavin dan Zafran? Entah apa yang mereka ributkan hingga kejar-kejaran dijalanan. Keduanya tak mempedulikan keberadaan Alesha. Mereka tetap melaju kencang di antara kedua sisi jalan. Bahkan para pengendara yang lain berhenti mendadak.
"Mau mati sekarang?" tanya Gavin jauh didepannya
Alesha mendelik. Ia refleks menggeleng.
Gavin tersenyum smirk. Dia menancapkan kopling dan melaju kencang di depannya.
Jantung Alesha berpacu cepat. Ketika berjarak beberapa meter darinya, cowok itu segera membanting stir dan mengejar ketertinggalannya dari Zafran.
Alesha menutup matanya erat saat dua motor melaju diantara tubuhnya. Sangat mepet dan kencang, hingga rok Alesha terbang. Air genangan sisa hujan kemarin malam mengguyur tubuh Alesha dengan sempurna.
Seragam putihnya kini basah dan kotor.
Alesha menganga lebar. "Gavin!! Zafran!!" teriaknya.
Cewek itu memegangi dadanya. "Astaga jantung gue mau copot!"
Beberapa orang mulai berdatangan ke arah Alesha. Mereka takut dia kenapa-kenapa.
"Eh anak baru, lo gak ada luka, kan?" tanya Davina.
"Enggak kok, gue baik." Jawab Alesha.
"Gila si duo maut, balapan kagak liat tempat," seru Vika.
"Biasalah mereka, tapi untungnya ni anak baik-baik aja. Kalau gak lo pasti kewalahan bayar biaya rumah sakit,"
Davina menjitak kepala Vika. "Gue tabok lu, ngomong yang baik napa!"
Vika nyengir kuda, ia menepuk bahu Alesha. "Sorry-sorry, nih minum dulu," Vika dan Davina menggiring Alesha duduk di halte.
Cewek itu menerima air pemberian mereka. Memang saat ini Alesha membutuhkannya. Seluruh badannya masih gemetar. Dia meneguk airnya hingga setengah.
"Btw, rumah lo mana? Bair sekalian kita anter."
Alesha menggeleng. "Gak usah, gue habis ini mau pergi ke suatu tempat, soalnya ada acara."
"Dengan pakaian seperti ini?" Benar kata Vika, pakaian Alesha sangat kotor.
Alesha menatap seragamnya. "Eng- gue pulang dulu sih kalau pakaian gue kotor,"
"Udah ah ayo kita anter!"
"Eh-eh!"
Davina memaksa Alesha pergi bersama mereka. Akhirnya Alesha terpaksa pulang bersama dua gadis tersebut.
...***...
Alesha sudah berganti pakaian. Cewek itu masuk ke dalam restoran. Di sana sudah ada ayah dan rekan kerjanya.
"Alesha, sini nak!" tutur Delon.
Alesha tersenyum lalu berjalan mendekati Delon. Ia duduk di samping ayahnya setelah bersalaman.
"Ini Alesha, anak saya."
Saya?
"Selamat siang Om, nama saya Alesha,"
"Selamat siang juga, Alesha,"
"Anak kamu cantik Del, sama seperti almarhum ibunya."
"Pastilah,"
"Oh ya, sebelum kita membicarakan hal yang lebih lanjut, ayo makan dulu sambil menunggu kedatangan anak Om." Ucapnya seraya tersenyum pada Alesha.
Seorang pelayan membawakan makanan ke meja mereka. Pesanan yang di bawa cukup banyak dan terlihat mewah. Pasti harganya cukup mahal. Dia menyikut lengan Ayahnya.
Delon mengerti maksud Alesha. Delon mengelus tangannya memberikan isyarat untuk tetap tenang.
"Hari ini Om Gun yang akan mentraktir kalian berdua sebagai ucapan terima kasih pada Ayahnya Alesha karna selama ini selalu membantu Om."
Alesha mengangguk mengerti, kini ia bisa bernapas lega. Karna untuk makanan mahal seperti ini, ia takut ayahnya akan mengeluarkan banyak uang.
Beberapa saat setelah makan, Gun memberikan foto istrinya pada Alesha. "Ini foto istri saya," gumamnya.
Mata Alesha berkaca-kaca. Ia teringat almarhumah ibunya yang meninggal sejak ia berumur 10 tahun. " MasyaAllah, cantik sekali beliau,"
"Dia teman masa kecil ibumu," Delon mengelus pucuk rambutnya.
"Benarkah, Ayah?"
Delon mengangguk.
"Alesha boleh nggak Om ketemu sama Tante?"
Gun menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Boleh banget dong,"
"Kapan Alesha bisa ketemu Tante?"
"Nanti pasti akan Om pertemukan kalian, tapi sebelum itu, Om punya satu permintaan untuk kamu. Sebenarnya ini bukan permintaan Om, tapi ini adalah permintaan istri Om."
"Permintaan?" tanya Alesha. "Apa Om?"
"Menikah dengan anak kami, Alesha."
......***......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!