NovelToon NovelToon

Menikahi Bocil

Episode 1 - Tidak Terduga

"Saya terima nikahnya Alea Kirana binti Damar Baharudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai!" Dengan satu tarikan nafas kalimat itu berhasil Arez ucapkan.

Setelah mendengar ucapan "Sah" dari para saksi, mereka yang ada di tempat itu bersama-sama mengucapkan syukur.

Arez menghela nafas. Sedangkan Alea tampak gelisah. Sama sekali tak ada raut kebahagiaan dari pada keduanya.

Arez masih tak habis pikir, gadis mungil yang berada di sebelahnya itu kini sudah sah menjadi istrinya. Ya, walau belum di urus secara negara karena waktu yang serba dadakan.

*

Acara telah usai. Para tamu undangan yang tidak seberapa sudah berangsur pulang. Kini Alea dan Arez berada dalam satu ruangan yang sama--kamar. Ya, kamar yang di hiasi banyak bunga sebagaimana kamar pengantin pada umumnya. Seharusnya, ini momen yang paling di tunggu oleh pasangan pasutri. Lalu bagaimana dengan pasutri kali ini?

"Terus gimana, Bang?" Alea membuka obrolan. Saat ini mereka saling memunggungi, dengan duduk di masing-masing bibir kasur.

Arez hanya diam. Ia mengusap rambutnya dan lagi-lagi hanya bisa menghela nafas.

"Gak tau," jawab Arez singkat.

Alea bangkit dari duduknya, menuju Arez dan berdiri di hadapan pria itu.

"Ih! Seharusnya Abang itu bisa meyakinkan mereka kalau kita gak ngapa-ngapain! Ini semua salah Abang!" Bentak Alea, ia terlihat sangat kesal.

"Lu kok jadi nyalahin gua?!" Arez mendongak.

"Gila! Benar-benar gila!" Alea kembali duduk. Kali ini ia duduk di sebelah Arez dengan memijat-mijat keningnya.

"Terus gimana?"

"Gak tau. Gua juga pusing."

***

Sebelumnya...

Semua orang tau, kalau kota ini terkenal akan kebebasannya. Tak bisa di pungkiri, di dalamnya juga terdapat sedikit banyaknya pergaulan yang juga bebas.

Dia Arez, pria 27 tahun yang sedang duduk santai di sebuah Cafe sembari menikmati sebatang rokok dan di temani kopi hangat. Ia tampak menunggu seseorang. Sesekali ia mengotak-atik gawai yang ada di genggamannya, dan terus saja memperhatikan jam yang ada di sudut layar.

Tergesa-gesa, seorang gadis menghampirinya. Gadis itu langsung duduk di hadapan Arez dan langsung menyambar kopi yang sedari tadi belum sempat Arez minum. Memperhatikan tingkah gadis itu, Arez hanya bisa mengernyitkan dahi.

"Bang, maaf telat." Ucap Gadis itu dengan nafas masih terengah-engah.

"Kok muka lu beda?" Arez langsung saja melontarkan pertanyaan dan terus membandingkan wajah gadis yang ada di hadapannya dengan foto gadis yang ada di layar HP.

"Oh itu. Sabar, Bang. Aku bisa jelasin."

Arez diam, menatap penuh curiga.

"Perkenalkan, Aku Alea. Alea Kirana." Gadis itu menyodorkan tangan, tapi Arez enggan menyambut tangan itu.

"Tapi di sini namanya bukan Alea, tapi Melisa." Arez segera memotong pembicaraan.

"Ish! Diem dulu kenapa!? Kan aku belum selesai ngomong!"

"Iya,"

"Melisa itu temen aku. Dia gak bisa dateng, soalnya tadi Mel kepeleset di kamar mandi dan kakinya sakit. Jadi, Mel minta tolong aku buat gantiin dia nemuin Abang. Katanya gak enak soalnya udah janji, dan gak mau mengecewakan. Jadi, aku kesini buat gantiin Mel. Gak apa-apa, kan?"

Arez diam sejenak. Memperhatikan Alea mulai dari wajah hingga ke *sensor*

"Oke." Jawaban yang singkat dan padat dari Arez membuat Alea lega. Arez segera menutup aplikasi yang membuat dia bisa mengenal Melisa. Aplikasi berwarna hijau yang terkenal banyak 'cewek-cewek nakal' di sana. Mereka segera beranjak dari Cafe, menuju suatu tempat dengan mengendarai mobil.

*

"Loh? Kok kita ke sini? Ini rumah Abang?" Tanya Alea saat mobil sudah memasuki garasi.

"Iya,"

"Terus kita ngapain?" Tanya Alea lagi. Arez hanya diam, sedikit kebingungan.

"Buruan masuk. Sebelum di lihat orang."

"Hah?"

"Udah, jangan banyak tanya."

"I--iya."

Mata Alea terus melihat ke segala arah, memperhatikan setiap sudut, memperhatikan setiap benda-benda yang ada di rumah itu. Tapi, sejauh mata memandang tak Alea jumpai orang lain di rumah itu. Benar-benar sepi.

"Bang? Abang sendirian?" Alea kembali membuka obrolan, karena pria di depannya ini menurutnya sangat cuek dan pelit sekali bicara. Kalau tidak di tanya, ya ia tidak akan ngomong. Selain itu, wajahnya juga dingin banget, kek kulkas tujuh lawang.

"Kenapa lu dari tadi berisik banget? Diem dan duduk. Ini perintah!" Arez terlihat kesal.

"Iya! Iya!" Alea menuruti Arez, dan duduk di sofa yang berwarna merah di ruang tamu itu.

"Nah, gitu. Duduk yang manis, dan lakukan tugasmu!"

Alea mengernyitkan dahi. Terlebih saat melihat Arez yang perlahan membuka kancing kemejanya.

"Tu--tunggu!" Alea bangkit,

"Apa?"

"Ini maksudnya apa buka-buka baju?" Alea mulai panik.

"Kan emang begini konsepnya!"

"Ta--tapi, kenapa? Sumpah aku gak paham! Abang jangan macem-macem!"

"Emang lu gak tau?"

"Enggak!"

"Gila! Gua udah transfer bayarannya ke Melisa buat hari ini."

"Ba--bayaran?"

"Iya. Kan lu sendiri tadi yang bilang, lu gantiin Melisa. Yaudah, sekarang lu harus layani gua."

"Apa? Ta--tapi Melisa gak bilang kalo gantiin ginian."

"Dudul!"

"Gak mau!"

"Aku juga gak mau tau! Enak aja, orang aku udah bayar!"

"Tapi gak gini juga!!! Kita bisa bicarakan!"

"Gak ada yang perlu di bicarakan!"

Arez melepaskan kemejanya dan mendorong Alea ke sofa berusaha menahan Alea yang terus saja memberontak.

Hingga ...

"Ini yang selalu meresahkan!" Teriak seseorang yang berhasil mendobrak pintu rumah Arez dan mendapati Arez yang berada di atas tubuh Alea.

Arez dan Alea sama-sama hening dan hanya bisa melotot menyaksikan warga yang sudah ramai mendapati mereka dalam posisi yang sulit di mengerti.

"Nikahkan mereka sekarang juga!" Teriak seorang warga yang menjadi komando.

Tak banyak yang Arez dan Alea ingat atas kejadian itu. Yang jelas, semua sudah terjadi. Dan sekarang, mereka sudah sah menjadi suami istri.

Sejak saat itu, hubungan Alea dan orang tuanya menjadi renggang. Bahkan saat acara pernikahan telah usai, Ayah dan Ibu Alea langsung saja pulang ke rumah tanpa banyak bicara.

Bagaimana tidak, mereka tidak percaya atas kelakukan anak gadisnya yang sangat membuat malu keluarga dan mencoreng nama baik. Benar-benar memalukan. Walau Alea sudah berusaha menjelaskan, tapi bukti nyata itu tak bisa membuat ia mengelak.

Padahal, harapan ayah dan Ibunya suatu saat Alea akan menikah dengan mengundang orang banyak. Bukan dengan cara seperti ini, yang diam-diam tanpa di ketahui banyak orang dan hanya di hadiri beberapa anggota keluarga saja. Dan ini akan sangat mereka rahasiakan, terlebih Alea yang saat ini masih duduk di bangku SMA.

***

"Gimana Abang?! Gimana dengan sekolahku? Hidupku?" Teriak Alea.

"Lu bisa diem, gak? Lu pikir gua gak pusing?"

"Pokoknya ini semua salah Abang!"

"Salah lu juga kenapa mau gantiin temen lu. Makanya, sebelum bertidak itu di pikir-pikir dulu. Minimal di tanya-tanya dulu jangan langsung gas aja."

"Abang juga ngapain nyewa-nyewa temenku?!"

"Lha, wong dia sendiri yang berjualan."

"Gila! Semua orang sudah gila!"

Episode 2 - Pindahan

"Alea!" Panggil Arez sembari menepuk-nepuk bahu gadis itu yang masih nyenyak tidur dengan selimut dan guling yang melengkapi.

"Em," lirih Alea pelan tanpa membuka mata.

"Bangun!"

"Gak mau ..."

"Bangun! Udah pagi! Istri macam apa lu? Bangun siang bukannya buatin suami sarapan!"

Seketika Alea langsung duduk, dan mengusap-usap matanya.

"Astaga! Jadi, semua ini bukan mimpi, ya?" Alea melotot menatap Arez.

"Sudahlah. Kita harus berdamai dengan keadaan dan mulai menerima kenyataan. Mau di sesali juga semua sudah terjadi."

"No! Big no! Abang mah keenakan dapet istri segar dan masih muda kek aku, yekan? Bilang aja Abang bersyukur dengan kejadian ini!"

"Dih, siapa bilang? Asal lu tau, ya! Gua juga gak minat nikah sama bocil kek lu. Najis! Kalau temen-temen gua tau bisa-bisa gua di bilang ped0fil gara-gara nikah sama anak di bawah umur."

"Heleh! Gak mau mengaku. Siapa yang mau menolak Alea Kirana ini?"

"Diem! Berisik!" Arez berlalu untuk meninggalkan perdebatan yang tidak penting menurutnya.

"Sana beres-beres! Kita akan pindah ke Purwokerto." Teriak Arez sebelum ia benar-benar meninggalkan kamar.

"Pindah?" Balas Alea yang tanpa mendapat jawaban.

Alea segera bangkit dan menyusul Arez, terus saja berteriak menececeri dengan berbagai pertanyaan tanpa Arez hiraukan.

"Kok Abang gak minta persetujuan aku dulu, sih? Kenapa main pindah-pindah aja?"

"Abang kira gampang pindah ke tempat baru? Bertemu orang-orang baru lagi, suasana baru, semua baru!"

"Aku besar di sini. Ayah ibu ku juga di sini. Temen-temenku, sekolahku, juga di sini!"

"Pokoknya aku gak mau pindah!"

"Abang! Abang denger gak sih aku ngomong?!" Alea menarik baju Arez membuat pria itu menghentikan langkahnya.

Arez berbalik badan, mendorong tubuh Alea hingga merapat ke dinding dan segera mengunci tubuh gadis itu agar tidak bisa bergerak. Kini wajah mereka hampir tak berjarak. Alea mendongak menatap Arez yang memang jauh lebih tinggi dari dirinya.

"Mau diem sendiri, atau gua yang membuat lu diem?" Ucap Arez sengaja agak mendekatkan bibirnya di bibir Alea yang membuat gadis itu sedikit 'ngap'.

Arez berlalu menuju dapur, meninggalkan Alea yang masih diam terpaku. Mengelus dadanya yang masih berdetak kencang.

"Astaga! Oh my God!" Alea berusaha mengatur nafas yang tidak beraturan.

***

Alea duduk di meja makan, di depannya sudah tersedia nasi goreng beserta susu hangat.

"Lekas sarapan, kemudian mandi dan siap-siap!" Ucap Arez yang juga sudah duduk menikmati sarapannya. Sama--nasi goreng, bedanya ia di temani secangkir kopi yang tidak boleh absen dari kesehariannya.

Alea hanya memperhatikan Arez yang makan sangat lahap, sedangkan ia hanya mengaduk-aduk sarapannya.

"Abang,"

"Em?"

"Gimana dengan sekolahku?"

"Lu gak usah khawatir, gua udah urus semuanya. Gua pastiin gak ada yang tau lu udah nikah. Makanya gua ajakin lu pindah, ya otomatis sekolah lu juga pindah. Di sana lu aman. Gak akan ada yang tau status kita. Jadi ya lu bebas."

"Kenapa gak di sini?"

"Ah, lu kayak gak tau mulut manusia aja."

"Iya juga. Lama-lama juga pasti ada yang tau biar kita tutup-tutupin."

"Itu lu tau."

"Kenapa gua ajakin lu pindah? Karena gua di pindah tugaskan di kota sebelah. Jadi gak mungkin gua tinggalin lu sendiri di sini. Biar gimanapun, lu tanggung jawab gua sekarang."

Alea melirik Arez, dan sedikit menyunggingkan senyum.

"Udah. Lu jangan mikir aneh-aneh. Ntar gua temenin ke rumah ortu lu, ke rumah temen-temen lu buat pamitan. Dan juga, gua bakal urus semua surat-surat pindahan sekolah lu."

"Iya."

"Yaudah sarapan. Gua gak mau lu jadi kurus gara-gara nikah sama gua, anjir! Gila kali."

Alea terkekeh mendengar ucapan Arez.

Sesuatu yang di biasakan lama-lama akan membuat kita terbiasa.

*****

Alea mengaktifkan HPnya yang sudah satu minggu ini tidak sempat ia pegang. Problema hidup yang sedang ia hadapi membuat ia lupa akan benda pipih itu.

Saat HP sudah berhasil di nyalakan, tak henti-henti notifikasi pesan masuk dari aplikasi yang berwarna hijau yang kebanyakan dari grup sekolah dan grup yang berisikan Alea dan teman-temannya.

99+

Bella : [@Lea lu di mana, sih? Kok gak ada kabar?]

Cika : [@Lea Iya. Sekolah juga enggak. Pas dicariin di rumah, nyokap lu bilang lu di rumah sodara yang susah sinyal.]

Alea tersenyum membaca isi pesan yang bergaris besar mengkhawatirkan dirinya yang tak kunjung ada kabar. Tapi ada satu nama yang tidak nampak--Melisa.

Bingung. Antara mau marah atau bagaimana. Alea kembali meletakkan Hpnya, dan merebahkan diri di kasur.

"Kenapa Mel gak bilang? Kenapa Mel gak bilang kalau dia itu open BO, anjir! Gila!"

"Dan ... sejak kapan? Kenapa Mel gak pernah cerita sama kita-kita?"

"Mel kurang duit? Tapi, perasaan Mel gak pernah gaduh susah. Dan bahkan, ia sering pamer-pamer baju baru, tas baru, hp baru, semua serba baru dan mahal."

"Sumpah! Gak nyangka! Dan sekarang, gara-gara gantiin Mel aku jadi terjebak dalam pernikahan ini."

"Gimana kalau aku minta cerai? Bisa-bisa ayah dan ibu makin kecewa sama aku. Nikah baru satu hari udah cerai."

"Tau, akh! Pusing kepalaku."

Alea membenamkan wajahnya di bantal, sesaat kemudian HP nya berdering. Alea kembali menggambil HPnya dan mendapati di sana ada panggilan video grup.

Ragu, antara di angkat atau enggak. Tapi, Alea merasakan rindu pada teman-temannya.

Akhirnya, Alea memberanikan diri mengangkat panggilan itu. Lagipula, teman-temannya tidak tau apa yang sudah terjadi pada hidup Alea yang sebenernya.

"Alea!!!" Teriak Bella dan Cika bersamaan saat wajah Alea muncul di layar.

"Ya Alloh! Apa kabar ini anak? Kemana aja?" Teriak Cika.

"Iya! Sudah satu minggu menghilang!" Bella menambahi.

"Maaf, Gegs. Gua lagi di kampung, di sini susah sinyal. Makanya gua gak bisa kabarin." Jawab Alea, berbohong.

"Sepi gak ada lu, Lea. Kapan lu balik?"

"Eh, tunggu-tunggu! Lu di kamar siapa, sih? Kok kayak kamar pengantin gitu ada bunga-bunga segala." Cika memotong pembicaraan.

Alea melotot dan mengarahkan kamera HP nya ke arah lain yang malah mengarah ke Arez yang baru saja masuk ke kamar.

"Oh my God! Kok ada cowok? Alea lu di mana?"

Alea meletakkan HPnya dan membisukan panggilan.

"Abang! Bisa gak kalau masuk itu ketuk pintu dulu?"

"Lha, apaan? Kan ini juga kamar gua." Jawab Arez santai.

"Ish! Sana! Keluar dulu, temen-temenku lagi video call!" Alea mendorong Arez hingga keluar kamar dan mengunci kamar itu.

Alea kembali mengambil HPnya,

"Maaf ya, all. Itu tadi ponakan gua. Maklum di sini itu abis acara nikahan. Ya rame. Terus ini juga gua di kamar pengantin ponakan, numpang selfi." Alea berusaha menyembunyikan semuanya walau dengan perasaan tak karuan gugupnya.

"Oh, gitu." Balas Bella dan Cika secara bersamaan.

"Kalian sibuk gak hari ini? Bisa gak, ntar ketemuan? Ada yang mau gua omongin."

"Bisa, bisa. Oke! Gas!"

"Okai! Yaudah ntar sambung lagi."

"Siap!"

Episode 3 - Tanggung Jawab

"Alea! Lu molor lagi, ya?" Teriak Arez dari luar kamar sambil terus menggedor pintu. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Arez berinisiatif menggunakan kunci cadangan.

Benar saja. Saat pintu kamar berhasil di buka, Arez mendapati Alea yang kembali tertidur pulas tanpa ingat dunia.

"Allahu! Ini anak, sumpah!" Gerutu Arez, ia berdiam diri memperhatikan Alea sembari memikirkan ide jahat untuk mengerjai gadis itu.

Bergegas Arez masuk ke kamar mandi, memastikan bak air masih terisi dengan penuh.

"Keknya dia muat kalau dimasukan ke sini." Gumam Arez.

Kemudian Arez kembali menemui Alea yang masih tertidur pulas, bahkan terdengar suara dengkuran kecil dari mulutnya yang membuat Arez semakin, ugh!

"Liat aja lu, gua kerjain baru tau rasa." Arez seolah-olah berubah menjadi monster bertanduk yang sedang tertawa jahat.

Arez mengangkat tubuh kecil Alea, Alea hanya mendelik sesaat, kemudian tertidur lagi. Sama sekali tidak sadar akan rencana suaminya itu.

Perlahan, Arez melangkahkan kaki menuju kamar mandi, dan ...

"Astaghfirullah!!!" Pekik Alea ketika tubuhnya masuk ke dalam bak mandi. Alea yang masih dalam keadaan setengah sadar, kaget bukan main.

"Ya Allah! Banjir! Selamatkan hamba!" Alea semakin panik, sedangkan Arez terkekeh di bibir pintu kamar mandi memperhatikan tingkah Alea.

Menyadari ia sedang di kerjai, Alea bangkit dan turun dari bak.

"Abang! Apaan, sih? Ih!" Alea memukuli Arez, ia sangat kesal.

"Siapa suruh molor mulu. Dasar, kebo! Disuruh mandi dan siap-siap malah molor!"

"Kan bisa di bangunin baik-baik!"

"Halah! Lu kalo dah molor kek orang mati, dudul! Ada gempa aja lu gak bakal bangun."

"Gak mau tau! Pokoknya Abang juga harus nyebur di bak!"

"Dih, apaan! Kabur!" Arez bergegas menghindari Alea. Alea hanya bisa berdecak kesal karena tidak bisa membalas perbuatan Arez.

"Tunggu pembalasan ku, Abang!"

***

Cuaca hari ini sangat cerah. Sebuah sedan hitam melintas di keramaian jalan kota. Itu adalah mobil Arez bersama Alea di dalamnya.

"Abang,"

"Iya? Kenapa?"

"Aku masih takut nemuin Ayah sama ibu."

"Udah, lu ntar gak usah ngomong, biar gua aja."

"Bukan itu masalahnya, Bang."

"Terus?"

"Ya aku malu, rasanya aku udah gak pantes jadi anak mereka."

"Nih bocil, pea! Biar gimanapun lu anak ortu lu! Gak ada itu yang namanya mantan anak. Udah lu gak usah banyak nyerocos, ntar gak usah turun dari mobil, biar gua aja kalo lu malu."

"I--iya."

Sesaat kemudian, mobil mereka tiba di depan rumah Alea. Pak satpam yang berjaga segera membukakan pagar.

Rumah bercat putih di penuhi banyak tanaman dan bunga-bunga. Pemiliknya pasti rajin sekali merawat semua tanaman itu hingga tertata rapi dan tumbuh begitu subur.

"Yakin gak mau turun?" Arez memastikan lagi.

"Yakin,"

"Yaudah. Lu jangan ke mana-mana diem di sini."

Alea hanya mengangguk.

Arez turun dari mobil, di sambut pak satpam.

"Mas, mau di antar masuk?" Tawar satpam yang bernama--Hendi, tertulis di seragamnya.

"Gak usah, Pak. Terimakasih."

"Oke."

Arez masuk sendiri ke dalam rumah, tanpa Alea. Walau sebenarnya Arez masih merasa tak enak pada orang tua gadis itu, tapi kakinya tanpa gentar terus melangkah. Biar bagaimanapun, ia juga bersalah pada kasus pernikahan mereka. Tapi, Arez adalah laki-laki yang bertanggung jawab.

Laki-laki yang berwibawa adalah laki-laki yang bisa bertanggung jawab pada segala hal, terlebih pada pasangannya.

Arez masih ingat dengan sangat detail, ketika pak Damar--ayah Alea meluapkan emosinya hari itu. Kalau saja orang-orang tidak melerai, mungkin wajah Arez sudah bonyok kena sambaran tinju seorang bapak yang sedang dipenuhi amarah yang membara. Tapi semua sudah berlalu.

Tidak ada alasan untuk Arez membiarkan Alea, karena bagaimanapun Alea adalah istrinya. Dan orang tua Alea sekarang juga menjadi orang tua ia juga. Karena pada hakikatnya pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan, tapi juga menyatukan dua keluarga. Hormat pada orang tua harus di junjung setinggi-tingginya.

"Assalamualaikum," Ucap Arez mengetuk pintu perlahan.

Tak lama, pintu di bukakan oleh wanita paruh baya, ibunya Alea--bu Amira. "Waalaikumsalam. Nak Arez?" Ucap bu Amira lembut. Segera Arez bersalaman--takzim pada ibu mertuanya itu.

"Ayo, masuk." Ucap bu Amira lagi. Tampak bu Amira celingak-celinguk seperti mencari sesuatu sebelum ia kembali menutup pintu.

"A--Alea gak ikut?" Tanya bu Amira. Arez hanya tersenyum kecil, memberi isyarat kalau Alea berada di dalam mobil.

"Ayo masuk, Nak."

"Iya, Bu."

*

Bu Amira menemui suaminya di kamar untuk memberi tahu kedatangan Arez.

"Pak," ucap bu Amira lembut pada suaminya yang sedang berbaring.

"Iya, Bu?" Lirih pak Damar. Dapat di lihat kalau kondisi pak Damar sedang drop.

"Ada Nak Arez di depan,"

Seketika pak Damar tertegun, seperti memikirkan sesuatu.

"Temuin dulu, Pak. Biar bagaimanapun, nak Arez juga anak kita."

Pak Damar masih berdiam diri.

"Ibu tau bapak kecewa, karena ibu juga merasakan demikian. Ibu yang lebih sakit, ibu yang lebih kecewa melihat anak yang ibu kandung dan ibu besarkan sepenuh hati dan jiwa berbuat seperti itu."

Sesaat semua hening,

"Semua sudah terjadi. Rasa kecewa ibu tak sebanding dengan besarnya kasih sayang ibu ke Alea. Jadi, ibu sudah mengikhlaskan semua ini, Pak. Dan sekarang, ibu serahkan kebahagiaan Alea pada Arez."

Pak Damar bangkit, mencoba untuk berdiri di bantu oleh bu Amira.

"Hati-hati, Pak."

*****

Mobil sedan hitam itu kembali melaju, yang kali ini tujuannya tentu ke suatu tempat yang sudah Alea tentukan untuk bertemu bersama teman-temannya.

Arez dan Alea sama-sama hening. Tapi, di dalam hati Alea ia sangat penasaran, apa yang sudah terjadi di dalam sana, tadi.

"Bang, tadi ibu sama ayah ngomong apa? Apa mereka masih marah?"

"Enggak. Gak ada marah-marah."

"Iyakah?"

"Iya. Tadi, ayah pesen ... katanya lu sekolah bener-bener. Harus sekolah sampai selesai."

"Terus apalagi?"

"Harus jaga diri baek-baek!"

"Terus, terus?" Kali ini senyum melengkung disudut bibir Alea, ia senang karena ayah dan ibunya masih memperhatikan dan memperdulikannya.

"Terus terus mulu. Kek tukang parkir."

"Dih! Cepetan kasih tau!"

"Ayah sama ibu pesen, lu harus jadi istri yang baek! Nurut sama suami!"

"Dih! Ngadi-ngadi! Gak ada gak ada!"

"Kalo gak percaya tanya aja noh, kita muter balik, mau?"

"Iya! Percaya! Nanti aku usahakan!"

"Ya harus, lah! Itu mah kewajiban lu, dudul!"

"Berisik, Abang!"

***

Flashback

"Semua sudah terjadi. Rasa kecewa ibu tak sebanding dengan besarnya kasih sayang ibu ke Alea. Jadi, ibu sudah mengikhlaskan semua ini, Pak. Dan sekarang, ibu serahkan kebahagiaan Alea pada Arez."

Pak Damar bangkit, mencoba untuk berdiri di bantu oleh bu Amira.

"Hati-hati, Pak."

Pak Damar menemui Arez yang kini sedang duduk di sofa ruang tamu. Melihat kedatangan Pak Damar, Arez segera bangkit dan menyalami bapak mertuanya itu.

"Duduk, duduk." Pak Damar mempersilahkan Arez untuk kembali duduk di sela batuknya. Kini Arez dan pak Damar duduk berhadapan, sedangkan bu Amira ke dapur untuk membuatkan minuman.

"Gimana kabar, Pak? Bapak keliatan kurang sehat."

"Iya. Kesehatan bapak drop."

Arez semakin merasa tak enak hati, dan berpikir kedatangannya kemari makin memperburuk suasana dan keadaan.

"Sudah, tidak usah tegang gitu. Kita bicara sebagai sesama lelaki saja, nak Arez."

Arez mengangguk pelan.

"Saya ke sini mau minta izin pada bapak dan ibu untuk membawa Alea pindah ke Purwokerto, Pak. Karena saya dipindah tugaskan di sana. Dan tidak mungkin saya meninggalkan Alea sendiri di kota ini."

Pak Damar tersenyum kecil. "Sebenarnya, Alea itu tidak pernah jauh dari orang tua sejak kecil. Dia betul-betul dijaga. Dan entah kenapa hari itu ia luput dari penjagaan dan melakukan kesalahan yang sangat fatal."

Arez hanya diam mendengarkan pak Damar berbicara.

"Bapak tidak tau, sejak kapan ia mengenalmu. Apakah kalian sudah sering bertemu atau bagaimana karena ya Alea gak pernah nampak kalau dia punya pacar. Sejauh ini, Alea selalu nurut dan tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan. Makanya, saat ia ketahuan melakukan ini apalagi sampai di grebek warga bapak sangat sangat malu dan syok. Ingin rasanya Bapak menghilang dari dunia ini saking malunya. Ingin membela, tapi semua bukti dan saksi mata ada."

"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, Pak. Tapi semua itu terjadi benar-benar secara tidak sengaja."

"Bapak sudah berdamai dengan semua itu, Rez. Semua sudah terjadi ya mau di apakan. Bapak berpesan kepadamu sekarang,"

Hening,

"Bapak berpesan, kamu jaga Alea sebaik mungkin. Sekarang dia adalah tanggung jawab mu. Dia istrimu, pakaianmu. Baik buruknya dia tergantung kamu. Bapak gak minta banyak hanya itu. Dan kemanapun kamu pergi, Alea harus bersamamu." Ucap pak Damar sembari menatap netra Arez.

"Satu permintaan bapak,"

"Apa itu, Pak?"

"Izinkan Alea menyelesaikan sekolahnya. Kasian. Satu tahun lagi juga ia sudah lulus. Jaman sekarang, pendidikan itu di perlukan walau hakikatnya tugas istri adalah mengurus suami. Tapi, wanita yang berilmu juga penting untuk menjadi pondasi mendidik anak-anaknya kelak."

"Siap, Pak. Saya berjanji pada bapak dan pada diri saya sendiri akan memenuhi permintaan Bapak."

"Terimakasih, nak Arez. Dengan ini, secara suka rela dan ikhlas hati bapak menyerahkan Alea padamu. Dan bapak percaya sepenuh hati padamu."

Arez bangkit dan merangkul pak Damar. Entah mengapa, ia merasakan hal yang luar biasa menghujam batinnya. Bukan beban ... tapi semacam tantangan baru dalam hidupnya.

Bu Amira yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan tersenyum lega. Kemudian ia berjalan mendekati suami dan menantunya itu dengan membawakan roti kering beserta dua gelas kopi hangat yang memang tersedia di atas nampan yang sudah ia siapkan sebelumnya.

"Mulai sekarang, jangan panggil Bapak. Panggil saja Ayah. Karena kamu juga anak kami sekarang."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!