Menjadi seorang putri konglomerat tak lantas membuat Jessica Alexander menjadi sombong dan manja. Jessica adalah gadis mandiri yang tidak pernah menggantungkan hidupnya pada harta kekayaan yang di miliki oleh orang tuanya.
Dia lebih suka hidup mandiri dengan uang dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri.
Jam dinding baru saja menunjuk pukul 05.30 pagi, namun Jessica sudah bangun dari tidur nyenyak nya.
Alasannya hanya satu, karena gadis itu tidak ingin terlambat tiba di kantor tempatnya bekerja, dan mendapatkan amukan dari boss-nya yang super dingin dan galak.
Setelah membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Jessica meninggalkan kamarnya lalu menghampiri kedua orang tua, serta kakaknya yang mungkin sudah menunggunya di meja makan, Jessica tersenyum lebar. Dengan riang gadis itu menyapa ketiganya.
"Pagi semua,"
"Kau sudah siap, Sayang? Kemarilah, kita sarapan dulu." sambut Nyonya Alexander pada putri bungsunya.
Jessica menarik kursi kosong di samping Jovan dan menempatkan dirinya dengan nyaman di samping kakak kesayangannya itu.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Jess? Baik-baik saja kan?" tanya Tuan Alexander seraya menikmati sarapan paginya dengan tenang.
'Huft'
Alih-alih menjawab, Jessica malah mendengus panjang. Entah kenapa membicarakan tentang pekerjaannya membuat moodnya menurun drastis.
"Seharusnya baik-baik saja jika bos killer itu tidak terus-terusan memarahiku dan bertidak seenak jidat." Jessica mencerutkan bibirnya , ia benar-benar kehilangan moodnya jika sudah membahas tentang Bos nya.
Jovan terkekeh. "Meskipun galak dan dingin, tapi dia sangat tampan bukan!"
"Cih!" Jessica mendecih seraya memutar matanya malas, meskipun ia sendiri tidak dapat memungkiri jika bos-nya itu memang sangat tampan dan berkharisma. Tidak salah jika sosoknya begitu di kagumi dan digandrungi oleh banyak wanita. "Tampan apanya! Jelas-jelas dia memiliki muka seperti bayi."
"Jangan terlalu membencinya, siapa tau itu justru akan menjadi senjata makan tuan. Karena sesungguhnya cinta dan benci itu sangat berbeda tipis."
"Tidak akan terjadi, Pa! Mana mungkin aku akan jatuh cinta pada pria mengerikan seperti itu." Jessica menyela cepat.
Dengan percaya diri dia mengatakan tidak akan tertarik apalagi sampai jatuh cinta pada bos-nya tersebut.
Tuan Alexander mengulas senyum tipis mendengar jawaban putrinya. Namun ia memiliki sebuah keyakinan jika putri bungsunya akan jatuh cinta pada bos-nya itu suatu saat nanti.
"Mau bertaruh?" tantang Jovan pada Jessica.
"Bertaruh? Untuk apa?" sahut Jessica yang terlihat jelas jika ia sangat tidak berminat.
Bangkit dari duduknya, Jessica beranjak meninggalkan meja makan. "Ma, Pa. Aku berangkat dulu. Kak, aku sedang marah padamu jadi aku tidak mau berpamitan padamu." Jovan terkekeh melihat tingkah menggemaskan Jessica.
Adiknya itu memang sangat menggemaskan dan sering bertingkah kekanakan meskipun usianya sudah 24 tahun.
Jam di dinding baru menunjukkan pukul 07.05 pagi. Tapi suasana kantor tampak sepi dan tenang, bukan karena belum ada satu orang pun yang datang.
Justru kantor itu sudah terisi penuh oleh orang-orang yang bekerja di dalamnya. Setiap orang telah menempati bilik masing-masing, bilik yang nantinya akan mereka gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai beberapa jam kedepan.
Tak seorang pun berani mengangkat wajahnya saat sepasang kaki berbalut sepatu hitam mengkilap berjalan tenang menuju ruangannya.
Sosok pria muda dengan ketampanan di atas rata-rata, bernetra coklat tajam baru saja tiba di kantor miliknya.
Sepasang mutiara berlapis lensa coklatnya memindai orang-orang yang tengah di sibukkan dengan pekerjaannya dengan teliti.
Bahkan beberapa orang berdiri kaku tanpa mampu bergerak satu inci pun seraya memasang senyum anehnya. Tak terlewatkan sedikit pun, meskipun seekor semut yang merambat di dinding tapi sayangnya tidak ada.
Tap...!!
Langkah CEO muda yang di ketahui bernama Devan Zhang itu tiba-tiba terhenti. Membuat orang-orang yang bekerja di divisi pemasaran melupakan bagaimana caranya untuk bernafas selama beberapa detik.
Keringat dingin mengucur deras dari pelipis orang-orang di ruangan itu, wajah stoic tanpa ekspresi dan tatapan dingin penuh intimidasi membuat orang-orang itu seperti di lemparkan ke antartika kemudian di tenggelamkan di dalam lautan es di kutub utara.
Bahkan tatapan dingin Devan jauh lebih mengerikan di bandingkan menghadapi kematian.
Brugg!!
Suara aneh mirip orang terjatuh menyita perhatian seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu termasuk Devan.
Semua orang di dalam ruangan itu menatap miris sosok gadis bersurai coklat terang, yang kini berdiri kaku di depan Devan dengan jarak sejauh 2 meter.
Orang-orang itu tidak tau hal buruk apa yang akan di alami gadis itu setelah ini. Karena tidak mungkin Devan membiarkan karyawannya, terlebih lagi orang itu adalah sekretarisnya tidak tepat waktu.
"Ma...Maaf Presdir, saya terlambat." ucap gadis itu penuh sesal.
Wajahnya menunduk, sepasang mutiara hazelnya menatap kakinya yang terbalut hils hitam. Ia sungguh-sungguh tidak berani membalas tatapan tajam pria di hadapannya, ia tidak ingin mati membeku karena tatapan itu.
Sepasang mutiara coklat itu tidak luput sedikit pun dari sosok bersurai coklat terang yang sedang menundukkan wajahnya.
"Jessica Alexander!" tubuh gadis itu yang ternyata adalah Jessica semakin menegang mendengar namanya baru saja di sebut oleh Devan.
Ia memiliki firasat buruk akan hal ini, Jessica merasa nyawanya di cabut dengan perlahan namun darah dalam tubuhnya tidak berhenti mengalir. "Ya, Presdir!"
"Kau tau ini jam berapa? Kau terlambat 5 menit Nona. Berapa kali aku harus memberi taumu untuk bisa bersikap lebih profesional, kau harus lebih disiplin dan bisa menghargai waktu." Ujar Devan panjang lebar, dengan nada terlewat datar.
"Maaf Presdir, saya tidak akan mengulangi lagi." Ucapnya penuh sesal seraya menundukkan wajahnya.
"Hn! Untuk kali ini kau ku maafkan, segera pergi keruangan ku!" titah Devan mutlak, Jessica mengangguk patuh.
"Ba-baik Presdir. Saya permisi,"
"Hn!"
Sebuah kalimat ambigu seketika mengembalikan seluruh karyawan di divisi pemasaran itu kembali ke bumi. Semua orang menghela nafas lega, beruntung Jessica tidak sampai mendapatkan amukan dari bos yang di anggap paling mengerikan sedunia itu.
Dan sementara itu, mati-matian Jessica menahan emosinya. Menghadapi bos seperti Devan sering kali membuatnya naik darah, tak jarang dia berpikiran sesat untuk meracuni Bos nya dengan sianida.
"Apa saja jadwalku hari ini?" Tanya Devan tanpa menatap lawan bicaranya.
"Jam sembilan pagi Anda ada rapat dengan para dewan direksi. Jam 12, Anda ada jadwal makan siang dengan Tuan Wang. Jam 3 ada pertemuan dengan kolega kita yang dari Dubai, hanya itu Jadwal Anda hari ini Presdir."
"Batalkan makan siang itu, jika bukan pertemuan yang penting, sebaiknya tolak saja mulai hari ini. Kau boleh keluar,"
Jessica mengangguk. "Baik, Presdir." Sambil menahan sedikit rasa dongkol. Jessica meninggalkan ruangan atasannya.
Bersambung.
Angin berhembus lumayan kencang, langit yang semula cerah kini di hiasi awan hitam, dengan di iringi suara petir yang memekakkan serta kilatan-kilatan putih yang terlihat begitu mengerikan. Cuaca siang hari ini begitu buruk seperti akan terjadi badai.
Di dalam ruangan yang tidak bisa di katakan kecil, yang hanya di isi oleh dua orang saja terlihat begitu lengang. Tidak ada percakapan meskipun mereka berada di dalam 1 ruangan yang sama, keduanya disibukkan dengan kesibukan masing-masing.
Sepasang mutiara coklat milik Devan tak lepas sedikit pun dari tumpukan dokumen yang ada di atas meja, sementara Jessica yang merupakan Sekretaris Devan tengah di sibukkan dengan layar monitor di depannya.
Suasana di dalam ruangan CEO itu begitu dingin seperti suasana di luar sana yang mulai turun hujan.
Dingin bukan dalam artian yang sebenarnya, melainkan sebuah kiasan untuk menggambarkan kebersamaan mereka yang sejak beberapa jam lalu hanya di isi keheningan.
"Presdir! Ini sudah waktunya...!"
"Kau duluan saja." Perintah Devan menyela ucapan Jessica. Matanya masih tetap fokus pada dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya.
'Huft'
Jessica menghela nafas panjang. Mematikan laptop-nya, gadis itu beranjak dari posisi duduknya. Setelah membungkuk dan ijin pada Devan untuk makan siang, gadis itu melenggang dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan.
Cklekk!!
Selang beberapa saat setelah kepergian Jessica. Sosok jangkung mendatangi ruangan Devan dan tanpa permisi orang itu merebahkan tubuhnya pada sofa di tengah ruangan itu.
"Di mana, Jessica? Kenapa aku tidak melihatnya? Apa dia tidak masuk hari ini?" tanya orang itu seraya bangkit dari posisi berbaring nya.
Devan melepaskan kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya, kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari pendingin yang ada di sudut ruangan.
"Dia sedang keluar untuk makan siang." Devan meletakkan sebotol wine dan dua gelas kosong di atas meja. "Apa yang membawamu kemari? Tidak biasanya kau mengunjungi ku di saat jam kerja," ucap Devan kemudian meneguk sedikit wine nya.
"Ralat! Tapi jam makan siang, ini bukan lagi jam kerja Tuan Muda Zhang!! Mengerikan, workaholic sepertimu sungguh tidak mengenal waktu!!"
"Apa semua pekerjaanmu ini lebih penting dari kesehatanmu sendiri? Seharusnya yang kau pikirkan bukan hanya pekerjaan saja, namun dirimu juga." Nasehat pria itu pada sahabat karibnya tersebut. Devan mendengus lelah.
"Berhentilah menjadi nenek-nenek menyebalkan Aria Winata, dan tidak perlu bersikap terlalu berlebihan. Toh sudah biasa aku bekerja seperti ini."
"Terserah kau saja, Tuan Workaholic!" balas Aria menimpali.
Devan terkekeh. Dan memang hanya Aria lah yang sangat peduli padanya. Yang selalu mengingatkan Devan untuk menjaga dirinya. Devan merasa beruntung memiliki sahabat seperti Aria.
Cklekk!
Decitan pintu di buka dari luar menyita perhatian dua pria mapan di dalam ruangan itu.
Keduanya menoleh pada sumber suara. Seorang gadis bersurai coklat terang memasuki ruangan sambil menenteng sebuah bingkisan di tangan kirinya yang langsung ia berikan pada Devan. "Apa ini?" Devan menatap bingung gadis itu.
"Makan siang, aku tau kebiasaan buruk mu itu. Kau suka melewatkan jam makan siang mu. Tidak usah berfikir yang tidak-tidak, dan aku tidak memiliki maksud apa pun, apalagi mencoba mencari perhatian darimu karena bagaimana pun aku bukanlah salah satu dari fans-fans gila mu itu."
"Dan aku pertegas lagi, kau bukanlah tipeku sama sekali. Aku membawakan mu makanan karena aku tidak ingin menjadi pengangguran lagi gara-gara kehilangan bos-nya yang mati karena kelaparan." Jessica nyerocos tanpa jeda, dan segera menarik nafas dalam-dalam setelah menyelesaikan ucapannya.
"Hn!" Devan memandang Jessica, yang kemudian di balas anggukan tipis oleh gadis itu.
"Sica?" Dari Devan, Jessica menggulirkan pandangannya pada pemuda jangkung yang juga berada di dalam ruangan itu. Senyum ceria seketika mengembang menghiasi wajah cantik Jessica melihat siapa orang itu.
"Aria?!"
"Lama tidak bertemu, Nona Alexander. Kau terlihat semakin baik saja."
"Ya, begitu seharusnya. Jika saja tidak ada yang membuat mood ku naik turun setiap harinya." Ujarnya sambil melirik Devan. "Dan bagaimana kabar Sania? Dia dan janinnya baik-baik saja bukan?" tanya Jessica menambahkan.
Devan terkejut, sontak ia menoleh dan memandang Aria dengan tatapan horor. "Kau menghamilinya sebelum menikahinya?" pria yang selalu memasang wajah dingin tanpa ekspresi itu menatap sahabatnya itu tidak percaya.
Aria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian mengangguk kaku. "Ya begitulah." Devan mendengus, ternyata penyakit lama sahabatnya itu memang tidak pernah bisa sembuh.
Devan menggelengkan kepalanya, kemudian beranjak dan lekas kembali kemejanya tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang Jessica bawakan untuknya.
Bukan karena Devan merasa ragu atau berfikir jika ada racun di dalam makanan itu. Tapi Devan memang tidak sempat karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.
"Sudah waktunya aku kembali bekerja. Sica, Devan. Aku pergi dulu." Pamit Aria yang segera melesat keluar.
Lagi-lagi keheningan menyelimuti kebersamaan Devan dan Jessica. Aura dingin yang begitu kental di dalam ruangan itu begitu terasa.
Keduanya di sibukkan oleh pekerjaan masing-masing, sesekali Jessica menatap serius pada bos-nya yang super dingin, yang tengah membolak-balik dokumen yang ada di tangannya dengan tenang.
Ekspresi yang dia tunjukkan benar-benar mendukung suasana dalam ruangan itu.
Sekali lagi Jessica memperhatikan penampilan Devan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebuah celana bahan hitam, kemeja putih yang lengannya di gulung sampai siku, dengan balutan Vest hitam berkombinasi abu-abu yang menjadi lapisan luar kemejanya, dan rambutnya yang di tata rapi dengan sedikit menjuntai jatuh di atas dahinya.
Untuk sesaat Jessica melupakan bagaimana caranya bernafas. Ini kedua kalinya ia bertemu dengan sosok pria yang begitu sempurna, setelah kekasihnya yang sudah meninggal 4 tahun yang lalu.
"Sica, kemari lah!"
Merasa terpanggil. Gadis itu pun bangkit dari posisinya kemudian menghadap sang atasan yang duduk dengan tenang di balik meja kerjanya.
"Ya Presdir!"
"Semakin hari kerjamu semakin baik saja! Tidak sia-sia aku menunjuk mu sebagai Sekretaris ku." Komentar Devan masih sambil terus membaca tulisan-tulisan di dalam dokumen itu
"Tapi aku belum cukup puas dengan hasil ini, dan kau harus berusaha lebih baik lagi untuk semakin memajukan perusahaan ini."
"Baik Presdir, saya akan bekerja lebih giat lagi." Segera Jessica menutup mulutnya yang menurutnya sangat kelewatan itu.
Jessica hanya merasa terlalu bahagia karena setelah satu bulan lamanya, ini pertama kalinya Devan memuji dirinya.
Devan melepas kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya, kemudian memijit pelan keningnya.
Kepalanya terasa pening, semua pekerjaan-pekerjaan ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Devan menumpuhkan sikunya di atas meja, pandangannya tertuju pada Jessica yang berada di dalam satu ruangan dengannya.
"Kau memang berbeda dengan sekretaris ku yang sudah-sudah, Jess!" Ucapnya pelan nyaris tak terdengar.
Devan merasa lega karena setelah sekian lama, akhirnya Ia bisa memiliki Sekretaris yang membuatnya merasa tenang.
Selama beberapa tahun ini, setidaknya ada 10 Sekretaris yang Devan pecat secara tidak hormat. Mereka selalu bersikap genit dan mencoba mencari muka di depannya dan hal itu membuat Devan merasa sangat muak.
Selain tidak berguna, mereka seperti kumpulan wanita penghibur yang selalu mencoba menarik perhatiannya dengan pakaian bak kurang yang mereka kenakan.
Getaran pada ponsel yang tergeletak di atas meja membuat perhatiannya teralihkan. Devan mendesah panjang, itu adalah kakeknya dan Devan tau betul apa alasan kakek tua itu menghubunginya.
Mata coklatnya menatap layar ponselnya dengan sedikit tidak berminat, nama yang tertera di layar tipis itu membuatnya sangat jengkel.
Dengan berat hati Devan pun menjawab. "Ada perlu apa kakek menghubungiku? Aku sedang sibuk di sini."
"Cucu bungsuku! Apa kau sudah menemukan calon mu? Ingat, waktumu hanya 1 minggu lagi. Temukan gadis pilihanmu atau kau pasrah dengan perjodohan yang telah kakek persiapkan."
"Aku tau kakek, dan aku tidak pura-pura amnesia. Jadi tidak usah bersikap dramatis."
Terdengar tawa kecil dari seberang sana."Kakek hanya memastikan, Nak! Dan kakek sudah tidak sabar melihatmu menikah kemudian memiliki anak, hanya itu. Hahaha!"
'Tut! Tut! Tut!' sambungan telfon pun terputus.
Dengan marah Devan membanting ponselnya membuat orang yang berada satu ruangan dengannya terlonjak kaget karena ulahnya.
Devan kembali memijit keningnya, urusan di kantor sudah membuatnya pusing setengah mati dan sekarang kakeknya menambah beban pikirannya.
Devan merutuki kebodohannya yang menjanjikan 1 bulan pada sang kakek untuk membawa calon istrinya, karena tidak sudi jika harus di jodohkan dengan pilihan bapak tua itu.
Tapi yang menjadi masalahnya, hingga detik ini Devan belum menemukan calon yang tepat. Jangankan calon, teman wanita saja Devan tidak punya.
-
Bersambung
Devan memijit pelipisnya yang terasa pening. Kakeknya membuat pikirannya semakin bertambah kalut saja. Atas dasar apa kakek tua itu memintanya untuk segera menikah, bahkan usianya masih terlalu muda.
Usia Devan baru menginjak angka 30 tahun, dan baginya itu terlalu dini untuk membina sebuah hubungan apalagi membina rumah tangga.
Devan masih ingin menikmati masa mudanya, dan jabatannya sebagai pemimpin di perusahaan yang ia dirikan dengan susah payah. Dia masih belum puas bekerja, dan itulah kenapa Devan selalu merasa persetan dengan yang namanya cinta.
Tidak terasa jam di dinding sudah menunjukkan angka 4, itu artinya para pegawai mulai berhamburan satu persatu untuk meninggalkan perusahaan begitu pula dengan Jessica.
Setelah membereskan semua pekerjaannya, gadis itu beranjak dari duduknya dan siap meninggalkan ruangan itu sampai sebuah suara menghentikan kembali langkahnya.
"Kau tidak membawa kendaraan bukan? Kau pulang denganku," ucap Devan seraya menyambar jasnya kemudian memakainya.
Jessica menggeleng. "Tidak perlu Presdir, itu akan sangat merepotkan Anda. Lagi pula kita tidak satu arah, sebaiknya saya pulang dengan naik taksi saja," Jessica menolak ajakan Devan dengan halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan atasannya tersebut.
Devan mendengus panjang. "Aku tidak suka di bantah, Jessica Alexander!!" ucap Devan mutlak.
Dan Jessica hanya bisa menghela nafas pasrah. Sepertinya tidak ada gunanya menolak juga mengingat bagaimana keras kepalanya atasannya tersebut.
"Baiklah Presdir, saya akan pulang bersama Anda,"
Devan menarik sudut bibirnya dan mengurai senyum yang tidak lebih tebal dari lembaran kertas.
"Pilihan terbaik gadis kecil," Devan menepuk kepala coklat Jessica dan pergi begitu saja.
Dibelakangnya, Jessica terus saja komat-kamit tidak jelas dan melemparkan berbagai sumpah serapahnya pada Devan. Tentu tidak secara langsung karena Jessica mengumpat tanpa suara.
.
Keheningan kembali menyelimuti kebersamaan Devan dan Jessica. Mobil mewah milik Devan mulai melaju dengan kecepatan sedang. Sepatah kata pun tidak terucap dari bibir Devan maupun Jessica. Keduanya sama-sama diam dalam keheningan.
Devan memutar lehernya dan menatap sejenak sosok jelita yang duduk di sampingnya. Meniti wajahnya dengan teliti. Sepasang bola mata berwarna hazel dengan untai lentik bulu matanya, hidung kecil dan mancung, pipi tirus serta bibir tipis berwarna pink alami.
Tidak dapat di pungkiri, bila Jessica adalah gadis tercantik yang pernah ia temui dalam hidupnya selain mendiang Ibunya.
Berbeda dengan para gadis di luaran sana, yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya. Jessica justru tidak menunjukkan sedikit pun ketertarikan padanya dan atas dasar itu pula Devan menunjuk gadis itu sebagai sekretarisnya.
"Apa kau masih tinggal bersama keluargamu? Dan bagaimana kabar mereka? Paman dan bibi? Apa mereka semua sehat?" tanya Devan mengakhiri keheningan.
"Ya, mereka baik-baik saja. Aku tetap tinggal bersama mereka. Mama tidak mengizinkanku untuk tinggal sendiri dengan alasan keamanan." Jelas Jessica.
Devan tidak berkata lagi. Pria itu mengangguk tanda jika ia sudah paham. Sebenarnya Devan dan Jessica sudah saling mengenal sejak lama, keluarga mereka berteman baik.
Mendiang orang tuanya bersahabat baik dengan orang tua Jessica, sedangkan Devan sendiri berteman baik dengan Jovan, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak Jessica.
Jessica mencoba menarik nafas dalam-dalam dan berusaha untuk membuat dirinya nyaman dalam suasana semacam ini. Sungguh ia sangat benci suasana canggung seperti ini.
Jika saja yang duduk di sampingnya adalah Aria atau Bram, pasti keadaannya akan sangat berbeda. Tapi yang menjadi masalahnya, orang itu bukanlah mereka berdua melainkan Devan Zhang. Pria terdingin yang pernah Jessica kenal dan temui dalam hidupnya.
"Jangan lupa menyiapkan segala sesuatu yang ku perlukan untuk rapat penting besok."
"Tentu Presdir, aku tidak Amnesia!" sahut Jessica.
"Ini di luar jam kerja, tidak perlu memanggilku se formal itu. Kau bisa memanggilku namaku, atau mungkin Kakak. Karena bagaimana pun juga aku lebih tua darimu,"
"Tidak mau!!" Jessica menyela ucapan Devan dengan cepat.
Devan memicingkan matanya. "Kenapa?"
"Itu terlalu aneh. Kakak, rasanya aku geli sendiri." Jawabnya.
"Hn, terserah kau saja,"
Jessica mengerutkan dahinya. Dia tau jika jalan yang dilalui sekarang bukanlah arah jalan pulang kerumahnya melainkan arah menuju Sungai Han.
Gadis itu tidak tau apa maksud Devan tiba-tiba menghentikan mobilnya di area Sungai yang menjadi salah satu tempat paling favorit warga Seoul
Devan keluar dari mobilnya diikuti Jessica yang kemudian berdiri disampingnya. Mereka berdua sama-sama bersandar pada bagian depan mobil Devan. Devan mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari dalam saku celananya kemudian menyulutnya satu.
"Dev, kau merokok?" kaget Jessica, pasalnya ini pertama kalinya dia melihat atasannya itu merokok setelah satu tahun bekerja sebagai Sekretaris Devan.
"Hn,"
"Tapi merokok tidak baik untuk kesehatan mu!" tegasnya.
"Hn, aku tau," jawab Devan acuh tak acuh.
"Sebaiknya segera hentikan kebiasaan buruk mu ini! Kecuali jika kau memang ingin mati muda!!"
Susah payah Jessica menelan saliva nya melihat tatapan dingin Devan yang terkesan tajam. Gadis itu meringis ngilu, sepertinya dia sudah salah bicara. Jessica menundukkan wajahnya.
"Ma-maaf, karena aku sudah melewati batas." Ucapnya penuh sesal.
Lengang... tidak ada tanggapan dari Devan.
Jessica mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap atasannya. Devan hanya menatap ke depan. Dan buru-buru Jessica menoleh ke arah lain, saat melihat Devan mengalihkan tatapannya. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah gugup Jessica.
"Pasti kau merasa tertekan bekerja dengan pria sepertiku. Bukan maksudku untuk bersikap keras padamu, aku hanya ingin kau bersikap profesional dan tanggung jawab pada pekerjaanmu."
"Sejak kecil aku adalah orang yang sangat disiplin pada waktu, karena bagiku waktu sangat berharga. Itulah kenapa aku benci pada kata terlambat, sekarang kau mengerti kan kenapa aku selalu keras padamu, dan selalu memarahi mu ketika kau datang terlambat?"
Jessica menoleh, iris hazel nya kembali bersirobok dengan iris coklat milik Devan yang menatapnya datar. Devan beranjak dari posisinya dan meninggalkan Jessica beberapa langkah dibelakangnya.
"Kau boleh menganggap ku sebagai bos yang kejam dan galak, aku hanya berusaha untuk menerapkan apa yang selama ini selalu diajarkan oleh mendiang, papaku." Terang Devan.
Jessica menghampiri Devan kemudian berdiri disampingnya. Keheningan kembali menyelimuti kebersamaan keduanya, baik Devan maupun Jessica sama-sama tidak ada yang bersuara. Membiarkan diri mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Sudah hampir petang, sebaiknya aku antar kau pulang." Devan beranjak dari posisinya dan pergi begitu saja.
Jessica mendesah berat, beranjak dari tempatnya berdiri dan segera menghampiri Devan. Selanjutnya mobil Devan meninggalkan area Sungai Han dan melaju kencang pada jalanan yang legang. Pria itu hendak mengantarkan Jessica pulang.
-
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!