Dua tahun kemudian ....
🎶
Tak kan lagi belai lembut tubuhmu
Tak kan lagi sentuhan bibir manismu
Tak kan lagi satu di dalam dirimu
Kumerindumu ...
Sebuah reff lagu yang membuat Aska tersenyum perih. Dia tengah menikmati suasana sore di sebuah kafe milik kakak iparnya, Radit. Dia senang duduk di pinggiran jendela dengan menatap ke arah luar kaca. Bisa melihat pemandangan langit sore yang sangat indah menurutnya.
Pemandangan sore hari ini membuat dadanya terasa nyeri. Perlahan awan itu berubah warna menjadi Jingga. Aska tersenyum dengan rasa sakit yang masih membekas di dada. Mengingatkan dia akan seseorang yang berada jauh di sana. Dia pun tidak tahu wanita itu sedang apa dan dengan siapa. Apa dia bahagia? Aska mencoba untuk tidak mencari tahu. Semakin dia mencari tahu, semakin hatinya bertambah pilu.
Setelah perpisahannya dengan wanita yang dia sayangi di Bandara Changi, Singapura. Ada seseorang yang sangat tidak ingin dia temui memanggil nama wanita itu. Seketika hatinya yang sudah mencair, kembali membeku. Hangatnya kecupan mesra wanita yang terlihat lebih chubby itu berubah menjadi duri yang menancap ke dalam daging. Aska hanya tersenyum tipis ke arah dua orang yang berada di depannya.
"Terima kasih, atas luka yang sudah kalian torehkan."
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Aska jika dia teringat akan kejadian itu. Kejadian yang seperti sudah diatur sedemikian rupa dan bertujuan hanya untuk menyakitinya saja.
Semenjak hari itu, Aska memutuskan untuk tidak mengharapkannya lagi. Dia ingin memulai hidup baru dan melupakan apa yang sudah dua orang itu torehkan. Cinta yang Aska miliki untuk wanita tersebut perlahan akan Aska kubur. Dia tahu itu sangat sulit dan pasti membutuhkan proses yang lama.
"Pada nyatanya aku masih belum bisa melupakan kamu," gumamnya sangat perih.
Selama dua tahun ini Aska mencoba mati-matian untuk mengikhlaskan sekaligus melupakan sosok tersebut. Rela menyimpan rasa sakit, perih seorang diri tanpa berbicara kepada siapapun. Terus mencoba baik-baik saja walaupun hatinya menangis sangat keras. Dia juga tidak menyangka bahwa cintanya akan sebesar ini kepada wanita tersebut.
Sebenarnya, keluarga Aska sudah sering mempertemukan Aska dengan wanita-wanita cantik dan juga pintar. Namun, Aska selalu mengatakan bahwa dia bisa mencari calon istri juga calon ibu untuk anak-anaknya sendiri. Akhirnya, keluarganya pun menyerah karena Aska sungguh manusia keras kepala.
Malam pun menjemput, dia kembali ke rumah besar milik sang kakek. Sebelum masuk kamar miliknya, dia selalu membiasakan diri untuk melihat kamar kakek Genta. Dia diberi amanah untuk menjaga sang kakek karena ayahnya jarang ke Aussie. Harus mengurus perusahaan di Indonesia juga negara lain.
Bibirnya melengkung dengan sempurna ketika pintu kamar sudah bisa dia buka. Dia melihat sang kakek tengah bersandar di kepala ranjang dengan memegang sesuatu.
"Belum tidur, Kek."
Suara Aska membuat kakek Genta yang tengah memandangi sebuah figura menoleh. Wajah penuh dengan kerutan itupun tersenyum ke arah Aska. Kulit tangan yang sudah melinting menepuk pinggiran tempat tidur. Aska yang mengerti akan kode tersebut, segera menghampiri kakeknya.
"Ini!" Sebuah figura kakek Genta berikan kepada Aska yang sudah duduk di tepian tempat tidur. Hatinya mencelos ketika melihat foto siapa yang tengah kakeknya pandangi.
"Kakakmu sudah bahagia," ucapnya pelan. "Abang kamu juga sudah dipersatukan dengan Riana." Kakek Genta menjeda ucapannya dan kini menoleh ke arah Aska. "Kamu kapan bahagia?"
Aska pun terdiam, padahal sang kakek memandangi foto keluarga kecilnya yang terdiri dari kakek Genta, nenek Gina, daddy Gio dan juga tante Gia. Namun, arah pembicaraannya malah di luar foto tersebut dan sangat tidak Aska duga.
"Kakek ini sudah tua, Dek. Kakek ingin istirahat dengan tenang. Kakek ingin berkumpul dengan nenek juga Tante kamu."
Aska menggeleng pelan dan segera memeluk tubuh renta kakeknya. Tidak pernah Aska sedekat ini, tetapi akhir-akhir ini ucapan kakeknya selalu membuat dirinya melow. Seolah dia akan kehilangan seorang panutan dalam hidupnya selain sang ayah.
"Tetap kumpul bersama kami di sini, Kek. Adek masih membutuhkan Kakek. Kakak, Abang juga Daddy pun masih sangat membutuhkan Kakek."
Kakek Genta tersenyum dan mengusap lembut pundak cucu bungsunya. Dia merasakan kehangatan yang luar biasa. Cucunya yang dulu tidak pernah dekat dengannya, kini malah sebaliknya. Semenjak dua tahun tinggal bersama Aska, dia merasa hidupnya penuh kebahagiaan dan keceriaan karena Aska yang menularkan itu kepadanya. Sekarang, Kakek Genta merasa hidupnya sudah sangat sempurna karena ketiga cucunya selalu memberikan kehangatan.
"Saksikan Adek ketika mengucapkan ijab kabul."
Kalimat spontan yang keluar dari mulut Aska membuat kakek Genta tersenyum bahagia. Dia pun merasa tugasnya belum selesai, yaitu tinggal menyaksikan sang cucu bungsu meminang wanita yang dia cinta.
.
Ghattan Askara Wiguna menjelma menjadi seorang pengusaha muda yang disegani para kolega. Kecerdasan juga ketrampilannya membuat semua orang bangga. Apalagi sikap Aska yang selalu ramah kepada semua orang membuat semua orang merasa nyaman bersamanya.
Aska hanya dapat tersenyum pahit ketika melihat pengusaha seusia dengannya sudah memamerkan istri juga anak yang lucu. Ada rasa iri yang dia alami, tetapi dia juga harus sadar diri. Dia belum dipertemukan dengan jodoh yang tepat.
Sepulang kerja, Aska selalu menghabiskan waktu di kafe bernama Moeda cafe milik sang Abang ipar. Dia senang menghabiskan waktu sorenya di sana. Menatap senja seolah flashback ke belakang. Di mana pertama kali dia mencium Jingga di bawah langit senja dengan diiringi suara deburan ombak. Bibirnya melengkung dengan sempurna jika mengingat hal itu. Seketika senyum itu pudar ketika satu kejadian mulai berputar di kepala.
"Bang As, jangan pergi"
Seruan wanita yang dia cintai terdengar jelas ketika langkahnya mulai menjauh. Namun, ketika dia menoleh, sahabat bang satnya sudah mencekal tangan wanita tersebut. Pemberontakan wanita yang dia cintai membuat sahabatnya segera memeluk tubuh wanita itu. Hanya sebuah senyuman yang menyakitkan yang dia berikan kepada dua makhluk di hadapannya.
"Kini, aku sudah tidak berharap lagi kamu adalah jodohku."
Aska memejamkan matanya sejenak dengan hembusan napas kasar yang keluar dari mulutnya. Perih dan sakitnya masih terasa sampai sekarang. Efeknya sangat luar biasa. Ketika Ken mengatakan bahwa Bian menyelenggarakan pesta resepsi besar-besaran pun Aska tidak peduli. Dia tidak ingin tahu perihal pria itu. Sahabat bang satnya itu sudah masuk ke dalam nama hitam dalam kehidupan Askara. Dulu sahabat, tetapi malah berubah menjadi pria bejat.
Aska mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia menatap wallpaper yang masih sama seperti dua tahun lalu. Foto dirinya yang tengah mencium mesra bibir Jingga di bawah langit senja.
"Apa kamu masih secantik ini?" Tangannya mengusap lembut foto yang terpampang nyata tersebut. Namun, seketika dia tersenyum di mana seseorang menghubunginya.
"Antel, tapan Puyang?"
...****************...
Jangan lupa tekan ikon ❤️ biar masuk ke dalam rak buku favorit kalian. Terimakasih yang mau ikutin cerita haluan aku ini. Maaf, ya kalo kalian bosan.
Jangan lupa komen, biar aku ada energi buat lanjutin kisah Bang As.
"Antel, tapan puyang?"
Suara cadel anak kecil yang baru saja menghubunginya selalu menjadi pelipur lara untuk Askara. Semenjak keponakannya bisa berbicara, dialah yang akan menjadi teman curhat seorang Ghattan Askara Wiguna.
"Daddy natal, antel. Daddy telalu lebut Mommy dali atu."
Laporan yang selalu sama setiap kali Gavin Agha Wiguna menghubunginya. Askara pasti tahu apa yang tengah terjadi di antara abangnya dengan keponakannya. Gavin paling tidak suka melihat ibunya memiliki tanda merah di leher juga ayahnya yang selalu mencium bibir ibunya di hadapannya.
"Gak tahu, Empin. Kalau Uncle pulang pasti Empin yang pertama kali Uncle hubungin."
"Benel ya."
"Iya, tapi Empin jangan nakal. Jangan rebutan Mommy terus. Kasihan Mommy-nya."
"Daddy-nya yan natal antel. Butan atu."
Aska pasti akan tertawa jika keponakannya ini mulai keras kepala. Balita tampan itu menjadi boneka penghibur baginya. Jika, mendengar suaranya atau melihat wajah Gavin rasa lelah dan sedih Aska menguap begitu saja.
"Dasar," gumam Aska seraya tersenyum bahagia, setelah sambungan telepon itu berakhir.
.
Tibanya di rumah, dahi Aska mengkerut ketika melihat sang kakek masih berada di ruang keluarga.
"Kakek belum tidur?" Hanya seulas senyum yang kakek Genta berikan.
"Apa Kakek boleh minta tolong sesuatu kepada kamu?" Aska menukikkan kedua alisnya. Rasanya aneh ketika mendengar ucapan tak biasa dari sang kakek.
"Kenapa kamu diam?" Kakek Genta menegur Aska yang tidak menjawab pertanyaannya.
Aska pun tersenyum tipis dan berucap, "mau minta bantuan apa, Kek? Kenapa Kakek seakan sungkan?"
Hembusan napas berat keluar dari mulut pria senja itu. "Sini! Duduk di samping Kakek." Tangannya menepuk sofa kosong di samping dia terduduk.
Aska mengikuti saja apa kemauan sang kakek karena sudah tugasnya berbakti kepada kakeknya. Orang yang menjadi ayah kedua untuknya. Pria yang mengajarkan banyak hal kepada dirinya.
"Besok malam, datanglah ke acara ini." Kakek Genta menunjukkan sebuah undangan. Aska meraih undangan tersebut dengan dahi yang mengkerut.
"JA Jewellery," sebutnya.
"Mereka mengadakan grand opening di sana, tapi Kakek tidak bisa hadir. Badan Kakek seolah tidak kuat berjalan jauh," keluh kakek Genta.
"Apa Kakek menanam saham di toko perhiasan ini?" Kakek Genta hanya tersenyum. Kemudian, dia menepuk pundak Aska. "Antar Kakek ke kamar." Tidak ada jawaban dari sang kakek membuat Aska menggelengkan kepala.
Direbahkannya tubuh Genta Wiguna. Ditariknya selimut untuk menutupi sebagian tubuh kakek Genta. "Jangan lupa datang ke acara itu. Mereka sangat membutuhkan kehadiran kita." Aska hanya mengangguk dan pamit untuk kembali ke kamarnya.
"Dress code-nya hitam." Ucapan tambahan dari kakek Genta Wiguna membuat langkah Aska terhenti. Menoleh ke arah belakang yang disambut senyuman hangat oleh sang kakek.
"Iya, Kek."
Sudah biasa Aska akan menggantikan Genta Wiguna jika ada acara seperti ini. Aska tidak akan pernah menolak karena dia ingin berbakti kepada kakeknya.
.
Setelah pulang dari kantor, biasanya Aska yang akan menikmati waktu sore di moeda cafe. Namun, kali ini dia harus segera pulang karena akan pergi ke sebuah acara.
"Hitam," gumamnya.
Aska mencari baju yang serba warna hitam dan segera mengenakannya. Kemeja hitam dibalut dengan jas hitam, celana bahan hitam juga sepatu pantofel yang sangat mengkilat. Aska terlihat gagah dan juga berkharisma.
"Makan dulu, Dek." Suara sang kakek menghentikan langkahnya. Dia menghampiri kakeknya dan duduk sebentar menemani kakeknya makan malam. Setelah kakeknya selesai, barulah Aska pergi.
Di sebuah tempat nan mewah grand opening itu diadakan. Aska hanya tersenyum kecil ketika tempat itu didominasi oleh wanita.
"Ini Kakek mau ngejebak atau apa?" gumamnya.
Aksa hanya menghela napas berat dan lebih baik dia mengambil minum yang ada di pojokan sana. Sebenarnya, Aksa tidak suka keramaian. Namun, sekarang dia sudah terbiasa akan hal ini.
Banyak para wanita cantik yang mendekat, tetapi Aska tetaplah Aska. Ramah kepada semua orang dan tidak ingin bersentuhan dengan sembarangan orang.
"Permisi, Pak." Seorang wanita yang memakai pakaian hitam selutut menyapanya dengan sopan. "Apa Bapak perwakilan dari Tuan Genta Wiguna?" Aska hanya menganggukkan kepalanya dengan sopan.
"Ikut saya, Pak." Perempuan itu membawa Aska ke tempat di mana tamu VVIP berada. Aska sudah menyangka bahwa kakeknya memiliki peranan penting di sini.
Aska duduk di meja yang masih kosong, dia membuka kancing jasnya sebelum duduk. Dia melihat ke arah kiri dan kanan, tak ada satu pun orang yang dia kenal. Aska memilih untuk duduk manis di sana mengikuti rangkaian acara yang ada.
.
Di balik acara tersebut, seseorang terus merapihkan penampilannya dan melihat wajahnya di cermin besar.
"Sudah cantik, Nak."
Wanita itu tersenyum ke arah pria paruh baya yang masih sangat tampan. Dia memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat.
"Kamu wanita hebat. Maafkan Ayah, dulu telah menelantarkan kamu."
Senyum perih wanita itu berikan kepada sang ayah. Dia sudah tidak ingin mengingat masa lalu. Semenjak pertemuan mereka di Bandara Changi, ayahnya terus meminta ampun kepada wanita tersebut hingga ada satu kejadian di mana hatinya luluh.
"Aku sudah melupakannya, Ayah. Aku ingin membuat Bunda bahagia di surga sana."
Kalimat yang sangat menyentuh. Bagaimanapun pria di hadapannya itu adalah ayah kandungnya. Tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka berdua dan juga tidak ada yang bisa menghapus status mereka berdua. Berdamai dengan rasa sakit itu amatlah sulit, tetapi wanita itu mampu berdamai dengan segala rasa sakit yang pernah ayahnya torehkan. Satu hal yang tidak bisa dia lupakan. Satu pria yang Sampai saat ini masih tinggal di hatinya. Pria yang entah sekarang berada di mana.
Dua tahun sudah mereka berpisah, tetapi tak membuat dia lupa akan pria tersebut. Pria yang menjadi cinta pertamanya dan berharap akan menjadi cinta terakhirnya.
"Nona, sekarang sudah waktunya Anda keluar dan memperkenalkan produk Anda kepada khalayak umum."
Wanita itu pun menarik napas terlebih dahulu karena sangat gugup. Tidak dia sangka, hidupnya yang dulu penuh derita kini sedikit demi sedikit menemukan bahagia. Wanita itupun menggandeng tangan ayahnya mengikuti langkah panitia acara.
Tepuk tangan yang gemuruh terdengar apalagi yang datang di acara grand opening ini bukanlah dari kalangan sembarangan. Semuanya adalah pengusaha besar.
"Welcome to Miss JA."
Suara pembawa acara menyambut sang pemilik sekaligus perancang JA jewellery. Seulas senyum pun dia berikan kepada semua tamu undangan. Namun, senyumnya memudar ketika melihat seorang pria berjas hitam membelakangi meja tak jauh dari tempatnya dengan gawai yang menempel di telinga.
Hatinya berdegup sangat cepat, dia merasa tak asing dengan tubuh pria itu. "Apa itu dia?" tutur batinnya.
Melihat putrinya terus menatap lurus ke depan, ayah dari Miss JA mengusap lembut punggung tangan putrinya hingga dia pun terlonjak dan menatap ke arah sang ayah dengan senyuman terpaksa.
"Jangan melamun. Sekarang saatnya perkenalkan diri kamu." Wanita itu pun mengangguk dan meraih microphone yang diberikan oleh pembawa acara tersebut.
"Good evening everybody."
Pria yang tengah sibuk berbicara via sambungan telepon dan membelakangi panggung pun terdiam mendengar suara lembut yang tak asing baginya. Hatinya berdetak tak karuhan.
"Suara itu ...."
...****************...
Komen dong ....
"Suara itu ...."
Aska masih fokus pada sambungan telepon. Tak menghiraukan suara itu. Ketika panggilan selesai, Aska memasukkan ponselnya dan menoleh ke arah belakang. Matanya bertemu dengan manik mata yang sangat dia rindukan. Tubuhnya tiba-tiba menegang. Sama halnya dengan wanita yang sedang menuruni anak tangga panggung. Langkahnya terhenti, dan mata cantiknya nanar.
Mereka sama-sama menuangkan rasa rindu yang menggebu. Walaupun tubuh mereka membeku.
"Pak Aska."
Suara seseorang membuat Aska tersadar. Dia segera menoleh karena dia sangat hafal dengan suara itu. Dadanya berdegup sangat cepat ketika melihat orang kepercayaan sang kakek datang dengan wajah sendu.
"Tuan besar." Dia tidak mampu meneruskan ucapannya. Namun, mata Aska memerintahka untuk berbicara lagi. "Tuan besar dilarikan ke rumah sakit dan sekarang masuk ruang ICU."
Mata Aska melebar dan dengan langkah panjang dia menjauhi acara itu tanpa menoleh sedikit pun. Wanita yang berada di undakan anak tangga terakhir harus menelan pil pahit dan tak terasa bulir bening menetes membasahi pipinya.
"Apa sebenci itu kamu kepadaku?" batinnya.
Wanita itu segera berlari meninggalkan acaranya tersebut. Dia memilih mengejar Askara untuk menjelaskan semuanya dan mengatakan bahwa dia masih menyayangi Aska sampai saat ini.
Dia terus berlari dan memilih untuk melepas heels yang dia kenakan. Namun, langkahnya terlambat. Pria yang masih dia cintai sudah masuk ke dalam mobil.
"Bang As!"
Mobil itu melaju cukup kencang sehingga orang yang berada di dalamnya tidak mendengar panggilan tersebut.
Aska terus menyandarkan punggungnya di jok mobil. Perasaannya sudah tak karuhan.
"Sudah hubungi Daddy dan Abang?" tanya Aska kepada orang kepercayaan kakeknya.
"Sudah, Pak. Tuan Gio, Pak Aksa dan Bu Echa akan segera terbang ke sini."
Ucapan sang kakek masih terngiang-ngiang di kepalanya. Di mana beliau mengatakan bahwa ingin istirahat dengan tenang bersama sang nenek dan juga sang Tante.
"Bertahanlah, Kek. Adek masih sangat membutuhkan Kakek."
Seketika Aska lupa akan apa yang dia lihat di acara tadi. Pikirannya hanya terfokus pada sang kakek. Ini bukan kali pertama kakeknya masuk ruang ICU. Namun, tetap saja mereka semua akan panik karena kakek Genta adalah orang yang sangat mereka sayangi.
Tibanya di rumah sakit, Aska segera ke ruang ICU. Dia memakai baju yang khusus untuk masuk ke ruang ICU. Ketika Aska membuka pintu hatinya sangat pilu ketika melihat tubuh kakeknya yang sudah tak berdaya. Semua alat medis terpasang di tubuh renta sang kakek.
"Kondisi Tuan Genta kini kritis."
Aska hanya dapat menggenggam tangan sang kakek. Meletakkannya di pipinya. "Kakek pasti bisa sembuh." Suara Aska terdengar sangat pilu. Orang kepercayaan sang kakek hanya dapat menunduk dalam mendengar ucapan dari Askara.
"Setelah Pak Aska pergi, Tuan meminta saya untuk ke kamarnya karena dia mengeluh dadanya sakit. Ketika saya ke kamar beliau ... beliau sudah tergeletak di lantai."
Sakit sekali Aska mendengarnya. Dia tengah membayangkan bagaimana jika tidak ada dia di negeri ini. Kakeknya akan lebih menderita karena tidak ada yang menjaga. Bukannya anak dan cucunya tidak ingin mengurus pria yang sudah renta tersebut. Kakek Genta sendiri yang meminta untuk tidak merepotkan putra juga cucu-cucunya. Dia ingin menghabiskan waktu tuanya dengan kesendirian dan ketenangan.
Keluarga Aska terus menghubunginya. Aska menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Dia tidak ingin berbohong. Bukan hanya dia yang merasa sedih. Keluarganya yang ada di Jakarta pun sangat terpukul mendengar keadaan kakek Genta.
"Sebentar lagi Daddy akan terbang ke sana."
Mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka demi kakek Genta. Kerugian yang mereka terima tak mereka permasalahkan.
Dua jam sudah Aska tak beranjak di samping tubuh kakeknya yang terbaring. Tangannya pun masih menggenggam tangan kakek Genta.
"Bangun, Kek." Suara lirih Aska kembali keluar. "Kakek belum jadi saksi atas ijab kabul yang akan Adek ucapkan."
Aska benar-benar sangat takut. Dia merasa sangat sedih jikalau Tuhan mengambil kakeknya sebelum dia menikah. Dia ingin seperti kedua kakaknya yang ditemani oleh sang kakek ketika menikah.
"Pak, makan dulu." Aska menolaknya. Dia memilih untuk tetap berhdiam diri di samping sang kakek.
Aska berpikir jika bukan dia yang menemani sang kakek siapa lagi. Menunggu keluarganya yang akan terbang ke Melbourne membutuhkan waktu lebih dari sepuluh jam.
Setiap jam dokter khusus datang untuk memeriksa kondisi kakek Genta. Namun, mereka hanya menghembuskan napas kasar setelah memeriksa tubuh kakek Genta.
"Tidak ada kemajuan." Pernyataan itu yang membuat hati Aska tidak baik-baik saja. Apalagi, dia harus memberikan laporan kepada keluarganya setiap satu jam sekali. Apa yang dikatakan dokter harus dia sampaikan kepada keluarganya.
.
Di sebuah kamar hotel seorang wanita tengah membenamkan wajahnya di atas lutut. Air matanya tak henti menetes. Dia sangat merindukan pria tadi. Namun, pria itu seakan terus menghindar darinya.
"Apa sebenci itu kamu sama aku, Bang As."
Cincin yang Aska berikan kepadanya pun masih dia simpan dengan baik. Selalu dia gunakan sebagai liontin kalung yang terus menempel di lehernya.
Tangannya meraih cincin yang menggantung di lehernya. Dia tersenyum perih dan penyesalan kini memutari kepalanya.
"Kenapa penyesalan selalu datang belakangan?"
Dia pun membenamkan wajahnya lagi. Dia masih teringat akan kontak mata yang dia dan Aska lakukan. Sorot mata mereka berdua menandakan mereka memang sama-sama terluka.
"Aku belum bahagia, Bunda."
.
Ketika siang menjelang keluarga Aska datang dan segera masuk ke ruang ICU secara bergantian. Aksa menepuk pundak sang adik agar dia beristirahat.
"Anak gua di luar. Jagain gih." Aksa tahu adiknya ini tengah sedih. Gavin akan menjadi pelipur lara bagi adiknya itu. Benar saja, anggukan cepat Aska berikan.
"Antel!"
Bocah berusia dua tahun itu berlari ke arah sang paman yang wajahnya mirip dengan sang ayah. Aska segera memeluk tubuh Gavin dan menggendongnya.
"Lu masuk aja gih, Ri," ujar Aska. "Biar bocah tampan ini gua yang jagain." Riana pun tersenyum. Sebelum dia masuk, dia berpamitan dulu kepada putranya yang sangat posesif itu.
"Danan melta-meltaan tama Daddy."
(Jangan mesra-mesraan sama Daddy)
Riana hanya tertawa dan mengusap lembut rambut hitam putranya. "Iya. Mommy masuk dulu, ya." Gavin yang berada digendongan Aska pun mengangguk.
"Antel, lapal."
Aska pun tertawa dan dia membawa Gavin ke kantin rumah sakit. Dia membiarkan Gavin memilih apa yang dia mau.
"Kakak kembar tiga di mana?" tanya Aska kepada sang keponakan.
"Lumah tate Enta." Bocah itu berbicara sambil menyedot susu kotak. Keponakan Aska yang tiga itu sudah besar. Mereka jarang mau ikut jika kedua orang tuanya pergi.
Aska menatap keponakannya yang tengah makan roti juga susu. Bibirnya melengkung dengan sempurna memperhatikan ketampanan sang keponakan.
"Napa tenum-tenum?" tanya Gavin sambil menyedot susu kotak yang hampir habis.
"Empin ganteng." Wajah bocah dua tahun itu pun bersemu merah membuat Aska semakin tergelak.
Namun, senyumnya seketika hilang ketika dia teringat akan apa yang telah dia lihat semalam.
"Empin," panggil Aska.
"Em."
Aska mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan sebuah foto kepada bocah dua tahun itu. Gavin memeprhatikan foto itu dengan mulut yang terus mengunyah.
"Anteu Dinda."
"Jingga, Empin," ralat Aska seraya mengejek keponakannya.
"Atu matih tadel, Antel." Bocah dua tahun itu sudah berkacak pinggang membuat Aska tertawa.
"Iya, maaf."
"Da atu maapin."
Lagi-lagi Aska tertawa. Dia mengusap lembut rambut sang keponakan. Bocah itu benar-benar menjadi pelipur lara untuknya.
"Tenapa Tama anteu itu?" tanya Gavin sambil meminta susu kotak lagi. Aska membolehkannya dan membuat anak dari abangnya itu gembira.
"Uncle bertemu dia semalam."
Gavin menatap wajah pamannya dengan sedotan susu yang sudah berada di mulutnya.
"Uncle rindu dia. Uncle belum bisa lupakan dia." Benar saja, bocah dua tahun ini menjadi tempat curhat seorang Askara.
"Telus?"
Aska menjawab dengan helaan napas kasar. Dia malah menyandarkan tubuhnya di kepala kursi.Gavin menyedot susu di tangannya itu. Kemudian, dia berbicara.
"Danan ambil milit olang lain. Antel tama ada taya pentuli."
(Jangan ambil milik orang lain. Uncle sama aja kayak pencuri)
...****************...
Komen dong ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!