Brakkk ....!
"Apa ini, Fran? Buku kamu sangat buruk sekali, alur ceritanya lemah, karakter tidak jelas, dan endingnya pun tidak meyakinkan, saya benar-benar tidak habis pikir, seorang Franky penulis terbaik dan sudah terkenal dengan ribuan karyanya, tiba-tiba turun popularitas, semua kantor pusat penerbit menolak karyamu, sebenarnya ... apa yang kamu pikirkan? Apa kamu masih belum ikhlas, dengan kepergian istri kamu?"
Di sebuah kantor penerbit novel, seorang wanita paruh baya bertubuh tidak terlalu tinggi, dia berusia sekitar empat puluh tahun dan bernama Nurdiana, tampak terlihat sangat kesal dan membanting beberapa lembar kertas berisi salinan naskah ke atas meja.
Pria bermata elang, bersurai kecoklatan dan berahang tegas itu terdiam sejenak, dia tampak tengah berfikir ....
"Maafkan saya, Nyonya, saya memang sedang banyak pikiran, jadi tidak begitu fokus dengan apa yang saya tulis, tolong kasih saya kesempatan sekali lagi, dan saya berjanji untuk menulis dengan lebih baik lagi," mohon Franky dengan wajah sayu.
"Fran, kita ini bukan hanya sekedar penulis dan penerbit, tapi sudah seperti keluarga sendiri, kalau ada masalah, berbagilah dengan saya, siapa tahu saya bisa memberi solusi yang terbaik," tutur Nurdiana.
Franky menggelengkan kepala, dan Nurdiana pun menghembuskan napas kasar.
"Ya sudah, Fran, pokoknya kamu harus membuat ulang novel ini, perbaiki letak kesalahannya, intinya novel ini harus jadi sempurna, kamu paham, kan?" tegas Nurdiana.
Franky mengangguk lemas.
"Sekarang, kita pergi makan dulu, saya akan menghubungi suami saya, kita makan bertiga sekaligus berbincang-bincang, supaya kamu tidak terlalu merasa stress."
Franky mengangguk, dan dengan langkah gontai dia mengikuti Nurdiana masuk ke dalam mobil. Nurdiana mengendarai mobilnya menuju sebuah warung makan. Sesampainya, mereka berdua turun dan masuk ke dalam untuk mencari tempat duduk. Tak lama, Abdul Rozak sang editor sekaligus suami dari Nurdiana datang menghampiri Franky dan Nurdiana.
"Halo, Fran, bagaimana kabar kamu?" tanya Abdul Rozak sambil mengulurkan tangannya mengajak Franky untuk bersalaman.
Pria berwajah tampan itu, hanya membalas jabatan tangan Abdul Rozak dengan senyum terpaksa.
Nurdiana merasa prihatin dengan Franky, dia menatap pria itu dengan tatapan iba. Akhirnya Nurdiana menceritakan masalah karya Franky yang dianggapnya buruk.
Setelah berpikir sebentar, Abdul Rozak pun mempunyai sebuah ide.
"Em, bagaimana kalau kamu pergi, ke Pulau Abadi? Nanti asisten saya akan mengantar dan menemani kamu selama di sana, tempat itu sangat tenang, jadi kamu bisa mencari inspirasi untuk cerita yang akan kamu buat, dan saya yakin, kamu pasti bisa membuat novel yang sempurna," papar Abdul Rozak.
"Pulau Abadi? Tempat apa itu? Seumur hidup, saya belum pernah mendengarnya sama sekali," ujar Franky heran.
"Iya, Fran, saya pun sama, belum pernah pergi ke tempat itu, jadi saya pun tidak tahu, seperti apa tempat itu, tapi teman saya pernah bercerita kepada saya, dia juga seorang penulis sama seperti kamu, dia pernah gagal menulis karena sebuah masalah juga, dan dia mendengar dari seseorang, kalau ada sebuah tempat bernama Pulau Abadi dan tempatnya sangat tenang. Awalnya temanku itupun hanya iseng-iseng pergi ke tempat itu, tapi sungguh tidak diduga, sepulang dari Pulau itu, dia membawa sebuah karya yang sangat luar biasa. Dia bilang, dia mendapat inspirasi untuk membuat novel di Pulau tersebut." Abdul Rozak bercerita dengan sangat antusias.
"Bagaimana, Fran? Apakah kamu tertarik, untuk pergi ke tempat itu? Siapa tahu, kamu mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis," sambung Nurdiana penuh harap.
"Saya bersedia, Nyonya, tapi jangan mendadak, saya minta waktu untuk mempersiapkan semuanya."
"Tidak masalah, Fran, saya pun tidak menyuruh kamu, untuk terburu-buru," ujar Nurdiana.
Franky tampak berfikir sejenak ....
"Em, bagaimana kalau lusa?" ujar Franky.
"Tidak masalah, besok lusa, biar asisten saya menjemput langsung, ke rumah kamu." Abdul Rozak menimpali.
Tak lama, makanan yang dipesan sudah datang.
"Ayo, Ron, silahkan dimakan," kata Nurdiana.
"Iya, Nyonya," angguk Franky.
Selesai makan, Franky berpamitan untuk pulang.
"Terimakasih untuk makan siangnya, Nyonya, Tuan, saya permisi."
"Oke, Fran, lusa jangan lupa," sahut Nurdiana tersenyum lega.
Franky mengangguk, dan berlalu dari hadapan pasangan suami istri itu.
"Kasihan dia, jiwanya sangat terguncang sejak kematian istrinya," gumam Nurdiana.
"Saya pun ikut merasakan, bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayang, tapi yang namanya takdir, kita mana sanggup melawan?" sambung Abdul Rozak.
***Rumah Franky
Di dalam kamar, Franky masih terbayang akan tragedi yang menimpanya.
Kemudian Franky mengambil sebuah handycam yang ada di laci di dalam lemari pakaiannya. Franky membuka galeri kemudian memutar video-video kenangannya bersama sang istri tercinta.
Terdapat video pernikahannya bersama dengan istrinya, ada juga video istrinya nan jelita, bertubuh padat, sedang berakting dan berjoget.
Kemudian, Franky memandangi foto-foto berpigura yang tergantung di sepanjang dinding kamarnya.
Feanky terlihat sangat sedih dan terpukul meratapi kepergian istrinya, setiap hari dia menjalani hidup yang hampa seorang diri.
****
Franky adalah anak sebatang kara, yang berasal dari sebuah Pondok. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan saat itu usia Ronaldo menginjak lima tahun.
Kemudian para tetangga membawa Franky ke sebuah Pondok untuk dirawat di sana, karena orang tuanya pun sudah tidak mempunyai sanak saudara.
Framky bersekolah dan tumbuh menjadi pemuda tampan, dia mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan kalau dia mempunyai sesuatu yang lebih, dia akan membaginya dengan teman-temannya.
Selain tampan, Franky pun dikaruniai otak yang sangat cerdas. Dia bercita-cita ingin menjadi seorang author terkenal.
Setelah dewasa dan tamat sekolah, Franky mengontrak sebuah rumah kecil untuk ditinggali. Dia mulai mencoba menulis cerita sesuai dengan inspirasinya kemudian iseng-iseng mengirimkannya ke sebuah kantor penerbit. Franky sungguh tak menyangka bahwa karyanya akan diminati oleh banyak pembaca.
Akhirnya dia menjadi author ternama dengan penghasilan yang sangat lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dan Franky bisa membeli sebuah rumah yang cukup mewah dari hasil membuat novel.
Suatu hari, Franky bertemu dengan seorang wanita cantik bersurai indah bernama Soraya, di sebuah kantor penerbitnya.
Singkat cerita di antara mereka tumbuh benih-benih cinta, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Franky dan Soraya saling saling mencintai satu sama lain. Franky merasa sangat bahagia bisa hidup satu atap bersama Soraya yang sangat dicintai.
Hari demi hari berlalu, Franky dan Soraya menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh kebahagiaan. Soaraya merawat dan melayani Franky sebagai suaminya dengan sepenuh hati.
Enam bulan pernikahan Franky dan Soraya akhirnya menghasilkan buah cinta. Soraya mengandung anak dari Franky.
Hal tersebut membuat Franky bertambah bahagia, dan lebih bersemangat lagi dalam menulis.
Franky melarang Soraya melakukan pekerjaan berat, dan setiap bulan Franky akan mengantar Soraya ke Rumah Sakit untuk memeriksakan kandungannya.
Usia kandungan Soraya saat itu berjalan tujuh bulan.
****
Dan seketika, lamunan Franky buyar ....
"Soraya ... aku rindu."
Bab.2 Sebuah Tragedi
Flashback***
Pagi itu, Soraya sedang berada di halaman depan rumahnya, dia nampak ceria hari itu, dia menyirami bunga-bunga yang ada di halaman itu sambil bernyanyi riang.
Tak lama, Franky keluar dari dalam rumahnya dan menghampiri Soraya.
"Sayang, hari ini kamu jadi akan membeli perlengkapan untuk calon bayi kita kan? Aku akan mengantarmu ke supermarket.
"Jadi dong Mas, lagian usia kandunganku sudah tujuh bulan, ngga lama lagi aku akan melahirkan, sebentar ya ini tinggal satu pot bunga lagi, aku siram dulu terus aku mandi dan siap-siap," jawab Soraya sambil tersenyum.
Selesai menyirami bunga, Soraya masuk ke dalam dan melaksanakan ritual mandinya.
Selesai mandi Soraya berpakaian dan bermake-up tipis-tipis.
Kemudian Soraya keluar menuju ke mobil yang sudah terparkir di depan halaman rumahnya, dan Franky sudah menunggu di dalamnya.
"Wah, kamu hari ini cantik sekali sayang," puji Franky, setelah Soraya masuk ke dalam mobil.
"Hanya hari ini saja Mas? Berarti dari kemarin nggak cantik dong?" tanya Soraya sambil menggembungkan kedua pipinya.
Franky terbahak.
"Hahaha, ya cantik lah sayang, hanya saja semenjak hamil kamu semakin bertambah cantik, kata orang tua jaman dahulu, kalau waktu hamil terlihat cantik, berarti anaknya perempuan," kelakar Franky.
Wajah Soraya memerah bak kepiting rebus.
"Benarkah? Ya semoga saja kalau memang anaknya perempuan, dia cantik seperti aku hehe," sahut Soraya sambil terkekeh.
Franky tersenyum, kemudian melajukan mobilnya menuju ke Supermarket terbesar yang ada di kota itu.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di sebuah Supermarket.
"Sayang, kamu turun sendiri nggak apa-apa kan? Aku tunggu di mobil ya, silahkan kamu memilih apa saja yang kamu butuhkan, dan bayarlah dengan ini," kata Franky, sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kartu kredit lalu menyerahkannya kepada Soraya.
"Baiklah Mas, kamu tunggu disini ya, awas jangan nakal lho," sahut Soraya sembari menerima kartu itu.
"Nakal sama siapa sih? tanya Franky merasa lucu.
"Ya genit-genit atau godain perempuan lain gitu," kelakar Soraya.
"Mana? Nggak ada perempuan pun disini, tuh yang ada ibu-ibu penjual gorengan, masa iya aku godain dia, ya cantikan kamu lah say," Franky menggombal.
Soraya terkekeh, kemudian turun dari mobil dan menuju ke dalam Mall.
Sampai di dalam, Soraya memilih barang-barang yang di butuhkannya, setelah di rasa cukup dia menuju ke kasir untuk membayarnya.
Tak lama Soraya keluar menuju mobil.
"Sudah dapat semua barangnya sayang?" tanya Franky
"Sudah Mas, ayo kita pulang, oh iya lewat jalan pintas saja, biar cepat sampai," kata Soraya.
Seketika Franky mempunyai firasat buruk, dan jantungnya berdetak menjadi tidak beraturan.
"Ada apa denganku?" batin Franky.
"Mas? Kok malah melamun?" tanya Soraya penasaran.
"Sayang, apakah nggak sebaiknya kita mengikuti jalur yang ada di jalan ini saja?" tanya Franky ragu.
"Ah.. jalannya macet Mas, tuh lihat di depan, antrian mobil berhenti banyak sekali, terus kita mau sampai rumah jam berapa, aku sudah nggak tahan ingin bersantai di rumah, lagian panas sekali cuacanya," Soraya bersikeras.
Akhirnya, dengan terpaksa Franky menuruti kemauan Soraya.
"Baiklah sayangku."
Lalu Franky melajukan mobilnya hendak pulang, dia memutar balik hendak melewati jalan pintas, karena jalan utama memang sedikit macet.
Kini mobil Franky telah berada di sebuah jalan kecil, suasana jalanan itu sangat sepi, hanya terlihat beberapa kendaraan yang lewat di jalan itu, dan beberapa orang yang sedang berjalan.
Ketika melewati sebuah tikungan dari arah yang berlawanan, sebuah truk bermuatan pasir melintas dengan kecepatan yang sangat tinggi, sepertinya truk tersebut sedang terburu-buru membawa muatan.
Bersamaan dengan itu, mobil yang di kendarai oleh Franky dan Soraya beradu dengan truk itu.
Terjadilah tabrakan antar kedua kendaraan itu, truk itu menabrak mobil Franky hingga terpental kepinggir jalan dan membentur sebuah pohon besar.
Sementara sopir truk tadi pun kehilangan keseimbangan dan akhirnya oleng dan guling ke dalam sawah di dekat pinggiran jalan itu.
Semua orang yang melihat kejadian tersebut berlarian menghampiri kedua kendaraan tersebut.
Sopir truk, Franky, dan Soraya tampak tak sadarkan diri, akhirnya mereka di bawa ke Rumah Sakit terdekat oleh orang-orang sekitar.
****
Di dalam ruangan di sebuah Rumah Sakit, Franky kini telah siuman, dia bangun dari tidurnya dan memperhatikan sekelilingnya, dia tampak keheranan.
"Di mana aku?" gumamnya lirih.
Tak lama seorang dokter laki-laki masuk.
"Bapak sudah sadar?" tanya dokter tersebut.
"Dokter, mengapa saya berada di tempat ini?" Franky balas bertanya.
"Maaf Pak, tadi ada beberapa warga membawa tiga orang korban tabrakan, Bapak dan istri Bapak, lalu seorang sopir truk.
"Terus, istri saya di mana Dokter?" tanya Franky yang terlihat semakin panik.
"Yang sabar ya Pak, istri Bapak meninggal di tempat kejadian beserta bayi yang di kandungnya, dia mengalami pendarahan hebat akibat sebuah benturan yang keras, dan mohon maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong mereka, tapi sayangnya Tuhan berkehendak lain," jawab Dokter itu dengan wajah penuh penyesalan.
"A... ap... apaaa? Nggak Dok, Dokter pasti hanya bercanda saja kan?" tukas Franky.
Akhirnya dokter itu mengajak Franky menuju ke kamar mayat, sekujur tubuh Franky lemas seketika melihat jenazah Soraya, istri tercintanya itu terbaring kaku di tempat tidur, wajahnya sudah pucat dan suhu tubuhnya sangat dingin.
"Sopir yang mengendarai truk juga meninggal, jadi hanya Bapak saja yang selamat, saya tinggal dulu ya," kata dokter itu.
Tangis Franky pecah seketika, dia meratapi nasibnya di tinggal istri tercintanya.
Setelah jenazah istrinya di bawa pulang dan di sucikan, Franky menguburkannya di makam dekat rumahnya atas ijin keluarga dari Soraya.
Semenjak kepergian Soraya, Franky jadi sering murung, mentalnya down dan dia pun kehilangan konsentrasinya untuk menulis sebuah novel.
Flashback off...
****
Franky terisak di dalam kamar itu, sambil memandangi foto-foto Soraya yang tergantung di dinding kamarnya.
Dia masih belum percaya kalau Soraya akan pergi secepat itu.
Terbesitlah sebuah penyesalan dalam dirinya.
"Kalau saja aku nggak mengikuti kemauan Soraya untuk lewat jalan pintas, pasti ini semua nggak akan terjadi dan Soraya masih hidup, ah sudahlah, ini adalah takdir, aku nggak bisa melawannya, lagi pula kalau aku bersedih terus Soraya pun nggak mungkin hidup lagi," gumam Franky dalam hati.
Bulir-bulir bening kembali menetes di kedua pipinya, dia merasakan kehilangan yang amat sangat, karena dia begitu mencintai Soraya.
"Aku nggak mau berlarut-larut dalam kesedihan, karena bagaimana pun, hidup harus di teruskan.
Dan besok aku akan pergi ke Pulau Abadi seperti yang di katakan oleh nyonya Nurdiana, mungkin di sana aku bisa melupakan semua yang telah terjadi, dan aku bisa berkonsentrasi untuk menulis lagi," pikir Franky.
Akhirnya Franky mempersiapkan segala sesuatunya, dia mengemasi pakaiannya ke dalam koper, dia berencana akan berada di Pulau itu untuk beberapa lama.
Tak lupa Franky membawa handycam berisi video-video Soraya, dan beberapa lembar foto Soraya tak lupa dia masukan ke dalam kopernya.
Setelah semua tertata rapi, Franky berjalan menuju kamar mandi hendak membasuh muka dan kakinya, kemudian dia berganti pakaian hingga akhirnya tertidur karena merasa lelah.
Pagi hari Franky bangun kemudian mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke Pulau Abadi.
Setelah mandi dan berpakaian, Franky mengemasi barang-barang yang akan di bawanya termasuk laptop untuk menulis.
Setelah semua siap Franky menghubungi Nurdiana supaya mengirim orang yang akan mengantarkannya ke Pulau Abadi.
Beberapa jam kemudian seseorang mengetuk pintu rumah Franky dan Franky pun membukakan pintu.
"Halo, Frank," sapa seorang lelaki yang yang tak asing bagi Franky. Ya ... dia adalah Leon keponakan Nurdiana yang akrab dengan Franky, usia mereka hanya selisih tiga tahun dan lebih tua Franky.
Kebetulan Leon sedang libur kuliah jadi dia bisa menemani Franky
"Rupanya kamu, Le," ujar Franky.
"Iya, Frank, aku yang akan menemani kamu selama di Pulau Abadi, aku akan mendukung kamu mencari inspirasi untuk novel kamu," jawab Leon antusias.
"Lho, katanya asisten dari pak Abdul Rozaq yang akan mengantarku," ujar Franky.
"Kebetulan asisten pak Abdul sedang pergi ke Luar Kota Frank, jadi dia nggak bisa," ujar Leon.
"Ya sudah, malah asik kita berduaan, hitung-hitung kita sambil liburan," kelakar Franky.
"Dih, masa sesama lelaki asik berduaan, bahaya lho Fran," kata Leon mengejek.
"Hahaha ... kamu itu pikirannya kotor, Le," Franky terbahak, sedangkan Leon hanya meringis merasa salah tingkah.
Franky segera memasukkan barang-barang yang akan di bawanya ke dalam mobil Leon, kemudian dia memasukan mobilnya sendiri ke garasi rumahnya.
Leon mengemudikan mobilnya, di sepanjang jalan mereka berdua mengobrol dan bersenda gurau dengan riangnya bak kakak beradik.
"Tempatnya jauh ya, le?" tanya Franky.
"Lumayanlah, Fran, makan waktu lima jam perjalanan, karna memang Pulau itu terletak paling terakhir di antara kepulauan lainnya," jawab Leon.
"Hah? Tapi kenapa harus Pulau Abadi?" heran Franky.
"Di pulau itu sangat damai Fran, tempatnya dekat dengan pesisir pantai, nah kita bisa main-main di pantainya kalau sedang jenuh, dan kamu juga pasti bisa menulis dengan tenang tanpa ada yang mengganggumu," kata Leon.
"Oh begitu, tapi apakah di sana ada kehidupan?" tanya Franky lagi.
"Jelas ada dong, di sana ada sebuah kampung lengkap dengan para penduduknya, kita bisa membeli apa yang kita butuhkan, warung ada, penjual makanan pun ada. Nah di seberang kampung itu terdapat sebuah hutan, tapi aku juga kurang tahu apa yang ada di dalam hutan itu, paling hanya pepohonan saja." Leon menjelaskan secara detail.
"Memangnya, kamu sudah pernah kesana, Le? Kok sepertinya kamu paham sekali keadaan di sana," ujar Franky.
"Dulu kan aku pernah mengantar temannya omku ke pulau itu, dia juga penulis novel sama seperti kamu, Fran," ungkap Leon.
"Apakah dia yang diceritakan pak Abdul kemarin ya?" gumam Franky dalam hati.
"Tapi ngomong-ngomong, dari mana kamu bisa tahu tempat itu, Le?" Franky merasa penasaran.
"Biasalah, namanya juga anak muda, jelajah kesana sini," kelakar Leon.
Franky pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Beberapa jam kemudian sampailah Franky dan Leon di sebuah tempat yang bernama Pulau Abadi, saat itu hari sudah siang.
Mereka masuk ke sebuah perkampungan dan memarkirkan mobilnya di suatu tempat.
"Permisi, Pak, apakah disini ada rumah kontrakan kecil-kecil?" tanya Leon kepada seorang Bapak yang kebetulan lewat di depan mereka membawa sebuah arit karena dia hendak pergi ke sawah.
"Apakah kalian akan mengontrak?" tanya bapak tersebut.
"Iya, Pak," jawab mereka bersamaan.
"Kebetulan sekali, rumah saya yang di bagian belakang sudah lama kosong, halamannya cukup luas bisa untuk parkir mobil juga, saya memang berniat akan mengontrakkannya, ya sudah, mari ikut saya, akan saya tunjukkan tempatnya, setelah itu silahkan jadi mengontrak atau tidak yang penting kalian sudah melihatnya," kata bapak tadi.
"Baik, Pak," jawab mereka berdua.
Franky dan Leon berjalan kaki mengikuti bapak tersebut.
Mereka sampai di sebuah rumah yang kecil namun bersih, mereka masuk ke dalam dan melihat-lihat sekelilingnya.
Franky berjalan ke belakang, dia melihat kalau tempat itu lengkap dengan kompor dan peralatan memasak, dan di pojokan dapur terdapat kamar mandi.
Ada dua buah kamar beserta kasur, sebuah meja kursi, dan lemari kecil juga, kemudian ruang tamu, rumah itu sungguh minimalis.
kemudian Franky dan Leon berkumpul di ruang depan.
"Bagaimana? Apa kalian suka dengan rumahnya? Oh iya, perkenalkan saya Yusuf, saya hanya tinggal berdua dengan anak saya karena istri saya sudah meninggal," kata pak Yusuf memperkenalkan diri.
"Saya Leon, dan ini teman saya Franky," Leon balas memperkenalkan diri.
"Kami tertarik dengan rumah kontrakan ini, rencananya kami akan tinggal beberapa bulan, dan teman saya ini seorang novelis yang kebetulan kehilangan inspirasi untuk menulis, jadi saya mengantar dia ke pulau ini dengan tujuan mencari inspirasi supaya bisa menulis dengan tenang dan jauh dari keramaian," kata Leon lagi.
"Oh begitu, baiklah kalau kalian mau menyewa rumah ini, silahkan ini kunci rumahnya, dan saya berpesan kepada kalian, jangan sekali-kali kalian memasuki kawasan hutan terlarang di seberang pantai sana," pesan pak Yusuf.
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Leon penasaran.
"Sudah, jangan banyak bertanya, tolong patuhi saja larangan yang saya berikan, jangan sampai melanggar kalau kalian masih sayang dengan nyawa kalian, saya permisi dulu mau ke sawah semoga kalian betah tinggal di sini," kata pak Yusuf kemudian mengambil aritnya dan pergi meninggalkan kedua pria tersebut.
"Memangnya ada apa dengan hutan itu, ya?" tanya Franky.
"Sudah, ikuti saja peraturan yang ada di sini, Fran, kalau kita ingin selamat, mungkin hutan itu memang hutan terlarang," tegas Leon.
"Hem ... ya, ya, ya," lirih Franky.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini sebentar ya, aku akan memindah mobilku kemari," kata Leon.
Franky mengangguk dan Leon pun berjalan menuju di mana mobilnya di parkir tadi.
Setelah memindah ke halaman depan rumah kontrakan itu, Leon turun membawa barang bawaannya dan juga barang kepunyaan Franky.
"Ini Fran, koper dan laptop kamu, kamu bisa menatanya di kamarmu, aku juga akan menata barangku di kamar, setelah ini kita pergi makan," kata Leon.
Franky mengangguk kemudian masuk ke kamarnya dan menata barang-barangnya, dia memasukan pakaiannya di lemari yang sudah tersedia dan menaruh laptop dan handycam nya di atas meja kemudian Franky mengambil handycamnya dan membuka kembali video-video Soraya.
"Istriku sayang, semoga engkau tenang di alam sana, aku akan selalu mengingat dan mengirim doa untukmu, aku pergi ke Pulau ini bukan niatku untuk melupakanmu, aku hanya ingin meneruskan cita-citaku menjadi Novelis terkenal, karena kehidupan memang harus di teruskan," gumam Franky dalam hati.
"Iya sayangku."
Franky terkejut seketika mendengar sebuah bisikan lembut di telinganya.
"Soraya? Kaukah itu?" Franky menoleh ke kiri dan ke kanan, namun seketika suasana menjadi hening kembali.
"Ah ... mungkin perasaanku saja, Soraya sudah tenang di alamnya, jadi nggak mungkin dia mengikutiku."
Franky pun melanjutkan menata barang-barangnya.
Selesai menata barang-barangnya, Franky mengetuk pintu kamar Leon.
"Le ayo pergi makan, aku sudah lapar nih," kata Franky.
"Iya, Fran, sebentar aku ganti baju dulu," sahut Leon.
Tak lama kemudian Leon keluar.
"Kita cari makan di mana? tanya Franky.
"Tadi aku melihat rumah makan, di tempat kita bertemu dengan pak Yusuf," ujar Leon.
Akhirnya kedua insan itu berjalan menuju rumah makan tersebut.
Sesampainya, mereka masuk.
"Permisi, Bu, kami mau makan," kata Leon kepada ibu pemilik warung itu.
"Mari silahkan, Mas, kalian mau makan apa?" tanya ibu pemilik warung ramah.
"Saya nasi sama telur rendang saja, Bu," kata Leon.
Sementara Franky memesan nasi dengan lauk ayam goreng dan sambal.
Kedua insan itu pun menikmati makan siang yang tertunda.
Kalian bukan penduduk asli Pulau ini ya? Karena saya baru pertama kali melihat kalian?" tanya ibu pemilik warung tersebut.
Leon pun menceritakan asal usul mereka juga tujuan mereka berada di Pulau itu.
"Begitu ya, oh iya ... perkenalkan saya Monika, rumah saya di samping warung ini, kalau sedang jenuh kalian boleh bermain ke rumah saya, kebetulan saya juga ada anak seumuran kalian, namanya Bento," kata bu Monika ramah.
"Baik, Bu, saya Leon dan ini teman saya Franky," kata Leon menjelaskan.
"Semoga kalian betah tinggal disini, ya," kata bu Monika dengan senyum penuh makna.
Franky dan Leon saling berpandangan kemudian Franky mengangkat bahunya dan Leon menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua pun menghabiskan makanannya, setelah itu Leon membayar apa yang mereka makan.
"Ini Bu uangnya, kami permisi dulu," kata Leon.
"Terimakasih, Mas, pesan saya hati-hati di Pulau ini, jangan banyak melamun dan jangan mudah terpengaruh," kata bu Monika.
"Baik, Bu, terimakasih atas wejangannya," sahut leon.
Kemudian mereka berdua meninggalkan warung itu.
"Le, maksud ucapan ibu tadi apa ya?" tanya Franky.
"Aku juga kurang tahu, Fran, mungkin tempat ini ser..." Leon tak melanjutkan ucapannya, karena takut mental temannya itu justru semakin drop.
Leon merasa kasihan terhadap Franky yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh istri tercintanya, dia bisa merasakan sakit yang mendalam. Untuk itu dia bersedia menemani Franky mencari inspirasi di Pulau Abadi itu atas perintah tantenya, Nurdiana.
"Ser... apa, Le?" Franky penasaran.
"Eh ... itu, Fran, maksudnya aku seret tadi habis makan lupa minum hehe," Leon terkekeh.
"Ck, ck, ck ... kamu ini ada-ada saja, Le," Franky menggelengkan kepalanya.
Leon pun meringis sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.
Pada saat Franky mengedarkan pandangannya ke arah sebuah pohon spontan dia melihat seorang wanita berdiri di bawah pohon tersebut, wanita itu tersenyum kepadanya.
Franky pun merasa heran, dan mengerutkan keningnya.
"Cantik sekali perempuan itu, tapi sedang apa dia di bawah pohon itu? Seorang diri pula," gumam Franky dalam hati.
"Le, lihat ada perempuan cantik seperti bidadari turun dari kahyangan," kata Franky sambil menengok ke arah Leon.
Tangan kanan Franky menunjuk ke arah pohon yang letaknya di sebelah kanan tak jauh dari tempat mereka berjalan.
Leon pun menoleh ke arah yang di maksudkan.
"Mana, Fran? Nggak ada siapa-siapa kok, cuma pohon saja," sahut Leon penasaran.
Franky menoleh lagi ke arah pohon tadi, betapa terkejutnya dia karena tidak ada siapa pun di bawah pohon itu.
"Kemana dia? Tadi jelas sekali dia tersenyum kepadaku," batin Franky.
"Tapi, tadi dia berdiri di bawah pohon itu, Le, dia pakai baju kebaya putih dan pakai selendang putih juga, benar aku nggak bohong." Franky berusaha meyakinkan Leon.
"Tapi buktinya nggak ada tuh, Fran, hem ... kamu ini masih siang bolong sudah halu," Leon menepuk keningnya.
"Terserah kamu saja, kalau nggak percaya nggak masalah, tapi yang jelas aku nggak bohong, aku melihatnya dengan jelas," Franky bersikeras meyakinkan temannya itu.
"Sudahlah, Fran, mungkin dia sudah pergi, iya, iya, aku percaya kok sama kamu," Leon berusaha mencairkan suasana.
"Kasihan sekali Franky, mungkin dia masih trauma sama kematian istrinya, sampai-sampai dia masih terus terbayang istrinya itu," ungkap isi hati Leon.
Setelah berjalan sebentar, mereka tiba di rumah kontrakan.
Leon segera masuk ke dalam kamarnya sedangkan Franky hendak menutup pintu, tiba-tiba tatapan netranya mengarah ke jalanan yang menuju hutan di kejauhan sana.
"Huh? Itu kan perempuan yang tadi," gumam Franky dalam hati.
Franky menoleh sebentar ke kamar Leon hendak memanggilnya. Namun sebelum dia memanggil Leon dia memastikan lagi kalau nun jauh di sana ada seorang wanita.
Namun ketika dia menoleh lagi ke arah jalan di mana wanita itu berada hanya jalanan sepi yang tampak.
"Kenapa cepat sekali dia hilang, sebenarnya siapa dia, dan mau kemana atau mencari siapa?"
Franky benar-benar penasaran.
Leon keluar kamar karena berasa ingin buang air, dan dia tak sengaja melihat Franky sedang melamun di depan pintu masuk rumah itu, Leon pun penasaran.
"Fran, sedang apa kamu? Dari tadi kamu masih berdiri saja, tidak masuk kamar?"
"Eh itu, Le, tadi ponselku kok nggak ada, dan aku keluar sebentar, ternyata jatuh di halaman rumah, hehe." Franky terkekeh membuat Leon semakin bingung.
Franky memang sengaja tak menceritakan perihal mengenai wanita itu lagi karena dia khawatir Leon tak akan percaya karena wanita itu sudah pergi.
"Franky kok makin aneh saja," Leon membatin sambil menggelengkan kepalanya.
Malam hari tiba, Leon mengajak Franky jalan-jalan ke pantai, Franky pun setuju, dia mengikuti Leon.
Mereka berdua keluar rumah dan mengunci pintu, lalu berjalan kaki, karena jarak dari rumah kontrakan mereka ke pantai cukup dekat.
Sampai di pantai ternyata ramai sekali orang-orang berlalu lalang di tempat itu, ada beberapa dari mereka yang terlihat sedang memadu kasih.
Malam itu langit terlihat cerah, bulan bersinar terang di dampingi oleh bintang-bintang di sekelilingnya.
Franky dan Leon mencari tempat duduk dan mereka menemukannya di bawah pohon kelapa.
Tiba-tiba seorang lelaki sebaya mereka menghampirinya.
"Halo, kalian pendatang ya?" tanya lelaki itu.
"Iya, benar," jawab Leon.
Franky hanya tersenyum.
"Kenalkan, namaku Bento, rumahku tak jauh dari sini," kata Bento.
"Bento? Bento anaknya bu Monika, ibu yang menjual nasi itu ya?" tanya Leon.
"Ya, benar sekali, semoga kita bisa berteman baik," kata Bento antusias.
Akhirnya Franky dan Bento pun memperkenalkan diri mereka masing-masing, dan mereka segera akrab.
Mereka berbincang-bincang dan bersenda gurau bersama.
Franky mengamati pemandangan sekeliling pantai itu, dia tampak takjub.
Seketika netranya menangkap sosok wanita berpakaian putih yang berdiri di sebuah pohon lainnya.
Karena di hantui rasa penasaran yang kuat, Franky pun beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri sosok tersebut.
"Fran, mau kemana kamu?" tanya Leon.
"Aku tinggal sebentar, Le, aku akan berkeliling pantai ini, pemandangannya indah sekali, siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku jadikan inspirasi untuk menulis," jawab Franky sambil terus berjalan tanpa menoleh ke arah Leon dan Bento.
Leon pun membiarkan temannya itu pergi, sementara Bento asik mengobrol dengan Leon.
Franky terus berjalan hingga sampai di pohon yang di lihatnya tadi, di dekat pohon itu ada seorang wanita berkebaya serba putih dan memakai selendang putih pula di kepalanya, dia tersenyum manis ke arah Franky.
"Kamu ini siapa, dan kenapa malam-malam begini berada di luar seorang diri saja?" Franky memberanikan diri untuk bertanya.
"Nama saya Rinjani, saya tinggal di dalam hutan sana, dan saya sedang mencari angin segar saja," jawab Rinjani seraya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah tikungan jalan yang menuju ke hutan.
"Hutan? Memangnya di dalam hutan itu ada kampung juga?" heran Franky.
Rinjani hanya tersenyum.
Kedua insan itu pun asik mengobrol.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!