NovelToon NovelToon

Puskesmas Di Tengah Hutan [ END ]

PENUGASAN

Fani adalah seorang gadis muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan kebidanannya dan kini, ia tengah menatap nanar pada selembar surat tugas di tangannya. Jauhnya lokasi penugasan yang tengah ia pikirkan. Meski begitu, dia harus tetap berangkat sebab, jika ia menolak maka beasiswa pendidikan kebidanan yang telah ia terima harus dikembalikan. Dengan kata lain, dia harus membayar semua biaya pendidikan kebidanannya.

"Baiklah, anggap ini sebagai liburan. Bukankah hiruk pikuk perkotaan cukup membuat penat? Tiga bulan tinggal di desa, menarik juga."

...🌸🌸🌸...

Hari keberangkatan pun tiba. Fani berangkat diantar kekasihnya sekaligus calon suaminya. Orang tuan Fani sudah tua jadi, tidak bisa ikut mengantar. Fani adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang mana semua saudaranya berprofesi sebagai bidan atau perawat di rumah sakit yang cukup ternama.

Setelah semuanya siap, Fani dan kekasihnya, Rifki berpamitan. Kedua orang tua Fani hanya mengantarkannya dengan doa.

"Baik-baik ya nak di sana! desa memang jauh berbeda dengan kota. Mungkin sekali akan kamu temui banyak kekurangan dalam di sana tapi ibu harap, kamu sabar ya! ketiga kakakmu juga mengalaminya sebelum bisa bekerja dengan nyaman di kota," pesan ibunya.

"Iya buk, Fani akan mengingat pesan ibuk."

"Rifki, pelan-pelan saja nyetirnya!"

"Baik buk."

"Hati-hati ya kalian!"

"Iya."

Usai berpamitan, perjalanan pun dimulai. Rifki sengaja menyewa mobil selama dua hari untuk mengantarkan Fani. Sepanjang perjalanan, Fani terlihat gelisah. Sejujurnya, ada keraguan di dalam hatinya. Rasanya, dia tidak sepenuhnya yakin untuk bertugas di tempat yang telah ditunjuk untuknya.

"Ada apa sayang?" tanya Rifki.

"Hemm, gimana ya?"

"Kenapa?"

"Tempat ini jauh sekali dan terasa asing."

Rifki terkekeh.

"Tentu saja asing, kamu kan memang belum pernah ke sana."

"Rasanya, gimana ya jelasinnya?"

"Jangan terlalu dipikirkan, dijalani dulu saja!"

Fani menghela napas panjang tanpa memberi jawaban.

Ternyata, lokasi desa penempatan Fani begitu jauh dan terpencil. Mereka cukup terkejut kala melewati jalan setapak yang diapit hutan nan lebat.

"Tuh kan firasatku benar," ucap Fani.

"Namanya juga desa yang, sudah wajar banyak pepohonan."

"Ini sih bukan sekedar pepohonan tapi hutan. Tidak ada peradaban sejauh mata memandang."

"Sabar dulu ya!"

"Kalau bukan karena biaya beasiswa, gak bakalan mau aku ditugasi ke sini."

"Ingat kata ibuk tadi! ketiga kakak kamu kan juga mengalaminya juga. Harusnya, kamu sudah yakin saat memutuskan untuk mengambil jurusan kebidanan dulu."

"Iya aku tahu tapi saat mengalaminya sendiri ya.. beda lagi."

Rifki tersenyum sembari mengusap kepala Fani.

Beberapa kilo kemudian, muncul keraguan. Apakah jalan yang mereka ambil sudah benar, hingga sampailah mereka di sebuah persimpangan. Terdapat papan petunjuk yang mana arah kanan menuju ke desa waringin dan arah kiri menuju ke desa beriyun. Fani membuka kembali surat tugasnya untuk memastikan.

"Ke kanan yang, ke desa waringin!" ucap Fani.

"Benar ke kanan?"

"Nih lihat aja sendiri!"

Rifki melihat lembar kertas yang diulurkan calon istrinya.

"Hemm, iya benar. Oke kita ke kanan!"

Kurang lebih sudah dua kilo meter terlewati tapi masih belum terlihat perkampungan. Hanya ada hutan di sisi kira dan kanan.

"Kok gini sih?" keluh Fani.

"Sabar ya! sebentar lagi pasti sampai."

"Ini sih desa terpencil."

"Sayang.."

"Kesel banget rasanya, badmood"

"Jangan gitu dong! eh, itu ada gapura tuh."

Fani meluruskan pandangannya dan benar saja, ada gapura kayu yang bertuliskan:

...SELAMAT DATANG DI DESA WARINGIN...

"Alhamdulillah," ucap Rifki.

Meski telah sampai di desa tujuan, perasaan Fani masih tak karuan. Dia juga tak tahu apa penyebab pastinya. Mungkin, semacam sebuah firasat.

Tak jauh dari gapura, mereka melihat bangunan yang tak seberapa besar dimana di depannya tertulis:

...PUSKESMAS WARINGIN...

"Akhirnya sampai juga," ucap Rifki.

"Udah, jangan cemberut terus! sudah sampai kita," ucap Rifki lagi.

Fani turun dari mobil dan langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Meski hari masih siang tapi suasana yang terasa membuatnya tidak nyaman. Sudah ada banyak rumah meski dengan jarak yang lumayan. Tentu saja berbeda dengan di kota yang mana jarak satu rumah dengan rumah lain berdekatan bahkan berdempetan.

Siang itu, tak ada satu pun orang yang terlihat di jalanan. Sudah seperti desa mati, pikir Fani. Bangunan kosong di mana-mana tapi tak ada satu pun manusia. Fani menggelengkan kepalanya, coba menghalau semua pemikiran buruknya.

"Hemm.. terlalu banyak nonton film horror nih," ucap Fani pada dirinya sendiri.

"Yang.." panggil Rifki.

"Apa?"

"Coba masuk dulu ke puskesmas!"

"Emm.. iya."

Fani dan Rifki pun berjalan perlahan, masuk ke dalam area puskesmas. Tiba-tiba, angin kencang menghempas tubuh mereka. Baru juga sampai di pelataran, bulu kuduk sudah berdiri.

"Gila, siang bolong begini bisa merinding."

"Jangan ngomong macem-macem yang!" sergah Rifki.

"Iya-iya."

"Emang sepi banget ya?"

"Tuh kan, aneh emang," timpal Fani.

"Masuk dulu deh!"

Terdapat tiga anak tangga sebelum sampai di teras puskesmas. Fani dan Rifki menaikinya dan kini, mereka berada di teras puskesmas. Beberapa langkah kemudian, sampailah mereka di dalam bangunan puskesmas.

"Kosong, kok bisa kosong sih?"

"Kita cek ke dalam dulu ya!" ajak Rifki seraya menggenggam tangan kekasihnya.

"Kenapa nih pakek pegang tanganku?"

"Khawatir kamu takut," jawab Rifki sambil nyengir.

"Kesempatan kamu ya?"

"Enggak."

Mereka pun tertawa seraya melanjutkan langsung masuk ke satu persatu ruangan yang ada di sana. Fani dan Rifki saling memandang usai memeriksa semua ruangan tanpa seorang pun di sana.

"Kayaknya kita balik aja deh ke rumah. Salah alamat ini, kosong begini," ucap Fani dengan nada kesal.

"Kok gitu sih? alamatnya sudah benar, puskesmas ini juga benar, puskesmas Waringin. Lebih baik, kita tanya ke warga saja!"

"Gak ada warga."

"Jangan bete terus dong! senyum dikit biar manis!" goda Rifki sembari mencubit pelan pipi Fani.

"Yaudah ayo!"

Fani dan Rifki berjalan keluar puskesmas lalu celingukan ke kanan dan ke kiri. Bingung hendak mendatangi rumah warga yang mana.

"Yang mana aja juga sama. Jangan-jangan semua rumah ini kosong," gerutu Fani.

"Hussttt! jangan gitu ah! ke sana aja deh, ayo!" ajak Rifki sembari menarik pelan lengan Fani.

Rumah yang dipilih Rifki berada di sisi kanan puskesmas. Rumah tembok bercat biru muda. Tidak terlalu besar tapi terlihat begitu bersih. Terdapat banyak tanaman bunga di halamannya.

......Tok... tok.. tok.........

"Permisi, Assalamualaikum," Rifki mengucap salam.

"Assalamualaikum," Fani mengikuti.

"Waalaikumsalam," terdengar suara perempuan memberi balasan.

"Alhamdulillah, ada orang," ucap Rifki seraya menyunggingkan senyuman.

Lima menit mereka menunggu, tak ada yang membukakan pintu. Akhirnya, Rifki kembali mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam,"

Salam balasan kembali terdengar namun, pintu rumah, masih belum dibukakan.

"Apa dia sakit ya jadi tidak bisa membukakan pintu?" gumam Rifki.

...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...

SAMBUTAN

Fani dan Rifki celingukan, coba mencari si empunya rumah. Saat itulah, datang seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki itu menyapa mereka dan memperkenalkan diri sebagai pak eko, penjaga puskesmas.

"Saya Rifki pak dan ini Fani, bidan yang ditugaskan di puskesmas ini."

"Oh bu bidan Fani, iya-iya. Saya sudah mendapat kabar perihal kedatangan bu bidan. Kok sudah tahu kalau bu bidan Fani akan tinggal di sini?"

"Tidak, saya tidak tahu. Tadi, kami ke puskesmas dulu tapi kosong makanya kami kemari. Rencananya sih mau tanya ke warga sekitar pak."

"Oh begitu," jawab pak Eko sembari membuka kunci pintu rumah tersebut.

"Loh, bentar pak!" tahan Fani.

"Ada apa bu bidan?"

"Kok kunci rumah ini, bapak yang bawa?"

"Iya bu, saya memang ditugaskan menjaga dan membersihkan puskesmas serta rumah dinas. Ada tiga rumah dinas di sini. Ini rumah tinggal bu bidan, lalu di sebelah kiri puskesmas, ada rumah tinggal pak dokter Agung dan di sebelahnya lagi rumah tinggal perawat Adi dan perawat Fahmi."

"Begini, maksud saya.. di dalam rumah ini kan ada orang, kok dikunci dari luar?"

"Orang siapa? tidak ada orang, bu bidan ini orangnya, yang akan menempati rumah ini nantinya."

"Tapi kan.."

Rifki menarik lengan Fani agar tidak membantah ucapan pak Eko.

"Mari silahkan masuk!"

"Iya pak."

"Nah, beginilah rumah yang akan bu bidan tinggali. Besok, akan datang seorang perawat perempuan yang akan tinggal serumah dengan bu bidan Fani. Namanya Lilis."

"Alhamdulillah ada temannya. Saya takut pak kalau harus tinggal di sini sendirian."

"Iya bu bidan, di sini ada dua kamar. Ruang tamu berukuran sedang ini, ruang makan, dapur dan kamar mandi."

Fani berjalan perlahan melihat satu persatu ruangan di rumah tersebut. Tidak ada yang janggal hanya saja, Fani belum terbiasa.

"Kayak di vila nih," gumam Rifki.

"Vila apanya? tiga bulan tinggal di sini, sudah terbayang bosannya. Terpencil, jauh dari mana-mana dan terbatas dalam banyak hal," sahut Fani di dalam hati.

"Ohya pak, rencananya malam ini, saya akan menginap. Enaknya gimana ya pak?"

"Emm.. begini saja, mas Rifki tidur di salah satu kamar di sini. Nanti, bu bidan Fani biar ditemani istri saya untuk malam ini."

"Iya pak begitu saja."

"Kalian silahkan berbenah dulu! sebentar lagi istri saya datang."

"Baik pak, terima kasih banyak," ucap Fani dan Rifki."

Fani memilih kamar yang berada di balik ruang tamu tepat lalu lekas mengeluarkan barang-barangnya dan menatanya. Sedangkan Rifki ke dapur untuk memanaskan air yang nantinya akan ia gunakan untuk menyeduh teh.

...🌸🌸🌸...

"Sudah beres nata bajunya?" tanya Rifki seraya masuk ke dalam kamar.

"Sudah, gimana dapur?"

"Udah juga, mie instan udah aku tata dan semua sayuran yang kamu bawa juga sudah rapi di sana."

"Calon suami yang baik."

Pujian Fani membuat Rifki tertawa lalu mengacak-acak rambut kekasihnya.

"Ayo ke depan, aku buatin teh tadi!"

"Oke."

Beberapa menit kemudian, istri pak Eko datang.

"Assalamualaikum bu bidan."

"Waalaikumsalam, istrinya pak Eko ya?"

"Iya bu."

"Mari silahkan masuk!"

"Saya akan menemani bu bidan malam ini."

"Iya buk. Ohya buk, kalau mau belanja sayuran di mana ya? kayaknya jauh dari mana-mana."

"Ada penjual sayur di dekat sini. Bu baeah namanya, rumahnya selang tujuh rumah dari sini."

"Gila tujuh rumah, orang jarak antar rumah aja lumayan jauh, apa kabar yang tujuh rumah?" gerutu Fani di dalam hati.

"Kalau begitu, saya akan belanja sekaligus untuk seminggu."

Jawaban Fani mengundang gelak tawa semuanya.

...🌸🌸🌸...

Selepas maghrib, suasana kian mencekam. Suara jangkrik dan tonggeret bersahut-sahutan. Fani termangu sembari menggerutu di dalam hati.

"Satu hari saja terasa sangat lama, gimana tiga bulan?"

"Bu bidan.."

"Iya buk ada apa?"

"Sudah malam, mari tidur!"

"Iya."

Fani merebahkan tubuhnya di atas kasur kapuk seraya memejamkan matanya. Saat tidur, samar-samar Fani merasa ada yg meniup matanya.

Perlahan Fani terbangun dan langsung membulat terkejut karena melihat penampakan seorang wanita yang melayang di atas tubuhnya tepat dimana wajah mereka saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat.

Dada Fani terasa dihantam dengan kencang. Dia terdiam sesaat sebelum kemudian berteriak. Istri pak eko bangun gelagapan dan seketika itu juga hantu wanita menghilang. Rifki yang mendengar suara teriakan Fani, lekas menghampiri di kamar.

"Ada apa yang?" tanya Rifki.

Fani menceritakannya dengan terbata-bata, dia sangat ketakutan. Rifki memeriksa seluruh sudut kamar namun tak menemukan apa-apa.

"Gak ada apa-apa yang. Mungkin, hantu itu sudah menghilang atau kamu sedang bermimpi tadi."

"Bukan mimpi, ini nyata. Dia benar-benar berada di atasku. Wajah kami saling berhadapan."

"Seperti apa rupanya?"

"Pucat dan menyeramkan, aku tidak bisa menggambarkan detilnya."

"Minum dulu bu bidan!" pinta istri pak Eko seraya mengulurkan segelas air putih.

"Terima kasih," ucap Fani seraya meneguknya.

Butuh waktu lama untuk membuat Fani kembali tenang, barulah kemudian, Fani bisa kembali terlelap dan Rifki pun kembali ke kamarnya. Kini, giliran Rifki yang merasa terganggu. Penampakan yang Fani ceritakan menyita sebagian besar ruang di otaknya.

"Fani tidak pernah berbohong sebelumnya. Terlebih, dia terlihat sangat ketakutan. Pasti apa yang ia katakan jujur. Jika benar ada penampakan, kasihan Fani juga jika harus ditinggal di sini hingga tiga bulan lamanya."

"Aku juga tidak mungkin menemaninya terus dan bagaimana pun, Fani harus tetap melalui semua ini untuk melangkah maju. Terlebih, dia punya mimpi untuk membuka praktik sendiri nanti."

Rifki menghela napas lalu mulai memejamkan mata dan hal yang tak terduga, ia alami. Rifki merasa ada yang menggelitiki telapak kakinya hingga membuatnya terbangun namun, saat diperiksa tak ada siapa pun. Hal ini, terjadi hingga tiga kali dan saat yang ketiga kalinya inilah, Rifki berinisiatif untuk memeriksa lebih seksama.

Dia duduk di pinggiran ranjang sembari mengedarkan pandangan. Sudut demi sudut ruangan ia perhatikan. Tak ada keanehan apa pun hingga saat ia mengintip ke kolong ranjang. Rifki seketika terkejut melihat sesosok perempuan tertawa cekikikan di bawah ranjangnya. Hanya dalam hitungan detik, sosok itu menghilang.

Beberapa saat kemudian, Rifki kembali memeriksa kolong ranjangnya. Sosok perempuan itu benar-benar telah menghilang. Rifki menghela napas lega seraya kembali merebahkan diri di ranjang.

"Seperti dugaanku, Fani berkata jujur. Baru juga menginap sehari, sudah dapat sambutan seperti ini," gumam Rifki.

"Kasihan Fani, aku tidak akan menceritakan hal ini padanya."

...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...

SEPI

Subuh di hari berikutnya, istri pak eko terbangun. Beliau lekas beranjak dari tempat tidur untuk mandi dan kemudian mulai memasak. Tak lama kemudian, Fani dan Rifki bangun. Fani celingukan mencari keberadaan bu Yanah, istri pak Eko. Hingga ia mendengar suara berisik dari arah dapur dan menduga bahwa bu Yanah sedang berada di sana sekarang.

"Bu Yanah bangun jam berapa?" tanya Fani sembari duduk di atas dipan kayu yang ada di dapur.

"Belum lama kok bu bidan. Maaf saya lancang masak di sini!"

"Tidak apa-apa bu, saya malah senang. Masak apa bu?"

"Kemarin, saya bawa bayam sama jagung dari rumah untuk saya masak jadi sayur kunci hari ini."

"Seger banget nih pasti. Ohya bu, saya mau ke rumah bu Baeah deh habis ini, mau nyoba belanja. Sekalian pingin tahu rumahnya juga."

"Iya bu bidan monggo, gak jauh kok."

"Yaudah deh, saya mandi dulu ya bu!"

"Iya."

Setelah mandi, Fani pamit ke bu Yanah karena dia ingin belanja ke rumah bu baeah sebentar. Rifki menemaninya berjalan kaki ke sana. Seperti yang telah Fani duga, jarak tujuh rumah itu lumayan jauh. Kurang lebih lima ratus meter dari rumah dinasnya. Tak ayal membuat Fani yang jarang berjalan kaki, terus mengeluh.

"Tuh kan bener, jauh kan?"

Rifki terkekeh.

"Namanya juga di desa yang, setiap rumah punya halaman yang luas. Selain itu, jarak satu rumah dengan yang lainnya juga sering kali di pisahkan oleh kebun milik mereka."

"Capek tahu?"

"Mau aku gendong?"

"Mau banget tapi malu lah, masak bidan kayak anak kecil gitu."

Rifki tersenyum.

"Yaudah ayo! tinggal dikit lagi," ajak Rifki seraya menarik tangan Fani.

Ketika sampai, Fani tak langsung berbelanja. Dia lebih memilih untuk duduk sembari mengatur napas. Rifki merapikan anak rambut Fani juga mengusap keringat yang hampir jatuh ke matanya.

"Malu tahu dilihat ibuk-ibuk!" gerutu Fani.

Para pembeli terlihat menahan senyum mereka kala melihat Rifki yang begitu perhatian.

"Iya-iya, udah sampai nih, mau beli apa?" tanya Rifki.

Fani bangkit lalu mendekat ke arah dagangan bu Baeah. Netranya berpendar mengamati satu persatu dagangan yang di jajakan.

"Mbak ini baru ya di sini? saya kok belum pernah lihat," tanya bu Baeah.

"Iya bu, saya baru, baru datang kemarin. Rencananya akan tinggal tiga bulan di sini," jawab Fani.

"Kok cuma tiga bulan?"

"Iya karena saya ditugaskan di sini hanya sampai tiga bulan saja."

"Oh ini bu bidan Fani ya? kami sudah banyak yang mendengar kalau akan datang seorang bidan."

"Benar bu, saya Fani."

"Syukurlah ada bidan sekarang. Para ibu hamil dan anak-anak sangat membutuhkan bantuan bu bidan."

"Semoga kedatangan saya bisa bermanfaat saya bu di sini!"

"Pasti bermanfaat bu."

Fani tersenyum seraya mengulurkan sayur dan lauk apa saja yang hendak ia beli.

"Mau masak besar bu, belanjaannya banyak sekali?"

"Tidak kok bu, rencananya untuk masak selama seminggu biar gak bolak balik."

"Oh begitu..."

Fani kembali mengulas senyum termanisnya.

"Itu.. suaminya ya bu bidan?" tanya bu Baeah sembari mengedipkan mata.

Fani terkekeh.

"Masih calon bu."

"Oh, masih calon. Pinter nih bu bidan milih pacar, cakep."

Fani hanya tersenyum menanggapi candaan bu Baeah.

...🌸🌸🌸...

Fani meluruskan kakinya di teras rumah usai berjalan pulang dari rumah bu Baeah. Bu Yanah lekas membawakan air putih untuk Fani dan Rifki.

"Kalau tiap hari gini, bisa kurus kering aku."

"Bukan kurus tapi sehat," timpal Rifki.

"Iya bu bidan, lama-lama akan terbiasa. Mari sarapan bu, mas!"

"Bu Yanah duluan saja, saja mau mandi lagi!"

"Iya bu bidan."

...🌸🌸🌸...

Usai mandi dan sarapan, Fani lekas bergegas ke puskesmas. Sementara Rifki, menunggu di rumah. Di sana, dokter Agung, perawat Adi dan perawat Fahmi menyambutnya.

"Pak Eko pasti sudah memberitahukan tentang kami kemarin, saya dokter Agung, ini perawat Adi dan perawat Fahmi. Hari ini juga akan datang satu perawat perempuan namanya Lilis."

"Iya dok, saya sudah tahu. Mohon bantuannya semua."

"Tentu saja, kita semua akan saling membantu."

"Fani sudah menginap semalam di sini, gimana , ada yang pengen diceritain ke kita gak?" tanya Adi.

"Tentang apa ya?"

"Apa aja.."

"Sudah-sudah, jangan hiraukan adi. Emang suka iseng dia. Fani bisa masuk ke ruangan ibu dan anak di sebelah kiri ini ya." timpal dokter Agung.

"Iya dok."

...🌸🌸🌸...

Fani duduk santai di ruangannya sembari menunggu pasien datang. Namun, hingga pukul dua belas siang, belum ada satu pun pasien yang datang.

"Kok belum ada pasien sih? apa karena sehat semua? atau lokasi puskesmas yang terpencil?"

Fani memutuskan untuk menengok ke ruang tunggu di depan yang ternyata memang kosong juga.

"Bisa mati bosan aku kalau setiap hari gak ada kerjaan."

Fani lantas meminta izin dokter Agung untuk kembali ke rumah sebentar karena Rifki hendak pulang siang ini.

"Iya Fani boleh, silahkan!"

"Terima kasih dok."

"Iya sama-sama."

Di rumah, Rifki tengah mengecek barang-barangnya di dalam ransel. Barang yang akan dia bawa kembali ke kota. Fani yang melihatnya lekas memeluk Rifki dari belakang.

"Udah mau pulang ya?" tanya Fani.

"Iya."

"Di sini tuh sepi, serem, terpencil. Kamu yakin mau ninggalin aku di sini?"

"Mau gimana lagi? ini tugas yang harus kamu jalani. Lagi pula, akan ada perawat Lilis yang menemanimu nanti."

"Sering-sering ke sini ya! tengokin aku!"

"Iya, dua atau tiga minggu sekali, aku bakalan ke sini."

"Janji?"

"Janji."

...Tok .. tok.. tok.....

Terdengar suara pintu diketuk lalu diikuti dengan salam.

"Suaranya pak Eko tuh," ucap Fani.

"Iya, ayo kita lihat!"

Fani menganggukkan kepala seraya melangkah ke ruang tamu dan kemudian membukakan pintu. Pak Eko datang bersama seorang perempuan yang lekas Fani tebak, dialah Lilis si perawat perempuan yang akan bertugas di puskesmas juga.

"Lilis ya?" tanya Fani.

"Iya bu bidan, saya Lilis."

"Akhirnya kamu datang juga. Aku jadi ada temennya deh."

Lilis tersenyum.

"Ayo masuk!"

Lilis menganggukkan kepalanya.

"Saya pamit dulu ya bu bidan, mari mas!"

"Iya pak Eko, terima kasih banyak!"

"Iya bu bidan."

Pak Eko pun kembali ke puskesmas, sedangkan Lilis dipersilahkan masuk oleh Fani dan diajak berkeliling.

"Sebenarnya, aku juga belum bisa beradaptasi sih di sini tapi dengan adanya kamu, semoga kita bisa lekas betah ya!" ucap Fani.

"Iya bu bidan."

"Jangan panggil gitu ah! panggil Fani aja!"

"Enggak enak saya, saya panggil mbak Fani aja ya!"

"Iya-iya boleh. Kamu beresin barang-barang kamu dulu gih, aku mau ke depan, nganterin Rifki, mau pulang!"

"Iya mbak."

...🍂 Bersambung... 🍂...

...🍂 Jangan Lupa, Baca KONTRAKAN BERHANTU dan KOS-an BERHANTU juga ya. 🍂...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!