Huh...
Aku menghela nafas beratku lalu mendudukkan bokongku disofa. Hari ini adalah hari paling penat dalam hidupku.
Ah iyah, namaku Naysilla Handoko, biasa dipanggil Nay atau Silla. Usiaku sudah 25 tahun, aku berfropesi sebagai dokter kanker disalah satu rumah sakit terkenal di Bandung.
Aku dan Mas Radit sudah satu menikah namun kondisi Mas Radit sama seperti sebelum aku menikah dengannya.
Ayah pernah mengatakan bahwa Mas Radit menjadi seperti itu karena orangtuanya yang tak pernah menganggapnya ada serta saudara dan saudarinya pun sama jika mereka hanya menganggap Mas Radit adalah benalu. Desakkan demi desakkan yang membuat Mas Radit stress hingga sampai Gila.
Pranggg......
Aku tersentak saat mendengar itu. Arah suaranya dari kamar ku dan Mas Radit.
Dengan berlari aku menghampirinya lalu menerbos masuk.
"Maaf Bu... Pak Radit marah karena saya menyuruh beliau makan," Bi Sri adalah pembantuku plus pengasuh Mas Radit saat aku tidak ada. Beliau adalah orang satu-satunya yang bertahan denganku dan Mas Radit.
"Bi, tolong keluar dulu ya, biar Mas Radit sama Nay," Bi Sri hanya mengangguk lalu pergi keluar menutup pintu dengan pelan.
Aku membuka jas putihku lalu berjalan kearah Mas Radit yang sedang meringkuk diatas kasur dengan selimut menutupi tubuhnya.
"Mas," Aku mendekat kearahnya. Sudah tak jarang aku mendapati Mas Radit seperti ini.
"Mas, ini Nay. Mas Radit kenapa?" Perlahan Mas Radit membuka selimut itu lalu menatapku dengan lamat.
Mas Radit langsung memelukku dengan erat. Nafasnya memburu matanya pun sembab seperti habis menangis.
"Nay, Jangan tinggalin Mas," racaunya. Aku hanya mengusap punggungnya dengan lembut.
"Nay enggak akan pernah tinggalin Mas," Aku terus mengusap dengan lembut punggung Mas Radit.
Aku tidak mengeluh dengan ini karena sejatinya Allah itu maha adil. Kehidupan pernikahaanku memang awalnya seperti ini namun aku percaya jika suatu saat nanti aku dan Mas Radit akan bahagia.
Mas Radit sudah tidak terdengar lagi suaranya dan sudah kupastikan kalau Mas Radit itu tertidur.
Dengan perlahan aku menempatkan Mas Radit diranjang menyelimuti hingga batas dada bidangnya.
"Nay, sayang sama Mas. Nay enggak akan pernah tinggalin Mas," Aku mencium kening Mas Radit lalu turun kehidung setelahnya bibirnya cukup lama.
---------
Aku tersenyum simpul saat Mas Radit begitu lahap untuk makan. Biasanya Mas Radit sangat tidak mau untuk makan tapi entah kenapa sekarang seperti ini.
Jika kalian tau aku merawat Mas Radit seperti merawat Balita. Mas Radit juga tidak pernah mau jika aku menganti sampo dan sabunnya menjadi dewasa, dia juga masih memakai bedak bayi serta minyam telon.
Ayahku juga pernah bilang bahwa Nas Radit itu kehilangan masa kecilnya. Saat bocah empat tahun masih bermain dan berlajar Mas Radit berbeda. Dia malah sering dikurung dan dibatasi pergaulannya. Sekolah pun dia tidak tapi saat umur 7 tahun Mas Radit tiba-tiba diperbolehkan sekolah oleh orangtuanya.
Tapi orangtua Mas Radit mendesak Mas Radir untuk selalu juara kelas dan belajar terus hingga membuat dia Stress dan kinerja otaknya tiba-tiba blank. otak yang seharusnya dewasa malah kembali ke masa kecilnya.
Aku juga tidak mengerti mengapa seperti yang jelas Mas Radit itu dulu tidak seperti ini.
Ayah juga pernag bilang bahwa dulu saat masih kuliah Mas Radit adalah laki-laki yang dingin dan tegas. Serta memiliki hobi yang sama seperti laki-laki normal.
Jadi tak aneh jika tubuh Mas Radit kekar dan berotot karena dulu Mas Radit juga sering nge-gym, berenang dan bermain basket.
"Mas nanti Nay ke rumah sakit sebentar. Mas sama bibi dulu ya,"
Mas Radit langsung menghentikan makannya lalu menatapku dengan lamat.
"Enggak!" Mas Radit pergi ke kamar dengan wajah marah. Sepertinya aku benar-benar harus cuti untuk beberapa hari.
Wajah teduh nan damai ini yang membuatku tetap kuat menghadapi rintangan-rintangan dari Allah.
Semua sikapnya yang terkadang membuatku lelah lalu ingin menyerah namun saat kembali mengingat masalalunya rasa lelahku hilang seketika.
Mas Radit sedang tertidur pulas setelah tadi merengek melarangku untuk tidak pergi bekerja.
Mas Radit hari ini sangat rewel dan selalu melarangku melakukan apapun selain menemaninya tidur.
"Non...." panggil Bi Sri kepadaku namun suaranya sangat pelan mungkin takut menganggu tidurnya Mas Radit yang sangat nyenyak dan damai.
"Iyh Bi..."
"Diluar ada den Bayu," Aku terdiam saat Bi Sri mengucapkan nama Bayu—Mantanku yang sampai saat ini masih mengejarku dan selalu mengiginkan aku berpisah dengan Mas Radit.
"Suruh dia pergi Bi, Nay lagi males ketemu sama siapapun hari ini," Bi Sri hanya mengangguk lalu keluar kamarku dan Mas Radit menutup pintu dengan pelan.
'Ya Allah aku sangat bingung dengan keadaan hatiku saat ini. Disatu sisi aku menyayangi Mas Radit namun disisi lain nya juga rasa cintaku untuk Mas Bayu masih membekas hingga saat ini,'
Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan dan Takdir yang sedang mempermainkan hatiku. Gula gulandah hatiku saat ini sangat tidak bisa diucapkan padahal sudah satu tahun aku berumah tangga dengan Mas Radit rasa cintaku kepada Mas Bayu masih hinggap.
"Nay," Suara serak khas bangun tidur Mas Bayu membuatku langsung tertarik kedalam alam bawah sadar.
"Nay sakit...." Mas Radit memengangi perutnya sendiri tubuh yang semula terlentang kini menjadi meringkuk.
"Mas kenapa? Ya Allah Mas jangan diteken gitu," Aku panik saat Mas Radit terus menekan perutnya.
Aku dan Mas Radit sama-sama terisak Aku tak mampu mengatakan apapun lagi selain memeluk Mas Radit dengan erat. Sudah sekian kalinya Mas Radit merasakan sakit seperti ini. Aku dan Ayah sudah memeriksanya namun tidak ada penyakit yang serius dan Ayah percaya bahwa ini adalah kiriman dari orang-orang seperti dukun.
Aku tidak percaya dengan hal seperti itu apalagi diera seperti ini apa dukun masih ada? Guna-guna masih ada? Ataukah santet seperti itu masih ada?
Mas Radit memuntahkan darah banyak. Aku panik dan takut. Ingin menghubungi Ayah tapi aku tak mau melepaskan pelukan ini.
"BI SRI!!!" teriakku memanggil Bi Sri namun aku lupa jika kamar ini memakai kedap suara.
Mas Radit terus memuntahkan darah dan menekan perutnya. Tubuhnya seperti sudah lemas darah dari mulutnya tetap keluar tanpa henti.
"Nay sakit...." Mas Radit masih merintih lalu dia memuntahkan kembali darah.
Mulutku membaca ayat-ayat suci Al-qur'an tanpa henti air mataku tetap mengalir.
------------
"Ayah pernah mengatakan bahwa sakit yang selama ini dialami oleh Radit adalah kiriman dari dukun dan setelah Ayah selidiki benar saja orang itu adalah orang yang terdekat dengan kita,"
Setelah tadi Mas Radit tenang aku langsung membawa Mas Radit ke rumah Ayah. Aku takut jika kejadian ini terulang lagi dan lagi.
"Maksud Ayah?" Aku tidak mengira jika hal ini benar-benar ada-nya.
Orang itu benar-benar tegaa melakukan ini kepada Mas Radit.
"Orang itu dan dukun itu sudah Ayah masukkan ke kantor polisi dan satu lagi kita akan menjual rumah kamu," Sudah hal wajar jika Ayah dengan mudahnya mendapatkan orang-orang yang berniat jahat kepada keluarga Handoko.
"Orang itu adalah Rama, Cahya dan Dini," Aku tersentak saat mendengar itu. Rama? Cahya? Dini.
Rama adalah kakak Mas Radit yang pertama.
Cahya adalah kakak Mas Radit yang kedua sedangkan Dini adalah adik Mas Radit.
Tiga orang yang membuat Mas Radit kesakitan kini sudah tertangkap dan aku bisa bernafas lega. Kesakitan Mas Radit akan hilang saat ini.
"Kamu urus pekerjaan Ayah untuk beberapa bulan atau tahun ini. Profesi dokter pun jangan sampai putus gunakan waktu sebaik mungkin. Ayah akan membawa Radit ke Jerman untuk pengobatan kejiwaannya."
✨✨✨✨✨
Bersambung.....
"Kamu urus pekerjaan Ayah untuk beberapa bulan atau tahun ini. Profesi dokter pun jangan sampai putus gunakan waktu sebaik mungkin. Ayah akan membawa Radit ke Jerman untuk pengobatan kejiwaannya."
Aku membulatkan nertraku tak percaya dengan ucapan Ayah barusan.
Hatiku takut berjauhan dengan Mas Radit karena ini. Aku tidak mau Mas Radit jauh dariku.
Aku tau jika pengobatan Mas Radit tidak akan mudah karena dia akan melupakan kejadian-kejadian dengan acak dan aku takut jika Mas Radit melupakan aku.
"Ayah...." Ayah mengusap puncuk kepalaku dengan lembut.
Ayah tersenyum lembut. "Ayah percaya jika kanu bisa,"
Aku hanya bisa menghela nafas dengan berat sebelum mengangguk pertanda setuju dengan keputusan Ayah.
"Tapi kasih waktu Nay satu minggu untuk menghabiskan waktu bersama Mas Radit," Biarlah aku mengabadikan moment walau hanya sebentar sebelum Mas Radit melupakan semuanya.
"Iyah sayang,"
Ya walau keputusan ini berat namun aku tetap harus melakukannya. Toh, ini semua adalah demi kesembuhan Mas Radit.
Ayah tidak mungkin mengambil keputusan dengan gegabah jadi aku percaya dengan semua keputusan Ayah.
Ayah selama ini sudah menjadi peran ibu bagiku karena aku yang sampai saat ini tidak tau siapa ibuku.
Ayah selalu bungkam saat aku menanya kan prihal Ibu.
--------
Mas Radit memelukku dengan erat. Tadi dia sempat mengamuk karena berada dikamar asing dan tentunya karena Aku tidak ada disisinya.
"Nay jangan pergi lagi," isak Mas Radit tubuhnya masih lemas karena tadi dia banyak sekali memuntahkan darah.
Orang-orang biadab itu memang sudah tertangkap dan dimasukkan ke Sel namun mereka masih menyimpan barang-barang musyrik dan haram itu.
'Bukan Nay yang ninggalin Mad Radit tapi Mas Radit yang akan ninggalin Nay,' Batinku..
Rasa takutku kembali membuncah saat mengingat bahwa nanti jika mas Radit pulih seperti orang normal dia akan melupakan aku. Istrinya.
Mas Radit menatapku dengan lamat kedua matanya sembab, wajahnya pucat dan jejak air mata masih ada dipipinya.
"Mas sayang sama Nay," Mas Radit kembali memelukku dengan erat.
"Nay juga sayang sama Mas," Entah sejak kapan air mataku menetes. Tuhan mengapa engkau menakdirkan aku seperti ini?
Percintaan ku dengan Mas Bayu kandas ditengah jalan dan pernikahaan ku dengan Mas Radit sangat rumit.
"Mas, mau enggak ke pantai untuk beberapa hari" Mas Radit melepaskan pelukannya lalu memundurkan tubuhnya. Aku bingung mengapa Mas Radit seperti ini.
Apa ucapan ku salah? Tapi dimana salahnya?
"Mas??"
"A—aku takut pantai," Mas Radit merunduk seperti anak kecil yang sedang metakutan.
"Ya udah jangan ke pantai, Mas mau nya kemana?" Aku paham betul setiap ketakutan-ketakutan Mas Radit berasal dari masa kecilnya dan kakak-kakakanya serta orangtunya.
Umm.... Mungkin aku tidak pernah bertenu dengan orang tua mas Radit sejak kita menikah. Ayah juga tidak pernah membicarakan orang tua Mas Radit. Aku hanya tau nama kakak-kakak serta adiknya Mas Radit tapi tidak pernah bertemu..
"Puncak," ada binar bahagia diwajah Mas Radit saat mengucapkan kata 'puncak.
Aku tidak tau namun bisa dipastikan puncak adalah tempat favorit Mas Radit. Mungkin.
Aku mendekat kearah Mas Radit lalu menarik Mas Radit agar bersandar dibahuku.
"Kenapa puncak?" Aku membelai rambut Mas Radit yang mulai mengondrong.
"Puncak itu nyaman dan enggak ada orang jahat disana," Mas Radit memainkan ujung kaosnya.
"Mas Radit,"
Mas Radit mendongkak menatapku.
"Apa?"
"Mau ke rumah Mama dan Papa enggk?" Air muka Mas Radit tiba-tiba berubah saat aku menanyakan itu. Ada kilat marah dimatanya.
"Mas...." Aku memundurkan tubuhku saat melihat sorot kebencian dimata Mas Radit. Aku tak peduli jika sebentar lagi aku akan terjungkal kebawah ranjang.
"AKU BENCI MEREKA!!!" Mas Radit memeluk kedua kakinya lalu menyembunyikan wajahnya dilututnya.
Mas Radit tidak akan mungkin menyakiti. orang yang dia sayang namun dia akan kasar jika orang yang ia sayang tidak menuruti kemuannya.
✨✨✨✨✨
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!