NovelToon NovelToon

Sebuah Rasa

bab 1

2 April 2021 pukul 10 pagi seorang pria tampan tengah berjalan di tengah keramaian bandara dengan menyeret sebuah koper besar ditangan kanannya, sementara punggungnya teronggok sebuah tas ransel besar. Ia adalah Wildan Atmaja, pria yang pernah patah hati lebih dari lima tahun yang lalu. Kini ia muncul kembali dengan pribadi yang berbeda.

"Pak ke jalan mawar ya. Nomer 129". Ucapnya pada seorang supir taksi.

Ia adalah Wildan. Lima tahun yang lalu ia memutuskan untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Sekaligus untuk melupakan masa lalu yang terus menghantuinya. Ia ingin memulai hidup baru di usia yang sudah menginjak kepala tiga.

Memang tidak mudah melupakan cinta pertama apalagi mereka terpisah bukan karena bosan, pertengkaran apalagi perselingkuhan namun mereka berpisah karena kebahagiaan seseorang. Ya, selegowo itu perasaan Wildan dan cinta pertamanya itu.

Selama lima tahun di luar negeri tak membuat ia jatuh cinta lagi. Meskipun ia dekat dengan banyak wanita, ia hanya menganggap mereka sebagai teman. Sejauh ini belum ada yang bisa mengambil hatinya.

Ia memandangi jalanan yang sudah lama ia rindukan. Ingatannya kembali melayang dengan percakapan Bu Nawang sehari sebelum berangkat.

"Kamu tega Wil ninggalin ibu? Salsa sebentar lagi menikah, dia pasti ikut suaminya. Ibu sama siapa? Kamu baru sebulan yang lalu mau tinggal sama ibu. Tapi malah ninggalin lagi." Protes Bu nawang berusaha mengubah pikiran Wildan.

"Biar nanti aku minta mbak Salsa tinggal sama ibu dulu sebelum aku balik kesini. Pasti mau kok. Suami mbak Salsa kan kenal akrab sama aku, pasti nggak keberatan. Cuma lima tahun ibu, nggak lama".

Plak

Satu pukulan berhasil mengenai lengan Wildan.

"Lima tahun bukan waktu yang singkat. Ya sudahlah terserah apa mau mu. Ibu akan mendoakan dari sini." Ucap Bu Nawang dengan sedikit ketus tapi matanya sudah penuh dengan air.

Hari ini Wildan akan memberikan kejutan untuk Bu Nawang. Ia sengaja tak memberi tahu Bu Nawang tentang kepulangannya.

"Terimakasih pak." Ucap Wildan begitu sampai di depan rumahnya.

Ia menyeret kakinya dengan senyuman mengembang. Ia tak sabar ingin segera bertemu dengan ibunya. Meskipun ibu tiri, kasih sayang yang diberikan tak kalah dengan kasih sayang seorang ibu kandung.

Ting tong

Tak lama kemudian Wildan mendengar langkah kaki dari dalam.

"Eh mas..." Asisten rumah tangga tersebut tak meneruskan kalimatnya setelah mendapat kode dari Wildan untuk diam.

"Ibu mana?" Tanyanya dengan suara pelan

"Ada di kolam renang mas. Menemani Daffa renang."

"Ada mbak salsa?" Tanya Wildan seraya melangkah ke dalam. "Bi, ini tas sama kopernya tolong taruh di ruang keluarga aja ya. Ada oleh-oleh buat semua orang. Nanti saya bagikan. Saya mau nyusul ibu dulu."

Wildan melangkahkan kakinya dengan lebar. Daffa, anak Salsa satu-satunya yang berusia tiga tahun selalu menanyakan kapan ia pulang saat berkomunikasi lewat video call.

"Surprise". Teriak Wildan seraya tersenyum lebar menampakkan gigi rapinya.

Semua orang yang berada di sana terlonjak kaget.

Bu Nawang seketika berdiri dari duduknya dan berjalan cepat menghampiri Wildan.

"Ini anak ibu? Masya Allah kamu tambah ganteng, badan kamu berisi sekali. Beda pas berangkat. Kamu bahagia tanpa ibu." Ucap bu Nawang memukul pelan lengan Wildan.

"Aduh." Keluh Wildan

Sadar dengan kerinduan ibunya, ia merentangkan tangan untuk memeluk ibunya.

"Kenapa nggak bilang kalau mau pulang sekarang?" Tanya Bu Nawang seraya menghapus air mata di sudut matanya.

"Mau kasih surprise Bu. Udah ah kok malah sedih sih. Aku balik lagi nih."

"Om Wil." Teriak Daffa

Ia berlari ke arah Wildan seraya tersenyum lebar.

"Wih keponakan om berat ih. Gendut banget ya Daffa. Kamu mau baju baru sama mainan baru nggak? Om bawa banyak loh buat kamu." Ucap Wildan kepada Daffa yang kini sudah digendongnya.

"Mau. Mana?"

"Ayuk kita masuk dulu. Ayo bu, aku ada sesuatu juga buat ibu."

"Buat mbak?" Tanya Salsa

"Ada, aku beli buat semua orang yang ada disini."

Mereka semua berjalan masuk menuju ruang keluarga. Wildan mulai membongkar tas dan juga ranselnya.

"Nih Ambi sendiri-sendiri, udah ada namanya di plastiknya. Dan ini buat keponakan om yang ganteng." Ucap Wildan menyerahkan tas berisi pakaian dan juga mainan untuk Daffa

"Astaga Bu, lihat. Sedetail ini dia ngasih oleh-oleh buat kita, dikasih nama lagi. Udah kayak guru TK ngasih bingkisan ulang tahun buat muridnya." Ucap Salsa seraya membuka plastik berisi pakaian.

"Berisik. Bi Darmi, sini bentar." Teriak Wildan.

"Iya mas, ada apa?"

"Nih buat bi Darmi sama yang lain ya. Udah ada namanya ya bi. Tinggal kasih sesuai nama."

"Wah, makasih ya mas". Ucap bi Darmi senang.

Bu nawang dan Salsa pun tak kalah bahagia mendapatkan oleh-oleh dari Wildan yang berupa pakaian, sepatu dan juga tas.

Wildan melangkah pergi ketika dering teleponnya berbunyi dan bertuliskan naman bang Robin di sana.

"Ya bang." Sapa Wildan setelah menjawab panggilan

"Radit berhasil bangkit setelah tiga tahun terpuruk. Ia membanting setir menjadi pengusaha kuliner. Lena juga lagi hamil, dua bulan. Melalui proses bayi tabung."

"Biarkan mereka bernafas dulu. Tiga tahun yang lalu mereka sangat terpuruk. Biarkan mereka menikmati kebahagian sedikit. Aku akan pikirkan cara lagi untuk mereka."

Raut wajah Wildan yang tadinya santai dan hangat berubah menjadi wajah yang menampakkan bahwa ia kejam. Tatapan matanya seperti membunuh siapa saja yang melintas di depannya.

Lima tahun yang lalu, sebelum Wildan memutuskan untuk pergi ke Amerika meneruskan pendidikannya, telah mewanti-wanti Robbin untuk membuat satu-satunya perusahaan Radit bangkrut. Ia melakukan itu agar Lena hidup menderita dengan status miskinnya.

Robin berhasil membuat perusahaan Radit bangkrut dalam waktu dua tahun. Ia membayar sekretaris Radit untuk menghabiskan dana dan juga mengompori Radit untuk meminjam dana pada bank. Lambat laun usaha Robin berhasil.

Radit lupa diri, ia melakukan apapun agar perusahaan peninggalan orang tuannya tidak gulung tikar. Ia melakukan banyak pinjaman pada beberapa bank. Bahkan rumah dan juga butik milik Lena ikut terjual untuk menutup hutangnya pada beberapa bank.

"Lena sedang hamil. Apa yang akan aku lakukan jika ada nyawa di dalam tubuhnya." Gumam Wildan seraya memijat kepalanya.

"Wildan. Dimana kamu?" Teriak Salsa

Wildan yang tengah berpikir keras terkejut dengan teriakan kakak keduanya itu.

"Teras." Teriak Wildan tak kalah keras

"Dasar adik nggak ada sopan santunnya. Ngapain beliin mbak yang beginian?" Omel salsa seraya melempar sebuah lingerie ke wajah Wildan.

"Astaga mbak. Ini dipakainya di kamar, nggak di luar rumah. Yang lihat juga cuman mas Reihan."

Tangan Salsa terangkat untuk memikul Wildan. Namun ia urungkan karena dengar dering telepon Wildan.

"Vania." Gumam Wildan pelan.

"Ya van kenapa?"

"Udah sampai Jakarta? Share Lok dong. Mau main, boleh kan? Kangen tahu udah dua tahun nggak ketemu langsung." Rengek seorang wanita di seberang sana.

"Ya kapan-kapan aku share ya. Masih capek banget. Aku kabari kalau ada waktu."

"Ya udah kalau gitu. Udah dulu ya, nanti sambung lagi."

"Ok." Jawab Wildan singkat lalu memutuskan sambungan telepon.

Salsa yang masih berdiri di dekat Wildan mendengar semua percakapan Wildan dan seorang wanita yang di seberang sana.

"Siapa Wil? Pacar?"

"Eh mbak kok nguping sih. Nggak sopan."

"Cie udah ada pacar cie." Ledek salsa

"Bukan mbak. Cuma temen. Kita deket aja. Nggak lebih."

"Lebih juga nggak apa-apa."

"Nggak ada rasa." Jawab Wildan singkat dengan tatapan kosong.

Di usianya yang sudah 30 tahun sudah seharusnya Wildan menggandeng seorang istri. Namun hatinya masih terpatri dengan cinta pertamanya. Entah bagaimana caranya ia bisa membuka hati untuk wanita lain. Sejauh ini belum ada yang bisa merebut hati Wildan dan menghilangkan nama Aina di relung hatinya.

"Jangan fokus sama masa lalu Wil. Hidupmu terus berjalan."

"Nggak mbak. Sebenarnya aku juga mau lupain Aina. Tapi memang sampai sekarang belum bisa. Hubungan ku sama Aina memang singkat, singkat banget malah. Tapi dalam waktu singkat itu dia bisa mengambil semua hati aku. Aku berusaha membuka hati untuk semua perempuan di luaran sana. Tapi memang hati aku nggak nyangkut di mereka. Akan tidak baik untuk mereka jika aku paksa kan? Jatuhnya kayak pelampiasan mbak."

"Ya, kamu benar. Mudah-mudahan kamu cepat ketemu sama perempuan yang bisa ambil alih posisi Aina. Biar kamu juga beliin kain berbahan saringan tahu ini buat istri." Ucap salsa seraya tertawa terbahak-bahak.

"Mulutmu." Teriak Wildan.

"Eh tapi iya juga ya. Jadi bayangin yang nggak-nggak gue." Wildan bergidik ngeri membayangkan sesuatu.

Bersambung

bab 2

"Bu aku langsung ngantor ya. Ibu bawain bekal roti aja buat sarapan di sana." Ucap Wildan seraya berjalan di anak tangga.

"Wil kamu baru pulang kemarin dan sekarang mau langsung kerja?" Tanya Bu Nawang seraya tangannya terus bergerak menyiapkan bekal untuk Wildan

"He em. Banyak yang aku tinggal, kasian bang Robin."

"Ya sudah hati-hati dijalan."

"Siap." Jawab Wildan lalu mencium pipi Bu nawang. Sudah menjadi kebiasaan Wildan untuk mencium pipi Bu nawang ketika ia ingin kemanapun atau menginginkan sesuatu.

Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai kantor. Semua karyawannya nampak terkejut karena yang mereka tahu Wildan masih berada di Amerika untuk melanjutkan gelar magister nya.

"Selamat pagi pak." Sapa seorang karyawan

Seperti Davin dahulu, Wildan hanya akan menjawab anggukan sapaan beberapa karyawannya.

"Pak, kapan sampai sini?" Tanya Robin terkejut dengan datangnya Wildan.

Robin dengan segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Wildan.

"Kemarin baru sampai. Gimana? Alamat rumah baru Lena tahu kan?" Tanya Wildan tanpa basa-basi.

"Tahu, di daerah Bogor. Memang bapak sudah ada rencana?"

"Sebenarnya sudah bang. Aku berencana ingin meneror Lena, tujuanku hanya membuat dia gila atau paling tidak depresi."

"Nyawa harus di bayar nyawa pak. Kenapa kau hanya membuatnya gila?"

"Aku hanya ingin menikmati proses menuju dia ke tahap gila bang. Itu pasti menakutkan buat dia. Itu yang aku mau. Kalau aku bunuh dia, aku sama seperti dia, dan aku tidak bisa menikmati kesengsaraan di akhir kewarasannya."

"Dasar licik." Ucap Robin geleng geleng kepala.

"Tapi Lena Sadang hamil bang. Apa menurutmu aku jahat jika tetap meneror Lena dalam keadaan ada nyawa dalam tubuhnya. Pasti nanti akan berpengaruh pada janin yang ada di dalam kandungannya."

Robin tertawa terbahak-bahak. "Pak. Hatimu dari dulu tak pernah berubah. Muka sekarang udah garang, udah galak tapi hatinya masih hello kitty. Mana ada orang balas dendam nanggung kayak bapak. Bapak nggak akan pernah melaksanakan rencana bapak kalau bapak masih peduli pada orang di sekelilingnya. Mungkin bapak sekarang bapak mikir nasib janin yang ada di kandungan Lena nanti kalau sudah melahirkan kasian bayinya masih menyusui nanti kalau sudah besar kasian anaknya jadi anak yang nggak punya ibu. Bapak harus fokus sama tujuan bapak. Waktu Lena melakukan kejahatannya, dia nggak mikirin siapapun selain diri sendiri. Bapak harus bisa sama seperti dia."

"Jadi menurut Abang aku harus tetap melaksanakan rencanaku?"

"Kalau tidak sekarang kapan lagi? Umur bapak sudah tiga puluh tahun, sudah saatnya bapak menyelesaikan masalah Lena biar bapak bisa fokus cari istri. Bapak sebenarnya sudah membuang waktu selama lima tahun. Seandainya bapak menumpahkan semua rencana bapak ke saya lima tahun lalu saya pastikan sekarang Lena sudah di rumah sakit jiwa."

"Kerjaan Abang di perusahaan udah banyak."

"itu bukan masalah, pak Davin sudah menggembleng saya dengan tumpukan pekerjaan. Biasa saja. Oh ya mumpung ingat pak. Butik dan rumah Lena dijual. Sudah saya beli atas nama Bu Nawang. Lena nggak tahu kalau sekarang kalian tinggal bersama, yang dia tahu Bu Nawang banyak uang karena Bu Shanum menikah dengan orang kaya. Bapak tenang aja, udah ada yang urus rumah sama butiknya."

"Oh ya? Sepertinya aku harus menaikkan gaji Abang. Otak Abang benar-benar the best." Ucap Wildan tertawa.

"Mau langsung meeting atau duduk di sini dulu? Kita lima belas menit lagi ada meeting di cohive d.lab daerah Jakarta pusat."

"Ya udah ayo berangkat."

Robin mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Wildan menikmati pemandangannya jalanan kota Jakarta yang tak pernah berubah, selalu padat di jam kerja. Ditengah heningnya di dalam mobil terdengar ponselnya bergetar. Ia melihat nama Vania di sana.

"Ya van?"

"Lagi free kan?"

"Nggak. Aku udah masuk kantor ini, kenapa?"

"Oh udah masuk kantor ya. Niatnya tadi mau ngajak jalan sih. Ya udah nanti kita jalan ya. Lama kita nggak ketemu."

"Baru juga dua tahun nggak ketemu. Emang kamu nggak kerja?"

"Aku kan kerja di perusahaan papa, bebas mau datang jam berapa aja."

"Nggak boleh gitu Vania, sebagai calon penerus kamu harus kasih contoh yang baik untuk bawahannya. Kamu harusnya menjaga nama baik kamu sendiri."

"Iya iya bawel. Ya udah kalau gitu aku tutup dulu ya. Lanjutin kerjanya dan jangan lupa semangat."

"Iya makasih."

Wildan meletakkan kembali ponselnya ke saku jas. Robin yang sedari tadi hanya diam, namun diam-diam mendengar dengan jelas semua ucapan-ucapan gadis yang bernama Vania.

"Siapa? Udah move dari cinta pertama?" Tanya Robin tak bisa menahan penasaran

"Bukan. Teman baik aja. Aku sama dia memang dekat, tapi nggak pacaran. Aku udah menganggap dia adik."

"Tapi nanti pikiran dia beda pak. Penerimaan dia bukan sebagai adik. Bapak kasih perhatian kayak kakak ke adiknya ya dia beda menerimanya".

"Urusan dia, bodo amat."

"Jangan gitu pak, nanti jauh jodohnya."

"Jangan berperan sebagai Tuhan bang."

Robin hanya tertawa mendengar ucapan Wildan. Ia memang sulit diberi saran baik. Ia terlalu cuek dengan hidupnya. Namun ia bersikap baik pada semua orang di balik sifat dinginnya. Bagi sebagian wanita yang di perlakukan baik oleh Wildan akan salah mengartikan kebaikannya, seperti Vania. Ia menganggap bahwa Wildan jatuh hati padanya.

Ia berusia terus mendekati Wildan, ia juga gencar mengumbar perhatian-perhatian dan kemanjaannya pada Wildan dengan harapan Wildan segera mengungkap perasaannya.

Ciiiiit

Tiba-tiba Robin menginjak rem.

"Apa sih bang. Bikin kaget aja." Protes Wildan

"Lampu lalu lintas tiba-tiba merah." Ucap Robin mengatupkan mulutnya agar tak tertawa.

"Mulutnya lemes banget." Gumam Wildan.

Di tengah menunggu lampu lalu lintas kembali hijau, terlihat seorang wanita tengah menyebrangi jalan.

"Astaga pak, gede." Ucap Robin menepuk paha Wildan dengan pandangan tak lepas dari wanita tersebut

Refleks Wildan mengikuti arah pandang Robin. Wildan menghela nafas panjang.

"Sadar woy, anak udah dua." Ucap Wildan menepuk pipi Robin.

"Cuman lihat aja, nggak ada maksud apa-apa. Nggak masalah kan?" Robin masih terus saja memandang wanita yang mulai berjalan menjauh.

"Iya emang gede bang. Depan belakang gede. Kayak pernah lihat tapi dimana ya?" Ucap Wildan menggaruk keningnya yang tidak gatal.

"Nggak usah ngarang pak. Baru kemarin sampai sini masak iya udah lihat cewek tadi. Kayaknya udah mateng pak." Ucap Robin seraya menggerakkan mobilnya perlahan.

"Nggak bang, ini serius aku pernah ketemu dia. Tapi dimana lupa." Ucap Wildan seraya mengingat ingat.

***

"Ibu aku pulang." Teriak Wildan saat berada diambang pintu.

"Bisa nggak kalau dari mana-mana biasakan mengucap salam. Nggak teriak-teriak begitu." Omel Bu nawang

"Iya maaf ibu sayang." Ucap Wildan seraya mengendus makanan yang tersedia di meja makan untuk makan malam.

Plak

"Aduh." Keluh Wildan seraya memegang lengannya.

"Mandi. Sekali lagi ibu lihat kamu mengendus makanan, nggak usah makan di rumah." Ancam Bu Nawang yang sudah kesal dengan kebiasaan Wildan.

Wildan hanya nyengir, ia melangkah menuju lantai atas untuk membersihkan diri lalu makan malam bersama ibunya.

"Wil gimana? Kamu belum cerita sama ibu. Selama di Amerika ada yang nyuri hati kamu?" Tanya Bu Nawang di sela-sela makan malamnya

"Nggak ada. Kenapa?"

"Kamu kapak ngenalin calon kamu ke ibu. Ibu bosan di rumah nggak ada temannya. Kalau kamu menikah kan ibu ada teman ngobrol. Jangan terlalu tenggelam di lubang masa lalu wil. Nggak baik."

"Aku bukannya tenggelam Bu, tapi memang belum ada yang srek aja." Sergah Wildan

"Trek aja punya gandengan masak kamu nggak." Gerutu Bu Nawang seraya mengunyah makanannya.

"Aku denger lo Bu." Ucap Wildan melirik bu Nawang dengan ekspresi kesal.

Sementara ditempat lain nampak Lena dan suaminya nampak sibuk di cafe. Ya, setelah dibuat bangkrut oleh Robin beberapa tahun silam, dengan susah payah Radit dan Lena bangkit dari keterpurukannya. Usaha yang ia miliki sekarang berawal dari menjual kopi ala anak muda di sebuah kedai yang tak berukuran luas. Mereka benar-benar memulai semuanya dari nol.

Setelah tiga tahun lebih berniaga di kedai tersebut mereka mampu menyewa sebuah cafe yang baru dibangun. Mereka mendekorasi cafe tersebut dengan sangat apik untuk menarik perhatian pemuda pemudi. Mereka juga tak gencar untuk terus promo di sosial media mereka. Lambat laun usaha mereka banyak di kenal orang dan seperti sekarang ini. Meskipun pengunjung mereka tak membludak tapi cafe mereka tak pernah sepi pengunjung. Ada saja anak-anak muda yang keluar masuk ke cafe milik radit. Cafe tersebut diberi nama the coffcaf.

Bersambung

bab 3

Minggu pagi, waktunya santai-santai, pikir Wildan. Ia kini tengah duduk di belakang rumahnya yang terdapat kolam renang seraya memainkan ponselnya.

Terlintas di pikirannya untuk memulai meneror hidup Lena dan juga Radit. Ia akan memulainya malam ini, ia sendiri yang akan datang ke rumah Radit seperti maling. Rumah sederhana Radit tidak mungkin ada satpam, ini kesempatan emas bagi Wildan untuk datang sewaktu-waktu tanpa harus mengelabui siapapun.

Ponselnya tiba-tiba berdering saat Wildan memikirkan balas dendamnya.

"Dia selalu menggangguku akhir-akhir ini." Gumam Mandala melihat nama vania di layar ponselnya.

"Ya van?"

"Jalan yuk kak. Mumpung kita sama-sama libur. Udah dua minggu kakak di Indonesia tapi nggak ngajak aku ketemu."

"Kemana?"

"Makan-makan, atau nge mall, atau nonton. Kemana aja. Aku bosen di rumah."

"Ya udah aku jemput sejam lagi ya. aku siap-siap dulu. Jangan lupa share lok."

Vania melompat kegirangan, akhirnya Wildan bisa bertemu dengannya, ia harus dandan secantik mungkin, pikirnya.

Wildan terlihat seperti ABG dengan style-nya yang sederhana, hanya memakai hoodie berwarna biru dongker dengan dipadukan celana jeans berwarna hitam. Dengan sepasang sepatu bergaris tiga berwarna hitam membuat penampilan Wildan terlihat sempurna.

"Mau kemana?"

"Jalan sama temen sebentar."

"Ya udah hati-hati. Jangan pulang larut malam."

"Belum juga pergi, udah di kasih wejangan jangan pulang larut malam."

"Keblabasan kalau nggak di ingetin."

Wildan menyambar kunci mobil yang terletak di laci lemari ruang tengah dan berlalu pergi dari sana.

*

Pagi menuju siang itu Mirna tengah duduk santai di teras kosnya dengan di temani secangkir teh dan juga ponselnya.

Kesehariannya yang melelahkan membuat wanita itu memilih duduk diam di kosnya. Mirna adalah seorang baby sitter seorang anak kembar berusia dua tahun. Selain itu ia punya profesi sampingan, yakni penyanyi dangdut yang sering manggung di berbagai daerah.

Tubuh Mirna sangat sempurna bagi seorang penyanyi dangdut kelas menengah. Dada dan bokong yang mengembang sempurna membuat Mirna menjadi primadona dikalangan pria hidung belang yang menyukai goyang pinggulnya.

Sudah lima tahun lebih Mirna merantau ke kota. Riwayat pendidikan yang hanya duduk di bangku SMA membuatnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tak tinggi.

Ia nekat merantau di usia yang masih tergolong muda, 23 tahun. Alasan Mirna merantau adalah seperti pemuda lainnya, ingin memperbaiki ekonomi keluarga agar lebih baik. Kedua orang tua Mirna masih lengkap, namun bapaknya yang sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit menjadi salah satu alasan Mirna bekerja keras. Tak hanya itu saja, Mirna mempunyai sepasang adik kembar yang harus mengenyam pendidikan lebih dari tinggi darinya.

"Mir gimana bapakmu? Udah sehat?" Tanya ayu sahabat satu-satunya Mirna selama di Jakarta. Ia juga yang merekomendasikan Mirna untuk bergabung di grup musik yang ia naungi.

"Udah. Udah dibawa pulang juga katanya." Jawab Mirna singkat

"Hubungan kamu sama Jono gimana? Kok kayaknya aku lihat kayak jalan ditempat nggak ada kemajuan."

"Emang nggak ada. Aku sebenarnya udah males yu kalau harus pacaran lama. Aku udah capek juga kerja sendirian begini. Aku pengen nikah, tapi adikku nanti gimana? Siapa yang cari uang buat biaya kuliah yang mahal semua." Keluh Mirna

"Kurang berapa tahun mereka lulus?"

"Kalau lancar akhir tahun depan mereka harusnya udah wisuda."

"Aku doain mudah-mudahan semua lancar. Kamu yang sabar. Untuk urusan jodoh ya biar yang di atas aja yang ngatur, kalau Jono jodoh kamu juga dia bakal segera lamar kamu, kalau nggak ya jangan paksa dia ngelamar kamu. Udah jangan galau gitu, mukamu nggak pantes galau. Ntar malem kita ada manggung. Mudah-mudahan nanti kamu ketemu sama orang berjas dan jatuh hati sama kamu." Ucap ayu menepuk pundak Mirna

"Mana ada orang berjas nonton dangdut?"

"Aminin aja Mirna. Daripada pacaran sama Joko cuman dibonceng ngalor ngidul, diajak makan di warung pula. Kalau aku mah ogah mir."

*

Sementara di tempat lain Wildan sudah sampai di teras rumah Vania. Pintu terbuka saat tangan Wildan akan menyentuh bel.

"Kak Wildan, kangen tau." Ucap Vania menghambur memeluk Wildan.

Vania dan Wildan kenal empat tahun yang lalu saat mereka kuliah di fakultas yang sama. Fania yang saat itu baru lulus SMA ingin menyelesaikan S-1 nya di luar negeri. Mereka saling kenal saat tak sengaja bertabrakan di kantin. Karena merasa punya teman satu negara Vania merasa ada teman dan tak sendirian. Semakin lama mereka semakin dekat. Namun Wildan menganggap kedekatan mereka hanyalah sebatas kakak beradik. Namun nampaknya Vania menyalah artikan perhatian Wildan.

"Mau jalan sekarang?". Tanya Wildan seraya berusaha melepas pelukan Fania.

"Mau kemana kita?"

"Ke mall aja ya. Nanti makan di sana sekalian. Aku traktir deh. Apapun yang kamu mau, ambil. Aku yang bayar. Untuk adikku tercinta."

Wajah Vania yang tadinya sumringah mendadak masam mendengar kata adik tercinta dari mulut Wildan.

"Adik? Jadi kakak selama ini anggap aku adik?" Tanya Vania lemah

"Ya lah. Kita cocoknya jadi kakak adik. Kenapa?"

"Nggak...nggak apa-apa. Aku ke dalam dulu ambil tas."

Vania tak ada semangat lagi untuk bepergian dengan Wildan. Perhatian yang selama ini ia terima ternyata hanya sebagai adik, pikirnya.

Vania adalah anak satu-satunya, ia selalu dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Apapun yang ia mau harus ia dapatkan. Vania tak menerima penolakan, termasuk Wildan. Pria ini harus menjadi miliknya, batin Vania merasa dipermainkan oleh Wildan. Seperti yang sudah-sudah, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia mau.

"Kita makan dulu yuk. Biar nanti semangat belanjanya." Ucap Wildan begitu memarkir mobilnya di pekarangan mall.

*

Tak terasa hari sudah siang menuju ke sore. Merasa puas sudah keliling mall Fania dan Wildan memutuskan untuk pulang.

Vania nampak senang hampir seharian ini dia berduaan dengan Wildan. Keberadaan Wildan disisinya membuat gadis itu merasa nyaman dan senang.

"Aku langsung balik ya Van, nanti ibu ngomel aku diluar kelamaan."

"Iya kak. Makasih untuk hari ini. Lain kali kita pergi nonton ya." Ajak ania antusias

"Kalau ada waktu." Jawab Wildan singkat.

*

Pukul 11 malam Wildan menjalankan aksi perdananya untuk meneror Lena. Ia membuka pintu utama dengan perlahan agar tak diketahui penghuni rumah. Bukannya takut, tapi ia terlalu malas harus meladeni pertanyaan jika ia ketahuan.

Tak membutuhkan waktu lama, kini Wildan sudah melajukan mobilnya di jalan raya. Kendaraan yang tak terlalu ramai membuat Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Setelah satu jam mencari alamat yang ia tuju, akhirnya ia berhenti di sebuah rumah sederhana dan tak terlalu besar, memiliki halaman yang tak seberapa dan tak ada pagar yang menjadi pembatas antara jalan dan pekarangan rumahnya. Ia harus melewati jalan yang berliku dan masuk ke jalan yang hanya muat dilewati oleh satu mobil untuk sampai di sana.

Ia berjalan pelan seraya celingukan ke berbagai arah agar aksinya tidak diketahui oleh orang. Wildan sudah persis seperti maling, ia memakai atribut serba hitam, masker dan juga topi untuk menyempurnakan penyamarannya.

Begitu berhasil sampai di depan pintu, Wildan mengambil alat untuk menembak lubang kunci. Dengan sekali tarikan saja Wildan berhasil membuka pintu yang terkunci dengan mudah.

Tak mau membuang waktu, ia segera masuk ke dalam rumah yang gelap gulita tanpa penerangan cahaya apapun. Dengan bantuan senter di ponselnya ia menyusuri rumah baru Radit dan Lena. Benar-benar jauh dari kata mewah, ia menjadi teringat kehidupan ibu tiri Wildan dan kedua kakaknya beberapa tahun lalu.

Dengan perlahan ia membuka pintu satu persatu demi menemukan dimana kamar Lena. Hingga pintu ke tiga, ia berhasil menemukan kamar yang ia cari. Nampak Radit dan Lena yang tidur nyenyak dengan posisi saling memeluk. Mata Wildan menatap mereka dengan kebencian yang amat sangat.

Sedetik kemudian ia teringat tujuannya datang ke rumah Lena. Dengan gerakan cepat ia segera menjalankan aksinya dengan menulis kalimat-kalimat ancaman beserta kalimat pengingat dosanya lima tahun lalu. Ia menghabiskan lima lipstik untuk membuat kamar Lena penuh dengan tulisannya.

Setelah dirasa cukup untuk membuat Lena terkejut esok hari, ia memutuskan pergi dari sana sesegera mungkin.

Wildan berhasil kembali masuk mobil dengan aman.

"Ini baru permulaan Lena. Akan ku buat kau menyesal dengan apa yang sudah kau lakukan." Ucap Wildan dengan wajah seramnya.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!