Seorang wanita muda cantik berpakaian hitam, keluar dari dalam mobil Alphard berwarna putih yang ia tumpangi. Beberapa orang pelayan juga berseragam serba hitam mengahampirinya dengan kepala tertunduk. Beberapa pelayan lain, menurunkan koper dari bagasi. Ya, ia baru saja pulang dari Melbourne Australia.
Hari ini langit begitu gelap tanpa cahaya matahari yang menerangi, seolah mengerti dengan suasana duka yang lekat mengiringi. Mansion mewah yang begitu luas, kini sesak akan tamu yang turut berdukacita atas meninggalnya, seorang Miliader ternama di kota itu, dan semua orang yang datang dari kalangan bisnis.
"Nona Elisa, akhirnya Anda datang juga Tuan besar sudah tiada." Wanita paru baya itu menangis seraya memeluk Elisa yang baru saja memasuki pintu utama. Sementara yang di peluk, hanya diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Elisa Eduardo, adalah anak tunggal dari Mendiang Edo Eduardo. Kini ia resmi menyandang status sebagai anak yatim piatu. Saat semua orang nampak terisak-isak, namun berbeda dengan ekspresi yang di tunjukkan gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut.
Tatapan matanya begitu kosong tanpa linangan air mata dan raut wajah datar tergambar jelas. Ia kembali melangkahkan kakinya dengan lemas, menuju tempat pembaringan sang Papa yang telah terbujur kaku. Semua orang yang berkerumun membuka jalan untuk pewaris tunggal keluarga Edoardo itu.
Elisa duduk bersimpuh di hadapan sang Papa, ia menyibak kain penutup untuk melihat wajah pucat pasih yang sudah tak bernyawa. Buliran air mata mulai keluar dari sudut matanya, ia menangis namun wajahnya tak menunjukkan ekspresi kesedihan, malah tersirat ekspresi kekecewaan dan luka masalalu yang begitu dalam.
Pa, akhirnya aku bisa bebas dari sangkar emas yang selama ini membelenggu ku, kenapa hanya dengan cara ini Papa membebaskan aku? Apa di saat terakhir pun aku tidak berhak untuk bicara dengan Papa ku sendiri, batin Elisa.
Selama dua belas tahun hidup bagai putri dari kerajaan yang terasingkan, kini ia kembali saat orang terakhir yang berharga dalam hidupnya telah tiada. Badai di masalalu menempa ia menjadi pribadi yang dingin dan tak tersentuh, baginya pernikahan kedua orangtuanya adalah cerminan bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya, cinta sejati.
Seorang pria paru baya berjas hitam, menghampiri dan ikut duduk bersimpuh di hadapan jenazah Edo Eduardo. "Nona, Tuan besar harus segera di makamkan, kami berencana meletakkan makam beliau di samping makam Nyonya besar."
Elisa menoleh kesamping dengan ekspresi wajah datarnya. "Tidak, aku tidak setuju jika makam Papa dan Mama ku bersebelahan, letakkan di samping kakek dan nenek ku saja."
Meski nampak kaget dan bingung, pria paru baya itu akhirnya menundukkan kepalanya, "Ba-baik Nona."
Saat pria itu berlalu pergi, Elisa kembali menatap Jenazah sang Papa. Ia mencengkram erat kedua lututnya, meski terkesan tega, ia melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Karena dua belas tahun yang lalu saat usianya sepuluh tahun, ia memiliki sebuah janji yang tak akan pernah ia lupakan dan akhirnya janji itu berakhir, hari ini.
"Ma, aku sudah memenuhi janji ku, apa Mama senang? Aku tidak akan pernah membiarkan Papa mengganggu Mama, meski di alam kubur sekalipun," gumam Elisa.
***
Di tempat dan kawasan yang jauh berbeda. Seorang pria muda nan tampan sedang sibuk bergelut dengan mesin mobil seorang customer. Pria itu nampak sangat ahli mengotak-atik mesin, meski tubuhnya nampak kotor karena oli mesin namun tak mengurangi ketampanannya.
Wanita berpakaian seksi sang pemilik mobil sibuk memperhatikan montir mobil itu dengan tatapan aneh. Seakan baru saja mendapatkan makanan lezat yang siap untuk di santap. Ia beberapa kali memperhatikan bagian otot tangan sang pria yang terlihat sangat kekar, sesaat kemudian wanita itu membuang pandangan keseimbangan arah saat pria itu berjalan kearahnya.
"Mobil Anda sudah selesai di perbaiki," ucap Pria itu seraya mengelap keringat di bagian dahinya.
"Apa kamu yang bernama Reynald?" tanya wanita itu.
"Iya benar," jawabnya singkat.
"Kamu tampan sekali, apa kamu punya waktu malam ini?" tanya wanita itu saat sudah berdiri dari posisinya.
"Maaf saya sedang sibuk akhir-akhir ini. Silahkan selesaikan pembayaran dengan adik saya, permisi," ujar pria itu lalu berbalik pergi.
Wanita itu nampak kesal karena merasa baru saja di tolak. Ia menghentakkan kakinya seraya berjalan untuk membayar ongkos perbaikan mobilnya.
Pria berusia dua puluh enam tahun itu bernama Reynald atau lebih akrab di sapa Rey. Ia adalah seorang pemilik bengkel mobil yang cukup sukses di kawasan itu. Selain wajahnya yang tampan, custemer juga selalu puas dengan hasil kerjanya, tak jarang ia sampai kewalahan jika para customer mulai mengungkit hal yang bersifat privasi.
"Jack, tolong kamu kerjain mobil yang baru saja datang. Aku ingin istirahat sebentar." Reynald merebahkan tubuhnya di sebuah sofa lusuh yang ada di lantai dua.
Jack yang mendengar semua tawaran wanita tadi, sontak langsung berhambur ikut duduk di sofa yang ada di depan Rey "Kenapa kamu menolak wanita cantik itu?"
"Menolak bagaimana ... kita sedang bekerja, bukan mencari jodoh." Reynald masih setia memejamkan matanya, karena ia benar-benar kelelahan.
"Bengkel ini sudah hampir lima tahun berjalan, dan kamu sudah menolak ratusan wanita ... Rey, kamu masih normal kan?" Jack menutup bagian bawah perutnya dengan tangan.
Mendengar hal itu Reynald langsung membuka mata dan menoleh kearah Jack. "Gila! Ya masihlah."
"Oh aku tau ini pasti karena kamu masih berharap Sofia akan menanggapi perasaan kamu kan? ... Bro dia itu cewek mata duitan, Emaknya aja gitu."
"Diamlah, aku mau tidur."
"Kak! Ada yang nyariin tuh," sahut Melvin, adik Reynald yang tiba-tiba saja muncul dari tangga. Melvin adalah adik dan satu-satunya keluarga yang Reynald punya, sejak kecil sampai sang adik berusia sembilan belas tahun, ia yang merawatnya seorang diri.
Sontak Reynald dan Jack langsung menoleh kearah sumber suara. "Siapa yang nyariin? Kalau customer, Jack yang ambil alih kakak capek."
Melvin menggelengkan kepalanya. "Sepertinya bukan customer Kak, liat sendiri deh."
Reynald menghembuskan nafas panjang kemudian berdiri dari posisinya. Ia terlihat sangat lelah, namun ia juga penasaran siapa yang datang mencarinya.
~
Saat ini Reynald sedang duduk berhadapan dengan dua orang bertubuh kekar berjas hitam yang sedang duduk di hadapannya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat serius saat membaca lembar demi lembar dokumen yang di berikan oleh kedua orang itu.
"Seharusnya sebelum membeli anda lebih teliti. Sejak awal tanah ini adalah tanah sengketa, dan kami yakin jika kasus ini sampai ke pengadilan EA Grup akan memenangkan hak kepemilikan tanah ini. Kami akan memberikan waktu satu bulan untuk anda berpikir," tutur salah seorang pria berjas hitam itu.
Prakk!!
Reynald menghentak meja dengan keras karena rasa marah dan kesal yang bercampur aduk jadi satu. Bagaimana tidak, ruko tiga pintu itu adalah warisan peninggalan mendiang kedua orangtuanya. Satu pintu ia tinggali sendiri, satu pintu lagi untuk usaha bengkel dan satu pintu di sewakan kepada orang lain.
Sejak kedua orangtuanya tiada, uang dari sewa ruko itulah yang membiayai kehidupan ia dan Melvin. Ia tidak akan pernah rela Ruko penuh sejarah masa kecilnya di gusur begitu saja. "Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah pergi dari Ruko ini!"
"Tenanglah, jika anda setuju untuk menandatangani surat ini, perusahaan akan memberikan ganti rugi yang cukup untuk kamu memulai usaha lagi, bukan kah itu sudah cukup menguntungkan? Lagi pula ruko ini sudah tua, sudah tidak cocok berdiri di tengah kota metropolitan seperti ini."
Reynald benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Ia merobek-robek kertas itu menjadi potongan-potongan kecil. Baginya semua bukan tentang uang, tapi bagaimana ia melewati susah senangnya di Ruko itu. Ia berdiri dari posisinya seraya menunjuk kearah pintu keluar. "Keluar dari sini!"
Kedua pria itu akhirnya ikut berdiri. "Kami akan datang lagi. Jika dalam waktu yang di tentukan anda masih kekeh tidak ingin tanda tangan, kami akan membawa kasus sengketa tanah ini ke pengadilan, dan jangan menyesal jika anda di usir tanpa mendapat sepeser pun uang dari EA grup."
Bersambung 💓
Jangan lupa komentarnya+like+vote+hadiah juga ya readers 🙏😊
Satu bulan berlalu.
Seorang pelayan berseragam abu-abu melangkah menuju sebuah kamar yang ada di lantai dua. Tangannya nampak bergetar saat hendak mengetuk pintu. Pagi ini ia di beri tugas untuk membangunkan Nona Muda yang akan mengamuk saat tidurnya terganggu, meski berat dan harus siap mental, ia tidak punya pilihan lain.
Tok..tok..tok.
"Pe-permisi Nona ... apa Nona sudah bangun?" Pelayan wanita itu, mulai berkeringat dingin, saat tak ada jawaban dari dalam sana, ia ingin mengulang lagi namun rasanya energinya sudah habis. Ia kembali berpikir sampai akhirnya--
Klek.
Pintu itu terbuka. Elisa muncul dari dalam, ia berdiri di ambang pintu seraya berpangku tangan, menatap pelayan yang nampak ketakutan saat melihat kemunculannya. "Apa kamu tau, ini masih jam tidur ku, oh kamu kemari karena memang sudah bosan hidup?"
Pelayan itu menundukkan kepalanya, tangan dan kaki bagai kebas tak lagi terasa. Semenjak kedatangan Elisa kembali di Mansion, peraturan-peraturan baru mulai di terapkan. Pelayan itu menelan saliva berkali-kali sampai akhirnya kembali angkat bicara.
"Maafkan saya Nona Muda ... sa-saya di perintahkan oleh kepala pelayan Nini untuk membangun Nona, karena hari ini pengacara Tuan besar akan datang."
Elisa yang tadinya nampak acuh dan menatap pelayan itu dengan malas, kini mulai terlihat serius dan antusias. Ya, akhirnya hari ini datang juga, hari dimana ia akan resmi memiliki seluruh harta kekayaan Edo Eduardo. "Cepat siapkan air mandi dan pakaian ku, hari ini aku harus tampil sempurna."
**
Dari ujung atas tangga, ia bisa melihat sang Tante yang bernama Eva sedang duduk di kursi ruang keluarga. Ia tahu tantenya itu datang hanya untuk mengetahui warisan yang akan di dapatkan. Lagi-lagi kenangan masalalu kembali berputar di ingatan Elisa, saat Eva memberi ide kepada sang Papa, agar mengirim ia keluar negeri dua belas tahun yang lalu.
Meski semua sudah berlalu, tetapi Elisa tak akan pernah lupa tatapan sinis yang di berikan Eva kepadanya. Sekarang ia bukan lagi anak kecil yang hanya bisa menangis tanpa bisa membela diri, kini ia ingin membuktikan kepada semua orang yang dulu tak menganggapnya ada, bahwa sekarang dialah satu-satunya orang yang berkuasa setelah kepegian sang Papa, Edo Eduardo.
Melihat Elisa turun dari lantai atas, Eva berdiri dari tempat duduknya, janda satu anak itu mengembangkan senyum dengan sempurna seolah begitu merindukan sang keponakan. Ia melangkah seraya merentangkan tangan dan langsung memeluk Elisa. "Apa kabar kamu hari ini sayang, semakin hari kamu semakin cantik saja, sama persis seperti Kak Arlita."
Elisa mencengkram erat kedua tangannya, ia sangat tidak menyukai sentuhan fisik dari seorang yang sangat ia benci, amarahnya kian membuncah saat sang tante menyebut nama sang Mama. Tanpa ragu ia mendorong tubuh Eva agar menjauh darinya. "Jangan pernah menyentuh ku, karena hubungan kita tidak sedekat itu."
Eva menyunggingkan senyum lalu mulai berpangku tangan. Isi kepala dan rongga dadanya terasa terbakar, saat melihat anak yang dulu berlutut padanya kini berani menatapnya dengan tajam. "Ck, setidaknya aku berusaha menjadi tante yang baik ... dua belas tahun bersekolah di Melbourne Australia, apa sikap ini yang kamu pelajari?"
Seperti dugaan Elisa, semua hanya pencitraan semata, hanya dengan satu penolakan darinya sikap asli Eva kembali seperti biasa. "Dua belas tahun sudah berlalu, aku tidak akan pernah melupakan semua jasa Tante, karena sudah memberi ide kepada Papa, untuk mengasingkan aku di luar negeri ... aku bukan anak ingusan yang tante kenal dulu."
Tubuh Eva bergetar hebat, ingin rasanya ia mendaratkan ratusan tamparan di wajah sang keponakan, namun ia masih ingin mendapatkan hak warisannya tanpa harus membuat masalah. "Kamu pikir, karena kamu keturunan satu-satunya kakak ku, kamu akan mewarisi segalanya? Tidak, kakak ku tidak pernah mengagapmu ada."
"Dasar rubah licik," gumam Elisa, ia hendak menggerakkan tangannya untuk menjambak rambut Eva, namun tiba-tiba saja--
"Nona Muda dan Nyonya Eva, pengacara sudah datang dan sekarang beliau menunggu di ruang tamu." Kepala pelayan Nini datang tepat waktu, kalau tidak bisa-bisa tante dan keponakan itu pasti sudah memulai perang dunia ketiga.
Eva berbalik lalu melangkah lebih dulu.
Sementara Elisa masih berdiri di posisinya seraya memandangi kepegian Eva. Ia mencoba mengatur napas dan meredakan emosinya yang sempat terpancing. "Kenapa aku harus mempunyai keluarga seperti dia, rubah jahat b*ensek!"
Mendengar pekikan Elisa yang nampak sangat kesal, Kepala pelayan Nini melangkah mendekat dan langsung menepuk pundak Elisa dengan lembut. "Nona, tahan emosi anda. Saya yakin sekarang Nyonya Eva tidak akan berani mengganggu Nona lagi seperti dulu."
Elisa menoleh kesamping. Tatapan matanya tiba-tiba saja menjadi sendu. Di antara semua orang, kepala pelayan Nini adalah satu-satunya orang yang ia percaya, sejak kecil yang selalu berusaha membela dan menyayanginya hanyalah wanita paru baya itu. " Bi Nini, setelah ini, jangan biarkan dia masuk ke area Mansion tanpa izin dariku.
**
Wajah Elisa dan Eva nampak sangat tegang saat sang kuasa hukum Edo Eduardo akan segera membacakan surat wasiat yang akan menjadi penentu segalanya. Harapan keduanya sama-sama tinggi, namun sebelum semua tersampaikan mereka belum bisa bernapas lega.
"Baiklah saya akan menyampaikan isi dari surat wasiat Tuan Edo Eduardo untuk Nona Elisa dan Nyonya Eva." Pengacara itu membetulkan posisi kacamatanya kemudian menatap selembar kertas yang ada di tangannya dengan serius. "Dalam surat ini, Tuan Edo menyampaikan, bahwa Nyonya Eva, selaku adik dari Tuan Edo berhak atas sepuluh persen dari saham yang di miliki beliau yang tersebar di sejumlah perubahan yang beliau miliki."
Mendengar hal itu, Eva langsung berdiri dari posisinya. Ia masih tidak percaya dari seratus persen, ia hanya mendapatkan sepuluh persen saja. "Pasti ada yang salah dengan surat wasiat itu, kenapa aku hanya mendapatkan sepuluh persen saja?"
"Masih untung nama tante ada di surat wasiat itu, setidaknya bersyukur saja." Wajah Elisa nampak sangat senang melihat ekspresi kecewa sang tante, dalam hati ia tertawa puas, meski ia belum tahu apa yang akan ia dapatkan dari surat wasiat itu.
"Hey bocah, aku tidak meminta komentar darimu." Eva nampak sangat kesal melihat ekspresi meledak yang tergambar jelas dari wajah sang keponakan.
"Saya mohon tenang." Pengacara itu menoleh kearah Eva. "Nyonya, silahkan kembali duduk."
Dengan berat hati Eva kembali duduk di posisinya.
"Untuk Nona Elisa, sebagai putri tunggal Tuan Edo Eduardo, Nona berhak atas sembilan puluh persen saham Tuan Edo yang tersebar di sejumlah perusahaan yang di miliki beliau."
Mendengar hal itu, Elisa terseyum lega. Meskipun selama ini ia tidak pernah sekalipun mendapatkan kasih sayang dari sang Papa, setidaknya sekarang, ia adalah pemegang kendali penuh atas seluruh harta warisan sang Papa. Ia menegapkan kepalanya, memandangi wajah tantenya yang kian memerah. "I'm a winner."
"Tetapi," sanggah pengacara itu tiba-tiba. Membuat Elisa dan Eva kembali menoleh padanya.
"Tapi apa?" tanya Elisa penasaran.
"Tetapi, seluruh harta peninggalan Tuan Edo tersebut akan resmi menjadi milik Nona Elisa saat Nona menikah dan melahirkan keturunan selanjutnya keluaga Eduardo," tutur pengacara itu.
"Apa!" Elisa berdiri dari tempat duduknya karena tak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
Elisa adalah saksi nyata dari kisah rumah tangga Papa dan Mamanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat sang Papa bermesraan dengan wanita berbeda-beda setiap hari dan ia melihat bagaimana sang Mama menangis dan akhirnya berakhir bunuh diri. Dari sana ia belajar bahwa cinta sejati itu tidak pernah ada.
Saat ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menikah seumur hidupnya, kini janji itu di patahkan oleh satu surat wasiat yang mengharuskan ia menikah dan memiliki keturunan. Lalu, apa Elisa mampu memenuhi permintaan terakhir sang Papa demi harta warisan yang tak akan habis tujuh turunan itu? Takdir baru mulai memainkan perannya, tanpa Elisa sadari Luka berbalut trauma masa kecil itu akan segera berakhir karena peran seseorang.
Bersambung 💓
Jangan lupa like komen vote n hadianya ya readers 🙏😊😍
Brakkk!!
Elisa menggebrak meja dengan penuh kekesalan. Ia tak habis pikir bagaimana bisa sang Papa membuat surat wasiat yang begitu tidak masuk akal baginya. Menikah, adalah satu kata yang begitu tabu dan tidak ingin ia lakukan seumur hidupnya, tapi kini otaknya harus kembali berpikir ulang, jika tidak maka semua harta yang seharusnya ia miliki bisa saja berpindah tangan.
"Kenapa harus menikah! Apa Papa ingin aku merasakan hal seperti yang Mama rasakan? ... Semua laki-laki itu sama saja, brensek, pengkhianat!" Pekikan Elisa menggema di setiap sudut kamar. Ia tidak bisa berpikir jernih, apa lagi saat membayangkan ekspresi wajah tantenya di ruang tamu tadi.
~
Setelah kepulangan pengacara itu, Kepala pelayan Nini menyusul masuk kedalam kamar. Saat masuk ia cukup kaget, saat melihat ruangan menjadi berantakan. Pandangannya teralihkan ke Elisa yang sedang berdiri di balkon kamar. Perlahan Kepala pelayan Nini menghapiri dan langsung berdiri di samping Elisa.
"Apa Nona baik-baik saja?" Takut-takut Kepala pelayan Nini mencoba bertanya, meski ia tahu sang Nona muda sedang tidak baik-baik saja.
Elisa menoleh perlahan kepada kepala pelayan Nini, kemudian kembali menatap nanar kearah depan. "Pernikahan adalah hal yang paling tidak masuk akal, saat dua orang yang sepakat untuk saling terikat lalu teriksa satu sama lain. Dua belas tahun yang lalu aku hanya anak kecil yang bingung dengan situasi mereka, tapi semua terekam jelas di ingatan ku. Pengkhianatan, kekerasan, depresi dan ... bunuh diri."
Napas kepala pelayan Nini, serasa tercekat saat mendengar kata-kata Elisa. Ya, ia tahu betul rasa trauma yang di alami Nona mudanya itu. "Pernikahan tidak selamanya seperti itu Nona ... banyak di luar sana, orang yang saling mencintai dan hidup berdampingan sampai ajal memisahkan. Saya dan suami saya saling mencintai namun takdir berkata lain, dia harus pergi untuk selamanya."
"Semua sama-sama menyedihkan. Baik itu kehilangan yang di sengaja atau di paksa oleh takdir. Aku akan mendapatkan warisan itu tanpa harus melibatkan hati dan perasaan." Elisa mulai memikirkan satu cara agar ia tetap menikah dan mempunyai anak, tanpa harus terikat selamanya. Ia belum yakin dengan rencananya namun jika hanya itu jalan satu-satunya, maka ia akan melakukan hal tersebut
"Apa maksud Nona?" Kepala pelayan Nini nampak kebingungan, namun saat ia butuh jawaban, Nona mudanya itu hanya menoleh seraya tersenyum kepadanya.
**
Sekitar pukul tujuh pagi, Kepala pelayan Nini mondar mandir di depan teras utama seraya terus melihat jam di tangannya. Ya, hari ini adalah hari pertama Elisa menggantikan posisi Edo Eduardo sebagai CEO EA Grup dan yang akan menjadi asisten sekaligus sekretarisnya adalah putri satu-satunya dari kepala pelayan Nini.
Kepala pelayan Nini akhirnya bisa benapas lega saat melihat sang putri yang mengendarai motor metic, memasuki area Mansion. Ia pun segera menghampiri sang putri yang baru saja memarkirkan motornya. "Kenapa kamu lama sekali?"
"Maaf Bu, kesiangan mana jalanan macet." Viola melepaskan helmnya seraya merapikan rambut yang acak-acakan karena terkena angin.
"Ibu sudah bilang kan, Nona muda itu tidak suka orang yang tidak tepat waktu. Pokoknya kamu harus bekerja dengan baik dan ingat pesan ibu."
"Siap Bu, aku tidak akan mengecewakan Ibu, ibu sudah menyekolahkan aku jauh-jauh ke jepang tentu saja aku harus berusaha sebaik mungkin."
"Bagus, kalau begitu ayo kita masuk Nona muda sudah menunggu kamu di ruangannya. Ada beberapa peraturan yang ingin Nona sampaikan sebelum kalian berangkat ke perusahaan." Kepala pelayan Nini menggadeng tangan Viola, melangkah masuk ke Mansion mewah itu.
**
Sementara itu di tempat yang berbeda. Melvin dan Jack kaget saat orang-orang berjas hitam itu kembali lagi dengan membawa sebuah surat hasil keputusan pengadilan. Tangan Melvin bergetar saat membaca selembar kertas itu, matanya mulai berkaca-kaca, ia tidak sanggup untuk hari ini, tidak sanggup karena pada akhirnya mereka harus pergi dari ruko yang amat berharga.
"Kami sudah bilang, jangan macam-macam dan kakak kamu itu tinggal tanda tangan saja. Minggu depan ruko tua ini akan rata dengan tanah dan sebelum itu terjadi, silahkan bereskan barang-barang kalian." Salah seorang berjas hitam itu melempar puntung rokok yang baru saja selesai ia hisap kehadapan Melvin dan Jack lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Jack yang juga nampak syok, menoleh kearah Melvin yang masih menunduk seraya menatap selembar kertas itu. "Kamu nggak apa-apa? Andai Rey ada di sini pasti dia nggak akan membiarkan orang-orang itu, jangan terlalu banyak berpikir kita tunggu kakak kamu datang baru kita pikirkan langkahnya selanjutnya."
Melvin tak bergeming dan langsung meremukkan kertas itu. Ia menoleh kearah Jack yang masih setia memperhatikannya. "Kak Rey bohong, dia bilang semua akan baik-baik saja tapi sekarang ruko ini akan di gusur kak! Aku nggak bisa diam seperti ini, aku akan pergi ke perusahaan itu dan memperjuangkan tempat ini."
"A-apa, kamu mau EA Grup? ... Vin kita tunggu sampai kakak kamu pulang." Jack berusaha menahan lengan Melvin tapi sepertinya usahanya sia-sia karena Melvin langsung memberotak, melepaskan diri dan langsung pergi begitu saja. "Vin! Berhenti ... anak itu sama kerasnya dengan Reynald. Aku harus segera menelpon Rey." Jack langsung meraih ponselnya dan langsung menelpon Reynald.
**
"Apa jadwal ku hari ini?" tanya Elisa yang saat ini sedang duduk berdampingan dengan Viola, sekertaris barunya di dalam mobil.
"Hanya rapat direksi dan pengenalan kepada seluruh karyawan Nona, anda bisa aktif bekerja besok," jelas Viola dengan lugas.
"Kamu cekatan juga berapa usiamu, dimana kamu kuliah dan apa pengalaman kerja kamu?" tanya Elisa saat menoleh kearah Viola.
"Terimakasih Nona, saya baru saja lulus tahun lalu di salah satu universitas di Tokyo Jepang, saya sudah lolos interview sebagai seketaris anda sejak satu minggu yang lalu, sekarang umur saya dua puluh dua tahun."
"Masih muda dan cukup cerdas, tapi kamu harus ingat cerdas saja tidak cukup untuk ku, jangan karena kamu anak dari BI Nini aku akan mengistimewakan mu. Jika kamu melakukan kesalahan, aku akan langsung memecat mu," tutur Elisa seraya menatap tajam kearah Viola.
Viola bisa merasakan nada ancaman dari ucapan Elisa. Ia berusaha menelan salivanya sekuat tenaga kemudian mulai menundukkan kepala. "Ba-baik Nona, saya akan bekerja sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Nona dan perusahaan."
Mobil yang membawa Elisa memasuki area gedung perkantoran milik EA grup. Mobil itu berhenti di depan Lobby. Namun ada yang sedikit aneh karena situasi di depan pintu utama lobby kantor nampak sangat ramai.
"Kenapa ramai sekali di sana?" Elisa membuka kaca jendela mobil agar lebih jelas.
"Nona tunggu di sini sebentar saya akan memeriksa kondisi di dalam sana."
Viola melangkah turun dari mobil. Ia mendekati kerumunan orang-orang itu dan mulai menelusup masuk. Ia cukup kaget saat melihat petugas keamanan sedang berusaha menghentikan seorang pemuda yang mengamuk di lobby kantor. Ya orang itu adalah, Melvin.
"Ada apa ini?" tanya Viola kepada salah seorang petugas keamanan.
"Pemuda ini memaksa masuk dan ingin bertemu dengan CEO EA gruop," jelas petugas keamanan itu.
"Biarkan saya bertemu CEO, dia sudah semena-mena dan ingin merampas hak kami! Cepat panggil bos kalian!" teriak Melvin yang sudah babak belur.
Viola bisa merasakan jika ini adalah Zona bahaya, Elisa tidak boleh bertemu dengan pemuda itu. "Begini ya anak manis, CEO EA group baru saja meninggal dunia dan CEO baru belum di resmikan, jadi kamu bisa pulang dan menunggu informasi selanjutnya, kami pasti akan menyampaikan keluhan kamu ini."
"Apa ada yang ingin bertemu dengan ku?"
Viola membulat matanya saat tiba-tiba saja ia mendengar suara yang begitu tidak asing. Perlahan ia berbalik dan benar saja suara yang ia dengar itu adalah suara Elisa. "No-nona, kenapa Nona keluar?"
Elisa tak menjawab pertanyaan Viola ia melangkah medekati Melvin. Ia membuka kacamata hitam yang ia pakai, ia menatap pemuda yang kini berdiri dengan lemas di hadapannya. "Saya adalah CEO perusahaan ini, apa yang membuat kamu mencari saya sampai rela babak belur seperti ini?" Elisa menatap tajam kearah Melvin. Ia benar-benar tertarik melihat keberanian bocah sembilan belas tahun itu.
Tubuh yang sudah terasa remuk, kini semakin terasa bergetar. Untuk seorang seperti Melvin, tatapan mata Elisa begitu mengerikan baginya. Beberapa detik ia terdiam sampai akhirnya ia berlutut di hadapan Elisa. "Saya mohon Nona, tolong jangan gusur tempat tinggal saya. Saya akan melakukan apapun, tapi tolong jangan gusur tempat tinggal saya."
Melvin menangis tersedu-sedu di hadapan Elisa, tanpa memikirkan harga diri, ia memohon dan bersimpuh di hadapan CEO baru EA grup itu. Baginya ia sudah cukup dewasa untuk berbagi beban yang dengan sang kakak. Sudah cukup selama ini ia hanya bisa duduk manis tanpa melakukan hal apapun.
"Melvin!!" Teriakan itu menggema di lobby kantor yang di kerumuni banyak orang. Saat ini perhatian semua orang teralihkan kepada sesosok pemuda tampan yang beridiri di ambang pintu utama kantor, begitu juga dengan Elisa dan Melvin yang menoleh kearah sumber suara.
"Kakak," lirih Melvin saat melihat kedatangan Reynald.
Ternyata dia punya saudara laki-laki, batin Elisa seraya memandangi Reynald yang juga sedang memandanginya. Tatapan mereka saling beradu dengan jarak sekitar tiga meter, seperti takdir yang baru saja menyapa di kala matahari yang baru saja sampai di pertengahan hari.
Bersambung 💓
Jangan lupa like+komen+vote+hadiahnya ya readers 🙏😊😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!