Lagu a Cup of Coffee mengalun lembut di perpustakaan Edelweiss yang padat pengunjung sore itu. Lagu baru yang sedang banyak diperbincangkan banyak orang itu merupakan karya violinist terkenal Kelana Radiaksa. Instrumen violin dari Kelana selalu berhasil menciptakan suasana tenang dan damai bagi setiap pendengarnya.
Edelweiss merupakan salah satu perpustakaan di kota Jakarta yang memiliki koleksi lebih dari 500 ribu buku. Biasanya perpustakaan identik dengan tempat yang sepi dan tenang tapi Edelweiss selalu memutar berbagai lagu instrumen piano dan violin agar pengunjung betah berlama-lama di dalamnya. Tak hanya itu jendela kaca super besar membuat cahaya matahari bisa menerangi ruangan di dalamnya, tempat duduk yang nyaman juga menjadi daya tarik bagi setiap orang untuk berkunjung dan membaca buku.
Edelweiss adalah perpustakaan impian banyak orang termasuk mereka yang tidak terlalu suka dengan buku karena tempatnya yang tak kalah dengan tempat nongkrong masa kini.
"Selamat sore, silahkan isi daftar nama pengunjung." Gadis penjaga perpustakaan itu mengembangkan senyumnya ramah meminta pengunjung untuk mengisi daftar nama lebih dulu pada tablet yang telah disediakan.
Asmara Renjani atau akrab dipanggil Rere adalah gadis berusia 25 tahun lulusan Analis Kesehatan yang nyasar menjadi penjaga perpustakaan hanya karena ingin membaca buku gratis setiap hari.
"Re, aku pulang dulu ya." Setiani—wanita bertubuh gempal yang bergantian sift dengan Renjani melambaikan tangan setelah siap pulang. Setiani menyampirkan tas kerjanya setelah selesai berganti pakaian dari seragam kerja dengan baju santai.
Renjani membalas lambaian tangan Setiani singkat karena ia sedang sibuk melayani pengunjung yang sedang mengisi daftar nama pengunjung.
"Selamat membaca Kak." Renjani kembali mengulas senyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi kepada pengunjung tersebut. Modal utamanya untuk bekerja adalah senyum tersebut meski sebagian besar dari pengunjung tak terlalu mempedulikannya.
"Isi daftar nama pengunjung dulu Kak." Renjani melihat seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan masker hitam hingga ia hanya bisa melihat sepasang matanya yang tajam dan—indah. Renjani yakin di balik masker itu ada wajah tampan yang akan membuat para wanita berteriak heboh. Namun pria itu adalah salah satu dari pengunjung yang mengabaikan senyum Renjani bahkan ia sama sekali tidak melihat gadis yang kerap dipanggil Rere tersebut. Pandangannya selalu menunduk atau lurus, setelah menulis nama nya yang hanya terdiri dari 2 huruf KR ia akan langsung melangkah memilih buku dan duduk di sudut ruangan.
Mulut Renjani hendak mengucapkan sesuatu tapi pria itu lebih dulu meninggalkan meja resepsionis. Bibir Renjani kembali terkatup berganti dengan senyum hambar. Renjani hafal betul pada tingkah laku pria yang selalu mengenakan masker hitam tersebut, karena ia pasti datang di hari Rabu sore dan duduk di kursi yang sama lalu pulang setelah 2 jam berlalu. Renjani memperhatikan punggung lebar pria yang mengenakan kemeja hitam dan jeans abu-abu tersebut hingga tak terlihat terhalang rak-rak buku di perpustakaan itu.
"Siapa namanya?" Renjani mengerutkan kening memperhatikan tulisan KR di salah satu nama daftar pengunjung perpustakaan. Mengapa begitu misterius hingga nama saja tidak ia tunjukkan.
Lagu berganti Senja Bertemu Cinta yang juga merupakan karya Kelana, itu adalah lagu favorit Renjani karena memiliki energi yang lebih ceria dibandingkan a Cup of Coffee.
Renjani meletakkan tablet pada tempat khusus agar pengunjung lebih mudah untuk menuliskan nama mereka sementara ia menata buku-buku baru pada rak.
Menggunakan dua tangan Renjani mengangkat kardus berisi buku baru yang harus ia ditata pada rak berdasarkan jenisnya.
"Lama-lama berotot juga nih lengan." Renjani mengerahkan seluruh tenaganya yang tak seberapa untuk mengangkat kardus tersebut menuju rak khusus novel romantis karya penulis Indonesia. Ia juga telah menyimpan satu di meja nya untuk dibaca nanti setelah selesai menata buku-buku.
"Mbak, boleh tolong ambilin buku nggak?" Salah satu pengunjung menghampiri Renjani untuk mengambil buku karena ia tak bisa menjangkaunya.
"Boleh dong." Renjani mengekori gadis remaja yang masih mengenakan seragam SMA tersebut, ia penasaran apakah buku yang sedang dibaca anak SMA saat ini. Apakah itu buku persiapan UN? tapi dua tahun ini Ujian Nasional telah dihapus.
Renjani menghentikan langkah ketika remaja itu berhenti di antara rak buku non fiksi.
"Buku yang mana?" Renjani melihat ke atas mengikuti arah pandang si gadis.
"Rahasia menikah muda." Ia menunjuk ke arah buku pada rak paling atas.
Saat gadis itu menyebutkan judulnya saja Renjani sudah cukup terkejut tapi ia lebih kaget lagi karena buku itu berada di bagian paling atas. Tinggi tubuh Renjani yang hanya 160 cm itu harus naik tangga untuk mencapai rak paling atas.
"Sebentar ya." Renjani menggeser tangga yang terbuat dari kayu menyandarkannya pada rak setinggi 3 meter tersebut. Tanpa melepas sepatu pantofel yang dikenakannya, Renjani menaiki tangga tersebut dan mengulurkan tangannya setinggi mungkin.
Kaki Renjani menaiki satu anak tangga lagi dan yup akhirnya ia bisa meraih buku bersampul merah muda tersebut.
Ketika hendak turun kaki Renjani salah berpijak hingga ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Tangga tersebut roboh bersama dengan Renjani yang memejamkan mata ketika tubuhnya terpelanting ke lantai hingga menimbulkan suara cukup keras.
Aduh mati gue! sakitnya nggak seberapa tapi malunya setengah mati, lebih baik gue pingsan aja!
Suara ribut membuat Renjani membuka mata, pandangannya sedikit kabur. Sepertinya ia tidak terjatuh ke lantai karena meski sesuatu di bawahnya saat ini terasa keras tapi rasanya sungguh berbeda dengan lantai. Apa ini?
Renjani membelalak melihat wajah seseorang tepat di depan matanya dengan bibir mereka saat ini sedang menempel. Bahkan Renjani bisa mencium aroma kopi dari mulut pria itu bercampur parfum beraroma lavender, sandalwood dan jahe
Ah bibirku nggak perawan lagi, maaf calon suamiku di masa depan karena aku nggak bisa jaga bibir ini untukmu.
Suara jepretan kamera menyadarkan Renjani kembali ke dunia nyata, ia menggulingkan tubuhnya turun dari atas tubuh pria beraroma parfum mahal itu.
"Maaf saya tidak sengaja, maafkan saya." Renjani semakin merasa bersalah setelah menyadari bahwa itu adalah pria misterius yang selalu mengenakan masker setiap kali berkunjung kesini. Meski posisi pria itu membelakangi cahaya tapi Renjani bisa melihat dengan jelas wajah tampannya tanpa masker, dan-tunggu dulu, bukankah itu adalah Kelana Radiaksa sang violinist terkenal yang sedang dibicarakan banyak orang setelah merilis lagu barunya bulan kemarin.
Pantas saja ia selalu mengenakan masker dan menulis namanya dengan inisial KR, harusnya Renjani menyadari itu sejak awal. Renjani mengutuk dirinya sendiri karena sangat lemot untuk mengetahui hal sepenting ini.
"Kalian masih mau disini?" Suara berat Kelana mengejutkan semua orang yang sedang menonton adegan bak drama romantis barusan. Kelana melempar tatapan tajam kepada mereka meski sudah terlambat karena semua orang pasti telah menyimpan foto dirinya dan gadis penjaga perpustakaan itu sebanyak-banyaknya.
"Bantu saya berdiri." Pinta Kelana karena punggungnya terasa sangat sakit.
"Baik-baik." Renjani segera menarik tangan Kelana membantunya bangun. "Maaf, saya baru makan banyak jadi badan saya pasti lebih berat dari biasanya."
Kelana melirik gadis berambut panjang bergelombang yang dikuncir kuda tersebut. Apa maksud dari perkataannya? Kelana yakin meski tidak makan seharian pun gadis itu memiliki tubuh yang lebih berat dari sekarung beras. Asmara Renjani, Kelana membaca name tag gadis itu, nama yang bagus, pikirnya.
"Lain kali hati-hati, kamu bisa mencelakai orang lain." Desis Kelana lalu memungut masker yang tergeletak di lantai bersama buku yang hendak ia baca.
"Sekali lagi saya minta maaf." Renjani sedikit membungkukkan badannya meski Kelana sudah pergi tanpa menoleh lagi.
Renjani kembali menegakkan tangga dan menyandarkannya pada rak. Renjani menyentuh bibirnya, bibir kenyal Kelana masih terasa menempel disana.
Apa yang kamu pikirkan, itu nggak bisa disebut berciuman. Bangun Re!
******
Kelana mencoba fokus pada buku bersampul putih dengan judul Grit karya Angela Duckworth meski ia mendengar orang-orang di sekitarnya mulai berbisik tentang dirinya. Sepertinya keputusan Kelana untuk tetap membaca buku di tempat ini setelah identitas nya terungkap adalah salah besar karena orang-orang telah mengenalinya. Namun Kelana merasa tak boleh menyia-nyiakan waktunya karena ia tak memiliki waktu kosong lagi selain hari Rabu ini. Kelana telah memberitahu manajernya untuk tak mengganggunya setiap hari Rabu sore karena ia harus membaca buku di perpustakaan.
Kelana bisa saja membaca buku di rumah tapi ia tak kan bisa mendapat ketenangan seperti disini. Ia menyukai perpustakaan ini karena letaknya cukup jauh dari jalan utama, selain itu pemandangannya juga indah. Lagu a Cup of Coffee pun terinspirasi dari tempat ini, tenang dan nyaman. Meski sekarang ketenangan itu telah terusik oleh bisikan orang-orang di sekitar Kelana.
Perhatian Kelana teralih pada layar ponselnya yang menyala, tertulis nama Yana disana. Kelana meletakkan bukunya meraih ponsel untuk menjawab telepon tersebut. Jika bukan hal yang benar-benar penting pasti Yana tak akan meneleponnya karena ia sudah berpesan tak ingin diganggu.
"Maaf Mas Lana, saya mengganggu waktu baca Mas tapi ini benar-benar penting."
"Ada apa?" Kelana menegakkan tubuhnya, ia bisa menduga bahwa Yana akan memberitahu soal kejadian barusan. Kecepatan internet sekarang tak bisa diragukan lagi, suatu kejadian akan tersebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik.
"Foto mirip Mas Kelana sedang berciuman dengan seorangpun perempuan tersebar di internet, lebih baik Mas pulang sekarang."
"Baik kalau begitu." Kelana segera mematikan sambungan. Kali ini untuk pertama kalinya Kelana akan membawa pulang buku yang baru ia baca beberapa halaman.
Alis Renjani terangkat melihat Kelana menghampiri mejanya, itu jauh lebih cepat dari biasanya
"Saya ingin membawa pulang buku ini." Kelana meletakkan buku bersampul putih tersebut di atas meja.
"Silahkan tunjukkan kartu membernya." Renjani masih tersenyum meski Kelana hanya melihatnya sekilas. Ia sudah biasa diabaikan seperti itu dan harus tetap tersenyum.
Kelana mengeluarkan kartu member perpustakaan Edelweiss yang merupakan syarat untuk meminjam buku.
"Waktu peminjaman maksimal satu minggu, jika belum selesai maka anda harus datang kesini untuk memperpanjang waktunya." Jelas Renjani.
Kelana mengambil kembali kartu member miliknya bersama buku berjudul Grit yang hendak ia bawa pulang setelah Renjani menulis namanya pada daftar peminjam buku.
Kelana melenggang pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Renjani tidak heran akan hal itu karena dari awal Kelana memang bukan orang yang ramah justru ia heran mengapa Kelana pulang lebih cepat dan juga ini pertama kalinya pria itu membawa pulang buku dari perpustakaan.
Renjani berharap tak ada sesuatu buruk yang terjadi pada Kelana. Meski mereka tak saling mengenal tapi Renjani selalu memperhatikan Kelana selama ini, hati kecilnya berkata bahwa kelana adalah pria yang baik.
"Lihat foto ini sangat mirip dengan Mas Lana tapi saya yakin dia bukan Mas karena Mas nggak mungkin berciuman." Yana menunjukkan tablet miliknya begitu Kelana datang, sekujur tubuhnya gemetar setelah melihat berita yang menghebohkan masyarakat tersebut.
Mungkin jika kehebohan itu berasal dari lagu baru yang mereka rilis, Yana tak akan panik. Namun sebaliknya itu adalah gosip tentang Kelana diam-diam berciuman dengan seorang wanita penjaga perpustakaan. Yana tak bisa mempercayai berita itu begitu saja karena ia tahu Kelana tak pernah memiliki pacar.
Selama 5 tahun Yana menjadi asisten Kelana, ia tak pernah tahu bahwa Kelana dekat dengan wanita apalagi menjalin hubungan sampai berciuman di depan umum seperti itu. Beberapa orang bergosip bahwa Kelana gay karena tak pernah dikabarkan dekat dengan wanita manapun. Bahkan penyanyi sekelas Cantika dan Emma yang sudah terkenal seantero negeri lantas tak membuat Kelana jatuh hati.
Yana tahu betul sifat Kelana yang tertutup, kalaupun Kelana benar berpacaran dengan wanita itu mereka tak akan berciuman di tempat umum apalagi Kelana tak suka dirinya menjadi bahan gosip media.
Kelana memicing melihat foto-foto di layar tablet asistennya, meski itu adalah foto dari samping tapi jelas terlihat bahwa sosok tersebut adalah Kelana. Begitupun dengan orang-orang, begitu melihatnya pasti mereka akan langsung mengenali sosok pada foto itu. Siapa yang tidak kenal dengan Kelana-volinist yang terkenal dengan segudang prestasi hingga mancanegara.
"Itu memang aku." Lirih Kelana yang langsung membuat Yana membelalak kaget, ia berharap telinganya sedang bermasalah dan tak bisa mendengar dengan baik.
"T ... tapi bagaimana mungkin-"
"Ini nggak seperti yang kamu bayangkan, kamu tenang dulu." Kelana menekan bahu Yana untuk duduk di kursi ruang tamu apartemennya agar ia bisa menceritakan semuanya kepada sang asisten yang beberapa tahun lebih muda darinya itu.
"Pak Adam telepon dari tadi, pasti dia juga sudah tahu tentang berita ini." Yana melirik tablet nya, Adam adalah manajer Kelana.
"Biar aku cerita dulu kejadian sebenarnya." Kelana membalik tablet Yana agar ia memiliki kesempatan untuk menceritakan kejadian sebenarnya pada Yana.
Yana membenarkan posisi duduknya menghadap Kelana seolah-olah takut ada cerita yang terlewatkan.
"Tadi aku sedang memilih buku, penjaga perpustakaan itu naik tangga untuk membantu salah satu pengunjung mengambil buku di rak lalu aku tidak tahu kenapa dia bisa jatuh dan mengenai ku, kejadiannya terlalu tiba-tiba sampai aku tidak bisa menghindar, wanita itu jatuh tepat di atas tubuhku-"
"Dan bibir kalian saling menempel?" Potong Yana, ia heran mengapa ada wanita seberuntung penjaga perpustakaan itu yang bisa mencium Kelana apalagi secara tidak sengaja.
"Benar." Kelana mengangguk tidak dapat menampik pertanyaan Yana karena bibirnya dan penjaga perpustakaan itu memang menempel.
"Mas Kelana kenal wanita itu?"
"Tidak." Meski Kelana rutin mengunjungi perpustakaan tapi ia tak pernah memperhatikan penjaga nya. Bahkan namanya saya Kelana mengetahuinya tadi karena tak sengaja melihat name tag nya. Lagi pula Kelana tidak tahu apakah setiap kali mengunjungi perpustakaan penjaganya selalu orang yang sama atau tidak.
Yana menyipitkan matanya tak percaya pada jawaban Kelana. Bukankah setiap seminggu sekali Kelana selalu pergi ke perpustakaan itu dan tidak ada siapapun yang boleh mengganggunya. Bisa saja bukannya membaca buku Kelana justru berpacaran dengan penjaga perpustakaan itu.
"Yana, kau meragukan ku? aku tidak bisa bekerja dengan orang yang tidak mempercayaiku." Kelana tersinggung dengan pandangan Yana terhadapnya seolah-olah sang asisten tak percaya pada apa yang ia katakan barusan.
"Tidak, Mas, tapi apakah orang-orang akan percaya dengan cerita Mas Kelana?" Yana membasahi bibir bawahnya yang terasa kering, sekarang yang terpenting adalah menghentikan anggapan orang-orang bahwa Kelana menjalin hubungan dengan wanita itu sekaligus menghapus berita yang sudah telanjur tersebar.
Kelana membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Yana tapi telepon di meja di sudut ruangan lebih dulu berdering membuat Yana segera beranjak dari sofa untuk menjawab telepon tersebut.
Kelana mengacak-ngacak rambutnya frustrasi, ia menendang meja ruang tamu kesal. Mengapa hari ini dirinya begitu sial? Andai bisa mengulang waktu maka Kelana tak akan melepas maskernya tadi agar orang-orang tak langsung mengenalinya. Namun tak ada gunanya berandai-andai karena nasi sudah menjadi bubur. Sekarang Kelana harus memikirkan bagaimana caranya meredakan berita heboh ini.
"Mas, Pak Wira ingin bicara." Yana berbisik memberikan telepon pada Kelana.
Kelana menarik napas dalam sebelum menempelkan telepon tersebut ke telinganya.
"Halo Pa." Kelana mencengkram gelas berisi air putih di atas meja saat memulai pembicaraan dengan papa nya. Wajahnya makin muram ketika mendengar suara napas papa nya di seberang sana lalu tawa kencang yang memekakkan telinga nya.
"Dia benar-benar kamu?"
"Ada apa Papa menelepon?"
"Bagaimana mungkin kau melakukan kehebohan semacam itu, cara mu sungguh murahan untuk menarik perhatian publik."
Kelana memejamkan mata menahan emosi, ketika pria bernama Wira itu menelepon tak mungkin jika ia tak mengejek Kelana. Tujuan utama Wira menelepon Kelana memang hanya untuk mencemooh nya. Meski Kelana telah menunjukkan kepada papa nya bahwa ia bisa menjadi violinist terkenal tapi sang papa tetap akan mengeluarkan berbagai kalimat untuk menjatuhkannya. Bahkan saat a Cup of Coffee menempati posisi pertama tangga lagu, Wira bilang itu hanya karena selera masyarakat yang buruk bukan karena kehebatan Kelana menciptakan lagu apalagi memainkan violin.
"Kau menggunakan wanita itu untuk membuat mu terkenal?"
Tangan Kelana yang sedang memegang gelas gemetar pertanda bahwa emosinya telah berada di puncak.
"Valia lebih muda dari kamu tapi Memandang Hujan telah ditonton sepuluh ribu kali dalam waktu 1 jam saja, kau harusnya belajar banyak dari adikmu Kalya."
Memandang Hujan adalah lagu karya Valia yang dirilis bersamaan dengan a Cup of Coffee.
Pyarr! Gelas di tangan Kelana pecah berkeping-keping hingga membuat air di dalamnya menyembur keluar hingga membasahi baju Kelana dan lantai.
Yana mendelik, ia memegang tangan Kelana agar melepaskan gelas yang sudah tidak berbentuk itu. Yana tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi itu pasti sesuatu yang membuat kelana marah. Yana bergegas mengambil sapu untuk membersihkan pecahan gelas di lantai takut jika tiba-tiba Kelana berdiri dan mengenai kaki sang bos.
"Dia bukan adikku, lagi pula a Cup of Coffee ditonton seratus ribu orang dalam waktu kurang dari satu jam lalu kenapa aku harus belajar dari Valia, agar penonton lagu ku menurun?"
"Lalu sekarang kau menggunakan wanita asing untuk mencari perhatian masyarakat?"
"Kami akan segera menikah."
Sapu di tangan Yana terlepas mendengar kalimat Kelana, ia yakin saat ini telinganya benar-benar bermasalah mungkin karena ia baru saja mengorek telinganya dengan peniti. Sepertinya Yana harus segera pergi ke dokter THT.
"Papa tunggu saja undangannya." Kelana segera memutus sambungan meletakkan telepon tersebut dengan kasar di atas meja.
"Apa yang Mas bicarakan, tadi katanya tidak kenal tapi sekarang bilang mau menikah, Mas sakit?" Yana menyentuh kening Kelana karena tingkahnya hari ini benar-benar aneh.
"Apalagi yang bisa kita lakukan?" Kelana menyingkirkan tangan Yana dari keningnya. Kelana mencabut beberapa lembar tisu untuk membersihkan darah di tangannya.
"Mas Lana serius mau nikahin cewek itu?" Yana tak bisa melanjutkan aktivitasnya membersihkan pecahan gelas itu karena terlalu terkejut dengan keputusan Kelana.
"Aku hanya asal bicara." Kelana membaringkan tubuhnya di atas sofa dan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Tapi Pak Wira akan semakin melancarkan aksinya untuk mengejek Mas jika itu tidak terjadi."
"Ahhh!" Kelana menendang-nendang sofa tak tahu apa yang akan ia lakukan untuk membereskan masalah ini. "Izinkan aku tidur sebentar, aku pusing." Kelana memiringkan tubuhnya memunggungi Yana yang masih terpaku di tempatnya.
"Ah kenapa Mas memecahkan gelas ini." Yana berjongkok mengambil sapunya yang tadi terlepas, sepertinya ia harus mengganti semua gelas disini dengan yang lebih bagus. Yana yakin gelas itu pecah karena kualitasnya yang kurang bagus bukan karena kekuatan Kelana.
"Kenapa kamu justru mengkhawatirkan gelas itu bukannya tanganku yang terluka, ini adalah tangan yang aku gunakan untuk bermain violin."
"Itu pelajaran untuk Mas Lana karena membuat kehebohan ini." Yana mengerucutkan mulutnya kesal, setelah ini pasti pekerjannya akan lebih banyak karena harus membereskan masalah yang telah Kelana perbuat.
******
Bel apartemen Kelana berdenting beberapa kali membangunkan si pemilik dari tidur panjang nya. Kelana bangkit dari sofa untuk membuka pintu tapi Yana mendahuluinya. Saat bangun Kelana melihat langit di luar sudah gelap, itu berarti ia cukup lama tertidur.
Lantai sudah kembali bersih dan kering seperti semula. Itu salah satu alasan mengapa Kelana begitu menyukai kinerja Yana sebagai asisten pribadinya, selain cekatan Yana juga mengerti apa yang Kelana inginkan tanpa memberitahunya.
Mereka tak sengaja bertemu di sebuah cafe kecil dekat stasiun televisi saat Kelana baru selesai menghadiri sebuah acara. Ia menemukan Yana yang saat itu masih remaja dimarahi oleh pemilik cafe sambil mengepel lantai. Kelana bukan orang yang mudah merasa iba pada orang lain karena kehidupannya juga keras tapi melihat wajah polos Yana membuatnya ingin segera membawa gadis itu pergi dari cafe itu. Akhirnya Kelana meminta Yana menjadi asisten pribadinya dan bertahan sampai sekarang.
"Malam Pak Adam." Yana menyapa pria yang hanya beberapa tahun lebih tua dari Kelana dan mempersilahkannya masuk.
"Aku ingin minum jus dari jeruk yang diperas sendiri." Adam masuk melewati Yana dan memesan minuman tanpa diminta seperti kebiasannya.
"Kami tidak punya jeruk di kulkas." Tukas Kelana agar Adam tidak meminta macam-macam kepada Yana.
"Tidak mungkin, kau sangat suka jeruk." Adam duduk di sofa ruang tamu apartemennya Kelana. Sementara itu Yana pergi ke dapur untuk membuat jeruk peras sesuai permintaan Adam.
"Itu sebabnya aku tidak memperbolehkan siapapun makan jeruk itu."
"Kamu tidak mau merayuku setelah kehebohan itu?" Adam menyilang kakinya, alisnya naik turun melihat Kelana.
"Kita akan segera menghapus semua berita itu kan?"
Adam menggeleng, "tidak mungkin, justru berita itu bagus untuk mu karena akan mematahkan gosip yang mengatakan bahwa kamu gay."
"Kamu tidak bertanya lebih dulu kejadian yang sebenarnya kepadaku?"
"Untuk apa? aku yakin kalian tidak benar-benar berciuman, di foto itu jelas-jelas ekspresi mu sangat datar dan mata wanita itu melotot berarti itu adalah kejadian yang tak disengaja, hanya saja masyarakat kita mudah terpancing pada hal-hal yang belum jelas kebenarannya."
"Apa aku harus membuat klarifikasi bahwa berita itu tidak benar dan mengatakan itu adalah kejadian yang tak disengaja?"
"Kamu pikir mereka akan langsung percaya, dari pada sekedar gosip bagaimana jika kita membuatnya menjadi kenyataan?"
Kelana mengangkat alis, apa maksudnya?
"Pak Adam, tadi Mas Kelana bilang pada Pak Wira akan menikahi wanita itu." Yana datang membawa dua gelas jus jeruk yang ia peras sendiri dengan tambahan es batu.
"Ini sudah malam kenapa kamu menambahkan es batu?" Kelana menoleh pada Yana yang duduk bergabung dengan mereka. Yana mengabaikan pertanyaan Kelana karena ia telanjur menambahkan es batu, tidak mungkin ia mengambilnya kembali.
"Kau akan menikahinya?" Adam membelalak, itu jauh dari perkiraan. Tadinya ia hanya ingin meminta Kelana berpacaran pura-pura dengan wanita yang ada di foto itu tapi tak disangka bahwa Kelana akan menikahinya.
"Tidak, Pak, saya hanya asal bicara." Kelana meraih segelas jus jeruk buatan Yana dan meneguknya hingga tersisa setengah bagian.
"Tapi Mas Lana lupa kalau ucapan yang sudah Mas katakan pada Pak Wira tidak mungkin bisa ditarik kembali." Sahut Yana.
"Tapi aku tidak mungkin menikahi wanita yang tidak aku kenal."
"Kelana kamu harus ingat bahwa bulan depan kita akan mengadakan konser, berita ini bisa mempengaruhi minat masyarakat terhadap konser tersebut."
Kelana menghela napas berat menyandarkan kepalanya pada sofa, tidur hanya membuatnya melupakan masalah itu sejenak. Setelah terbangun rentetan masalah itu kembali menghadapinya.
"Sekarang wanita itu juga pasti sedang menjadi bahan gosip orang-orang saat melihatnya."
"Aku tidak peduli dengan wanita itu." Balas Kelana enggan memikirkan wanita yang telah membuatnya berada dalam masalah pelik seperti ini.
Hidup Kelana ibaratkan danau yang tenang dan jernih lalu wanita itu seperti meteor yang tiba-tiba jatuh ke dalam danau tersebut-membuatnya bergelombang dan keruh.
Renjani melangkah melewati gang menuju tempat kos nya. Sesekali ia melompat dengan hati-hati melewati genangan air bekas hujan semalam yang mengguyur kota Jakarta. Awal tahun memang hampir selalu seperti ini, hujan disertai angin dan petir hingga berujung banjir. Untungnya hujan tadi malam tidak terlalu deras sehingga banjir bisa dihindari.
Sejak orangtuanya bercerai ketika Renjani duduk di bangku SMA, ia tinggal bersama ibunya tapi setelah kuliah Renjani memutuskan untuk tinggal sendiri di tempat kos yang dekat dengan kampusnya. Baru dua tahun ini ia pindah kesini bersama Jesi sahabatnya. Sesekali Renjani mengunjungi ibunya di Sumedang karena hubungan mereka tidak terlalu baik setelah perceraian itu.
"Re, wah parah lu!"
Renjani terkejut mendengar suara teriakan Jesi ketika ia baru membuka pintu tempat kos nya. Renjani tak mengerti arti ucapan Jesi karena ia baru saja kembali dari perpustakaan dan teman satu kos nya itu tiba-tiba meneriakinya. Andai suara Jesi seperti Jessy jane maka Renjani tak akan kesal dengan teriakannya. Namun sayangnya suara Jesi seperti kaleng khong guan yang sudah kosong, nyaring dan membuat telinganya sakit.
Jesi melompat dari sofa menghampiri Renjani yang tengah melepas sepatu pantofel hitam dan meletakkannya di rak sepatu di samping pintu masuk.
Tempat kos itu tak terlalu besar hanya terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu sekaligus ruang tv dan dapur tanpa sekat sehingga siapapun yang berada di ruang tamu akan bisa langsung melihat dapur mereka.
Jesi bekerja di sebuah rumah sakit sesuai jurusannya yakni analis kesehatan tapi Renjani justru memilih bekerja di perpustakaan dengan alasan sederhana yakni bisa membaca buku apapun yang ia inginkan secara gratis. Setiap kali berkutat dengan buku-buku Renjani merasa tenang, ia ingin memiliki perusahaan penerbit buku dimasa depan. Renjani selalu mengimpikan pekerjaan yang berurusan dengan buku, tapi bukan menjadi penulis karena ia tak pandai merangkai kata. Maka Renjani akan selalu bekerja di perpustakaan sampai ia punya modal yang cukup untuk memulai perusahaan penerbit.
"Apaan sih?" Renjani melempar tas kerjanya dan menghempaskan tubuhnya ke sofa, ia memijit bahunya yang terasa kaku setelah duduk di perpustakaan cukup lama. Tadinya ia ingin langsung membersihkan diri setelah sampai di tempat kos tapi godaan sofa membuatnya goyah.
"Lu lihat deh." Jesi menyodorkan ponselnya yang menampilkan sebuah artikel pada Renjani. "Lu digosipin pacaran sama Kelana, si violinist terkenal itu, nggak mungkin lu nggak tahu kan karena tiap hari tetangga sebelah pasti puter lagu Kelana."
Renjani mengerutkan kening melihat judul yang tertera di bagian paling atas artikel tersebut, tentu saja Renjani tahu Kelana sang violinist itu karena di perpustakaan ia juga sering memutar lagunya.
"Pacaran gimana, gue aja nggak kenal dia." Renjani tertegun melihat artikel tersebut, ia tak menyangka jika kejadian tadi bisa heboh seperti ini. Posisi mereka tadi memang bisa membuat siapapun salah paham tapi artikel tersebut sungguh berlebihan mengatakan Kelana berciuman di depan umum. "Apa ini terlihat seperti ciuman?" Kesalnya.
"Sekilas sih iya tapi nggak mungkin lah Kelana mau sama lu."
Renjani mentoyor kepala Jesi karena telah meledeknya, "emang gue jelek banget?" ia melipat tangan di depan dada.
Jesi nyengir, jelas Renjani cantik hanya saja kurang dipermak dengan sedikit make-up dan pakaian yang lebih bagus. Namun jika dibandingkan dengan Kelana yang terkenal, Renjani tak ada apa-apanya.
"Lu lihat nih komentar para fans nya Kelana, mereka bilang lu cewek kegatelan, mana posisi lu di atas lagi."
Renjani mengembalikan ponsel Jesi dan menyandarkan kepalanya pada sofa, ia menarik pita hitam yang mengikat rambutnya sejak sore tadi. Ini semua salahnya karena telah jatuh dan mengenai Kelana. Sekarang Renjani justru memikirkan Kelana, pasti lebih sulit untuk seorang publik figur sepertinya menjadi bahan gosip banyak media padahal mereka tak tahu kejadian yang sebenarnya.
Renjani memejamkan mata memikirkan bagaimana caranya memperbaiki semua ini setelah berita itu telanjur tersebar.
"Kok bisa sih kalian begini?" Jesi menghadap Renjani sepenuhnya, ia penasaran mengapa sahabatnya yang ia tahu dari dulu tidak pernah berhubungan dengan pria sekarang justru tersangkut gosip seperti itu. Setahu Jesi, Renjani tak pernah memiliki pacar lagi sejak putus dari Arya yang bukan Saloka 3 tahun lalu. Kalaupun Renjani punya pacar, itu tak mungkin Kelana.
"Padahal tuh ceritanya konyol banget tahu nggak, malu-maluin tapi di berita justru dilebih-lebihkan."
"Kenapa lu bisa cium bibir Kelana sih?"
"Jadi tadi gue ambil buku di rak pakai tangga, terus gue jatuh nah jatuhnya kena Kelana dan nggak sengaja bibir kami nempel, itu nggak bisa disebut ciuman lo Jes."
Jesi geleng-geleng, "ya Kelana juga ogah ciuman sama lu."
"Lu pikir gue mau? nih bibir mau gue simpen buat suami gue nanti sekarang udah nggak suci lagi." Renjani mengibaskan rambutnya dengan dramatis dan beranjak dari sofa untuk segera mandi, ia makin stress jika terus-terusan berdebat dengan Jesi.
Air hangat dari shower mengguyur tubuh Renjani yang terasa pegal-pegal hari ini, mungkin karena tadi ia jatuh dari tangga. Renjani tak bisa membayangkan bagaimana jika tubuhnya membentur lantai, mungkin tulangnya akan patah meski tangga itu tidak terlalu tinggi. Namun setelah dipikir lebih baik tulangnya yang patah dari pada harus membuat Kelana menjadi bahan gosip media.
Selama ini Kelana jarang digosipkan macam-macam kecuali berita soal Kelana gay. Selain itu pasti media hanya membicarakan tentang prestasi Kelana yang bisa menjadi violinist terkenal hingga keluar negeri. Renjani takut jika gosip ini akan mempengaruhi karir Kelana.
Renjani menyentuh bibirnya yang basah oleh air dari shower, tiba-tiba ia teringat bagaimana bibir Kelana bersentuhan dengan bibirnya ditambah aroma kopi yang menguar dari sana. Renjani menelan salivanya yang bercampur air hangat-pahit-rupanya ada shampo yang sedikit tertelan.
"Aduh semoga nggak mati." Renjani segera berkumur untuk menghilangkan rasa pahit yang menyentuh permukaan lidahnya.
Kalau Jesi tahu pasti ia akan bilang, "nggak mungkin lah lu mati cuma karena nggak sengaja nelen shampo sedikit, kalau satu botol lu telen beda lagi ceritanya."
Senyum Renjani tersungging, ternyata pria bermasker yang selama ini mengunjungi perpustakaan Edelweiss adalah Kelana. Renjani memang bukan penggemar berat Kelana tapi kalau tahu dari awal ia akan minta tandatangannya untuk dipajang di kamar agar ia selalu semangat untuk bekerja. Namun sekarang apa gunanya tandatangan padahal Renjani sudah mendapatkan lebih dari itu yakni berciuman dengan sang violinist.
"Ahh kenapa melantur gini sih." Renjani memukul kepalanya sendiri agar berhenti berpikir macam-macam.
"Udah makan lu?" Jesi sudah berada di atas tempat tidur Renjani dengan posisi satu tangan menyangga kepala sedangkan tangan lainnya memegang remote tv.
Ketika kaki Renjani menapak ke keset ia mendengar suara infotainment dari televisi, ia melirik Jesi tajam, mengapa sahabatnya itu harus menonton televisi di kamar ini padahal mereka memiliki televisi masing-masing.
"Udah tadi makan nasi goreng." Jawab Renjani seraya melangkah ke arah lemari untuk mengambil pakaian.
"Gila ya udah malem gini masih aja ada acara infotainment." Jesi mengubah posisinya duduk bersila agar lebih jelas melihat tayangan pada televisi.
"Tapi lu suka kan?" Renjani melepas handuk yang melilit badannya hingga sebatas paha. Ia mengganti pakaian dengan piyama longgar bersiap untuk tidur.
"Eh lihat deh!" Jesi menunjuk televisi.
Renjani yang telah selesai berpakaian segera melompat ke samping Jesi, "ada apa?"
"Para wartawan mengerumuni apartemen Kelana." Jesi membaca headline di televisi yang menampilkan kerumunan wartawan di depan gerbang gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta.
Renjani tertegun, ia tak mengira bahwa berita tersebut akan menjadi sangat heboh. Tangannya mencengkram sprei biru muda yang baru ia ganti kemarin menahan gejolak dalam dadanya. Ia ingin membantu Kelana tapi tak tahu dengan cara apa agar pria itu bisa menyelesaikan masalah ini.
"Makanya lu kerja di rumah sakit aja bareng gue, nggak bakal kejadian kayak gini." Omel Jesi, ia mematikan televisi agar tidak membuat Renjani semakin stress.
Apa hubungannya Renjani bekerja di rumah sakit atau perpustakaan dengan masalah ini.
"Tahu ah, gue mau tidur." Renjani menghempaskan tubuhnya dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. "Keluar gih." Pinta Renjani, ia benar-benar ingin tidur untuk melupakan kejadian hari ini.
Renjani merogoh bawah bantal mengambil ponsel miliknya, ia membuka aplikasi Instagram dan mengetik nama Kelana. Ia melihat satu foto Kelana tengah berada di atas panggung dengan biola di lengannya yang diposting dua hari lalu. Renjani melihat komentar pada foto tersebut, komentar dari akun dengan centang biru kebanyakan berisi pujian.
Sukses terus Lana
Makin cakep violinist satu ini
Lagunya terlalu bagus
Sukses untuk next concert
Sedangkan komentar di bawahnya justru mengomentari tentang gosip yang sedang diperbincangkan banyak orang.
Siapa sih tuh cewek berani-beraninya cium Kelana gw
Nggak nyangka sama kamu Lan, kelihatannya kalem eh ternyata diem-diem ciuman sama cewek di perpus lagi
Spill ceweknya cepat!
Ampun dah posisinya pewe banget kayaknya
"Ih apaan sih mereka." Renjani menggerutu semakin ia menggulir komentar tersebut maka emosinya juga makin memuncak. Ingin rasanya melayangkan tinju di wajah mereka. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Mereka juga tidak tahu kejadian sebenarnya tapi apakah mereka tak bisa menahan ketikannya. Pasti Kelana sakit hati membaca komentar-komentar tersebut karena Renjani tahu selama ini lelaki itu jarang memiliki hatters.
Renjani melempar ponselnya ke sembarang arah karena tak sanggup lagi membaca komentar pedas netizen. Komentar mereka bahkan lebih pedas dari samyang dengan 100 cabe sekalipun.
Renjani berharap tak ada yang menyadari bahwa cewek itu dirinya. Atau tak ada yang berusaha mencaritahu siapa sosok sebenarnya cewek tersebut karena Renjani tahu netizen adalah detektif paling handal. Bahkan mereka bisa menemukan seseorang dari pantulan sendok atau mata. Sungguh tidak masuk akal tapi itulah kekuatan para detektif dadakan tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!