.
.
.
Irine putri saraswati yang biasa dipanggil oleh teman-temannya Irine, merupakan seorang pekerja magang di salah satu perusahaan yang terkenal dengan anak perusahaannya yang menjamur di Jakarta. Irene adalah wanita yang cerdas dan multi talenta tak heran jika dia langsung dipercaya oleh perusahaan tersebut mengelola keuangan dan laporan perusahaan. Membuat semua orang merasa iri, karena bukan hanya pintar dia juga wanita yang luar biasa cantik. Irine memiliki seorang teman sebayanya yang bernama Stefi dan Angga, yang juga satu kampus. Jadi, rasanya sudah tak canggung lagi karena dia memiliki teman di sini.
Sudah lebih dua bulan dirinya magang di Perusahaan, seharusnya magangnya selesai bulan ini. Tapi, karena berbagai alasan akhirnya mereka ditambahkan tugas. Irine senang saja jika harus tambah bulan untuk magang, tapi kedua temannya itu terus saja menggerutu setiap hari membuatnya pusing.
"Irine, saya di suruh oleh atasan mu untuk menyampaikan pesan ini padamu." Ujar Stefi yang tiba-tiba saja muncul dan itu membuatnya terkejut.
Jari-jari cantik yang tadi berkutat dengan keyboardnya itu langsung terhenti, mendengar perkataan teman kerjanya. Lalu kedua bola mata cantiknya menatap sahabatnya itu dengan tatapan tak suka. Selalu saja, bisa-bisa Ia jantungan jika begini terus menerus.
"Ada apa lagi?" Tanya Irine kembali melanjutkan kegiatannya.
"Aku pikir besok kita akan kedatangan Bos baru, jadi dia memintamu untuk segera menyelesaikan laporannya." Pikir Stefi, menjelaskan situasi saat ini.
Irine mendesis kesal, kenapa Direkturnya itu selalu saja seenaknya memberi dirinya perintah.
"Bilang padanya, aku tidak berjanji bahwa ini akan segera selesai." Jawab Irine dengan suaranya yang sedikit ketus.
Stefi menatap wajah Irine dengan ekspresi tercengang, mana berani dia menyampaikan pesan seperti itu. Bisa-bisa dia yang kena amuk Direktur tua itu, membayangkannya saja membuat bulu kuduk Stefi berdiri.
"Irine." Nada suara Stefi berubah menjadi kesal, perilaku temannya yang satu ini tak pernah berubah. "Kau tau, apa yang akan terjadi jika aku menyampaikan perkataan dirimu tadi, hah!" Ujar Stefi kesal, meski begitu wanita itu masih tetap di abaikan oleh Irine. "Ukh. Kau selalu membuat orang lain tak bisa berkutik."
Irine mengalihkan tatapan matanya dari dokumen-dokumen yang menumpuk itu ke arah Stefi lagi, yang sudah memasang wajah kesal.
"Katakan saja pada Direktur apa adanya, tidak usah berbelat belit. Sudah sana kau pergi, aku sibuk." Irine mengibas-ngibaskan lengannya menyuruh Stefi pergi.
"Aku tidak tahu pasti apakah saran mu ini akan membantu atau malah membuatku semakin menderita." Timpal Stefi hendak pergi meninggalkan tempat kerja temannya itu, dengan nada suara yang mencibir.
"Jangan kekanakan, Stef." Ucap Irene dengan santai menimpali cibiran temannya.
"Yakk, kau bilang ini kekakanan- Stefi yang sudah siap melontarkan sumpah serapahnya mengurungkannya, saat melihat kedua mata temannya menatap sayu ke arahnya. Entah kenapa menurutnya jika mode Irine seperti ini, tandanya benar-benar tak bisa di bantah lagi.
Selama ini dirinya tak pernah bertanya mengenai permasalahan Irine, ataupun Irine yang bercerita padanya. Meski begitu, Stefi tahu jika Irine menyimpan banyak sekali luka. Memang terlihat dingin diluar dan seakan tak peduli pada sekitarnya, tapi Ia tahu dia adalah teman yang begitu baik dan selalu memperhatikan hal-hal kecil tanpa mengatakannya secara langsung.
"Aishhh sudahlah, jika berbicara dengan 'ice princess sepertimu membuat emosiku naik terus. Sebaiknya aku kembali ke meja kerjaku." Ujar Stefi pada akhirnya.
Stefi sudah bersiap beranjak dari meja kerja Irine, jika saja tak ada keluar suara dari mulut sahabatnya.
"Ngomong-ngomong apa benar besok ada pergantian CEO?" Tanya Irine tiba-tiba, bohong jika Ia juga tak penasaran.
Langsung saja Stefi membalikkan tubuhnya, Ia yang tadi hendak kembali ke tempat kerja nya langsung gadis itu urungkan saat melihat rasa penasaran di wajah Irine. Dengan raut wajah sumringah dia menarik kursi itu dan duduk dihadapan meja kerja Irine, sambil menopangkan dagunya di atas meja.
"Hmmm, karyawan yang lain tengah menggosipkan itu sepanjang hari ini. Dan aku bosan mendengarnya, katanya yang akan menjadi CEO itu masih muda dan tam- seketika ocehan Stefi tentang CEO itu terhenti, Ia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Irine dengan kedua mata yang menelisik curiga.
"Apa?" Tanya Irine heran, ketika Sahabatnya itu menatap dirinya seperti menemukan sesuatu yang aneh di mukanya.
"A-ppa kau ... - Stefi terus menatap Irine dengan mata yang menyipit, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Irine. -Menyukai CEO itu?" Todong Stefi dengan pertanyaan yang menurut Irine sangat konyol.
"Hah?" Ucap Irine dengan suara yang nyaring. "apa yang kau pikirkan Stefi, jangan menyebarkan gosip yang tidak-tidak. Lagian aku juga kenal nggak sama CEO nya, wajah nya pun aku tak tahu." Seru Irine dengan cepat, entah kenapa Ia menjadi kesal dan sedikit salah tingkah.
"Siapa tau kan. Selama mengenalmu, kau tidak pernah menanyakan hal-hal yang berbau pria. Baru kali ini aku mendengarnya, jadi wajar saja 'kan." Cerca Stefi tak ingin kalah, Ia terus memojokkan temannya itu dengan berbagai pertanyaan menggoda. Sehingga membuat Irine bertambah kesal.
'Aku menyesal menanyakan ini. Batin Irine menggelegar.
Irine menghela nafasnya panjang, Ia mencoba menghindari ocehan Stefi lalu Ia memutar kursinya menghadap ke jendela yang memperlihatkan pemandangan kota, yang menurutnya sangat indah di sore hari.
"Kau akan datang?" Tanya Stefi menatap tumpukan berkas di meja Irine.
"Entahlah." Jawab Irine datar.
Stefi benar-benar tahu bahwa Irine ini bukanlah seperti orang-orang lainnya, yang menyukai keramaian. Ia type wanita yang sangatlah dingin dan tertutup.
"Apa kau akan sering membolos di acara-acara seperti ini selanjutnya?" Tanya Stefi serius.
Irine yang tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Stefi secara tiba-tiba, langsung memutar kembali kursinya dan menatap wajah Stefi dengan bingung.
"Sesekali. Cobalah untuk membuka dirimu, apa kau ingin hanya berdiam diri saja?" tanya Stefi dengan raut khawatir.
"hmm ... - Irine yang sudah mengerti ke mana arah pembicaraan ini, Ia hanya menghela nafasnya kasar. "akan aku pikirkan, tapi aku tidak yakin ini akan berhasil." Sambung Irine menatap Stefi dengan wajah datarnya.
"Eukhh, kenapa kau menampilkan wajah seperti itu Irine." Teriaknya kesal.
"kenapa?" Tanya Irine terlihat bingung.
"Sudahlah, sudahlah ...- Stefi mengibaskan telapak tangannya kearah Irene- aku harus pergi. Jangan lupa laporannya, aku pergi. Bye." Stefi bangun dari duduknya, lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Irine. Kali ini, Ia benar-benar kembali ke ruangan kerjanya.
"Sejak tadi juga sudah aku suruh pergi." Gerutu Irine yang tak terdengar Stefi.
Setelah melihat kepergian sahabatnya, Irine bangun dari kursi kebesarannya dan melangkahkan kaki jenjangnya kearah lemari kecil yang ada di sudut ruangannya. Irine membuka lemari itu perlahan, lalu ia mengambil bingkai foto yang sengaja ia simpan di lemari kecil itu.
"Sepertinya ini akan segera di mulai ... -- Ujarnya sambil tersenyum berbicara pada bingkai foto tersebut- "tunggu dan bersabarlah." sambungnya dengan suara yang lirih.
.
.
.
Pada akhirnya Irine memilih untuk mendatangi direkturnya tersebut. Namun, belum juga usai kekesalannya mereda. Wanita itu harus bersabar lagi menahan rasa sabarnya, bagaimana tidak? Bayangkan saja, dirinya baru masuk dan belum juga dipersilahkan untuk duduk pria itu langsung menyerocos ini itu padanya.
"Segera kau urus untuk acara besok dan jangan ada satu inci pun kesalahan yang terjadi besok, kau tau Ketua akan datang besok." Ujar pria tua Bangka itu memerintah Irine.
"Baik Tuan." Jawab Irine patuh. Meski hatinya mendesal menahan rasa kesalnya, jika bukan orang yang lebih tua darinya sudah Ia sumpel mulutnya dengan tumpukan berkas-berkas yang ada di mejanya itu.
"Buatlah semuanya menjadi sempurna dan Kau ...." Direktur menjeda suaranya dan mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Irine. "jangan sampai telat! Pokoknya kau harus datang tepat waktu, aku tidak menoleransi lagi jika sampai kau datang terlambat." Sambung Direktur menyerahkan beberapa map ke arah Irine.
Irine mengembangkan senyumnya dengan terpaksa dan mengambil map tersebut. "Baik Tuan. Aku akan melaksanakan semua perintah Anda tanpa terkecuali." Ucap Irine dengan patuh, nada suaranya juga menekankan di setiap kalimatnya.
"Ya sudah. Kau bisa pergi dan lanjutkan kerjaan mu!" Perintah direktur kembali dan di angguki oleh Irine, wanita itu pun berlalu pergi meninggalkan atasannya yang arogan dan seenaknya itu.
Irine menutup pintu berwarna coklat itu dengan sedikit keras, sebodo jika atasannya itu akan mengomelinya lagi juga. Irine menarik nafasnya dalam, sudah cukup rasa kesabarannya Ia benar-benar kesal dengan direktur sombong seperti itu.
...**********...
Di tempat lain, tepatnya di Rumah besar bak Istana milik keluarga Bramasta, keluarga yang terkenal dengan kerajaan bisnisnya yang luar biasa. Pria yang merupakan pewaris tunggal Bramasta yang bernama Kimtan baru saja sampai di Jakarta setelah bertahun-tahun tinggal di negara orang.
Pintu kamar itu di bukanya dengan perlahan, lalu ia nyalakan lampu itu sehingga terpampang kamar yang telah lama di rindukannya.
"Tidak ada yang berubah." Gumamnya dengan nada suara lirih.
Kimtan langsung masuk ke kamarnya, merebahkan tubuh letihnya di kasur empuk miliknya. Kedua matanya terpejam, menikmati setiap menitnya waktu yang sudah lama Ia lewati. "Haahhh, ini sangat nyaman." desahnya.
Matanya terbuka, menatap langit-langit kamar. Menerawang jauh pada kenangan-kenangan beberapa tahun lalu.
"Padahal hari-hari itu sudah sangat lama berlalu, namun entah kenapa kenangan bersamamu masih terus terbayang-bayang olehku."
Tok tok tok
Kimtan menolehkan wajahnya kearah pintu berwarna coklat itu, saat ia mendengar pintu kamarnya di ketuk. Kini istirahatnya harus terusik saat seseorang mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, dengan rasa malasnya laki-laki itu melangkahkan kakinya untuk membuka pintu kamarnya.
Klik.!
Pintu itu dibuka oleh Kimtan, raut wajahnya menunjukkan ekspresi tak bersahabat menatap pelayan pria itu.
Pelayan pria berpakaian rapi itu membungkukkan setengah tubuhnya memberi hormat.
"Maafkan saya Tuan muda karena telah mengganggu istirahat Anda, tapi Tuan dan Nyonya besar sudah menunggu Anda di bawah." ujar Pelayan itu menundukkan kepalanya, tak berani hanya sekedar melirik wajah tuan mudanya.
"Hn, aku akan menyusul." jawab Kimtan datar, masih dengan ekspresi menyebalkannya. Setelah di rasa cukup, Kimtan kembali menutup pintu kamarnya.
Pria itu menghela nafasnya dengan kasar, sebenarnya Ia tidak ingin menemui orang tuanya karena merasa sangat lelah dan butuh istirahat setelah penerbangan panjangnya. Tapi jika dirinya tak menemui keduanya maka akan ada pertengkaran yang sangat membosankan di esok hari.
Akhirnya dengan langkah malas, Kimtan pergi menemui kedua orangtuanya. Entah apa yang akan mereka bicarakan, sungguh dirinya sangat tidak berminat. Dengan perlahan Kimtan menuruni anak tangga satu persatu, dapat pria itu lihat kedua orang tuanya yang tengah bersantai di sofa ruang keluarga.
Baru saja kakinya menuruni anak tangga terakhir, Kimtan sudah mendengar suara Ibunya yang memanggil dan Ia hanya menatap keduanya dengan acuh.
"Sayang kemarilah, Nak." Ucap Isabel Nyonya besar Bramasta dan merupakan Ibu dari seorang Kimtan. "Duduklah disini!" Pinta Isabel lembut sambil menepuk tempat duduk yang berada di sebelahnya, mempersilahkan anak tercintanya untuk segera bergabung duduk bersamanya.
Tak mendengarkan perintah Ibunya, Kimtan malah lebih memilih untuk duduk yang bersebrangan dengan kedua orang tuanya.
"Ada urusan apa?" Tanya Kimtan langsung pada intinya dan mengabaikan suara Ibu yang sejak tadi berkata-kata manis kepadanya.
Ibunya tersenyum kecut melihat tingkah laku putranya, yang selalu mengabaikan pertanyaannya. Bibirnya terkatup rapat, Ia takut jika mengatakan sesuatu lagi putranya akan mengatakan yang lebih menyakitkan lagi.
"Baiklah. Aku tidak ingin berbasa-basi lagi." Tuan Bramasta menarik nafasnya pelan, menatap wajah putranya dengan serius.
"Ayah dan Ibumu telah membicarakan ini sudah sejak lama, kami sepakat agar kamu menikah dengan anak kolega Ayah setelah acara pergantian CEO besok. Jadi Ayah harap ... --
"Maaf." ujar Kimtan menyela perkataan Ayahnya, dia menatap wajah keduanya tak suka. Inilah kenapa dia malas sekali menemui kedua orang tuanya, mereka selalu memutuskan sesuatu tanpa bertanya terlebih dahulu kepada dirinya.
"Apakah tidak ada hal yang lebih penting dari ini, kalian memanggilku ke sini hanya untuk hal konyol." Bibir pria muda itu mendesis, kedua matanya menatap tak suka. "Apakah hanya hal seperti ini saja, kalian memanggilku ke sini?" Bibir itu kembali bertanya dengan nada suara lirih berulang-ulang pada kedua orang di hadapannya, wajahnya menunjukkan rasa tak nyaman.
Kedua orang tua Kimtan saling menatap saat mereka mendengarkan pertanyaan yang di lontarkan Putranya.
"Kimtan sayang, bukan seperti itu Nak. Sungguh kami menghawatirkan dirimu, untuk itu kami menyiapkan ini sejak lama." Ujar nyonya Isabel dengan suaranya yang melemah.
Kimtan mendengus kesal. 'khawatir? Cih, omong kosong apa ini! Mereka bukan menghawatirkan aku melainkan harta mereka. Batin Kimtan. "Jika tidak ada yang ingin kalian bicarakan lagi, aku akan pergi." Ujar Kimtan dingin.
"Jangan seperti itu!" Suara Tuan Bramasta menggelegar memenuhi ruangan itu, wajahnya menatap tajam putra tunggalnya dengan amarah.
Sedangkan Kimtan hanya menatap malas orang tuanya dan berlalu meninggalkan keduanya.
"Kimtan." Teriak Tuan Bramasta memanggil nama putranya yang mengabaikan keduanya. "Kau lihat, karena ulah dirimu yang selalu memanjakannya jadi beginilah." seru Tuan Bramasta memijit pelipisnya.
Kimtan lebih memilih pergi dan mengabaikan panggilan dari Ayah dan Ibunya, Ia terus saja menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kimtan tahu bahwa Ayahnya sangat marah atas perlakuannya yang tak sopan seperti ini, tapi Ia bisa apa jika melihat wajah keduanya kenangan buruk itu terus saja berputar-butar di kepalanya dan ia sangat membenci kenangan itu. Sangat membencinya, hingga membuat nafasnya menjadi sesak.
Sampai di kamarnya, Kimtan duduk disisi tempat tidur menatap bingkai foto yang sengaja Ia pajang di meja kecil sisi tempat tidurnya. "Lala, aku merindukan dirimu. Sampai kapan aku harus menahan rasa rindu ini?" Seru Kimtan dengan suara yang lirih, sambil terus memandang foto kekasihnya yang entah di mana saat ini.
.
.
.
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, Irine segera membereskan meja kerjanya berencana untuk segera pulang. Pekerjaan hari ini benar-benar menguras tenaganya, ditambah esok Ia harus berangkat lebih awal dibandingkan hari-hari biasanya karena akan ada acara di perusahaannya besok pagi.
Saat beranjak keluar ruangannya, Ia menoleh ke ruangan disebelahnya. Ternyata sudah kosong, tak ada penghuni satu orang pun, Dan Stefi ternyata meninggalkannya seorang diri "Dasar teman yang tak pengertian menunggu saja tidak," Gerutunya merasa kesal.
Setelah keluar dari area perusahaannya, Irine berjalan tertatih menuju halte bus, langit sudah mulai gelap. Ia harus cepat sampai ke kosannya dan beristirahat untuk esok hari. Baru kali ini Irine menyesal tak membawa minyak angin ke kantor, jujur saja dia sangat tak suka dengan bau mobil bus ditambah harus menunggu bus nya yang lama. Rasanya Ia ingin langsung menghilang dan sampai di Kosannya langsung, membayangkan tubuhnya diguyur dengan air dingin sudah membuatnya senang.
Tak selang berapa lama Bus Transjakarta berhenti tepat didepannya, Ia bernafas lega setidaknya tidak harus menunggu lebih lama dari ini. Irine mengeluarkan kartu dan men-scannya, lalu berjalan ke arah belakang mencari tempat duduk yang nyaman untuknya. Dan pilihannya adalah dibelakang, entah kenapa duduk dibelakang adalah tempat favoritnya. Karena menurutnya dengan duduk dibelakang, Ia bisa menyendiri dan menikmati sepoyan angin yang masuk dari jendela yang Ia buka.
Drt. Drt. Drt.
Irine dikejutkan dengan suara ponselnya yang terus berbunyi, Ia segera membuka dan mengambil hp yang berada di tasnya. Di sana tertera nama sang pemanggil yang tak lain adalah sahabatnya Stefi, wanita itu memutar kedua bola matanya malas. Bisa-bisanya sahabatnya itu menelpon dirinya setelah meninggalkan Ia seorang diri di Kantor.
'Halooooo Irinnn.' seru wanita itu di sebrang telpon.
Irine segera menjauhkan handphonenya tersebut dari daun telinganya, bisa-bisa dirinya langsung pergi ke tempat dokter bagian THT jika sejam bertelepon dengan Stefi. "Bisa tidak volume suaramu diperkecil!" Desis Irine yang merasa kesal.
'Yah Rin, Sorry. Abis aku senang banget tau.' Serunya dengan semangat.
"Kenapa sih? Kamu dapet lotre yah?" Tanya Irine masih dengan mode kesalnya.
'Aish. Tentu bukanlah, aku mendapatkan hot topik kali ini tentang penerus Bos. Kau pasti bakalan terkejut dan terhipnotis saat melihat wajahnya yang super tampan.' pekik Stefi terdengar bahagia.
Stefi terus mengoceh tentang anak ketua, yang katanya keturunan Korea dan super duper tampan bak artis Korea. Akh, membuat kepala Irine menjadi pecah.
"Iyah Stef, terserah deh. Udah deh yah, aku sudah mau turun nih." Ucap Irine langsung memutuskan sambungan telponnya. Ia bersyukur sudah dekat dengan tempat kosannya, setidaknya Ia memiliki alesan lain untuk mematikan telponnya tanpa harus di omeli lagi oleh temannya tersebut.
"Terimakasih Pak." Ucap Irine, pada sang supir yang cukup dia kenal.
Setelah turun dari bus, Irine menghirup nafas segar. Huh, entah kenapa dia sebenci itu dengan bau mesin mobil yang membuatnya mual.
"Akhirnya sampai juga." pekik Irine sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang serasa mau copot, semua ini akibat dirinya terlalu lama duduk karena sibuk dengan laporan yang diminta oleh atasannya itu. Akhirnya Ia bisa bebas dan bisa tidur nyenyak untuk malam ini, setelah harus lembur hingga sore hari.
Irine memasukkan kunci dan membuka pintu kosannya, setelah terbuka Ia melesat masuk seperti hantu. Yang pertama kali dilakukan wanita itu saat masuk adalah menghirup aroma segar yang dikeluarkan oleh aroma wangi Lavender yang sengaja Ia pasang pada setiap sudut ruangannya.
"Hufft, lelahnya." Gumam Irine menarik nafasnya dalam. "Huh?" Irine segera merogoh sesuatu di tasnya, saat mendengar dering ponsel yang bersumber didalam tasnya. Setelah menemukan yang dia cari, segera saja Irine duduk di sofa televisi.
Awalnya Irine pikir yang menelponnya sahabatnya lagi, tapi ternyata bukan. Setelah melihat nama yang tertera dilayar ponselnya ternyata adalah Ibunya yang menelpon dirinya.
"Halo." Seru Irine setelah menekan tombol hijau di ponselnya.
'Kenapa kau lama sekali mengangkat telponnya, hah?'
Irine tersenyum kecut, saat suara itu terdengar di pendengarannya. "Maaf, Irine baru sampai kosan Bu. Kenapa Ibu menelpon?" Tanya Irine sesopan mungkin.
'Tak usah banyak alasan! Bilang saja kau sengaja menunda mengangkat telpon dariku.
Ibu nya selalu saja begitu, menuduhnya yang tidak-tidak. Lengannya meremas dadanya kuat, sampai kapan dia harus bersabar menghadapi sikap yang dilakukan oleh Ibunya. "Bagaimana Kabar Ibu?" tanya Irine, mencoba mencairkan suasana.
'Jelas tidak baik, dari kemarin sudah Ibu katakan untuk mengirim uang kepada Ibu untuk membiayai adikmu sekolah.' Cerca Ibunya.
Irine menarik nafasnya kasar, sudah diduga. Ibunya pasti menelpon untuk meminta uang lagi, padahal Minggu kemaren sudah dia kirimkan uang sisa bulan ini.
"Bu, Irine belum bisa mengirimkan uangnya karena--
'Halah, kau selalu banyak alesan seandainya Kaka mu ada pasti dia tidak akan membiarkan Ibu seperti ini. Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kau harus mengirimkan uang itu untuk Ibu, jika tidak jangan hubungi Ibu lagi.'
PIP.
Deg. Sambungan telpon itu diputuskan secara sepihak oleh Ibunya, saat itu juga air matanya meleleh begitu saja yang sejak tadi coba dia tahan. Irine tercekat dengan perkataan yang tiba-tiba keluar dari bibir Ibunya, padahal sudah lama kata-kata itu tidak keluar dari mulut Ibunya lagi. Tapi kini, hal seperti ini dibahas lagi.
Sejak dahulu Ibunya selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang Kaka, hingga Kaka nya pergi entah kemana pun Ibunya masih tetap begitu.
"Semuanya pasti akan baik-baik saja. Kau pasti kuat Rin." Gumam irene lirih, mencoba menguatkan hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!