"YA, TUHAN ... APA YANG KAMU LAKUKAN, MAS!?" jerit Airin hiteris, betapa terkejutnya dia saat membuka pintu kamar.
Wanita berambut kuncir kuda dan berkaca mata tebal itu menutup mulut, bersamaan dengan itu air matanya pun langsung menganak sungai. Tubuhnya bergetar hebat melihat pemandangan yang sangat menjijikkan di depan matanya.
Pria yang diteriaki oleh Airin itu tidak menghiraukannya, dia terus berpacu penuh hasrat bersama seorang wanita yang juga tengah bergerak liar di bawahnya.
Dengan tubuh gemetaran Airin mendekati ranjang. "Tega kamu, Mas ... kamu mengkhianati pernikahan ini di kamar kita, di ranjang kita! di mana hati kamu, Mas?'' raung Airin dengan suara parau.
Tangan Airin terulur, dia hendak menarik tubuh suaminya itu agar berhenti melakukan perbuatan kotornya. Tapi tangan kekar pria itu terlebih dulu mendorongnya, hingga Airin tersungkur di lantai.
"Aduuhh, hiiks ...."
Airin meringis memegangi lututnya yang tergores akibat membentur kaki meja nakas. Tapi percayalah, perih yang Airin rasakan di lututnya sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibanding perih yang menyayat hatinya saat ini.
Galang, pria yang tak lain adalah suami Airin itu terus menghentak dengan cepat. Hingga akhirnya sebuah erangan nikmat keluar dari mulutnya, pertanda ia sudah mencapai puncak kepuasan.
Pria itu kemudian turun dari ranjang, lalu memakai boksernya sebelum menghampiri Airin.
"Mas Galang, apa maksudnya ini? Mengapa kamu tega menodai pernikahan kita? Bahkan dengan adikku sendiri ... apa salahku padamu, Mas?" Lagi Airin meraung, berharap suaminya itu mengakui kekhilafan dan meminta maaf.
Mendengar Airin mencecarnya dengan pertanyaan, Galang menarik sudut bibirnya menampakkan seringaian keji. "Kau ingin tahu apa salahmu Airin?"
Galang mencengkram lengan Airin, lalu menyentak istrinya untuk berdiri dengan gerakan kasar, kemudian dia mendorong tubuh Airin yang sudah lemas ke depan cermin.
"Kau ingin tahu apa salahmu, kan? Lihat Airin ... lihat dirimu, lihat baik-baik di cermin itu! Dengan wajah buruk rupamu itu kau lebih pantas menjadi babu di rumah ini, daripada menjadi istriku!" teriak Galang tepat di telinga Airin.
Hati Airin sedang tercabik-cabik setelah menangkap basah perbuatan kotor Galang. Kini pria itu sengaja menyiramkan cuka dengan perkataan kejamnya yang membuat hati Airin kian perih, hancur sudah hati Airin tak berbentuk lagi.
Airin memandangi pantulan dirinya di depan cermin, dengan air mata yang belum berhenti mengalir. Dia memang jauh dari kategori cantik, wajahnya biasa saja, ditambah kaca mata tebal yang membingkai wajahnya membuat Airin terlihat jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Sebagai seorang wanita, Airin juga bukan type yang pandai berhias, dia lebih suka menghabiskan waktu untuk memasak dan membaca buku.
"Aku memang tidak cantik, Mas ... lalu mengapa dulu kamu menikahiku?" isak Airin pilu.
"Jangan konyol, Airin ... aku tidak akan pernah menikahi wanita sejelek kamu jika bukan karena perjodohan sialan itu!" teriak Galang dengan kejam yang membuat hati Airin semakin tersayat. "Satu lagi Airin, sudah berapa lama kita menikah?" imbuh Galang bertanya.
Airin tidak menjawab, apa yang ia saksikan hari ini sudah menguras habis energi dan emosinya, membuat Airin seolah tidak memiliki tenaga lagi untuk sekedar bebicara.
Galang membalikkan tubuh Airin. Matanya menatap Airin dengan sorot berapi-api, bersamaan dengan tangan kasarnya yang mencengkeram kedua bahu Airin kuat-kuat. "Jawab aku, Airin ... sudah berapa tahun kita menikah?" tanyanya dengan suara membentak.
"Su-sudah empat tahun, Mas," jawab Airin terbata, bahkan suaranya nyaris tak terdengar.
"Benar, empat tahun! Lalu selama empat tahun itu apa yang bisa kau berikan padaku selain rasa malu? Aku selalu menjadi gunjingan kolega bisnisku karena memiliki istri yang jiwanya kampungan sepertimu! Dan kau tahu apa yang lebih buruk dari itu? Kau bahkan tidak bisa memberiku keturunan, Airin ... kau wanita mandul!" raung Galang dengan suara yang meledak-ledak, seolah dia adalah korban di sini.
''Sadar, Airin! Kau ini adalah wanita tidak berguna ... wanita kampungan, wanita cacatl! Sia-sia saja orang-tuaku berkorban melunasi hutang-hutang ayahmu, jika untuk memberiku keturunan saja kau tidak bisa! Untung ... adikmu yang lebih cantik dan lebih pandai memuaskanku itu bisa memberiku keturunan, tidak sepertimu yang tidak bisa apa-apa!" Galang menunjuk ke arah ranjang, tempat seorang gadis dengan tubuh yang hanya tertutup selimut duduk bersandar pada headboard.
Galang melangkah menuju meja nakas, dia mengambil benda putih yang memiliki dua garis merah, lalu menunjukkannya kepada Airin. "Lihat ini, Airin ... lihat! Frita tengah mengandung anakku! Dia wanita sempurna yang bisa memberiku segalanya!"
Airin menoleh ke atas ranjang, sorot matanya jelas mengambarkan kepiluan yang saat ini ia rasa.
Frita sudah hamil? Bukankah itu berarti pengkhianatan ini sudah berlangsung cukup lama? Ya, Tuhan ... memikirkan sudah berapa lama suaminya melakukan hubungan terlarang ini, membuat dunia Airin seakan kiamat.
Semuanya terasa kian sadis karena wanita yang menghancurkan rumah tangganya adalah adik tirinya sendiri. Airin merasa seluruh oksigen yang ada di kamar ini seolah tersedot habis. Berkali-kali Airin memukul dadanya untuk mengusir rasa sesak yang membuat napasnya tercekat.
"Tega kamu Frita ... tega kamu menghancurkan rumah tangga kakakmu sendiri," isak Airin pilu.
"Jangan salahkan orang lain, Airin! Salahkan dirimu sendiri yang tidak berguna. Mulai hari ini kau bukan istriku lagi, karena aku akan menikahi Frita. Bereskan barang-barangmu dan segera angkat kaki dari rumahku! Rumah ini bukan tempat penampungan yang bisa ditinggali wanita sampah sepertimu!" seru Galang sadis, kejam, dan tak berperasaan.
Airin masih terpaku di tempatnya, dia masih syok dengan semua ini. Syok dengan perselingkuhannya suaminya. Syok dengan pengkhianatan adik tirinya. Syok dengan perkataan kejam Galang yang mengiris hati. Syok dengan penderitaan yang tak pernah lelah menemani sepanjang hidupnya.
"Kenapa masih diam di situ, Airin? Apa kau tuli? Aku bilang cepat kemasi barang-barangmu, dan pergi dari rumahku sekarang juga!" bentak Galang lagi.
"Fhiuuuh ...." Airin membuang napas berat dari mulut.
Satu tangan Airin mengusap dadanya yang sesak, sementara satunya lagi menghapus jejak air mata yang tadi mengalir deras di pipinya. Airin berusaha menguatkan hatinya, dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan pengkhianat seperti Galang dan Frita, atau harga dirinya akan semakin diinjak-injak.
Airin membuka lemari, lalu mamasukkan pakaiannya ke dalam tas, hari ini juga dia akan angkat kaki dari rumah ini. Meninggalkan kenangan buruk yang ia dapatkan selama pernikahannya dengan Galang.
Setelah tasnya terisi, Airin menghampiri Frita yang sedang tersenyum licik penuh kemenangan. "Silakan nikmati semua ini Frita, tapi satu yang perlu kau ingat, Tuhan tidak tidur!"
Mendengar ucapan Airin yang bernada ancaman itu, Frita tersenyum mencibir. " Sana pergi mengadu pada Tuhanmu, aku tidak peduli!"
Airin tidak ingin berucap apa pun lagi, dengan langkah terseok dia menyeret tasnya keluar dari kamar tersebut.
"Bye ... bye, Airin," ejek Frita sembari memandang Rendah Airin yang kemudian menghilang di balik pintu.
Airin melangkah meninggalkan pekarangan rumah Galang dengan perasaan kacau. Saat ini hujan turun mengguyur dengan deras, diiringi dengan petir yang menyambar saling bersahutan. Semesta seolah ikut menertawakan penderitaan yang dialami Airin.
Dengan tubuh basah kuyup dan menggigil kedinginan, Airin duduk di sebuah halte dan menunggu kalau-kalau ada ojek yang lewat, tapi hingga hujan mulai reda belum ada satu pun ojek yang lewat.
"Mbak mau ke mana?" tanya seorang pengendara motor yang juga tengah berteduh di halte yang sama.
"Saya mau ke daerah F," jawab Airin dengan suara gemetar, menyebut sebuah daerah di pinggiran Ibukota yang merupakan tanah asalnya.
"Oh, kebetulan saya juga mau ke sana. Ayo berangkat sama saya aja, kasihan Mbaknya di sini menggigil kedinginan," tawar pria tersebut.
Airin diam saja, dia tidak mengiyakan tawaran pria tersebut, tidak juga menolaknya. Airin tidak ingin percaya begitu saja kepada pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kalau pria itu orang jahat? Bisa saja nanti dia akan diperkosa, kemudian dibunuh dan lalu dibuang ke kali!
Bersambung.
Haii ... haii My Beloved Readers, ini karya ke empat aku di Noveltoon. Jangan sampe ada yang komen manggil Mbak, Mak, atau Mom, lagi ya. Hehe ....
Jangan lupa berikan dukungan kalian untuk karya ini ya, salam hangat, Reno.
Melihat wanita yang ia tawari tumpangan tidak merespon, pria itu pun melangkah menuju sepeda motor bebeknya.
"Ya sudah, kalau Mbak nggak percaya sama saya. Saya duluan, ya ...." Pria itu lantas menstater sepeda motornya.
Airin mulai berubah pikiran, bagaimana kalau sampai malam tidak ojek yang lewat. Berada di halte ini seorang diri sampai tengah malam, juga sama berisikonya dengan menerima tumpangan pria yang ada di hadapannya ini.
"Eh, tunggu sebentar, Mas," cegah Airin.
"Kenapa, Mbak?" tanya pria pengendara sepeda motor itu.
"Saya jadi ikut deh, masih boleh kan?" tanya Airin ragu-ragu.
"Ya sudah, ayo!" ajak pria itu.
Airin meletakkan tas besarnya di depan, baru kemudian ia naik ke boncengan pria tersebut. Sejurus kemudian motor yang mereka naiki mulai melaju membelah jalanan Ibukota menuju daerah F.
Sepanjang perjalanan Airin menggigil kedinginan, ingin rasanya dia memeluk pria yang memboncengnya itu untuk mendapatkan sedikit kehangatan.
Ah ... jangan, bagaimana kalau pria itu keberatan? Atau bisa jadi pria itu akan menganggapnya wanita murahan, yang sengaja ingin menggodanya!
Airin menggelengkan kepala, mencoba meraih kewarasannya. Hanya wanita gila yang akan memeluk pria asing tanpa tahu malu.
Airin harus mempertahankan harga diri, meskipun saat ini tubuhnya terus menggigil karena hawa dingin yang menusuk sampai ke sendi-sendi tulangnya.
Akhirnya Airin mendekap tubuh sendiri demi melawan hawa dingin yang menyiksa tersebut. Airin hanya bisa menggerutu sendiri melihat pria di depannya menggunakan jaket tebal lengkap dengan helmnya. Sementara dia di belakang menggigil kedinginan dengan pakaian yang basah kuyup.
Setelah satu setengah jam perjalanan, mereka pun tiba di daerah F. Pria itu mengantar Airin sampai ke depan rumahnya.
Airin turun dari boncengan, lalu mengambil tasnya yang ada di depan pria tersebut. Airin mengeluarkan uang dari dalam tas, lalu ia sodorkan kepada pria pengendara motor yang telah memberinya tumpangan.
"Ini untuk, Mas ... terimakasih atas tumpangannya," tutur Airin.
"Tidak perlu, Mbak. Saya bukan tukang ojek!" tolak pria itu dengan suara datar.
"Maaf, saya juga tidak menganggap Mas sebagai tukang ojek, tapi ambil saja uang ini sebagai pengganti uang bensin," ujar Airin tidak enak hati.
"Simpan saja, Mbak. Saya tidak mengharapkan imbalan!" tolak pria tersebut dengan tegas, lalu menstater motornya.
"Ehmm, tunggu Mas. Nama Mas siapa? Nama saya Airin." ujar Airin seraya mengulurkan tangan.
"Alviano, panggil saja Alvin." Pria itu menyambut jabat tangan Airin.
"Baiklah, Mas Alvin ... terimakasih atas tumpangannya," tutur Airin.
Pria itu mengangguk, lalu menarik gas sepeda motornya dan melaju pergi. Pria itu sebenarnya bernama lengkap Alexi Alviano Rahadi, yang merupakan seorang anak konglomerat kaya raya. Dia sedang menyamar untuk mengawasi proyek pembangunan apartemennya yang bermasalah di daerah ini.
Setelah pria baik hati yang memberinya tumpangan menghilang dari pandangan, Airin menyeret tasnya ke dalam rumah.
Sebenarnya tadi Airin ingin mengajak pria penolongnya itu mampir, untuk sekedar minum teh sebagai ucapan terimakasih. Sayangnya itu tidak mungkin, mengingat rumah ini telah tinggal selama bertahun-tahunnya, dan tidak ada apa-apa di dalam sana.
Airin Khairani Putri nama lengkapnya, seorang wanita yang baru saja diselingkuhi dan diceraikan oleh suaminya. Dia adalah wanita pemilik garis kehidupan malang, sangat bertolak belakang dengan indahnya nama yang tersemat pada fitrahnya.
Nasib buruk seperti tidak pernah lelah merundung hidup Airin. Dia sudah ditinggal mati sang ibunda saat berumur tujuh tahun, kemudian ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu yang memiliki umur satu tahun di bawah Airin.
Hidup bersama ibu tiri membuat Airin menjalani hari-hari yang keras, bahkan tak jarang dia harus menjadi objek pelampiasan kekesalan si ibu tiri. Pernah suatu hari Airin terlibat perselisihan dengan adik tirinya, habislah sudah Airin menjadi bulan-bulanan tangan ibu tirinya itu.
Kemalangannya masih belum berhenti saat Airin beranjak dewasa. Ayahnya yang sudah lama sakit-sakitan akhirnya pergi menyusul Ibunda tercinta untuk selamanya.
Kepergian ayahnya meninggalkan hutang yang cukup banyak di pundak Airin, mulai hutang untuk biaya pengobatan, sampai hutang untuk biaya kehidupan selama ayahnya tidak bisa bekerja mencari nafkah.
Saat itu Airin sempat dikejar-kejar oleh rentenir, sebelum akhirnya seorang teman karib ayahnya datang untuk melunasi hutang-hutang tersebut.
Dengan maksud memberi kebahagiaan untuk putri sahabatnya, pria paruh baya itu pun menjodohkan Airin dengan putranya yang berumur sepuluh tahun di atas Airin.
Saat itu Airin masih berusia 19-tahun, dan berstatus sebagai seorang mahasiswi semester tiga jurusan tata boga. Sebenarnya berat bagi Airin menghentikan pendidikannya, apalagi mengingat beratnya perjuangan yang ia lakukan agar mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan impiannya tersebut.
Namun, karena merasa hutang budi pada ayah Galang, Airin pun menyetujui perjodohan itu. Dia melepas pendidikannya, dan mengubur dalam-dalam cita-citanya untuk menjadi seorang chef. Semua itu Airin lakukan demi bakti kepada suami.
Alih-alih bahagia, pernikahan itu malah memberi neraka kehidupan untuk Airin. Suaminya adalah seorang pencemburu akut, juga tidak segan main tangan jika Airin melakukan kesalahan sepele.
Terlebih setelah ayah Galang meninggal, suaminya itu semakin berlaku semena-mena kepada Airin. Tapi Airin bisa apa? Dia hanyalah wanita penurut yang tidak banyak tingkah.
Puncaknya adalah hari ini, Airin yang baru saja pulang sehabis menghadiri acara amal di sebuah panti asuhan, menangkap basah suaminya sedang berbuat tidak senonoh dengan adik tirinya sendirinya.
Haruskah Airin bersukur dengan kejadian menyakitkan tadi? Ya, mungkin Airin patut bersukur. Meski hatinya tersakiti, tapi setidaknya itu membuat Airin terbebas dari jeratan suami binatangnya.
Airin membuka pintu rumahnya, dengan bantuan flash smartphonenya Airin mencari stop kontak lampu. Manik mata Airin langsung memindai ruangan penuh debu dan sarang laba-laba saat lampunya menyala, rumah ini benar-benar tidak terawat. Selama pernikahannya dengan Galang, suaminya itu memang tidak pernah memberi Airin izin untuk ke sini.
Airin mengucap sukur karena masih memiliki rumah ini, semua berkat almarhum mertuanya yang menguruskan sertifikat rumah ini atas nama Airin, sehingga ibu tirinya tidak bisa macam-macam.
Jika tidak, rumah ini pasti sudah lama dijual oleh ibu tirinya, dan Airin tidak akan memiliki tempat tinggal sekarang.
Airin melangkah menuju kamarnya, dia mengganti pakaiannya yang basah. Kemudian membersihkan ranjang seadanya lalu segera tidur.
Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagi Airin, dia pasti akan menghabiskan satu hari penuh untuk menata dan membersihkan rumahnya.
***
"Hati-hati di jalan ya sayang." Frita merapikan dasi Galang sebelum pria itu berangkat kerja.
"Aku pergi dulu!" Galang memberikan kecupan di bibir Frita, sebelum masuk ke mobilnya.
Frita tersenyum manis, dia menunggu mobil pria yang berhasil ia rebut dari kakak tirinya menghilang, baru kembali ke dalam rumah.
"Akhirnya ya, Ma. Airin sialan itu enyah juga dari sini, sekarang aku sudah menjadi nyonya besar di rumah ini," ujar Frita dengan bangga, seraya mendudukkan diri di samping wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya.
"Jangan senang dulu, kamu harus mendesak Galang untuk menikahimu secepatnya. Agar kita bisa menguras hartanya," ujar mama Reni mengingatkan putrinya agar tidak lengah.
"Mama tenang saja. Galang tidak bisa lepas dari aku! dia juga sudah berjanji untuk menikahiku secepatnya, karena saat ini aku tengah mengandung," sahut Frita.
"Kami pintar, Sayang. Itu baru anak mama!" puji mama Reni.
Mama Reni tersenyum puas, kesabaran mereka selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Putrinya sudah berhasil menyisihkan Airin, kini mereka pun bisa hidup enak, dan bergelimang kemewahan dengan harta milik Galang.
"Mama ganti baju sana!" ujar Frita.
"Memangnya kita mau ke mana?" tanya mama Reni.
"Belanja ...." Frita menunjukkan kartu debit dan kredit yang semalam diberikan Galang.
"Wah ... kamu memang hebat sayang!" Mama Reni berlari menuju kamarnya dengan penuh semangat.
Kapan lagi dia bisa berpoya-poya dan belanja sepuasnya seperti sekarang!
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan like dan komentarnya, ya. Terimakasih.
Airin Kharani Putri, 23-tahun.
***
Setelah hampir seharian membersihkan bagian dalam rumah. Sore hari ini Airin membersihkan halaman depan rumahnya yang sudah dipenuhi oleh rumput liar dan dedaunan kering.
"Airin!!" pekik seorang pejalan kaki dengan suara terkejut.
Airin yang sedang menyapu itu menoleh ke arah datangnya suara. "Sarah!"
Wanita berpenampilan modis yang mengenakan rok selutut, dengan atasan blouse berwarna biru itu melangkah memasuki halaman rumah Airin. Mereka adalah teman dekat yang tidak pernah bertemu lagi semenjak Airin diperistri oleh Galang.
"Ya, ampun, Airin! Aku kangen banget sama kamu!" pekik Sarah seraya memeluk Airin.
"Aku juga kangen kamu, Sarah!" Airin membalas pelukan rindu temannya itu.
Setelah beberapa saat Sarah pun mengurai pelukannya. Lalu manik mata Sarah memindai penampilan Airin dari ujung kaki sampai ujung rambut. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah dengan penampilan Airin.
"Kamu kok masih gini-gini aja sih, Rin?" tanya Sarah tanpa maksud menyindir.
"Gini-gini, gimana?" Airin mengkerutkan dahi.
"Ya, nggak ada yang berubah sama penampilan kamu. Kamu kan punya suami kaya, aku pikir kamu sudah berubah jadi wanita sosialita dengan segala penampilannya yang glamour itu, makanya kamu jadi nggak mau lagi datang ke sini lagi," celutuk Sarah.
Airin tersenyum hambar, pernikahannya dengan Galang bukanlah pernikahan bahagia seperti yang dipikirkan orang-orang.
"Aku masih tetap seperti ini, Sar. Dan kenapa aku nggak pernah datang ke sini? Itu karena mantan suami aku nggak pernah kasih aku izin untuk ke sini," jelas Airin.
"Mantan? Apa maksud kamu?" tanya Sarah heran.
"Panjang ceritanya. Masuk, yuk! Nanti aku bakal cerita sama kamu," ajak Airin.
Sarah mengangguk setuju, mereka pun masuk ke dalam rumah. Airin meninggalkan Sarah di ruang tamu, untuk pamit ke dapur sebentar.
Beberapa menit kemudian Airin kembali dengan membawakan 2-gelas teh hangat di tangannya, dia letakkan minuman itu di atas meja sebelum mendudukkan diri di samping Sarah.
Airin menghela napas berat, lalu mulai menceritakan semua yang dia alami selama pernikahannya dengan Galang, sampai akhirnya dia diceraikan setelah memergoki Galang bermain gila dengan adik tirinya.
"Ya, Tuhan ... iblis banget ya mereka!" Sarah ikut merasa panas setelah mendengar cerita Airin.
Sebagai teman dekat Airin, Sarah memang sudah banyak tahu tentang kelakuan busuk ibu dan adik tiri Airin itu.
"Kamu sekarang kerja di mana?" tanya Airin mengalihkan pembicaraan.
"Aku kerja di proyek pembangunan apartemen di ujung kampung kita tuh, bagian pemasaran. Ya gajinya lumayan sih, semenjak kerja di sana aku bisa nabung dikit-dikit. Apalagi misalkan ada unit yang kejual, insentifnya juga lumayan besar," papar Sarah.
"Terus kalau nanti pembangunan apartemennya sudah selesai dan unitnya sudah laku semua, apa kontrak kita langsung diputus?" tanya Airin.
"Bisa jadi iya, bisa jadi nggak. Tergantung kinerja kita juga sih, kalau kinerja kita bagus, masih ada kemungkinan untuk ditarik ke kantor pusat. Lagian aku belum mikir ke sana sih, karena proyeknya itu masih lama. Mereka itu lagi membangun kota mandiri, Airin. Nanti di dalamnya ada komplek perumahan elit, Mall, rumah sakit, pokoknya lengkap deh, nggak cuma gedung apartemen doang. Jadi ya, untuk tiga sampai empat tahun kedepan ini kerjaan aku masih aman."
Airin mengangguk-angukkan kepalanya. "Kira-kira di sana masih ada lowongan nggak? Aku bingung nih mau kerja apa?"
"Kurang tau sih! Tapi kalau kamu memang mau, besok aku coba tanyain sama atasan. Aku bakal bantu kamu sebisa mungkin," ujar Sarah.
Airin mengembangkan senyumnya. "Makasih ya, Sar. Kamu emang best friend aku!"
"Nggak usah sungkan gitu kali, Airin ... aku coba dulu, ya. Semoga aja masih ada lowongan buat kamu."
Airin mengangguk. Berjam-jam mereka mengoborol santai, sampai lupa waktu. Hari sudah semakin sore, matahari pun mulai terbenam di peraduannya, dan Sarah akhirnya pamit pulang.
***
Keesokan harinya Airin pergi belanja kebutuhan pokok ke pasar terdekat, dia harus berhemat karena uang yang ia miliki juga tidak banyak.
"Eh, bukannya kamu Airin, ya?" celutuk seorang wanita.
Airin menoleh ke arah suara yang datang dari samping. Tampak dua orang wanita berpenampilan menor, yang berumur sekitar 40-tahunan sedang memandangi Airin dengan tatapan aneh.
Tentu saja tatapan aneh itu karena penampilan Airin yang tidak berubah, tetap culun seperti sebelumnya, meski sudah diperistri oleh orang kaya.
"Eh, Tante Endang sama Tante Santi," sapa Airin ramah pada dua wanita yang tak lain adalah warga kampungnya itu. "Iya saya Airin, Tante berdua apa kabar?"
"Kalau kita sih seperti yang kamu lihat, terus menjadi semakin cantik setiap harinya. Ya kan, Jeng?" ujar bu Santi kepada temannya.
"Ho'oh, nggak seperti kamu yang penampilannya gini-gini aja," sahut bu Endang sambil memandangi Airin dengan tatapan merendahkan.
"Kirain setelah jadi istri orang kaya, kamu itu penampilannya bakal berubah. Ya ... seenggaknya jadi bisa dandan dikit, lah! Emangnya nggak malu sama status?" imbuh bu Santi.
"Saya nyaman dengan penampilan saya yang seperti ini, Tante ... dan saya nggak ada masalah!" ujar Airin dengan nada yang ditekankan.
"Iya sih, namanya juga udah bawaan orok, pasti susah mau berubah mah!" cibir bu Santi.
"Eh, ngomong-ngomong kamu kapan balik ke sini? Suami kamu mana? Masa iya sih istrinya dibiarin belanja di pasar tradisional seperti ini, kan biasanya orang kaya itu belanjanya di supermarket," cecar bu Endang.
Airin tersenyum hambar, lalu menyahut perkataan bu Endang. "Saya sudah pisah dengan suami saya, Tante. Makanya saya balik ke sini."
"Maksud kamu cerai?" tanya bu Santi dengan mata membola, dan Airin pun menganguk.
"Nggak usah kaget gitu kali, Jeng!" Bu Endang menepuk bahu bu Santi sebelum melanjutkan ucapannya, "Kamu lihat, penampilan si Airin aja seperti ini, ya wajar kali diceraikan suaminya, orang Airinnya nggak bisa ngurus diri!"
"Ho'oh, apalagi orang kaya. Pasti malu dong punya istri model beginian!" Bu Santi menambahkan.
Airin menghela napas jengah, telinganya mulai panas mendengar celotehan dua wanita julid ini.
"Maaf ya, Tante. Saya pamit dulu mau lanjut belanja," ujar Airin hendak membalikkan tubuhnya untuk menjauh dari duo ember itu.
"Eh, Airin ... tunggu bentar dong!" panggil bu Santi.
"Apa lagi, Tante?" sahut Airin mulai kesal.
"Tante ingatin nih, ya ... lebih baik kamu itu belajar dandan dari sekarang. Kalau begini aja, gimana mau laku lagi?" celutuk bu Santi.
"Ho'oh, kamu itu masih muda lho, masa iya mau jadi janda sampai tua!" tambah bu Endang.
Airin mendecakkan bibirnya karena rasa kesal yang sudah memuncak di ubun-ubun. "Tante, dengar baik-baik, ya ... saya nyaman dengan penampilan saya yang seperti ini. Kalaupun saya akan jadi janda seumur hidup, itu urusan saya, dan juga nggak merugikan Tante sama sekali, Kan?"
"Yeee ... dikasih saran malah ngeyel!" kesal bu Santi dan bu Endang bersamaan.
Airin berbalik badan, lalu meninggalkan kedua wanita ember itu dengan perasaan kesal. Memang sejak kecil Airin sudah terbiasa menjadi objek hinaan orang-orang di sekitarnya.
Airin tidak mengerti, entah apa untungnya bagi orang-orang itu merendahkan dirinya, kepuasan batin, kah?
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberi like dan kementarnya, ya.
Terimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!