Hay gaess 👋 jumpa lagi di karya baru saya nih, jangan lupa vote, like sama komen ya 🤗
Happy Reading....
"Menikah dengan saya, maka semua hutangmu akan saya lunasi!"
Suster Kinar mendongak tak percaya menatap dokter tampan di depannya.
"Ap-apa? Menikah?" gumamnya terbata.
"Bukan secara resmi. Pernikahan siri. Aku hanya butuh kamu untuk memberikanku seorang anak. Setelah anak itu lahir, kamu bisa bebas," ucap sang dokter datar.
"Nikah siri?" tanya Kinar menatap pria berkemeja krem dengan snelli dokternya.
"Ya, silahkan kamu pikirkan. Besok datangi saya jika kamu setuju," balas pria itu bangkit dari duduknya dan berlalu dari hadapan Kinar yang masih tak percaya akan penawaran pria tadi.
Kinar sudah memikirkan keputusannya semalaman. Berawal dari jatuhnya kertas tagihan yang ia dapatkan dari pihak bank dan ditemukan oleh dokter spesialis bedah itu hingga sampai pada penawaran yang membingungkan untuk Kinar.
"Aku harus gimana?" gumam Kinar menatap pekatnya malam lewat jendela kamarnya.
"Kalau saja Ibu sama Bapak masih ada... aku pasti tak akan sekalut ini...."
Kinar mendongak menghalau cairan bening yang hampir jatuh dari wajahnya. Ayahnya meninggal di usia Kinar yang ke 17 tahun, dan ibunya menyusul 5 tahun kemudian. Hutang 100 juta pada bank juga itu karena pengobatan untuk ibunya. Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Ibunya dipanggil ke pelukan-Nya.
"Gak rugi bukan kalau aku menerima tawaran dokter Radit?" gumam Kinar dengan senyum tipis.
Kinar segera menyusul Radit ketika netranya melihat lelaki itu hendak memasuki lift.
Kinar menghadang lift yang hendak tertutup itu, dan ikut masuk bergabung bersama lelaki yang hanya menatapnya datar tanpa ekspresi.
"Ehm, maaf, Dokter Radit... Saya setuju akan penawaran Anda kemarin," ucap Kinar menunduk sungkan.
"Baik. Besok kita laksanakan akadnya," balas Dokter Radit singkat.
Denting lift yang terbuka membuyarkan lamunan Kinar.
"Tunggu!" cegatnya ketika Radit hendak masuk ke ruangannya.
"Ada apa?" tanya lelaki itu menatap tajam Kinar.
Kinar memilin jari gugup.
"Apa Anda benar-benar akan melunasi semua hutang saya?" tanya Kinar menatap penuh selidik.
"Kamu meragukan saya? Tenang saja, saya bukan orang yang ingkar janji."
Kinar mengangguk kaku. Radit berlalu mendapatkan anggukan dari perempuan itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Kinar Ananda Putri Binti Rahman (Alm) dengan mas kawin 10 gram mas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
Suara lantang itu terdengar di aula masjid yang berada di dekat rumah Kinar. Ya, hari ini ia melangsungkan akad itu bersama sang tuan dokter pemilik rumah sakit tempatnya bekerja.
Proses akad itu hanya dihadiri oleh beberapa orang. Diantaranya, asisten Dokter Radit, dan 2 teman lelaki itu. Sedangkan di pihak Kinar, ada paman nya sebagai wali, serta Bibi dan sepupu lelakinya. Ya, hanya sesederhana itu. Ia juga hanya memakai kebaya sebatas lutut dipadu dengan kain stelannya yang ia gunakan saat wisuda dulu.
"Kemasi segera barangmu!" ucap Dokter Radit ketika mereka sudah berada di luar masjid.
"Kita akan kemana?" tanya Kinar bingung.
"Kamu istriku sekarang. Tentu saja kamu akan ikut ke tempatku," ucap lelaki itu datar, sambil menggulung lengan kemejanya.
Kinar menurut. Segera kembali ke rumahnya yang berjarak 50 meter dari masjid. Diikuti oleh Dokter Radit dan asisten lelaki itu. Sedangkan, dua temannya tadi sudah pamit pulang lebih dulu.
Kinar menatap kuitansi catatannya hutangnya yang telah lunas di tangannya. Setelah membawanya masuk ke dalam apartemen lelaki itu, Radit memberikan kuitansi itu padanya. Kinar bersyukur setidaknya Dokter Radit tak mengingkari janjinya.
Langit telah berganti dengan cahaya gelap. Kinar telah membereskan pakaian yang tadi ia bawa. Memasukkannya ke dalam lemari yang bersebelahan dengan pakaian Dokter Radit. Sedangkan, lelaki itu entah kemana.
Kinar melipat mukenanya setelah selesai sholat maghrib. Pintu kamar yang dibuka membuatnya menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata tajam sang suami. Lelaki itu tampak sudah segar, mungkin baru selesai mandi.
"Kamu masak?" tanya lelaki itu datar.
Kinar mengangguk setelah meletakkan mukenanya di rak baju.
"Ehhmm, Dokter ingin makan sekarang? Sa--saya akan menyiapkannya," ucap Kinar gugup.
Radit yang masih berdiri di ambang pintu kamar mengangguk. Berlalu menuju dapurlebih dulu diikuti Kinar di belakangnya.
Kinar segera menyiapkan makanan yang tadi sore sudah ia masak. Menyiapkan dua piring dan mengambilkan nasi untuk Radit. Semua itu Kinar lakukan di bawah pengawasan wajah datar Radit yang telah duduk anteng.
"Silahkan, Dokter!" ucap Kinar mengangsurkan piring yang telah ia isi nasi dan lauknya.
Radit menerima tanpa suara. Kinar menghela napasnya gugup. Ikut duduk di kursi berseberangan dengan Radit, dan mulai menikmati makan malam mereka.
Kiinar terkaget merasakan embusan hangat itu di pucuk kepalanya. Ia menoleh dan netranya bertatapan dengan netra cokelat Radit.
"Malam ini... malam pengantin kita, kan!" Bisikan halus itu membuat Kinar mengepalkan jemarinya yang berada di kedua sisi tubuh.
Radit melingkarkan tangannya di pingggang ramping Kinar. Perempuan itu sempat tersentak kaget, tapi segera menguasai diri.
"Kamu tahu kan tugas istri di malam pengantin nya?"
Kinar mengangguk. Pasrah ketika lelaki itu memberikan kecupan-kecupan singkat di sepanjang bahunya. Ia hanya menggigit bibirnya resah ketika lelaki itu menuntunnya menuju ranjang mereka.
"Lakukan tugasmu malam ini dan berikan aku seorang anak!"
Kinar tak ingin menceritakan kejadian selanjutnya. Karena pikirannya langsung nge blank begitu lelaki itu menyentuhnya di titik-titik sensitive tubuhnya.
Bersambung....
"Kamu sudah 28 tahun, Radit! Mama juga sudah berumur, dan ingin segera menimang cucu dari kamu."
Radit menghela napas lelah. Selalu pembahasan ini yang diangkat jika ia pulang ke rumah orang tuanya. Itulah sebabnya ia lebih suka tinggal di apartemen. Ia pusing mendapat desakan untuk menikah dari mamanya. Sedangkan, trauma masa lalu masih selalu membayanginya.
"Nanti, Ma. Lagi pula jika aku tidak menikah, aku bisa adopsi anak," jawab Radit datar.
Sonia menggeleng tak habis pikir. Sedangkan, Ghifari hanya memperhatikan anak dan istrinya itu.
"Mama mau anak kandung, Radit. Bukan anak adopsi," ucap Sonia kesal.
"Tunggu saja ya, Ma. Nanti aku bawa anakku ke hadapan Mama."
Radit bangkit dari kursinya setelah menyekesaikan makan malamnya. Ah, ia mendadak pusing mendengar ucapan mamanya tadi.
...****...
Pagi ini Radit sudah rapi dan siap untuk ke rumah sakit. Langkahnya ringan menyusuri koridor rumah sakit yang tampak lenggang. Mungkin karena masih pagi. Ia masuk ke lift, dan menekan tombol 3 di mana ruangan nya berada.
Netra Radit tak sengaja menangkap sebuah kertas terlipat di lantai ketika ia keluar dari lift. Radit membuka lipatan kertas, dan sebuah kerutan di keningnya, disusul sunggingan tipis di bibirnya ketika membaca tulisn di kertas itu.
"Mas Radit!"
Radit yang melamun mengingat kejadian beberapa hari lalu pun tersadar. Ia menoleh pada Beni--asisten merangkap sopirnya. Setelah dua hari ia libur, hari ini ia kembali bekerja.
"Sudah sampai ya, Pak?" gumam Radit membuka pintu mobil.
"Mas Radit ngelamun aja dari tadi," ucap asistennya.
Radit mengendik acuh. Keluar dari mobil setelah berpesan pada asistennya untuk menjemputnya pulang nanti. Ia memang tak lagi mengendarai mobil sendirian sejak kejadian mengerikan 2 tahun silam. Ia tak ingin mengingatnya, nanti saja ia ceritan kisah itu.
...****...
Kinar berangkat ke rumah sakit setelah Radit. Karena lelaki itu tak ingin ada yang tahu mengenai pernikahan siri mereka. Ia diantar oleh Pak Beni. Di pikiran Kinar ia masih saja terus terbayang-bayang aktivitas panas malam pengantin mereka.
"Do--Dokter!"
Kinar menahan dada Radit. Napas keduanya memburu berkejaran.
"Ada apa?"
Radit menatap tajam karena ulahnya dihentikan.
"I-ini yang pertama untuk saya. Ja-jadi pelan-pelan saja," ucap Kinar terbata.
Radit masih berekspresi datar dan mengangguk.
"Baik. Dan tolong jangan panggil saya dokter. Kamu bisa panggil apapun tapi jangan memanggil saya dengan sebutan dokter."
Kinar mengangguk. Radit kembali melanjutkan kegiatannya.
"Mas!" rintih Kinar menahan suaranya ketika Radit memberikan sentuhan-sentuhan basah di lehernya.
"Kinar!"
"Astaga!"
Kinar terkaget mendapatkan tepukan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati tatapan penuh tanya dari suster Lina.
"Wajah kamu merah! Kamu sakit?" tanya suster Lina cemas.
Kinar menggeleng cepat. Wajahnya memerah bukan karena sakit, tapi pikirannya yang melanglang buana lah yang membuat panas menjalari wajahnya.
"Gak. Saya gak sakit, sus. Emang agak panasan ruangannya," jawab Kinar ngasal.
"Aneh kamu. Ruang ber AC gini dibilang panas."
Suster Lina berlalu meninggalkan Kinar yang masih berdiri di depan pintu ruang mawar.
"Aduh! Aku kok mikirnya ke sana terus ih, kotor banget ini otak!" gerutu nya menggaruk kepala yang tak gatal.
..........
Kinar menoleh pada rombongan dokter yang ada di ujung koridor ruang UGD. Ia baru saja keluar dari mushola selesai melaksanakan sholat dzuhur. Di antara para dokter itu, ada Dokter Radit yang entah kebetulan saja tatapan mereka bertemu beberapa detik sebelum lelaki itu yang memutus kontak mata lebih dulu. Kinar menunduk kikuk. Ah, kenapa wajahnya terasa panas.
"Siang, suster Kinar!"
Kinar mengembangkan senyum tipis mendapatkan sapaan dari Dokter Ardi--dokter muda juga di rumah sakit ini selain Dokter Radit.
"Eh, siang dokter!" balas Kinar kikuk. Karena Radit, dan 3 dokter wanita yang sudah berusia paruh baya itu memperhatikan interaksinya dengan Dokter Ardi.
"Mau makan siang bareng?"
Kontan saja tawaran dari Dokter Ardi itu mendapat godaan dari 3 dokter wanita yang berdiri di sampingnya. Sedangkan, Radit masih berwajah datar.
Kinar menoleh pada Radit sepintas, dan kembali pada Dokter Ardi.
"Ehm, maaf Dokter. Saya sudah janji akan makan siang dengan suster Lina," jawab Kinar sepenuhnya jujur. Ia mana mungkin makan berduaan dengan lelaki lain di saat statusnya sudah istri orang, apalagi lelaki itu mengajaknya makan di hadapan suaminya sendiri. Meski status pernikahan mereka ini tidak kuat, Kinar harus menghargainya. Ia harus menjaga martabat nya sebagai seorang istri.
"Ah, sayang sekali. Ya, sudah kalau begitu kapan-kapan kita bisa makan bersama, kan?" Dokter Ardi tak menyerah.
Kinar hanya mengangguk saja sungkan. Radit berjalan lebih dulu diikuti 3 dokter wanita tadi dan Dokter Ardi yang mengembangkan senyum senang.
Kinar menatap punggung Radit yang telah menghilang di tikungan koridor.
"Mas Radit sudah makan belum, ya?" gumamnya.
Kinar selalu membawa bekal jika ia shift pagi. Ia akan makan menemani suster Lina di kantin dan memakan bekalnya sendiri yang ia masak dari rumah. Kebiasaannya itu tak ia hilangkan meski ia tinggal di apartemen Radit. Seperti saat ini, ia menimbang tepak di tangannya, dan ruangan Radit yang tertutup. Apakah lelaki itu sudah makan di kantin?
Kinar sibuk sendiri dengan perkiraannya sehingga tak menyadari ketika pintu ruangan Radit terbuka, dan pria itu keluar dari sana.
"Ngapain kamu?" tanya Radit datar melihat Kinar yang berdiri di depan pintu ruangannya.
Kinar berdiri kikuk, "eh, Mas sudah makan siang?"
Radit terdiam beberapa saat. Memperhatikan Kinar, dan menangkap kotak bekal yang berada di tangan kanan perempuan itu.
"Belum."
"I-ini saya kebetulan bawa dua," ucap Kinar menunduk. Tak berani beradu pandang dengan netra tajam Dokter Radit.
Radit tak menyahut. Membuka lebar pintu ruangannya, dan mengendik dagu mengizinkan Kinar masuk. Suasana begitu hening ketika Kinar masuk dan membawa tepaknya ke atas meja di ruangan Radit.
Kinar hendak berlalu keluar, tapi Radit menghentikannya.
"Temani saya makan. Kamu juga belum makan, kan?"
Kinar ingin menolak. Takut jika nanti ada yang masuk ke ruangan lelaki itu dan memergoki mereka.
"Pintunya sudah saya kunci," ucap Radit seolah tahu apa yang ada di pikiran Kinar.
Kinar berjalan dan duduk di sofa samping Radit. Ia buka tas kotak bekalnya. Kotak bekalnya ini memang ada 2 tingkat, seperti rantang. Ia buka kotaknya, menyodorkan sendok yang sudah ia lap dengan tisu yang selalu ia bawa kemana-mana.
Radit menerima kotak bekal yang diberikan Kinar. Ia sangat lapar, karena tadi pagi buru-buru berangkat sehingga tak sempat sarapan. Begitu sesuap masuk ke mulutnya, Radit harus mengakui jika masakan Kinar begitu enak dan cocok di lidahnya.
Dua orang itu makan dengan hening tanpa ada percakapan. Kinar yang sesekali melirik Radit, dan merasa senang melihat lahapnya lelaki itu memakan masakannya. Ia hanya menyimpan kesenangannya itu dalam hati.
...Bersambung.......
Kinar dan Radit menikmati makan malam mereka dengan hening seperti biasa. Hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring mengisi kesunyian ruang makan apartemen itu.
"Kamu pacaran sama Dokter Ardi?" tanya Dokter Radit datar memulai obrolan. Ia menatap sekilas Kinar dengan netra tajam nya.
"Hah?" Kinar menatap tak mengerti lelaki di depannya. Maksudnya gimana?
"Saya tahu kamu dengar apa yang saya katakan," ucap Dokter Radit datar. Kembali melanjutkan suapannya.
Kinar merengut. Kenapa sih Dokter satu ini tidak bisa sedikit saja bicara santai. Coba kalau bicaranya dengan nada santai dan baik-baik pasti Kinar akan dengan senang hati meladeninya.
"Nggak. Saya gak pacaran sama Dokter Ardi!" sangkal Kinar cepat.
Ia memang tidak ada hubungan se spesial itu pada dokter itu. Memang Dokter Ardi selalu menunjukkan sikap pendekatan itu, tapi Kinar memang tak berniat menjalin hubungan apapun dengan seorang pria saat itu, tapi ternyata ia akhirnya malah bersama Dokter Radit sekarang.
"Terserah kamu mau pacaran dengan siapa saja, tapi nanti... setelah kamu lepas dari status istri siri saya!" Radit menyahut datar.
Kinar menunduk dalam. Menatap piringnya tak berselera lagi mendengar ucapan lelaki di depannya itu. Siapa juga yang mau main serong sih? Lelaki ini benar-benar tak bisa dimengerti oleh Kinar.
...****...
"Duh, Dokter Radit sama Dokter Ardi ganteng banget ya, Kin?" tanya Suster Lina ketika mereka duduk di kursi besi di depan ruang Anggur--ruang rawat anak-anak. Ketika melihat Dokter Radit dan Dokter Radit yang berbicara serius di ujung koridor.
"Hem!" sahut Kinar tak minat. Ia sibuk dengan handphonenya. Membaca-baca berita di portal aplikasi kesukaannya.
"Mereka belum ada tanda-tanda punya pasangan gitu, Kin?" tanya Suster Lina lagi. Tak mengalihkan tatapannya dari wajah serius kedua dokter muda itu.
"Tanya sendiri lah, sus. Saya mana tahu," sahut Kinar acuh.
"Eh, tapi Kin. Dengar-dengar ya dulu tuh Dokter Radit sempat mau menikah di usianya yang ke-26 tapi nyatanya pernikahan itu gagal."
Kinar yang tadi sibuk dengan handphonenya, kini menatap Dokter Lina tertarik. Ia tertarik akan cerita tentang Dokter Radit. Lelaki minim ekspresi itu memang susah sekali ditebak dan dikulik masa lalunya.
"Oh, ya?" tanya Kinar serius.
"Iya. Tapi gak tahu juga tiba-tiba pernikahan dibatalkan padahal undangan sudah disebar," ucap Suster Lina berbisik. Takut jika ada yang mendengar jika mereka sedang bergosip sekarang.
"Serius?" tanya Kinar ikut berbisik.
Suster Lina mengangguk.
Keduanya langsung terdiam ketika dua dokter itu berjalan melewati mereka. Ah, Kinar merasa kecewa karena mereka berpapasan tapi tak saling menyapa. Kesal sekali rasanya ketika Radit tak mau repot-repot melirik nya. Sedangkan, Dokter Ardi sendiri sempat melempar senyum ramahnya pada ia dan suster Lina. Lelaki itu memang minim ekspresi sekali. Apakah begitu susah untuk bersikap ramah pada orang lain?
****
Kinar kebagian shift malam hari ini. Ketika ia hendak masuk kamar setelah membereskan sisa makan malamnya bersama sang suami, ia melihat lelaki itu sudah rapi. Ia mengenakan stelan kerjanya. Apa lelaki itu ada operasi?
"Emm, Mas saya mau pamit berangkat dulu!" ucap Kinar di ambang pintu kamar.
Radit yang sedang bercermin menyisir rambutnya menoleh. Meletakkan sisir, lelaki itu menyambar sneli dokternya dan tas hitamnya.
"Bareng saya. Pak Beni yang akan mengantar kita," ucap lelaki itu datar berjalan menuju pintu kamar.
Kinar mengangguk, menyingkir dari sisi pintu lalu mengikuti Dokter Radit yang telah berjalan lebih dulu. Ah, pernikahan ini tampak kaku. Tentu saja mereka hanya menikah demi tujuan masing-masing, bukan hal seperti cinta dan apalah itu.
Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam ketika Kinar keluar dari ruang rawat, menyelesaikan tugasnya. Ia duduk sejenak di kursi besi depan ruangan, memijit keningnya yang berdenyut.
"Ngantuk banget, Kin!"
Suster Lina yang juga baru keluar dari ruang rawat ikut duduk di samping Kinar.
"Gak istirahat memang nya tadi siang, Mbak?" tanya Kinar menyandarkan kepalanya di sabdaran bangku besi.
"Nggak. Siang tadi repot bantuin Viona yang mau ke Malang," sahut Suster Lina lesu.
"Ya, udah tidur aja dulu sana, di ruangan. Nanti kalau urgent banget aku panggil," ucap Kinar tak tega melihat mata sayu rekannya.
"Beneran gak apa-apa kamu kutinggal sendirian?" Suster Lina menatap tak enak pada Kinar.
Kinar mengulas senyum, "gak apa-apa. Lagian kita sudah urus keperluan pasien, kan? Tinggal cek obat aja sama infus kalau udah habis."
Suster Lina mengangguk. Berpamitan pada Kinar untuk berlalu ke ruang istirahat khusu suster. Tinggalah sekarang Kinar sendirian duduk di depan ruang rawat itu. Membunuh jenuh, Kinar membuka handphone nya. Mencari bacaan membuang bosan.
Namun, suara benda jatuh yang begitu nyaring membuat Kinar menoleh ke sumber suara. Ia melihat seorang wanita paruh baya berpakaian pasien membawa tiang infusnya itu menjatuhkan benda yang ia bawa. Bergegas, Kinar mengantongi handphonenya dan membantu pasien itu.
"Ibu kenapa keluar sendiri? Ibu di ruang mana? Biar saya antar," ucap Kinar ramah. Membantu memapah wanita paruh baya itu. Mengambil plastik yang jatuh tadi.
"Di ruang Anggrek, sus."
Kinar mengangguk. Mengantarkan pasien itu ke ruang Anggrek. Kebetulan sekali, saat ia masuk ke ruang Anggrek itu tampak berisik. Ia mendapati Dokter Radit dan seorang remaj perempuan yang mengoceh pada sang dokter.
"Mama!" Seorang remaja perempuan yang tadi beradu mulut dengan Dokter Radit langsung menghampiri wanita baya yang dipapah Kinar.
"Mama kemana tadi? Aku khawatir banget gak menemukan Mama di ruangan ini," ucap remaja perempuan itu yang matanya tampak habis menangis.
"Tadi Mama lapar. Jadi, jalan ke kantin bawa cari cemilan," jawab wanita baya itu.
Drama ibu dan anak itu disaksikan oleh Kinar dan Dokter Radit.
"Ibu istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong saya," ucap Kinar membantu wanita baya itu berbaring di brankar nya.
Dokter Radit masih menatap itu tanpa ekspresi.
Remaja perempuan itu menunduk di hadapan Radit. Kinar meneliti itu dengan bingung.
"Ma-maaf ya, Dokter! Sudah bikin keributan," ucap remaja perempuan itu.
"Hem!" sahut Radit datar, dan berlalu keluar dari ruangan itu.
Kinar pamit keluar pada ibu dan anak itu setelah menyelesaikan tuganya. Ia lihat punggung Radit yang telah menghilang di balik belokan. Ah, kesal sekali rasanya hubungan seperti ini.
"Baru juga seminggu kok udah gak tahan saja sama hubungan seperti ini," gumam Kinar lirih.
"Berpapasan tapi tak menyapa!"
Kinar menoleh dan tampak terkejut melihat seorang wanita baya berpakaian pasien yang berdiri di belakangnya. Wanita baya itu tampak cantik, meski wajahnya terlihat pucat.
"Eh, ibu kenapa di luar?"
...Bersambung.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!