Apa yang salah dari hiasan pelaminan bertabur bunga plastik melingkar? Lampu yang berkelip? Gelas-gelas berkaki ramping yang diisi dengan minuman warna merah, oren dan hitam? Lalu, celotehan dari tamu undangan yang membuat telinga Arden berasa tuli.
Semua orang di sana tidak ada yang menganggunya. Baik itu lampu, bunga, suara-suara yang menjengkelkan, tetapi Arden merasa mereka semua tengah mengejek ketidakberdayaan seorang pria yang berada dalam acara pertunangan sahabatnya.
Apa sahabat? Sejak kapan? Arden harus meralatnya. Ia tidak bersahabat dengan wanita gendut yang memakai gaun seperti cinderella. Wanita itu malah tertawa cekikikan bersama pria tampan keturunan asing.
Arden lupa dari mana pria bule itu berasal. Amerika atau Kanada tidak penting baginya. Yang menjadi masalah adalah dirinya. Ada yang salah, hatinya, kah? Atau masalah persaingan antara ia dan Kayla.
Wanita berbadan bongsor itu telah bertunangan. Pria yang menjadi calon suaminya begitu tampan, bahkan bisa dibilang mengalahkan Arden. Pemahaman itu berdasarkan mata dari Aretha yang ikut datang dan Kayla sendiri tentunya.
Menurut Arden sendiri, ia adalah pria paling menarik dan ganteng. Tidak peduli jika ada yang mengatakan ia narsis, tetapi memang begitu kenyataannya. Bola matanya hitam pekat. Tinggi seratus tujuh puluhan serta tubuh kekar menyerupai sang ayah, Kevin. Kedua orang tuanya keturunan campuran. Wajar, Arsen memiliki tampang memukau.
Alisnya melintang sempurna. Hidung sangat jelas menjulang tinggi, kulitnya putih serta bentuk bibir sedikit memiliki ketebalan. Namun, kenapa sampai sekarang ia belum memiliki pendamping? Hal ini menjadi ejekan musuh terbesarnya sedari kecil, yaitu Kayla.
"Kamu sudah kasih selamat buat Kayla?" tanya Aretha.
"Apa harus?" Arden malah balik bertanya.
"Haruslah! Jangan bilang kamu enggan karena merasa tersaingi?"
"Kamu tau sendiri aku malas bertatapan muka dengannya. Malah disuruh kasih ucapan selamat. Aku pulang duluan, deh," kata Arden.
"Kasih selamat dulu. Om Raka tadi nyariin kamu," sahut Davin yang datang bersama sang buah hati, Daren.
"Tadi mama dan papa juga. Mending kamu kasih selamat sana. Umur sudah tua masih aja mau musuhan," ucap Aretha menambahkan.
Arden mengembuskan napas kasar. Jika keinginan saudarinya tidak dituruti, maka Aretha tidak akan pernah berhenti untuk menyuruhnya naik ke atas pelaminan.
Langkahnya terasa berat seakan berjalan di atas bebatuan tajam tanpa mengenakan alas kaki. Namun, untuk lari dari acara ini tidaklah mungkin. Ada banyak mata yang mengawasi dan pertanyaan jika sampai ia tidak datang memberi ucapan selamat kepada Kayla.
"Kenapa langkah Arden seperti pengantin?" tanya Davin, yang melihat iparnya enggan untuk berjalan.
"Kaki Arden bisulan," jawab Aretha.
Seharusnya Arden berpura-pura sakit, sibuk atau apa pun itu, asalkan ia tidak hadir di acara pertunangan ini. Tapi di lain sisi, Arden juga harus hadir karena Kayla akan beranggapan ia malu.
Dalam hati Arden mengumpat, segala macam serapah ia utarakan hanya dalam hatinya. Mengutuk Steve dan Kayla yang berbahagia, tetapi bagi Arden pasangan itu seperti menertawakan dirinya.
Setelah penuh perjuangan akhirnya, Arden sampai di belakang tamu yang memberi ucapan selamat. Seorang pria dan wanita. Mungkin itu adalah teman Kayla, dan Arden harus menunggu karena malah ada sesi foto.
Semakin menjadi ia mengutuk acara pertunangan Kayla. Arden tidak peduli, ia menerobos meraih tangan Steve.
"Selamat untukmu," ucap Arden.
"Terima kssih," balas Steve.
Astaga! Steve memang tampan. Arden ingin mencungkil dua bola mata kebiruan milik pria itu. Tubuh kekar dibalut kemeja batik. Tingginya hampir sama dengan Arden, rahang tegas. Sungguh bibit unggul yang menjanjikan.
Arden mencondongkan tubuhnya ke hadapan Kayla, lalu berbisik, "Jangan merasa senang dulu. Aku yakin sebentar lagi kalian putus."
"Bilang saja kamu iri," kata Kayla.
Arden tersenyum masam. "Selamat untukmu, Kay."
"Terima kasih, Arden."
Sungguh sandiwara apik yang dimainkan oleh keduanya. Saat ini tidak boleh ada perang dingin. Mereka berada di tengah pesta dan semua tamu memperhatikan.
"Kamu kapan, Ar?" tegur Raka.
Arden pasrah harus berbaur lagi dengan pamannya. Sepertinya kedua orang tuanya tidak ingin pulang. Sedari tadi malah asik mengobrol bersama sahabat.
"Sayang banget Kayla sudah punya Steve, kalau enggak kamu bisa bareng Kayla," ucap Dean.
"Kayla bukan tipe Arden," sahutnya.
"Anak ini! Dari kecil suka sekali ganggu Kayla," kata Elena.
"Kalau mau, Papa bisa cariin kamu jodoh?" tanya Kevin.
"Enggak! Arden punya pacar di Amerika."
"Mau minta dilamar?" tanya Kevin.
"Arden belum mau nikah dulu."
"Anak muda jangan dipaksa. Biar saja," sahut Raka.
"Selamat, ya, Om, Tante. Semoga semuanya lancar sampai hari H," ucap Arden kepada Raka dan istrinya.
Raka membalasnya, lalu Arden melangkah pergi dengan alasan ada janji bersama teman-temannya. Arden harus keluar dari suasana yang membuatnya tercekik.
Sebelum ia benar-benar keluar dari ballroom hotel, Arden membalik diri untuk melihat Kayla. Wanita berisi dengan wajah imut. Matanya bulat, hidung mancung kecil, bibirnya membuat pria ingin singgah. Tinggi tubuhnya sekitaran Seratus enam puluh, dan Kayla suka mengganti warna rambutnya. Arden paling suka jika wanita itu memakai kacamata bulat dan warna rambut coklat. Terkesan manis dan menggemaskan.
"Mulai sekarang aku tidak bisa lagi mencubit pipinya. Sudah ada Steve yang menjadi pengganti," gumam Arden.
Kayla memandang pintu masuk ballroom hotel, ia melihat Arden yang menatap ke depan. Kayla mengandengkan tangannya ke lengan kekar milik Steve, dan pria itu mengecup keningnya.
"Malam ini kamu sangat manja," ucap Steve.
"Aku bahagia sekali, Steve," kata Kayla.
"Terlebih aku."
Steve merangkul pinggang padat Kayla, mencubit pipi wanita itu yang membuat Arden menggertakan gigi melihatnya.
"Kayla menantangku! Awas saja kamu!" ucap Arden kesal, lalu segera pergi.
"Akhirnya dia pergi juga," gumam Kayla pelan.
Sekarang Kayla sudah membuktikan kalau dirinya bisa mendapatkan pria lebih dari Arden. Sampai saat ini Kayla kesal karena saudara Aretha itu tiada henti mengejeknya.
"Lihat saja kamu Arden, sekarang giliranku yang akan mengolok-olok dirimu."
"Ada apa?" tanya Steve.
"Tidak, Sayang. Aku hanya lelah karena berdiri," jawab Kayla.
"Istirahatlah dulu." Steve meraih tangan Kayla, mempersilakan tunangannya untuk duduk.
Steve memang perhatian dengan hal kecil. Sikap itu yang membuat Kayla jatuh hati padanya, dan pria itu tidak pernah berkomentar tentang fisik Kayla sama sekali. Tidak seperti Arden yang selalu memberi komentar buruk atas bentuk tubuhnya.
Arden menendang ban mobilnya karena kesal melihat Kayla tadi. Di usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, ia tetap berada dalam kesendirian.
"Kamu berhasil, Kayla. Lihat saja nanti, kalian akan putus di tengah jalan. Semoga doaku ini didengar. Saat kamu menangis karena ditinggal Steve, maka hari itu aku akan tertawa," gumam Arden.
Bersambung
Arden tidak langsung pulang ke rumah selepas dari hotel, ia mengarah ke sebuah kelab malam. Rasa jengkelnya lebih baik diredakan terlebih dulu dengan segelas minuman memabukkan.
Mobil sampai di parkiran kelab ternama. Arden mengacak-acak rambut, membuka sebagian kancing kemejanya, dan menggulung lengan baju sampai ke siku.
Arden menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya masuk dan meja, dan langsung menuju ke sana setelah mendapatkannya. Ia memesan minuman beralkohol ringan karena Arden akan menyetir untuk pulang.
Suasana kelab sangat bising dengan musik yang menghentak. Aroma dari berbagai tubuh pengunjung, asap rokok menjadi pemandangan biasa bagi Arden.
Tidak lama setelah itu, dua wanita datang menghampiri. Wajah menarik Arden mengundang kupu-kupu itu untuk datang. Arden merentangkan tangan di atas kursi yang ia duduki, mengisyaratkan kalau ia menerima mereka untuk mendekat.
Dengan senang hati wanita berpakaian terbuka masuk ke dalam pelukan Arden. Mengelus tubuh bidang pria itu diselingi beberapa kecupan. Arden menengadahkan kepala, matanya terpejam, merasakan sentuhan jari jemari dua wanita itu.
"Tuangkan aku minuman," pinta Arden.
Salah satunya melakukan apa yang diminta. Arden meraih gelas dari tangan wanitanya. Menyesap minuman tersebut hanya dalam satu kali tegukkan.
"Jangan sampai kalian memegangnya," ucap Arden ketika wanita di sisi kanannya mengarah ke bawah.
Arden mengizinkan mereka mendekat, tetapi tidak untuk mendapatkan keperkasaannya. Cukup nikmati bagian atas tubuhnya karena Arden hanya ingin meniduri wanita yang memang ia inginkan.
"Kami bisa memuaskanmu," ucap wanita sebelah kiri Arden.
Arden tidak ingin berdebat. Tujuannya datang ke kelab untuk menghilangkan pikiran mengenai pertunangan Kayla. Dua wanita ini malah membuat kepalanya bertambah pusing.
Arden mengeluarkan dompet, memberi masing-masing lima lembar uang kepada dua wanita itu dan menyuruhnya pergi.
"Kami masih di sini."
"Jika kalian tidak pergi, aku akan mematahkan dua kaki kalian!" ucap Arden.
Tanpa bantahan lagi, keduanya pergi dari hadapan Arden. Dua wanita menghilang, satu perempuan hadir dengan membawa satu gelas minuman di tangan.
"Mau ditemani?" tanya wanita itu.
"Siapa namamu?"
"Lauren."
"Aku Arden. Duduklah," Arden menyilakan.
Wanita itu duduk di samping Arden dengan meneguk minuman yang ia bawa. Keduanya diam sesaat dengan pandangan mengarah ke lantai dansa.
Lauren mencondongkan tubuh untuk dapat bicara di telinga Arden. "Mau dansa bersama?"
Arden tersenyum. "Kenapa tidak?"
Keduanya beranjak dari sofa menuju lantai dansa. Arden memerangkap pinggul Lauren, sedangkan kedua tangan wanita itu bergelayut di leher Arden.
Tubuh keduanya menghimpit, Arden menggerakkan tubuhnya, membuat rangsangan pada tubuh Lauren. Tangan Arden bergerak ke atas, mengusap punggung Lauren, turun, dan semakin turun hingga ke bagian padat.
Arden menekankan kedua tangannya di atas bantalan padat itu. Lauren cuma tersenyum, ia memiringkan kepalanya, lalu mengecup bibir Arden.
Keduanya saling berbalas pagutan. Tangan Arden tidak berhenti di sana, tetapi mengarah ke depan. Menangkup keranuman yang ia rasakan sedikit lentur. Arden tebak jika bentuk dari milik Lauren, seperti buah pepaya.
Sedari melihatnya tadi, Arden juga tahu jika ukuran milik Lauren bukan bentuk bulat nan padat. Tapi panjang dan lentur.
Jemari Arden turun ke bawah, menggelitik perut Lauren yang terbuka. Wanita memakai rok hitam pendek dan atasan bralette pink yang dibungkus blazer.
"Ingin pergi?" tanya Lauren.
Pertanyaan yang sudah Arden ketahui kalau Lauren menginginkan permainan lanjutan di atas ranjang. Tapi Arden sama sekali tidak tertarik untuk bermain.
"Kamu cantik, tetapi aku tidak menginginkannya," ucap Arden.
"Aku kira kamu tertarik."
"Aku hanya bermain sedikit saja. Untuk lebih, aku tidak ingin," tutur Arden.
"Sayang sekali. Jika kamu ingin panggil saja aku."
Lauren menjejalkan tangan di tas selempang kecil miliknya. Mengambil ponsel, lalu menyerahkannya kepada Arden.
"Berikan nomormu," pintanya.
Arden tidak keberatan untuk memberikan nomor kontak miliknya apalagi yang meminta itu adalah seorang wanita cantik. Lauren tinggi hingga batas dagunya, hidung mancung kecil, bibir tipis, dan tubuh langsing.
"Telepon saja aku, Cantik," ucap Arden.
Lauren kembali mengecup bibir Arden. Tentu saja Arden menyambut niat baik dari wanita itu sebagai ucapan terima kasih. Saling mencecap tanpa satu senti pun terlewat.
"Kamu yakin tidak ingin?" tanya Lauren.
"Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Aku pesan tempat dulu untuk memuaskanmu."
Arden membawa Lauren keluar dari kelab menuju mobil. Ia membuka pintu penumpang, lalu menyilakan Lauren masuk. Selagi Lauren memasang sabuk pengaman, Arden masuk dan menghidupkan mesin kemudian berlalu dari sana.
Tiga puluh menit mobil yang dikendarai Arden tiba di hotel. Keduanya keluar, lalu masuk bersama. Arden memesan satu kamar untuk mereka berdua.
Sambil berpegangan tangan, keduanya masuk ke dalam lift. Arden kembali mengecup bibir Lauren. Hasrat yang terpicu sangat sayang untuk tidak dilepaskan.
Saking tidak sabarnya, Arden membuka blazer yang dikenakan Lauren agar dapat mengecup bahu dari wanita itu.
"Kita keluar dulu," kata Lauren.
Arden melirik lift yang terbuka, ia keluar dengan menarik tangan Lauren dengan gegabah. Mencari nomor kamar yang membuat kesal.
Setelah sampai di kamar, Arden secepatnya membuka pintu dan masuk ke dalam. Arden menutup kamar dengan tendangan sebab bibirnya tidak mau melepaskan pagutan Lauren.
"Buka bajumu," kata Arden.
"Kamu juga."
Arden melepaskan kemeja serta sepatunya. Sementara Lauren melepaskan semua kain yang melekat di tubuh. Arden mendorong wanita itu hingga terjungkal ke atas tempat tidur.
"Kamu belum membuka pakaianmu," ucap Lauren.
"Aku bilang kalau aku akan memuaskanmu. Aku tidak bilang kalau kita saling memuaskan."
Lauren tersenyum. "Kamu tidak ingin disentuh rupanya. Baiklah, aku ingin melihatmu memuaskanku."
Arden menurunkan kepalanya, mengecup setiap inci dari tubuh Lauren bagaikan hidangan. Namun sayang, Arden tidak bersedia bermain bibir di bawah sana. Hanya dua jarinya yang menusuk bagian inti dari Lauren.
"Aku salut kamu masih bisa menahannya. Lihat milikmu. Ia mendesak ingin dikeluarkan. Berikan dia kepadaku dan aku akan memuaskannya. Tidak apa-apa jika kamu tidak menginginkan intiku. Kita bisa mengeluarkannya dengan bibir," tawar Lauren.
"Aku tidak menyukai wanita yang banyak bicara. Diam saja dan terus bersuara lirih," kata Arden.
Lauren tidak lagi protes, ia membiarkan tubuhnya diacak-acak oleh Arden. Tidak peduli Arden menginginkannya atau tidak, asalkan ia sendiri sudah puas hanya dengan pemanasan.
"Sial! Kamu mengotori tubuhku," ucap Arden.
Lauren tertawa karena ia memercikkan cairan bening ke tubuh pria itu. Siapa yang menyebabkan Lauren hingga seperti itu? Bukannya Arden sendiri. Ia memainkan jari dengan kuat dan cepat hingga Lauren memuntahkan lelehan air beraroma pesing.
"Aku tidak tahan tadi," kata Lauren.
"Aku perlu mandi."
"Kenapa tidak sama-sama?" tawar Lauren.
"Aku sendiri saja agar lebih cepat," jawab Arden.
Bersambung
"Hei! Bangunlah," ucap Arden kepada wanita yang masih terlelap dalam tidurnya.
Lauren tidak mengindahkan seruan Arden. Ia masih ingin terlelap di tempat tidur yang empuk. Arden menyewa kamar terbaik, dan Lauren ingin berlama-lama di dalam hotel hanya untuk menikmati fasilitasnya.
"Aku mau pulang. Terserah kalau kamu mau tinggal."
Lauren sudah bangun, tetapi matanya saja yang enggan untuk terbuka. Rasa malas lebih besar mendera ditambah ia ingin sekali berada di dalam pelukan Arden.
"Berapa aku harus menbayarmu?" tanya Arden.
Lauren membuka mata, ia memandang Arden, dan wajah pria itu rupanya sangat tampan. "Aku bukan wanita seperti itu."
"Kamu hanya ingin bersenang-senang?"
Lauren bangun dengan tidak memperdulikan tubuhnya dipandang oleh Arden. Dari semalam ia tidak berpakaian, dan Arden sama sekali tidak tertarik akan tubuhnya.
"Aku sudah biasa berkencan dengan pria."
Arden mengerti sekarang. Lauren berpikiran sangat terbuka. Bagi wanita itu, cinta satu malam merupakan kegiatan yang sering dilakukan.
"Kamu sungguh tidak ingin meniduriku?" tanya Lauren.
"Aku tidak berminat untuk saat ini."
"Kamu punya pacar?" tanya Lauren.
Arden menggeleng. "Aku tidak ingin memiliki komitmen terhadap wanita. Aku meniduri mereka jika menginginkannya."
"Kita sama. Aku lebih suka sendirian. Terlalu banyak pria tampan dan aku ingin sekali menidurinya."
Arden tertawa dengan melempar pakaian ke arah Lauren. "Jika kamu ingin diantar, cepat pakai bajumu."
Arden bahkan tidak memberi kesempatan Lauren untuk membersihkan diri lebih dulu. Wanita itu segera memakai baju, lalu membersihkan wajahnya dengan tisu basah yang selalu dibawa.
"Kamu terburu-buru. Kita bahkan tidak sarapan," kata Lauren.
"Aku banyak pekerjaan dan harus segera pulang." Arden memandang Lauren dengan lekat. "Kamu sungguh tidak ingin bayaran?"
"Tidak! Aku tidak kekurangan uang," jawab Lauren.
Jika diperhatikan, Lauren memang dari kalangan berada. Tas, blazer, bahkan bralette yang dikenakan tubuh wanita itu berasal dari luar negeri. Arden menyakini jika Lauren wanita dengan finansial cukup.
"Kamu bekerja di mana?" tanya Arden.
"Online shop tangan pertama. Aku berdagang pakaian yang kubeli dari luar negeri. Kebanyakan dari Korea karena anak muda sekarang sangat suka style dari negara ginseng."
"Bagus sekali," jawab Arden.
Keduanya keluar dari hotel menuju mobil mereka diparkiran. Arden membuka pintu penumpang kemudian menyilakan Lauren masuk. Ia berlari kecil ke kursi pengemudi, lalu menyusul rekan wanitanya yang tengah duduk manis di dalam sana.
Mesin dihidupkan, Arden mendiamkannya dulu beberapa saat hingga mobilnya sedikit panas baru mengendarai kendaraan roda empat itu keluar dari halaman hotel.
Lauren memberitahu alamatnya kepada Arden, dan mereka sampai setelah empat pulih menit berlalu. Arden berhenti di perumahan sedang bergaya modern.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Arden.
"Begitulah. Kita bisa bermain di dalam jika kamu mau," goda Lauren.
Arden tersenyum. "Aku sungguh tidak tertarik. Maaf."
"Kurasa kamu sudah punya kekasih," kata Lauren.
"Aku jomlo," ucap Arden.
"Aku tidak percaya jika seumur hidupmu tidak punya wanita yang membuat jantungmu berdetak kencang.
Terbesit dalam pikiran Arden seorang wanita gendut bernama Kayla. Ia menggeleng, kenapa malah musuhnya yang muncul. Arden tidak percaya jika benci akan menjadi cinta. Namun, ia tidak bisa pungkiri jika bertemu dengan Kayla, Arden menginginkan wanita itu.
"Jangan membahasku. Cepatlah turun, aku harus pulang."
Lauren membuka sabuk pengaman, memajukan tubuh kemudian mengecup pipi Arden. "Sampai jumpa lagi."
Arden cuma tersenyum, melambaikan dua jarinya dan segera berlalu dari hadapan Lauren. Ia yakin akan mendapati ceramah dari Elena karena tidak pulang semalam. Hidup sendirian di Amerika memang lebih baik.
Salahnya yang sekarang menjadi anak satu-satunya bagi pasangan Kevin dan Elena yang belum menikah. Bukan! Salahkan orang tuanya yang tidak membuat anak banyak.
Arden berkeinginan untuk tinggal di apartemen dan rumah yang baru ia beli, tetapi sang ibu sama sekali tidak mengizinkannya untuk diam sendiri.
Sampai di rumah, Arden mengerutkan kening melihat kendaraan roda empat terparkir di halaman rumahnya. Ia tidak memiliki mobil sejenis kijang, dan pertanyaannya adalah, siapa pagi-pagi yang bertandang ke kediaman keluarga Kevin Pratama?
Arden langsung masuk ke dalam rumah karena pintu tidak ditutup. Ia tersentak karena Kayla berada di ruang tamu sembari menikmati teh hangat yang dihidangkan untuknya.
"Setauku rumah Aretha tidak di sini," tegur Arden yang langsung duduk berhadapan dengan Kayla. "Kamu tidak menemani tunanganmu?"
Kayla berdecak, "Aku datang kemari bukan untuk mencarinya, dan tunanganku pandai mengurus diri sendiri."
"Baru pulang?" tegur Kevin.
Arden mendongak, ia memperbaiki posisi duduknya. "Arden menginap di apartemen, Pa."
Kevin menarik sebelah sudut bibirnya. Ia tidak percaya anak laki-lakinya menginap di apartemen terlebih tercium aroma parfum wanita yang menyengat.
"Jangan kamu samakan di sini dengan Amerika, Nak."
"Kayla juga pakai parfum," sahut Arden.
"Wanginya beda," kata Kevin.
"Arden! Kamu baru pulang, Kayla sudah lama menunggumu," timpal Elena yang tiba dengan membawa kue buatannya. "Makan dulu kuenya, Sayang."
Elena menawarkan kue kepada Kayla dan Kevin lebih dulu, lalu terakhir untuk Arden yang mendapat protes dari anak itu. Ia anak dari Elena dan Kevin, apa hak Kayla yang harus lebih dipentingkan dalam menerima potongan kue dari sang ibu.
"Dia mengatakan tidak mencariku," kata Arden.
"Kayla datang memang tidak mencarimu, tetapi Papa yang kesal menunggumu untuk Kayla."
"Ada apa memangnya?" tanya Arden.
"Kayla ingin bekerja di perusahaan kita. Kamu kasih posisi yang bagus di kantor," jawab Kevin.
"Bukannya kamu akan menikah? Kenapa harus bekerja?" tanya Arden kepada Kayla.
"Menikahnya masih lama. Kayla tidak ingin mengganggur," sahut Elena.
"Perasaan aku anak Mama. Kok, Mama suka belain Kayla."
"Reputasimu yang membuat Mama melindungi Kayla," ucap Elena.
"Astaga! Di dunia ini tidak ada yang menyayangiku," Arden berkata sedih, dan malah mendapat jeweran di telinga dari sang ibu.
"Perusahaan Om Kevin yang paling teratas saat ini. Aku ingin bekerja di sana untuk mendapat kualifikasi agar diterima di perusahaan asing," ujar Kayla.
Arden berdecih, "Kamu bisanya cuma mengandalkan koneksi."
Kayla menunduk, sedangkan Kevin dan Elena melototkan mata ke arah Arden. Putranya sungguh sangat keterlaluan bisa bicara seperti itu.
"Arden! Jaga bicaramu," ucap Kevin.
"Aku sudah melamar di perusahaanmu, tetapi belum menerima panggilan," kata Kayla.
"Kalau begitu tunggu saja. Kenapa kamu tidak bekerja di perusahaan Steve? Ah, calon suamimu juga bekerja di perusahaan orang lain, kan? Menang tampang doang, tetapi tidak punya apa-apa."
"Arden!" bentak Kevin. "Papa cuma minta kamu kasih Kayla posisi yang bagus di perusahaan. Kenapa malah merembet ke masalah tunangan Kayla?"
"Tidak apa-apa, Om. Kayla akan tunggu panggilan saja."
"Kamu tenang, Nak. Om akan suruh orang lain untuk mengurusnya. Jangan harapkan anak ini," ucap Kevin.
"Kalau mengunakan koneksi, kapan dia akan maju," kata Arden.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!