"Yah, Ibu telah menggadaikan rumah ini hanya untuk putranya yang bisanya cuma makan tidur saja," teriak Anjani sembari berusaha memukul Kakak tirinya yang bersembunyi di belakang ibu tirinya. Andri memegang tubuh Anjani erat agar tidak mengamuk pada Elang.
"Kami tidak bermaksud menghamburkan uang itu hanya saja Elang ingin berinvestasi pada salah satu perusahan tidak tahunya orang yang dia percaya malah pergi," kata Cindy menangis.
"Aku tidak percaya dia pasti hanya menghamburkan uang itu dengan teman-teman nya."
"Anja, sungguh aku menaruh semua uang itu untuk berinvestasi, aku tidak tahu jika hal itu malah membuat kita merugi banyak," jelas Elang memegang lengan baju ibunya.
"Kau itu, bodoh, hutang uang untuk investasi bodong, bagaimana bisa kita melunasinya kepada bank?" murka Anjani.
"Aku sungguh tidak mengira jika keadaan akan seperti ini," ucap Elang merasa bersalah.
"Kau memang tidak bisa berpikir karena pekerjaanmu hanya makan tidur saja bikin beban hidup Ayah!" maki Anjani.
"Anjani!" teriak Andri. "Mereka itu kakak dan Ibumu?"
"Kenapa kau selalu membela mereka. Aku itu anakmu bukan mereka. Apa karena kau sangat membenci ibu sehingga kau membenciku pula?"
"Anjani hargai mereka," teriak Andri sembari melayangkan tangan ke wajah anak semata wayangnya namun berhenti tidak sampai menyentuhnya.
"Maaf, Ayah tidak bermaksud seperti itu!"
"Ayah kau tidak boleh lakukan itu pada putrimu," seru Cindy memegang tangan suaminya.
"Kalian semoga kalian berbahagia karena Ayah melakukan ini padaku, kalian tahu apa yang ayah kerjakan di luar untuk menghasilkan uang?"
Cindy menggelengkan kepala sembari mengusap cairan dari hidungnya.
"Dia bekerja menjadi buruh angkut di pasar."
"Ayah," panggil Cindy dan Elang bersamaan.
"Bukankah Ayah bekerja sebagai kepala pemasaran di swalayan," kata Cindy menatap suaminya.
Anjani lalu mengambil kontak motor ayahnya dan berjalan ke motor dan mengambil bungkusan plastik dari dalam bagasi motor. Dia kembali berjalan masuk ke rumah.
"Jangan Anjani, Ayah mohon," pinta Andri pada anaknya untuk tidak memberitahu keluarganya perihal pekerjaan yang selama ini dia sembunyikan.
"Biar mereka tahu bagaimana susah payahnya ayah bekerja untuk mereka. Biar mereka bisa berpikir bahwa tanpa kerja keras kita tidak akan makan, biar mereka menghargai perjuangan ayah untuk membeli rumah ini," murka Anjani sembari membuka tas plastik itu yang memperlihatkan baju kotor penuh pasir dan semen milik Andri.
"Anjani! Tolong hargai ibu dan saudara lelakimu," teriak Andri.
"Dia bukan saudaraku dan dia bukan ibuku," teriak Anjani keras, sembari memundurkan tubuhnya.
Plak!
"Kenapa kau selalu membela mereka. Aku keluargamu bukan mereka!" seru Anjani.
"Jika seperti ini lebih baik aku pergi dari rumah ini. Silahkan kalian bahagia dengan keluarga ini tanpa aku," imbuhnya pergi ke kamar lalu menata pakaiannya.
"Anjani maafkan Ayahmu," ucap Cindy mengikuti kemanapun Anjani melangkahkan kakinya.
"Jangan pura-pura baik di depanku pada kenyataan kau selalu membuat aku dan Ayah bertengkar."
"Demi Tuhan Anjani aku ingin keluarga kita bahagia," kata Cindy memegang tangan Anjani yang sedang menutup koper penuh berisi pakaiannya.
"Biarkan saja dia pergi, Bu," ucap Andri.
"Yah, dia juga putriku," kata Cindy.
"Dia tidak menganggap mu Ibu yang telah membesarkannya selama ini. Biarkan dia pergi dengan pikirannya yang salah," Cindy lalu mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan lengan bajunya.
"Jika kau sudah sadar dan bisa menghargai perjuangan ibumu pulanglah ke rumah karena kami akan selalu menyambut kedatanganmu," ungkap Andri tenang.
"Anja, jangan pergi!" cegah Elang memegang koper Anjani. "Aku berjanji mulai besok akan mencari pekerjaan dan membayar uang itu agar rumah ini kembali lagi pada kita, tetapi aku mohon kau jangan pergi!"
"Terlambat! Jaga Ayah," kata Anjani lalu pergi meninggalkan rumah dengan perasaan hancur. Yang dia tahu Ayahnya selalu membela ibunya yang tukang hutang dan saudara tirinya yang hobi main dan tidur saja. Sedangkan Ayah malah selalu memarahinya ketika memprotes tindakan kedua orang itu. Dia anak kandungnya yang harus selalu dibela bukannya dimarahi, batin Anjani kecewa. Ini terasa tidak adil baginya.
Apa Ayah melakukan itu karena ayah membenci ibunya? Yang dia tahu Ibu Cindy itu merayu ayahnya sehingga ibu kandungnya pergi meninggalkan dia dari bayi.
***
"Tirta ... ," panggil Abimanyu pada anaknya yang sedang bermain game di kamarnya. Yang dipanggil tidak mendengarkan karena telinganya tertutup headphone.
Abimanyu lalu menarik headphone itu. Bayu baru melihat ke arah ayahnya dengan mengangkat bahunya. Seolah bertanya ada apa?
Abimanyu mengambil handphone Tirta.
"Wali kelasmu mengatakan jika kau jarang mengerjakan tugas sekolah. Ayah minta mulai hari ini kau kerjakan tugasmu, jika seminggu ini kau tidak melakukan perintah guru maka dengan terpaksa Ayah akan menyita uang dan motor yang kau gunakan untuk berpergian. Jika kau mau sekolah cukup diantar oleh sopir."
"Yah, kau tidak bisa melakukan itu," kata Bayu keberatan.
"Tidak ini sudah keputusan Ayah. Ayah tidak mau kau mundur karena kemalasanmu itu. Dulu kau selalu juara kelas namun sekarang nilaimu hancur berantakan. Itu menjadi beban pikiran Ayah."
"Dulu itu dulu ketika ada ibu, sekarang ibu tidak ada dan Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan saja tidak pernah memperhatikan kami, bagi ayah kami hanya beban saja begitu kan?"
"Ayah bukan bermaksud seperti itu, maksud Ayah adalah kau kembalilah seperti dulu jadi anak yang penurut dan selalu berprestasi."
"Kenapa jika aku tidak berprestasi apakah Ayah akan malu pada teman-teman Ayah?" lirih Bayu.
"Bayu!" teriak Abimanyu marah karena kata-kata anaknya.
Prank!
"Ya Tuhan, Bumi, Tirta kalian memecahkan guci kesayangan Oma yang Oma beli dari Tiongkok. Itu guci antik berharga ratusan juta rupiah," teriak Oma Citra dari arah lantai bawah.
Abimanyu yang mendengar keributan itu lantas menghentikan kata-katanya.
''Sekarang selesaikan tugas sekolahmu, ambil handphonemu lagi besok jika semua tugas itu telah selesai jika tidak handphone ini akan terus ayah sita hingga kau berubah," ucap Abimanyu sembari melangkah pergi. Abimanyu melihat bayangan Bayu yang bertingkah seperti hendak memukulnya dari belakang. Dia lalu menoleh membuat Bayi menurunkan tangannya ke belakang telinga bertingkah seperti hendak menggaruk kepala. Abimanyu menggelengkan kepalanya.
Abimanyu lalu ke lantai bawah untuk melihat kekacauan yang terjadi.
"Oh, Oh, kepakaku pusing melihat tingkah anakmu itu, itu guci antik yang ditemukan di dasar samudera Hindia dan kakekmu membelinya untukku, aku telah merawatnya selama ini dengan baik namun anakmu ... oh... dia ... aku tidak tahu harus mengatakan apa?"
Abimanyu melihat pecahan guci yang berserakan di lantai. Dia menarik nafas dan menatap kedua anaknya dengan tatapan tajam.
"Bukan salah kami, Yah, ini salah Oma," kata Tirta dan Bumi.
Citra membulatkan mulutnya. Bisanya anak kecil ini menuduhnya.
"Kalian hantu kecil mengapa menyalahkan Oma atas kesalahan yang kalian perbuat sendiri," seru Citra kesal pada cucu tirinya.
"Kami sedang bermain kejar-kejaran dan Oma menghalangi kami, kami menghindar tapi tanpa sengaja menyentuh guci itu dan terjadilah hal itu," terang Tirta.
"Nah, betulkan mereka yang salah," ujar Citra sembari melipat tangan di dada tersenyum penuh kemenangan.
"Oma yang salah jika Oma tidak menghalangi kami dan akan menangkap kami, guci itu tidak akan pecah."
"Tirta, Bumi," geram Abimanyu tetapi ditahan sekuat tenaga.
"Kayla hidup tanpamu itu begitu sulit bagiku. Mengurus tiga orang anak tidak semudah yang terlihat. Adakah wanita sepertimu yang akan memberikan cinta dan kasih sayang pada anak anak kita, jika ada maka aku akan mengejarnya walau ke ujung dunia." - Abimanyu-
Abimanyu sedang melakukan rapat dengan jajaran direksi perusahaan ketika sebuah panggilan telephon mengusiknya. Dia mengabaikannya untuk beberapa saat, namun panggilan itu berdering lagi. Akhirnya, Abimanyu melihat nama orang yang melakukan panggilan.
"Maaf," kata Abimanyu menghentikan rapat dan menerima telephon itu. Semua orang lantas terdiam.
"Oh ya Pak,"
"Zzzzzzzzzz," terdengar nada kesal dan marah dari suara dibalik telephon. Abimanyu terdiam mendengarnya namun wajahnya seketika memadam dan memerah. Dia bahkan mengusap wajahnya yang mulai berkeringat.
"Rapat akan diteruskan oleh wakil saya karena saya ada kepentingan yang mendesak. Semua hasil rapat akan saya tinjau ulang," kata Abimanyu.
"Ini juga penting Tuan Kusuma Wijaya," ujar salah seorang pemilik saham minoritas.
"Bukan saya bermaksud mengatakan rapat ini tidak penting hanya saja kehidupan anak-anak saya lebih penting. Mereka hanya mempunyai saya dalam hidup ini." Abimanyu lalu membungkukkan tubuh.
"Maaf saya harus pergi, saya harap kalian semua mengerti." Abimanyu lalu pergi meninggalkan ruangan itu diiringi oleh asistennya.
"Ada apa, Pak?" tanya asisten itu ketika mereka telah sampai di dalam lift.
"Putra-putra ku melakukan kekacauan di sekolah," jawab Abimanyu.
***
"Dia tidak menggarap tugasnya selama satu bulan ini dan juga nilainya jauh dari standar yang kami terapkan. Attitudenya sangat buruk terhadap guru yang mengajar," terang Bapak kepala Sekolah Menengah Pertama.
"Aku mohon Anda meninjau ulang keputusan ini," pinta Abimanyu sembari melirik ke arah Bayu.
Kepala sekolah itu terdiam.
"Ini tahun terakhirnya di sekolah ini, saya akan menemui banyak kesulitan ketika mencari sekolah baru, dia akan mengalami adaptasi baru dan juga perasaannya akan down sehingga akan mempengaruhi fokusnya ke dunia pendidikan. Saya harap Anda bisa membantu saya," terang Abimanyu.
"Saya akan menjadi donatur terbesar di sekolah ini jika Anda masih memperbolehkan anak saya melanjutkan sekolahnya," imbuh Abimanyu penuh harap.
"Jangan berpikir saya menyogok Anda atau sekolah ini hanya saja tolong pertimbangkan ini dari sisi anak saya. Ini tahun pertama mereka kehilangan ibunya dan seperti yang Anda lihat sekolah mereka berantakan dan kehidupan pribadi kami pun perlu mendapat penyesuaian terhadap situasi ini. Anak-anak sepertinya masih merasa terpukul hatinya dan melemparkannya ke tindakan kurang positif."
"Mereka butuh panutan," kata kepala sekolah itu.
"Apa yang Anda katakan memang benar," jawab Abimanyu.
"Untuk masalah Tirta saya punya beberapa catatan penting. Nilai akademis Tirta bagus hanya saja dia kerap bertengkar dengan temannya seperti yang Anda lihat barusan."
Abimanyu lalu melihat ke arah Tirta yang menunduk dalam di samping kakaknya. Dari wajahnya terlihat penyesalan yang dalam. Baju putihnya telah menjadi kecoklatan dan ada noda darah di bibirnya.
Abimanyu menarik nafas panjang sembari memegang keningnya yang mendadak pusing. Berharap semoga Bumi tidak berbuat ulah lagi yang membuat dia harus kehilangan muka untuk yang ketiga kalinya.
Anak-anak Abimanyu di sekolahkan di satu kompleks sekolah dari PAUD hingga SMU semua ada di situ. Sekolah swasta dengan kualitas Internasional.
"Saya tidak akan mengeluarkan Tirta jika dia bisa berubah dalam dua bulan ini jika tidak maka kami akan mengeluarkannya di tahun ke empat sekolahnya di sini," ucap Kepala Sekolah dengan tegas.
"Lalu bagaimana dengan Bayu Pak, saya mohon Anda memberikan kebijaksanaan lebih padanya. Bantu dia untuk memperoleh masa depannya."
Kepala sekolah itu melihat ke arah Bayu.
"Bayu apakah kau akan berubah setelah hari ini?" tanya Kepala sekolah itu. Bayu menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau begitu saya akan memberikan kesempatan itu, bukan karena Anda bersedia menjadi donatur utama sekolah ini tetapi karena saya tidak ingin membuat masa depan anak Anda hancur."
"Terima kasih Pak atas kesempatan yang telah Anda berikan ini."
"Saya belum selesai Pak, khusus untuk Bayu jika dalam waktu dua bulan dia belum juga mau berubah maka dengan sangat terpaksa saya akan mengeluarkannya dari sekolah ini!" tegas kepala Sekolah itu membuat Abimanyu menelan air ludahnya dengan susah payah.
Sedangkan di kelas Paud seorang anak kecil bernama Bumi sedang menangis karena sahabatnya.
"Kau itu sendiri tidak punya ibu, sedangkan kami punya ibu yang akan mengurus dan menunggui kami."
"Kasihan deh....," kata yang lainnya.
"Makanya dia anak suster, kemana-mana di antar suster," ejek yang lain.
"Sudah ... sudah apa yang kalian lakukan padanya?" ujar salah seorang guru cantik mendekat.
Seketika tiga sekawan itu ketakutan mereka lantas berlari meninggalkan Bumi yang terisak.
"Apa yang mereka lakukan padamu anak cantik?" tanya Anjani pada Bumi.
"Mereka mengejekku lagi karena aku tidak punya ibu," ungkap Bumi. Anjani yang hidup tanpa ibu kandungnya bisa merasakan apa yang Bumi rasakan dia lalu menyeka air mata Bumi dan mendekapnya ke dada.
"Kau punya aku disini karena aku adalah ibumu jika kau sedang di sekolah," kata Anjani.
"Kenapa tidak jadi ibuku sekalian di rumah?" tanya Bumi pada guru kesayangannya. Anjani membelalakkan matanya dengan indah lalu tertawa kecil sembari meletakkan kepala itu di dada Anjani.
"Ayahmu yang tidak akan mau menjadikan aku ibunya," jawab Anjani asal.
"Kenapa?" Ini yang membuat seorang guru TK mempunyai seribu kalimat untuk menjawab pertanyaan aneh para murid. Mereka pikir menikah itu sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Bersama lalu bahagia.
"Kenapa? Ibu juga tidak tahu kau tanyakan saja nanti pada ayahmu," jawab Anjani lepas tangan dari pertanyaan Bumi yang terasa membagongkan. Kenal dengan ayahnya saja tidak dan mana mungkin orang kaya seperti ayah Bumi mau bersama dirinya yang hanya seorang guru honorer sebuah PAUD swasta. Ini bukan dongeng Cinderella dalam masa modern.
Kawasan ini adalah sekolah Internasional yang elit dan yang sekolah di sini adalah kaum berduit yang rela membayar mahal demi pendidikan. Sehingga yang sekolah di sini rata2 anak pengusaha kaya atau pejabat tinggi yang punya reputasi dan citra baik di masyarakat.
Sedangkan di sudut sekolah lain Abimanyu sedang berbicara dengan Anggun kepala sekolah TK dan Paud di sini. Wanita itu adalah kawan baiknya dari masa kuliah dan ayah Anggun adalah pemilik yayasan ini. Abimanyu dan Ayah Anggun kenal dekat.
"Entahlah aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa," kata Abimanyu dengan suara yang terdengar putus asa.
"Aku akan membicarakan hal ini pada Ayah kau jangan khawatirkan soal Bayi, dia akan tetap sekolah di sini hingga lulus. Aku sendiri yang akan memastikannya."
Abimanyu menghela nafas lega. Netranya mulai menyapu seluruh sudut sekolah ini mencari keberadaan Bumi.
"Di mana bungsuku?" tanya Abimanyu.
"Itu," tunjuk Anggun pada seorang anak yang sedang dipangku oleh seorang wanita. Anak itu memeluk manja pada wanita itu layaknya ibu dan anak. Dari rambut anak itu Abimanyu bisa mengenali jika itu adalah Bumi. Seulas senyum tipis nyaris tidak terlihat terbit di bibirnya.
"Dia tadi menangis karena bertengkar dengan teman-temannya. Semua guru tidak ada yang bisa menenangkannya hanya guru baru itu yang bisa menenangkannya."
"Aku bisa melihatnya," ucap Abimanyu menatap kebersamaan Bumi dan wanita itu dari ruang sebelah. Sayang dia tidak bisa melihat wajahnya namun kelihatannya dia adalah wanita yang sangat muda.
"Kau butuh sosok ibu untuk anak-anakmu Abi," ujar Anggun memegang bahu Abimanyu.
"Untuk mendapatkan seorang istri itu mudah tetapi untuk mendapatkan seorang ibu untuk anakku itu yang sulit. Dia harus memenuhi tiga kriteria, punya kasih sayang yang tulus, sabar dan sabar jika tidak maka dia tidak bisa meluluhkan hati mereka."
"Sepertinya akan sulit," kata Anggun menarik nafas panjang. Dia saja sulit untuk mengambil hati Bumi apalagi mengambil hati Bayu yang keras kepala dan Tirta yang introvert. Sampai kapanpun Abimanyu tidak akan pernah mendapatkan wanita seperti itu. Pikir Anggun.
Abimanyu pulang ke rumah dengan wajah yang lesu. Bayu dan Tirta langsung masuk ke kamar mereka. Sedangkan Bumi langsung di serahkan pada pengasuhnya.
Citra yang berada di anak tangga dan berpapasan dengan dua anak itu menutup mulutnya melihat penampilan mereka yang acak-acakan.
"Apalagi yang kalian lakukan? Oma yakin kalian pasti membuat masalah," tunjuk Citra pada dua orang anak itu.
Bukannya menjawab mereka malah menatap tidak senang pada orang tua itu.
"Hei, anak-anakmu," kata Citra mengadukan perilaku Bayu dan Tirta pada Abimanyu.
"Jangan sekarang, Bu," pinta Abimanyu melewati Citra. Kepalanya sudah pusing dan tidak mau dibuat tambah pusing oleh kata-kata ibunya yang nyaring dan tanpa henti ketika membahas persoalan anaknya.
Citra memiringkan kepala sembari membuka mulutnya lalu mencibir pada punggung Abimanyu dan berjalan kembali menuruni tangga.
Di bawah tangga sudah ada Marsellina, kepala pelayan cantik dan masih single diusianya yang menginjak 29 tahun. Dia lebih suka mengabdikan hidupnya pada keluarga ini. Entah karena dia mencintai pekerjaannya, atau karena dia tidak suka pada pria, atau mungkin dia menyukai Abimanyu tidak ada yang tahu tentang hati seseorang.
Rambutnya dipotong pendek tepat dibawah telinga. Matanya lebar dengan bulu mata lebat. Bentuk tubuhnya sangat proporsional, memperlihatkan jika dia suka berolahraga. Dia memakai baju seperti layaknya pekerja kantoran.
"Pantas saja tingkah laku anaknya seperti itu, tidak mau menghargaiku karena ayahnya juga sedingin es batu eh es di kutub Utara. Entahlah mana ada wanita yang akan jatuh cinta padanya, ditambah tingkah anaknya seperti macan mengamuk dapat dipastikan semua wanita akan pergi secara teratur dari dekatnya," gerutu Citra yang sempat terdengar oleh Marsellina.
"Selamat siang Nyonya, makan siang untuk hari ini sudah siap, ada sapo tahu kesukaan Nyonya dan gurame madu," kata Marsellina sembari membungkukkan sedikit badannya.
"Dan ada semur jengkol," bisik Marsellina membuat mata Citra berbinar.
"Kau selalu bisa membuat moodku kembali. Semur itu kau langsung bawa ke kamarku, Abimanyu tidak suka dengan baunya," ujar Citra.
Marsellina membuat lingkaran di dengan menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Saya akan bawa sekarang," kata Marsellina.
"Jika Abi bertanya kenapa aku tidak turun,"
"Aku akan mengatakan jika Anda sedang tidak enak badan," lanjut Marsellina.
"Kau memang gadis pintar, aku tidak bisa membayangkan rumah ini tanpa kehadiran dirimu. Sepeninggal Lara, keadaan rumah terkendali karena kehadiran dirimu," puji Citra membuat wajah Marsellina berseri-seri.
"Sayang sekali Abimanyu tidak bisa melihatnya," imbuh Citra. Marsellina hanya tersenyum kecut saja.
Sudah setahun ini dia dengan setia menghibur pria itu dan menemaninya dikala pria itu sedang bersedih. Dia yakin jika Abimanyu suatu hari pasti akan melihat ke arahnya dan menyadari bahwa dia adalah satu-satunya perempuan yang layak bersanding dengannya.
"Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku karena ini sudah hampir waktunya jam makan siang," kata Citra.
***
Setelah melayani semua kebutuhan majikan wanitanya, Marsellina pergi ke kamar Abimanyu untuk mengatakan jika makan siang telah disiapkan. Wanita itu mengetuk pintu kamar namun tidak menemukan pria itu di sana. Dia lalu memutar arah ke ruang kerja milik pria itu.
Marsellina kembali mengetuk pintu ruang kerja.
"Siapa?" tanya dari dalam ruangan itu. Marsellina tersenyum lebar dia memegang dadanya erat. Hatinya selalu berdebar keras ketika akan bersama Abimanyu di satu ruangan dan berdua saja.
Marsellina lalu masuk ke dalam ruangan itu. Dia menyatukan dua tangannya di depan.
"Tuan, makan siang sudah siap," kata Marsellina.
Abimanyu tampak diam saja sembari memegang kepalanya yang sudah terasa pusing semenjak kemarin.
"Oh, apakah Anda sakit Tuan," tanya Marsellina khawatir.
"Sedikit," jawab Abimanyu.
"Kalau begitu akan saya ambilkan aspirin, Tuan," kata Marsellina bergerak keluar ruangan dan mengambil kotak obat. Lalu kembali lagi dengan membawa baki berisi segelas air putih dan lepek berisi obat sakit kepala. Dia menyerahkannya pada Abimanyu.
Abimanyu mengambilnya dan langsung meminum.
"Terimakasih, Lina," kata Abimanyu pada kepala pelayan itu. Dia selalu memanggil Lina pada wanita itu karena jauh lebih ringkas.
"Itu adalah pekerjaan saya," balas Marsellina.
"Jika masih pusing saya bisa menolong memijat kepala Tuan, mungkin bisa membantu." Abimanyu menatapnya terkejut atas tawaran itu. "Saya hanya berniat membantu Anda mengurangi rasa sakitnya. Itu jika diperbolehkan," kata wanita itu penuh harap.
"Tidak usah, Lina, kehadiranmu saja sudah banyak membantuku," ucap tulus Abimanyu, membuat wanita itu merasa kecewa.
"Apa yang terjadi dengan anak-anak, Tuan, mengapa mereka pulang dalam keadaan kacau dan pulang lebih awal? Anda juga biasanya pulang sore kini pulang sebelum makan siang."
"Ada masalah di sekolah Bayu dan Tirta. Dua anakku itu membuat masalah di sekolah yang menyebabkan kekacauan, kepala sekolah memberi sanksi dengan menskorsing mereka selama tiga hari, " jelas Abimanyu. Marsellina membuka mulutnya lebar lalu menutup.
"Ya Tuhan, padahal Anda selalu mengajarkan. kedisiplinan pada mereka," kata wanita itu.
"Entahlah aku juga bingung harus melakukan apalagi agar anakku menjadi anak baik dan menurut padaku,'' kata Abimanyu putus asa.
Marsellina terlihat sedih menatap wajah Abimanyu yang seperti kehilangan semangat. Ingin rasanya dia memeluk pria itu dan memberi kekuatan namun sayang semua yang dia lakukannya tidak bisa dia lakukan sebelum pria itu melihatnya sebagai wanita bukan pelayan.
Marsellina berpikir Nyonya Citra pasti akan membantunya merebut perhatian Abimanyu.
"Bicarakan masalah ini dengan Nyonya Citra bagaimana pun dia itu orang tua pasti punya solusi baik untuk setiap permasalahan."
"Ibu?" tanya Abimanyu ragu mengingat bagaimana perangai ibu tirinya yang cerewet dan suka emosi.
"Ya, dia pasti akan memberikan banyak masukan untukmu tentang bagaimana mengurus anak yang baik,'' imbuh Marsellina. Namun, Abimanyu malah mengingat cara ibunya memarahi anaknya setiap hari. Apakah ini hal baik?
Akhirnya, Abimanyu mengikuti saran Marselina dan mendatangani kamar ibunya. Di saat itu dia langsung masuk ke kamar dan menemukan ibunya sedang menyendokkan semur jengkol berukuran besar ke dalam mulutnya.
"Ya, Tuhan Abi kau datang tiba-tiba tanpa memberi tahuku," kata Citra mengurungkan niatnya memakan jengkol itu.
Abimanyu langsung menutup hidungnya merasakan bau jengkol yang menyengat.
"Pelayanmu yang membawakannya padaku, padahal aku sudah bilang jangan masak makanan ini karena tidak ada yang menyukainya," kata Citra berbohong menunjuk pada Marsellina yang berdiri di belakang Abimanyu.
"Lina bawa semua jengkol ini keluar dari kamarku, baunya saja membuatku bertambah mual?" kilah Citra sembari berlagak sok jijik dengan rupa jengkol itu padahal dalam hatinya dia menyesali kepergian jengkol itu saat Marselina membawanya keluar ruangan.
"Ibu aku ingin meminta saranmu untuk mengatasi perilaku anak-anakku," kata Abimanyu.
"Mereka berbuat ulah lagi?" tanya Citra sembari menggosokkan kuku tangannya.
"Mereka diskor karena perbuatan buruk di sekolah," jujur Abimanyu. Citra menghela nafasnya.
"Kalau aku bilang kau cari saja ibu yang bisa menggantikan posisi Lara pasti kau tidak mau," ujar Citra.
"Bagaimana jika kau minta Anggun untuk mengajarimu anak-anakmu adab sopan santu ,pelajaran sekolah dan semuanya. Sebagai pendidik di rumah tapi mereka tidak menyadarinya. Mereka merasa bahwa pengajar itu adalah teman mereka," saran Citra.
"Anggun aku rasa tidak akan mau, dia itu anaknya pembesar kota ini."
"Kalau begitu kau minta Anggun untuk mencarikan seorang mentor khusus untuk anak-anakmu," saran Citra. Abimanyu lalu berpikir apa yang ibunya katakan itu benar. Dia butuh seorang wanita untuk memberi perhatian lebih pada anak-anaknya. Wanita sabar yang pengertian. Namun, siapa wanita itu?
Tiba-tiba ingatkan Abimanyu kembali pada saat siang tadi, saat dimana Bumi begitu nyama. dalam pelukan seorang gadis. Sayang, dia tidak melihatnya wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!