Dihirupnya dalam-dalam angin pagi yang melintas melewati celah jendela kamar. Sani terbangun dengan sebuah selimut tebal yang menutupi tubuhnya saat itu. Saat mengangkat kaki dia sedikit meringis merasakan berat tubuh yang menindih. Dicobanya beberapa kali untuk bangun, ternyata berat itu tidak sebanding dengan tenaganya di pagi hari. Sani sangat malas membuka mata dan memastikan beban apa yang sudah menindihnya hingga dia tidak bisa bergerak sama sekali. Secara perlahan sorot matanya yang masih samar mengintip ke bagian tubuhnya saat itu, seperti tubuh seseorang tepat di atas badannya yang tertutup oleh selimut. Sani tidak mengatakan apapun, dia hanya menutup mata lagi dan diam beberapa saat.
Siapa lagi yang akan membuatnya jengkel sepagi ini? Kesadarannya yang masih belum terkumpul sempurna karena pengaruh alkohol semalam. Sekali lagi dengan malas Sani menggerakkan kakinya tapi ternyata masih sulit. "Siapa yang sedang tidur ini?" Pikirnya yang masih berusaha menggerakkan kaki dengan mata tertutup, karena saat itu dia masih malas untuk membuka mata.
"Bibi... Bibi..." Teriaknya berusaha meminta tolong kepada pembantu di rumahnya.
Sani tidak mendengarkan sebuah jawaban apapun.
Sekali lagi dia mencoba untuk bangun dengan menyingkirkan tubuh lain dari atas badannya itu.
Saat ingin membuka mata dia merasa kesulitan, perlahan dia bisa melihat ruangan kamar tapi matanya langsung tertutup lagi.
Sani menggunakan tangannya untuk membuka selimut yang saat itu mulai terasa sesak. Tapi keanehan terjadi lagi, kali ini tangannya yang sangat berat untuk digerakkan.
Panik, Sani mulai merasa cemas tak tahan, selain sesak dia juga mulai kesal karena tubuhnya yang tidak bisa bergerak sama sekali. Namun semakin dia merasakan panik sesuatu yang menindihnya semakin berat dan lebih berat dari sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dia mengalami kejadian aneh, dia tidak tahu kejadian seperti apa yang sedang menimpanya itu.
Saat mulai putus asa Sani menggunakan semua tenaganya untuk bangun, dan akhirnya berhasil.
Keringat bercucuran dan sudah basah dari atas kepala, napasnya yang turun naik tidak seirama karena rasa sesak tadi. Dan saat memastikan, Sani semakin bingung dibuatnya. Dia tidak melihat apapun yang seperti dalam penglihatannya tadi ada sesuatu yang menindih di tubuhnya karena itu dia sulit untuk bangun. Disingkapnya semua selimut yang menempel ke tubuhnya, Sani langsung berdiri dan mencari ke semua sudut di ruangan bahkan sampai ke bagian bawah tempat tidurnya. Dia mulai merasa aneh, tidak ada apapun. Apa mungkin karena efek alkohol? Pikirnya yang masih berasumsi sama.
Sani langsung tidak memperdulikannya, dia berjalan ke arah jendela dan mengambil jepit rambut dari atas meja di sampingnya. Pandangannya tertuju ke bagian bawah dari tempat kamarnya yang saat itu berada di lantai 3. Keadaan di jalan sudah ramai, karena hari ini hari Minggu dia pun seperti biasa akan bersantai di rumah.
Saat asik melihat ke bawah Sani merasakan langkah pelan dengan bayangan orang yang melintas di sudut matanya. Dia langsung memastikan, tapi tidak ada apapun. Hatinya yakin jika tadi jelas-jelas ada seseorang yang sengaja lewat.
Sani kembali tidak memperdulikannya, mungkin efek alkohol yang masih mempengaruhi semua inderanya.
Saat matanya melihat ke arah kamar mandi Sani langsung terpikirkan untuk segera bersiap, dia ingat dengan sebuah acara yang akan diadakan di rumahnya ini tepat pukul 17.00. Masih sangat lama memang, tapi dia harus mandi sebelum pergi belanja, lagi pula karena hari sudah sangat siang tidak mungkin dia pergi tanpa mandi.
Matanya melihat HP yang tergeletak di atas meja, diambil telpon genggamnya itu. Dari layar muncul begitu banyak panggilan tidak terjawab. "AYAH." Sebuah nama dari kontak panggilan teratas. Sani langsung mengabaikannya dan kembali menyimpan Hp di tempat semula.
Perasaannya sangat senang setelah acara semalam, rasanya semua beban lari dalam pikirannya. Tapi tidak mungkin kan jika dia harus melakukannya setiap hari.
Sani langsung menata bath tub dan mengisi air hingga penuh. Dia menyalakan musik dengan lampu yang sengaja dimatikan. Dari sudut kamar mandi hanya ada lilin aroma yang menyala sebagai satu-satunya penerangan.
Alunan musik yang langsung menyatu dengan mood nya, ditambah suasana kamar mandi yang akan memanjakannya. Sani mulai memasuki bath tub dan berendam untuk beberapa menit saja. Itu rencananya, tapi kenyataannya dia terlalu nyaman dan sampai tertidur lagi.
Rumahnya yang sangat mewah dengan 3 lantai yang luas, Sani sepertinya sudah terbiasa meskipun kadang-kadang dia harus sendirian tinggal di rumah.
Tok...tok...
Sebuah suara yang mulai mengusik, suara ketukan pintu dari arah luar. Samar terdengar ke telinga tapi Sani mengabaikannya, pikirnya mungkin hanya pembantu rumah yang akan menyuruhnya makan di bawah.
Tok...tok...tok...
Beberapa saat suara itu kembali terdengar dan karena terlalu nyaring membuat Sani sangat kesal.
"Ia Bibi tunggu saja!" Teriak Sani dari arah dalam.
Sani tidak mendengar sebuah jawaban.
Tok...tok...tok...
Lagi-lagi suara itu terdengar menyusul.
Sani langsung bangun dan mulai kesal, apakah Bibi tidak bisa sabar?
Beberapa saat suara itu menghilang. Awalnya Sani akan bangun tapi karena suara itu tidak terdengar lagi dia kembali memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya. Biarkan saja Bibi pembantunya menunggu, Bibi harus sabar.
Kegiatan mandi sudah selesai, Sani sedikit terkejut ternyata dia menghabiskan waktu 1 jam lamanya untuk mandi.
Hp di atas meja kembali bergetar lagi menunjukkan sebuah panggilan masuk dan mengalihkan perhatiannya. Sani menebak Ayahnya mungkin yang menelpon. Rasanya semakin malas saja setiap kali Sani menerima panggilan dari Ayahnya. Tidak lama Hp nya kembali diam, lalu kemudian bergetar lagi menandakan ada chat WA masuk. Sani sedikit penasaran, dia berjalan mengambil Hp nya.
"Sani Bibi meninggal di pasar, Ayah dapat kabar dari supir katanya ada seseorang yang menabrak Bibi."
Seperti di sambar petir di siang bolong. Sani mengulangi lagi chat yang ia baca karena tidak percaya. Rasanya tidak mungkin jika Ayahnya berbohong. Lantas tadi siapa? Pikirnya yang langsung teringat kejadian di kamar mandi. Di rumahnya ini hanya ada dirinya sendiri dan Bibi, jika Bibi sudah pergi ke pasar lalu yang mengetuk pintu kamar mandi siapa? Sani terperanjat kaget bukan main, rasanya jantungnya langsung berhenti seketika. Sani kembali memperhatikan ke arah kamar mandi, saat itu perasaannya mulai terjaga ada rasa takut yang membuat dia terus memperhatikan seisi kamar. Tapi tidak ada apapun yang aneh selain perasaannya saja.
Tanpa menunggu waktu Sani langsung berlari meninggalkan kamar menuju pintu dan menuruni tangga dengan terburu-buru. Dia lupa hanya memakai handuk kimono dan rambut basah yang belum disisir.
Dituruninya setiap anak tangga dengan jantung yang terus semakin kencang berdegup.
Tidak ada suara lain di rumah itu, yang terdengar hanya langkah dari sendal yang dia pakai ketika menyentuh lantai.
Sani langsung menghentikan langkahnya sekaligus hingga membuatnya hampir terjatuh karena tubuhnya yang tidak seimbang.
Ada sesuatu yang melewati dinding di dekat pintu keluar.
Sani tidak lagi berlari dia kali ini berjalan dengan sangat hati-hati. Rasanya sesuatu yang menyeramkan seperti di film horror yang sering dia tonton akan terjadi. Sani tahu jika di rumahnya kini hanya ada dia sendirian tidak ada siapapun lagi.
Matanya terus mengawasi ke bagian dinding yang ada di samping pintu. Rasanya sudah tidak tahan lagi tapi yang bisa dilakukannya hanya keluar dari rumah. Tidak ada cara lain.
Tak terasa tangannya yang mulai gemetar menyentuh gagang pintu. Rasanya satu detik berlalu seperti satu menit lamanya, Sani tidak bisa membayangkan apapun yang lebih menakutkan sudah terjadi dengannya. Dia tidak ingin mendeskripsikan apapun yang sedang terjadi, Sani menolak semua pikiran itu. Dengan menutup mata Sani terus mengumpulkan keberanian untuk menggerakkan gagang pintu hingga akhirnya terbuka. Sangat beruntung karena Bibi tidak menguncinya. Tanpa basa-basi dia langsung pergi berlari menuju grasi mobil yang terparkir di belakang halaman.
Sani terdiam lagi mengingat mobilnya itu terparkir di grasi luas yang ada di belakang halaman rumah, selain posisinya yang jauh dan ruangan itu sangat gelap. Dia tidak punya lagi keberanian untuk pergi ke sana.
Beruntung Sani sudah berada di luar rumah dengan cahaya matahari yang sangat cerah. Dia mulai bersantai dan masih kesal karena kejadian yang sudah menimpanya di awal pagi seperti ini. Ayahnya selalu tidak ada di rumah, di rumah hanya ada dia, Bibi pembantu dan seorang supir.
Pikirannya kembali teralihkan pada isi chat yang dikirim oleh ayahnya. Bibi meninggal? Terdengar seperti bohong.
Tiba-tiba pintu gerbang yang letaknya jauh dari tempatnya berdiri mulai terbuka, Sani berusaha memastikan siapa yang sudah datang di jam seperti ini?
Mobil berwarna abu terlihat ada di ambang pintu. Mood nya langsung hancur seketika. Mengapa ayahnya datang hari ini? Sekarang dengan siapa lagi dia datang? Sani sangat kesal, dia terus berdiri menunggu jawaban dari pertanyaannya itu.
Mobil berhenti di hadapannya sebelum diparkirkan ke grasi belakang. Awalnya Ayah turun, dan terlihat seorang wanita menyusul. Sani sudah sangat kesal siapa lagi yang Ayahnya bawa pulang?
Wanita muda yang cantik dan seksi, penampilannya yang cocok seperti PL. Sani semakin melotot saat melihat wanita itu dengan sengaja mencium ayah di depan matanya dan supir, tangannya terus saja menempel ke lengan Ayah, bahkan saat Sani turun mengikuti tangan wanita yang satunya lagi dia langsung dibuatnya terkejut, tangan wanita itu secara terang-terangan terus menyentuh paha ayah dari balik jaket panjang yang Ayah pakai. Sani langsung memalingkan wajah dengan kesal. Dia sangat malu melihat kejadian yang dilakukan Ayah dengan wanitanya.
"Sani anakku, dia sangat cantik kan?" Tanya Ayah yang tidak dijawab Sani.
Ayah terus tersenyum senang mungkin karena setiap jengkal sentuhan yang dilakukan oleh wanita itu.
Tanpa berkata apapun lagi Ayahnya terburu-buru pergi ke dalam.
"Non kok keluar rumah pakai kimono?" Tanya supir Ayah yang langsung membuat Sani kaget.
Dia memastikan dan melihat dirinya yang sudah berpenampilan memalukan. Beruntung karena saat itu dia belum keluar rumah.
Tanpa menjawab Sani langsung berlari menuju arah tangga, sedikit sudut matanya melihat wanita itu yang terus menggoda Ayah. Saat itu juga Sani langsung merasa jijik dan cepat berlalu tidak menghiraukan.
"Pela*** dibawa pulang." Protes dalam hatinya.
Sani sudah sangat kesal, namun dia tidak bisa melakukan apapun. Teringat pesan Ibunya sebelum meninggal, jika dia harus tinggal dan hidup layak dengan Ayahnya.
Memikirkan rasa kesalnya semakin menghancurkan moodnya saat itu juga.
Jauh dalam hatinya Sani sangat kesepian dan merindukan keluarga yang normal dan utuh. Meski hidup tidak berkekurangan, tapi apa jadinya jika dia memiliki Ayah yang seperti itu. Dia sangat malu.
Sani langsung merobohkan tubuhnya ke atas kasur. Dia masih membisu, sebenarnya dia sangat tertekan tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Apa yang bisa dilakukannya kali ini? Dia tidak ingin dan sangat tidak berani jika harus berulah lagi. Teringat satu kejadian dulu ketika dia berusaha melawan Ayahnya. Kejadian yang tidak bisa dilupakan seumur hidupnya.
Derrt... Drrrtt
Suara getar Hp menarik kesadarannya.
Dengan malas Sani bangun dari tidur dan berjalan ke arah meja untuk mengambil HP.
"Non Bapak sudah pulang? Sebentar lagi ambulan datang."
"Hebat nih Ayah Sani bawa mama baru."
"San mama baru mu cantik banget."
"San jadi gak acaranya?"
Dan masih banyak pesan yang tidak dijawab semuanya.
Sani mulai menyandarkan diri ke sebuah dinding di kamarnya itu. Dia tidak berdaya lagi memikirkan semua masalah yang terjadi.
Mengapa keluarga satu-satunya yang dia miliki harus seperti ini? Ibu tidak menceritakan keluarga yang lainnya, dan Ayah tidak juga memberitahu bahwa ada keluarga lainnya. Apa yang terjadi? Semua seperti tidak memperbolehkannya untuk menemui keluarganya sendiri.
drrrtt... drrrttt...
Dering Hp terus terdengar beberapa kali.
Sani tidak memperdulikannya, dia sedang menangis sendiri di ujung sudut ruangan yang hanya ada dirinya. Dia tidak selemah ini di hadapan orang-orang, sebenarnya Sani bukan orang yang lemah dan gampang menangis, ketika Ibunya meninggal Sani tidak menangis sedikitpun di hadapan orang-orang.
Flashback
Sani usia 5 tahun.
"Ayah ini selalu saja pergi pagi pulang seenaknya. Kemana saja? Kerja bisa sampai lupa waktu." Teriak Ibunya terdengar di balik pintu oleh telinga Sani yang diam-diam menguping dari luar.
"Cerewet sekali seharusnya kau bersyukur dan jangan banyak protes, sudah diberi makan saja sudah untung! Memangnya kamu bisa cari uang?" Hardik Ayahnya yang terdengar lebih emosi.
Sani yang masih 5 tahun terus menguping dari balik pintu, meski sebenarnya dia takut jantungnya berulangkali kaget mendengar setiap teriakan yang didengar. Dan ketika menyaksikan orang tuanya yang terus bertengkar di rumah membuat Sani hanya bisa mematung menjadi penonton kecil yang tidak tahu apa-apa. Sani merasa penasaran untuk usianya yang kecil dia sudah bisa mengerti apa yang terjadi dengan orangtuanya itu.
"Ya sudah lebih baik aku pergi saja, aku capek! Aku gak bisa harus menghadapi kamu yang semakin seenaknya!" Ucap Ibunya.
"Memangnya kamu bisa hidup sendiri? Kamu bisa apa? Sebaiknya sekarang kamu pergi dari sini dan jangan ke rumah ini lagi!" Ancam Ayahnya.
Sani langsung terkejut mendengar Ayahnya mengatakan hal itu, meskipun baginya pernyataan itu adalah sesuatu yang abstrak, tapi ketika dia mendengar Ibunya diusir dengan nada bicara seperti itu membuat Sani menangis, hingga tangisannya terdengar.
Ibu dan Ayahnya yang sedang di dalam kamar langsung terkejut dan berebut menghampiri pintu untuk membukanya. Dilihat Sani kecil yang sedang menangis sesenggukan. Matanya sendu penuh dengan air mata memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan polos dan dari sorot matanya bisa langsung menyentuh hati kedua orangtuanya
Ibunya langsung merangkul tubuh Sani yang kecil, tidak menunggu waktu untuk membiarkan anaknya menangis lebih lama, karena baginya yang seorang Ibu pemandangan itu lebih terlihat menyakitkan dari apapun.
Rasanya bersalahnya yang sudah membiarkan putri kecil Sani menguping hingga menangis mendengar pertengkaran dan keegoisan keduanya sebagai orang tua.
Tidak mau kalah Ayah Sani juga ikut menenangkan, bagi seorang Ayah meskipun dia adalah laki-laki tapi ketika melihat anaknya yang masih kecil menangis dia juga bisa ikut sedih dan tak tahan mendengar tangisan anaknya.
Ketiganya berjalan keluar dari rumah, Sani di bawa oleh Ibu dan Ayahnya ke halaman rumah.
Saat melihat ayunan yang dibuat oleh suaminya, Mirna teringat untuk menghibur Sani dengan permainan kecil yang akan dia tunjukkan, sebuah ayunan sederhana yang dibuat sendiri oleh suaminya dengan susah payah. Sani yang masih kecil hanya memandangi raut wajah kedua orang tuanya, dia melihat kedua orang yang sedang antusias menghibur hingga rengekan yang keluar dari mulutnya perlahan berhenti. Mata kecilnya langsung memandangi ayunan itu menandakan jika dia ingin menaikinya.
Sani duduk di atas ayunan, lalu perlahan dari belakang Ayahnya mendorong ayunan hingga Sani berayun dengan sangat senang. Senyum kembali terlihat di wajah kecilnya, begitupun kebahagiaan sekilas kembali mewarnai mata Sani saat itu. Ibunya terus menghibur Sani seperti berusaha menghapus kesalahan yang sudah dilakukannya tadi.
Flashback
"Sani senang ya? Mau jajan yu ke warung." Ajak Ibunya.
Sani langsung mengangguk senang.
"Kita main keluar saja, hari ini kan libur Sani pasti lebih senang kalau Ayah ajak main ke luar." Timpal Ayahnya tak mau kalah.
Mirna memandangi Suaminya, hatinya sedikit tersentuh tak menyangka jika suaminya masih perhatian dan memperhatikan kebahagian Sani. Selama ini setelah bekerja Suaminya tidak pernah mempunyai waktu.
"Tunggu apalagi ayo siap-siap!" Ajak Suaminya membuyarkan pikiran Mirna saat itu.
Mirna langsung gesit tidak menunggu diperintah dua kali, dia pergi ke kamar mengganti pakaian putrinya dan untuk berdandan. Sedangkan Suaminya menunggu di kursi dengan santai.
"Mama... Ayah!" Ucap Sani ketika dipangku Ibunya, dia tersenyum saat melihat Ayahnya yang terus memandangi ke arahnya.
Mendengar perkataan Sani membuat Suaminya itu langsung tersenyum dan melambaikan tangan.
Saat berada di kamar Mirna sudah bersiap memakai baju, tiba-tiba dering Hp membuat perhatiannya teralihkan. Matanya langsung menangkap Hp yang berdering tergeletak di atas meja rias di depan saat dia berdiri. Melihatnya Mirna bisa langsung menebak jika Hp Itu adalah milik suaminya. Mirna terheran mungkin Suaminya sudah lupa menyimpan Hp di kamar dan tanpa sengaja dibiarkannya saja.
Mirna merasa penasaran siapa yang sudah menghubungi Suaminya. Dia mengintip ke balik layar yang terkunci, saat menyentuh Hp nya dari layar langsung muncul sebuah pesan Wa. "Pah cepat pulang! Andre sakit panas harus ke dokter sekarang!" Chat Wa dari orang yang tidak tercantum namanya. Seperti disambar petir di siang hari, Mirna kaget dengan orang yang tidak diketahui sudah mengirim pesan seperti menganggap Suaminya adalah Ayah dari anak yang orang itu sebutkan. Pikirannya langsung melayang membayangkan jika ada wanita lain yang sudah lama bersama Suaminya.
Saat itu jiwanya langsung bergetar memaknai kata-kata yang dia baca sendiri. Seketika semua kepercayaannya langsung lenyap. Segenap hatinya terasa hancur tanpa ampun. Mirna masih diam tidak percaya, tapi tangannya lemah dan langsung menjatuhkan Hp ke lantai.
"Mama. Sani!" Ucap putri kecilnya.
Sani yang sibuk memegang bedak di tangan dan mulai memainkannya dengan santai sambil tersenyum menggoda Ibunya.
Tapi Mirna masih diam mematung, kata-kata itu terus muncul dalam pikirannya, Emosi terasa langsung mendesaknya saat itu, membayangkan suaminya selingkuh adalah satu-satunya yang tidak bisa dia maafkan. Dan kini dia membaca sebuah chat yang masuk dengan matanya sendiri.
Mungkinkah perempuan lain yang membuat suaminya selalu jarang pulang ke rumah? Asumsi Mirna mulai semakin liar. Dia yakin jika Suaminya sudah tidak bisa setia, semua buktinya sudah dia saksikan sendiri. Berarti suaminya memang sudah selingkuh?
"Mah lihat Hp?" Tiba-tiba tanya Suaminya langsung masuk ke kamar. Matanya bergerak teratur ke bawah dan melihat Hp tergeletak di bawah kaki istrinya.
Mirna masih diam dan tidak menghiraukan saat Suaminya mendekat dan meraih Hp yang tergeletak. Dilihatnya ke arah samping Sani sedang duduk dan memainkan bedak yang sudah berhamburan hingga meninggalkan noda banyak di bajunya.
"Loh Sani!" Ucap Ayahnya berdiri dan menghampiri Sani melewati Mirna Istrinya.
"Kamu selalu gak becus, kita kan mau pergi dan kamu malah membiarkan Sani bermain sendiri. Lihat tuh sudah jam berapa!" Teriak Suaminya kesal sambil membersihkan bedak yang menempel di baju Sani.
"Cepat dong dandan, LELET, LAMA!" Terdengar lagi sebuah bentakan dari Suaminya.
"Andre, siapa Andre Mas?" Tanya Mirna dan memandangi Suaminya yang berdiri.
"Siapa Andre?" Suaminya balik bertanya namun matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, terlihat salah tingkah karena tidak berani menatap Mirna secara langsung.
"Aku sudah tahu dan baca sendiri! Kamu. Kamu selingkuh dan Andre? Anakmu, kan?" Tanya Mirna emosi, dia tak bisa menahan tangis yang langsung memecah.
Suaminya tak bereaksi mendengarkan amukan Mirna, dia menurunkan Sani dari pangkuannya dan dengan santai mengecek Hp yang belum dilihatnya dari tadi.
Layar Hpnya retak, pasti karena dibanting dan terjatuh.
"Kamu tahu kan? Aku gak bisa terima kalau sekali saja kamu sudah berkhianat. Kamu tega!" Ucap Mirna masih menangis.
Suaminya diam dan membiarkan Mirna menangis. Bahkan rasanya untuk mengatakan maaf untuk sekedar menenangkan tidak dilakukannya.
"Sekarang kita cerai, aku mau cerai! Aku mau pulang!" Teriak Mirna. "Aku mau pulang ke Ibu, aku gak mau di sini terus!" Mirna sudah hilang kendali.
"Ngaco ya kamu, memangnya Ibu kamu peduli? Sekarang kamu berani mau pulang? SILAHKAN!" Bentak Suaminya terlihat tidak mengindahkan perkataan Mirna yang sedang marah.
Tangis langsung membanjiri kedua mata Mirna. Mirna berharap tidak mendengar kata-kata yang menyakitkan dari suaminya. Padahal Suaminya yang sudah berbuat salah tapi mengapa dia yang harus menerima bentakan dan tidak dihargai sama sekali.
plakk...
Sebuah tamparan langsung melayang ke pipi. Untuk pertama kalinya Mirna mendapatkan tamparan dari Suaminya itu. Padahal Mirna masih menangis tapi suaminya tidak peduli, sekilas terlihat dari sorot mata suaminya yang sudah berubah. Belum cukup menampar Mirna, Suaminya lebih emosi mencari sesuatu dan mengambil sapu yang menggantung di balik pintu, lalu dengan sekuat tenaga gagang sapu yang terbuat dari kayu itu dibanting dengan keras ke tubuh Mirna. Mirna berusaha menghindar tidak menyangka dia akan mendapatkan pukulan yang terus menyiksa tubuhnya. Dia memohon berulangkali karena tubuhnya kesakitan, tapi yang dia terima tetap hanya pukulan dan tendangan kaki Suaminya. Hati Mirna semakin sakit saat Sani yang masih kecil menjerit menangis menjadi saksi kekerasan yang diterima oleh Ibunya, dan menyaksikan Ayah yang ia cintai menjadi jahat dan menakutkan. Mirna bersusah payah meraih tubuh anaknya meski punggungnya sendiri terus disiksa dengan gagang sapu.
Emosi Suaminya sudah membuat dia buta, entah karena perkataan Mirna atau karena Suaminya tidak lagi mencintainya sebagai seorang istri. Siksaan yang dialami Mirna adalah untuk pertama kalinya setelah sekian lama hidup bersama. Padahal dulu Suaminya sangat menghargai Mirna hingga bertanggung jawab membesarkan Sani secara bersama-sama. Tapi sekarang semua kenangan itu tidak ada artinya. Mirna hanya melihat Suaminya yang sudah berubah. Dia yakin selain karena wanita itu Suaminya masih membenci ke dua orang tua dan keluarga Mirna, karena saat Mirna menyebutkan orang tuanya emosi suaminya langsung berubah.
Awalnya kehadiran Sani adalah kebahagiaan bagi keduanya. Hubungan Ayah dan Ibunya tidak bisa dimengerti Sani dengan mudah. Ibu tidak meninggalkan Ayah, begitupun Ayah tidak meninggalkan Ibu. Padahal perselingkuhan Ayah masih tidak bisa dilupakan Ibu, setiap hari sampai bertahun-tahun Sani harus menyaksikan Ibunya yang bersedih dan frustrasi. Mulai dari marah-marah dan tidak mau mengurus Sani. Bahkan di usia Sani yang sekarang, tepat 7 tahun dan Sani sudah sekolah di SD pada tahun pertama.
Sedikit kebahagiaan Sani bisa terobati saat di sekolah. Ibu gurunya sering bertanya mengapa Sani memakai baju yang lusuh atau tidak menggunakan sepatu. Pertanyaan itu hanya membuat Sani menundukkan kepala, dia yang masih kecil tidak mengerti apa yang salah, Sani hanya memakai baju yang ada di kamarnya, tentang sepatu Sani masih belum punya apalagi tas dia terpaksa memakai tas besar yang sudah tidak dipakai Ibunya.
Ternyata hari pertama Sani sekolah tidak menyenangkan, dia tidak mempunyai teman karena penampilannya. Akhirnya Sani hanya menangis sendiri sampai pulang ke rumah.
"Ibu... Ibu. Sani tidak punya baju bagus, Sani tidak ada sepatu. Sani diledek memakai tas besar." Teriak Sani sambil menangis di luar pintu kamar yang tidak diindahkan sama sekali oleh Mirna Ibunya.
Ayahnya sudah 3 bulan tidak datang ke rumah. Tidak ada uang, padahal keperluan Sani saat itu sangat harus dipenuhi.
"Ibu... Sani diledek di sekolah. Sani gak punya baju bagus." Ucap Sani sambil menangis.
Sebenarnya baju itu sudah disiapkan Ibunya tapi belum sempat disetrika dan dirapihkan. Karena tidak punya uang Ibunya tidak bisa membelikan lagi yang lain.
Tangisan Sani saat itu hanya seperti nada lagu yang terus terdengar. Ibunya mengunci diri di kamar.
Sampai seseorang datang karena mendengar Sani yang menangis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!