NovelToon NovelToon

Suamiku Gemulai

Awal mula

Seorang gadis SMA tengah berjalan menyusuri tepi jalan raya di siang yang terik itu, entah sudah berapa kali ia menyeka keringatnya yang bercucuran di dahinya. Dan berulang kali juga ia mengumpat kesal.

Entah apa yang membuat gadis itu kesal?

"Huftt. Sial banget hidup gue!" Umpat gadis itu. Lalu ada kaleng cap badak yang teronggok di dekat kakinya dan secara reflek ia pun menendang kaleng tersebut kesembarang arah.

KLONG

"Awwww." Pekik seseorang.

Mata gadis itu membulat sempurna saat kaleng yang ia tendang mengenai kepala seorang pria bule yang sedang mengecek ban mobil.

"Mampus gue." Gadis tersebut mengumpati dirinya sendiri.

Pria tersebut menatap sekelilingnya dan tatapannya berhenti saat melihat gadis SMA yang berdiri tak jauh di sana dengan mata yang juga menatapnya. Dan ia yakin jika gadis tersebutlah yang melempar kaleng tersebut.

"Hei!! You!" Teriak lelaki tersebut.

Tuh 'kan dia marah, mampus gue. Batin gadis itu.

"I'm sorry mister." Ucap gadis tersebut sudah sangat ketakutan.

Gadis tersebut benar-benar sangat takut dan berniat untuk melarikan diri. Apalagi sorot mata tajam itu terlihat sangat menakutkan.

"Sorry sorry! Yei pikir kepala eike ini tong sampah, Hah!"

NGEK

Ketakutannya luntur seketika, saat mendengar pria itu berbicara. Dan kedua mata gadis itu menerjabkan matanya berulang kali dan juga mengusap kedua telinganya berulang kali.

"Maaf?" Gadis itu berucap sambil menahan tawanya.

"Kuping yei budek yah! UH, ya amidong capek deh eike." Ucapnya dengan gaya gemulai.

Yeh, ganteng-ganteng gemulai. Batin gadis tersebut, masih menahan tawanya.

"Heh, yei denger gak?!"

"Iya maaf, ehm tante." Ucap Gadis itu.

Ya ampun yang benar saja aku memanggilnya tante. Batin gadis itu tergelak.

"Tante...tante! Yei pikir eike tante girang." Sewotnya.

"Iya maaf, ehm—"

"Panggil eike Miss Em! Yei paham." Potongnya cepat.

"Ya Miss Em. Pfftt." Gadis itu berucap sambil menahan tawanya.

"Sekali lagi maaf ya Miss."

"Yes, sudah sana. Yei, bolos sekolah yes?" Ucap Ema, saat memperhatikan gadis itu memakai seragam sekolah. Ucapan Ema membuat gadis itu berubah sendu, tapi Ema tidak memperdulikannya dan kembali lagi mengotak-atik ban mobilnya.

Sepertinya pria gemulai itu akan mengganti ban mobilnya. Karena merasa bersalah gadis itu berjalan mendekati Ema.

"Miss sepertinya mobilmu mogok atau—"

"Pecah ban." Jawab Ema cepat. "Huh, ya amidong lihat kuku-kuku cantik eike pada soak, hiks." Ema menunjukan kuku cantiknya kepada gadis itu.

Ya ampun kukunya bagus sekali, pasti perawatannya mahal. Aku yang perempuan saja kuku ku seperti kuli bangunan. Batin gadis itu terkagum ketika melihat kuku cantik Ema terlihat lecet.

"Boleh bantu enggak Miss?" Tanya gadis itu.

"Ganti ban?" Gadis itu mengangguk.

"Yei yakin?" Gadis itu mengangguk lagi.

"Terserahlah, yang penting beres. Uh ya amidong hari ini panasnya cetar membahenol." Ema mengipasi wajahnya dengan telapak tangannya.

"Miss duduk disana saja, biar aku yang mengerjakannya." Gadis itu menunjuk pohon besar yang tumbuh di dekat trotoar jalan.

"Nggak usah di suruh eike juga tahu keles." Jawab Ema, lalu menyibakakan rambut cepaknya kemudian berteduh di bawah pohon yang rindang itu.

"Dih. Songong." Gumam Gadis itu, sambil meletakkan tasnya di tas Kap Mobil.

Gadis itu terlihat lihai mengganti Ban mobil walau hanya sendirian.

Tuh bocah, kesurupan Jin apa yes?.Batin Ema saat melihat gadis itu mampu mengangkat ban mobil yang berat itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setengah jam berlalu, akhirnya Gadis itu selesai mengganti Ban mobil tersebut.

"Miss, sudah selesai." Panggil Gadis tersebut sambil menepuk tangannya berulang kali agar debu di tangannya sedikit berkurang.

Ema yang memejamkan matanya sambil bersender di pohon besar itu pun terkejut, kemudian beranjak dan menghampiri gadis tersebut.

"Sudah yes?" Tanya Ema, sambil mengecek ban mobilnya.

"Iya sudah." Jawab Gadis tersebut.

"Ha ha ha haa, Ya amidong. Lihat wajah Yei." Ema memberikan kaca kecil yang selalu di kantonginnya kepada gadis itu.

"He hee, sudah biasa Miss." Jawab Gadis itu meringis, saat melihat wajah manisnya terlihat kumal dan ada bekas oli yang menempel di wajahnya.

"Terserah yes." Ucap Ema, sambil merebut kacanya kembali.

"He he hee." Gadis itu hanya menyengir kuda.

"Ini buat jajan." Ema memberikan beberapa lembar uang untuk gadis itu.

"Tidak perlu Miss, aku ikhlas membantunya." Tolak Gadis itu sambil mendorong tangan Ema yang memegang uang tersebut.

"Hei! Tidak boleh seperti itu yes, ini adalah rejeki!" Kesal Ema.

"Tapi—"

"Sudah!! Terima Yes, eike juga makasih." Ucap Ema, lalu memasukan beberapa lembar uang tersebut kedalam saku seragam sekolah gadis itu dengan paksa.

"Astaga!" Gadis itu memekik ketika tangan Ema masuk kedalam sakunya dan tidak sengaja menyentuh daging kenyal miliknya. Membuat darahnya berdesir.

Mulai Nacalll ya Miss Em. 😆

Setelah itu Ema langsung berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun dan segera memasuki mobilnya.

"Makasih Miss." Teriak gadis itu, sambil melambaikan tangannya saat mobil yang di kendarai Ema menjauh.

"Aduh, jantungku! Untung saja dia gak doyan sama eike booo." Ucap Gadis itu sambil memegang dadanya lalu tergelak.

"Ih, lumayan buat bayar uang tunggakan sekolah." Ucapnya lagi saat menghitung uang dari Ema.

Dua ratus ribu, uang itu sangat berarti untuknya.

"Eh, tas ku!!" Pekik gadis itu, sambil memegangi kedua pundaknya. Ia baru tersadar jika tasnya masih berada di atas Kap Mobil Ema.

"Aduh, gimana nih?" Ucapnya sambil menghentakkan kakinya kesal. Ingin mengejar Ema akan tetapi tidak mungkin bisa, akhirnya dia pasrah saja , soal tugas sekolah ia bisa meminjam teman sebangkunya nanti.

Disisi lain, Ema tengah menepikan mobilnya sambil mengumpat kesal.

"Ya ampun, bodohnya aku!" Ema meremat rambutnya frustasi, sambil meletakkan kepalanya di atas stir mobil.

Begitulah Ema jika tidak ada orang, ia berbicara normal seperti pria pada umumnya.

"Eh, itu bukannya tas gadis kecil itu?" Gumam Ema, saat ia mendongakkan kepalanya dan ia melihat ada tas yang bertengger di atas Kap mobilnya.

"Untung tidak di gondol angin." Ucapnya saat mengambil tas tersebut dan membawanya masuk kedalam mobil.

"Afika larasati?" Ema tersenyum penuh arti, saat melihat gantungan kunci di tas tersebut tertera nama gadis itu.

Kemudian Ema menjalankan mobilnya lagi, tapi pikirannya masih melayang dan mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.

Kenyal seperti squisy. Gumam Ema, sambil menatap tangan kanannya yang nakal dan tanpa sengaja menyentuh benda kenyal milik gadis kecil itu.

Entah kenapa darah Ema menjadi berdesir saat mengingatnya dan burung kutilangnya yang sudah lama hibernasi pun sudah mulai siuman dan mengangkat sedikit kepalanya.

Karena kisah masa lalunya yang kelam membuat diri Ema terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan.

Penasaran kisah selanjutnya?! Ikuti terus ya!

Jangan lupa tekan tombol like! Komentar, Vote dan kasih bunga dan juga kopi😘

Sesak!

"Aku pulang!" Seru seorang gadis berseragam SMA saat memasuki rumah, kemudian ia melepaskan sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu yang berada di dekat pintu.

"Ya! Kau membolos ya!" Teriak Bondan, dari arah dapur menuju arah pintu sambil mengacungkan spatula ke arah anaknya. Sepertinya Bondan sedang memasak di dapur.

"Siapa yang membolos? Ayah sendiri kenapa tidak ke bengkel?" Bukannya menjawab malah berbalik tanya kepada Ayahnya, dan tentu saja hal itu membuat Bonda mendelik kesal.

"Ck! Jawab dulu pertanyaan Ayah!" Kesal Bondan, sembari berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam.

"Em itu anu." Gadis itu ragu untuk mengatakannya.

"Anu apa! Bicara yang jelas!"

"Fika, tidak boleh masuk sekolah karena belum membayar tunggakkan uang sekolah." Ucapnya bergetar, sembari menundukan kepalanya dan meremat kedua tangannya.

Seketika itu Bondan langsung menurunkan kedua tangannya yang tadinya ada di pinggangnya dan kedua mata yang sudah di kelilingi oleh keriputan itu berkaca-kaca. Bondan menatap putri semata wayangnya dengan perasaan bersalah, karena ia merasa tidak bisa menjadi Ayah yang baik untuk putrinya.

Nampak jelas sekali jika pria itu menghela nafasnya berulang kali, lantaran dadanya yang tiba-tiba merasa sesak.

"Yah?" Fika memanggil Ayahnya yang terlihat diam menatapnya.

"Nanti Ayah usahakan ya " Jawab Bondan, sembari tersenyum paksa.

"Tapi benar ya Yah, karena sebentar lagi ujian kenaikan kelas." Ucap Fika, penuh harap.

"Iya." Jawab Bonda. "Ayo bantu Ayah memasak." Bondan segera berlalu dari sana dan menuju dapur lagi.

"Iya, Yah. Fika ganti baju dulu." Jawab Fika sedikit berteriak, karena Bondan sudah tidak nampak.

Saat sampai di dapur, Bondan mengirisi bawang merah dengan cepat. Namun kemudian ia menumpukan kedua tangannya di atas tempat cuci piring dengan keadaan kepalanya tertunduk juga mata yang berair.

"Ya Tuhan, dari mana aku harus mencari uang sebanyak itu. Sedangkan di bengkel sedang sepi pelanggan." Keluh Bondan, sembari memijat pangkal hidungnya.

"Ayah." Panggil Fika, sembari menepuk pundak Ayahnya.

"Eh." Bondan terperanjat kemudian ia segera mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangannya.

"Ayah kenapa? Ayah menangis?" Tanya Fika, sembari memperhatikan wajah Ayahnya dari samping.

"Tidak, tadi mata Ayah terasa pedih karena habis mengirisi bawang merah." Bohong Bondan, sembari tersenyum menatap putrinya.

Ayah kenapa bohong? Pertanyaan itu hanya sanggup ia ucapkan di dalam hatinya. Jujur dalam hatinya terasa perih saat melihat Ayahnya bersedih karena harus menanggung beban seorang diri.

Ibunya sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, tepat saat hari kelulusannya dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kanker rahim, penyakit itulah yang merenggut nyawa ibunda tercintanya.

"Ayo sekarang, tumis kangkungnya." Titah Bondan, ingin mengalihkan perhatian.

"Iya." Ucap Fika menurut saja, dan mulai mengerjakan tugasnya.

Setelah selesai memasak dan makan siang bersama dengan menu ala kadarnya, Bondan berpamitan kepada putrinya menuju bengkel mobilnya.

"Ayah pergi dulu ya." Pamit Bondan, kepada putrinya yang tengah belajar di kamar.

"Mau kemana, Yah?" Tanya Fika.

"Mau kebengkel." Jawab Bondan, segera keluar dari kamar itu, tapi Fika segera menahan Ayahnya.

"Ada apa?" Tanya Bondan heran.

"Ini tadi Fika membantu orang yang sedang kesusahan mengganti ban mobil dan Fika di beri upah." Jelas Fika, sembari mengeluarkan uang dua ratus ribu itu dari laci meja belajarnya.

"Nak, jika niatmu menolong jangan mengharapkan imbalan." Nasehat Ayahnya dengan lembut.

"Fika tadi sudah bilang tidak mau, tapi pria itu tetap memaksa." Jawab Fika lagi, membuat Bondan menghela nafasnya.

Eh pria apa wanita ya? Batin Fika sembari berfikir.

"Mungkin ini memang rejeki buat, Fika. Jadi Ayah tinggal mencari tambahannya sebesar empat ratus ribu lagi." Ucap Fika, sembari tersenyum meringis saat melihat Ayahnya menatapnya dengan datar.

"Simpan saja uang itu untuk kebutuhanmu." Ucap Bondan datar, lalu segera pergi dari kamar putrinya.

Fika hanya menghela nafasnya dengan kasar, kemudian ia melanjutkan belajarnya lagi, baru saja akan membaca buku pelajarannya, ponselnya tiba-tiba berdering menandakan ada panggilan masuk.

...Kunyuk...

Itu lah nama yang tertera di layar ponselnya, dengan malas Fika menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilannya.

"Apa Nyuk?" Sahut Fika dengan malas saat mengangkat penggilan itu.

"Eh, Kupret. Lo mau duit kagak?" Jawab seorang pria di seberang sana.

"Kalau duit jangan ditanya, Gue maulah asalkan halal." Jawab Fika penuh semangat empat lima. Apalagi saat ini dirinya sangat membutuhkan uang untuk membayar uang sekolahnya.

"Datang ke lapangan xxx, Ada anak bau kunyit mau ajak duel dan dia bakal bayar mahal kalau lo bisa ngalahin dia."

"Berapa dia bayar?" Tanya Fika dengan malas.

"Dua juta."

Brak

Fika menggebrak mejanya saat mendengar bayaran yang akan dia dapat. Sebenarnya Fika tidak ingin menggunakan kemampuan bela dirinya untuk hal yang tidak berguna seperti itu. Akan tetapi saat ini ia sedang membutuhkan uang tersebut.

"Sharelok sekarang, gue bakal habisi anak kunyit itu!" Jawab Fika dengan mantap, kemudian ia mematikan ponselnya dan tidak berselang lama ada bunyi notifikasi dari ponselnya.

Fika berjalan menuju lemarinya dan mengambil baju kebanggannya yaitu Baju karate berwarna putih dengan sabuk hitam yang melingkar di pinggang baju tersebut.

Disisi lain Ema tengah berada di salonnya sambil melakukan menicure pedicure.

"Miss kenapa kukunya pada soak begini?" Tanya pegawainya yang tengah merawat kuku cantiknya.

"Uh ya amidong, itulah yang bikin eike kesel tujuh turunan deh ahh." Ucap Ema dengan gemulai, sembari menggoyangkan kedua bahunya seperti ulat keket.

"Memangnya Miss habis nyangkul?" Tanyanya lagi.

"Heh! Yang benar saja eike yang cantik paripurna bagaikan bidadari dari khayangan begindang, nyangkul!" Sewot Ema, sambil mencebikkan bibirnya kesal.

"Ya barang kali Miss ganti profesi, hi hi hi." Jawab pegawai itu tertawa cekikikan.

"Mau di potong gaji Yei?" Sungut Ema.

"Ya maaf." Jawabnya langsung menghentikan tawanya.

Setelah melakukan perawatan kuku cantiknya, Ema langsung bergegas pulang kerumah untuk mengistirahatkan diri. Rutinitasnya sangatlah padat selain mempunyai salon dan hotel yang mewah, ia juga berprofesi juga make-up artis ternama di kota itu.

Ema memasuki rumah mewahnya sembari menenteng tasnya dan juga tas sekolah milik gadis yang bernama 'Afika larasati'.

"Nue!" Suara itu memanggilnya dengan nada yang tinggi.

Seketika Ema yang akan menaiki anak tangga menghentikan langkahnya dan menatap ibunya dengan malas.

"Ada aposeh, Mam?" Tanya Ema dengan nada gemulai.

"Nue! Kapan kamu akan berubah? Jangan seperti ini terus." Rima mendekati putranya, tapi Ema segera menghindar.

Tentu penolakan dari putranya itu membuat hati Rima sakit.

"Mami ingin tahu kapan aku berubah?!" Tanya Ema dengan suara jantannya.

Rima mengangguk dengan cepat, pada dasarnya ia tidak malu dengan kondisi putranya itu, akan tetapi Rima hanya ingin putranya itu menikah dan memberikannya cucu, apalagi usia putranya itu sudah 35 Tahun.

"Aku akan berubah jika Mami sudah puas!" Ucap Ema dengan penuh penekanan.

"Nue, itu hanya masalalu dan maafkan mami. Please." Mohon Rima dengan sangat.

"Heh." Ema menyunggingkan senyuman sinisnya, saat mendengar penuturan ibunya yang menyepelekan keadaan.

"Masalalu itu yang membuatku seperti ini!" Lanjut Ema dengan suara bergetar.

Tenggorokannya tercekat dan dadanya seperti tertimpa batu besar, saat mengingat masa lalunya. Dia sendiri tidak mengharapkannya menjadi seperti itu. Akan tetapi ibunya?

Mulai nyesek ya 🤧

Lanjut lagi gak nih?

Kasih like, vote, komentar dan kasih bunga dan kopi dong yang banyak!!

Sebuah foto

Fika sudah berdiri di tengah lapangan badminton yang tidak jauh dari rumahnya. Fika menatap lawan duelnya dengan sengit, walaupun lawannya mempunyai tubuh kekar dan dua kali lipat lebih besar darinya, tapi Fika tidak takut sama sekali malahan Fika terlihat santai sembari mencari harta karun yang ada di dalam hidungnya.

Aduh susah sekali sih! Duh gatal hidung gue.. Nah dapat! Batin Fika sembari mengorek hidungnya dengan jari telunjuknya, ketika ia berhasil mendapatkan apa yang ia cari, ia langsung mengusapkan jari telunjuknya itu ke bahunya, membuat siapapun akan merasa jijik saat melihatnya.

"Setelah beberapa kali menantang mu, akhirnya kau mau berduel dengan ku lagi! Dan ternyata kau tidak berubah ya!" Pria yang akan menjadi lawan duel Fika bertanya sembari berkacak pinggang dan menatap Fika dengan remeh dan juga jijik.

Musuh Fika sekaligus akan menjadi saingan Miss Em nanti, Ngeri ya mak tapi hot juga ya, ada brewoknya lagi. 🤭

"Apa kau takut?" Tanya Fika, mengolok Pria itu.

"Heh, Aku tidak takut dengan apapun apalagi dengan gadis bau kencur sepertimu!" Sengit Pria itu, sembari tersenyum sinis.

"Aku juga tidak takut dengan pria bau kunyit sepertimu, Wlekkk" Fika menjulurkan lidahnya, membuat pria itu menggeram sangat kesal.

Apa dia kata? Bau kunyit!. Umpatnya dalam hati.

Antoni, pria berusia 30 tahun itu mempunyai dendam kesumat kepada Fika karena dirinya di kalahkan di kejuaraan karate tingkat Nasional awal bulan lalu. Kali ini dirinya yakin bisa mengalahkan gadis bau kencur itu.

Percaya diri sekali, Om?!

Antoni dan Fika maju satu langkah, kemudian mereka menundukan badan dan juga kepala bersamaan sebagai bentuk penghormatan. Disana tidak ada juri atau wasit karena itu peraturan dari Antoni dan Fika menurut saja.

Antoni mulai memasang kuda-kuda begitu pula dengan Fika yang sudah siap siaga untuk mengalahkan pria yang ada di hadapannya itu.

Dua juta! Batin Fika.

Wajah Fika seketika berubah menjadi datar dan sangat dingin menatap lawannya, membuat Antoni terpaku sesaat dan juga terpesona.

Antoni mulai maju dan menendang, akan tetapi Fika dengan cepat menghindar.

Fika maju dengan gerakan tidak terduga ia menendang lawannya bertubi-tubi membuat Antoni tidak sempat menghindar.

Gedebug

Antoni tumbang saat Fika menendang tulang rusuknya. Fika mengalahkan lawannya dengan sangat mudah!

"Cih! Kau pikir bisa mengalahkanku? Kemampuanmu masih sangat lemah!" Ejek Fika, sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Antoni berdiri.

Sial, aku kalah lagi! Umpat Antoni dalam hati.

Antoni menerima uluran tangan mungil itu kemudian ia bediri di bantu oleh Fika. Ia memekik sembari memegangi tulang rusuknya yang terasa sangat sakit.

"Sepertinya tulang rusukku patah." Ucap Antoni, meringis kesakitan.

"Bukan urusanku!" Sahut Fika dingin.

"Sekarang kau kalah jadi mana dua jutaku?" Fika menengadahkan tangannya kepada Antoni.

"Sebentar." Antoni berjalan tertatih mengambil tasnya yang ia letakkan di pinggir lapangan dan di ikuti Fika dari belakang.

"Nah, dua juta Cash." Antoni memberikan uang tersebut kepada Fika.

Fika tersenyum senang saat menerima uang tersebut, membuat Antoni terpesona melihat senyum manis yang terukir di bibir mungil itu.

"Terimakasih." Ucap Fika.

"Aku minta maaf dan bisakah kau membantuk—"

"Maaf aku sibuk!" Potong Fika, kemudian berlalu dari sana secepat mungkin.

"Gadis Unik." Gumam Antoni, sembari meringis dan memegangi dadanya. Kemudian ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Asistennya yang tengah menunggunya di luar lapangan tersebut.

Fika pulang dengan perasaan senang dan juga bahagia karena ia bisa bersekolah lagi besok.

Sampai di rumah, Fika langsung menyimpan uangnya kedalam laci meja belajarnya dan setelah itu ia pergi kekamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Hari sudah berganti malam dan disinilah Fika berada, di ruang keluarga sembari menyerahkan uang dua juta itu kepada Ayahnya dengan hati-hati.

"Dapat dari mana?" Tanya Bondan, menatap tajam putrinya. "Kamu tidak mencuri, kan?" Lanjutnya lagi.

"Aku tidak mencuri, Yah. Tapi, aku mendapatkannya dengan bertanding dengan si anak kunyit." Jawab Fika sedikit kesal. Lalu menjelaskan semuanya sedetail mungkin.

"Bodoh!" Bondan mengumpati Putrinya.

"Aya—"

"Kenapa kau tidak meminta lebih? Hah!" Potong Bondan, membuat Fika melongo dan mengedipkan matanya berulang kali.

Lah

Fika terheran sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal akibat mendengar perkataan Ayahnya yang membagongkan.

"Ayah kenapa berbicara seperti itu?" Tanya Fika, masih heran.

Bukankah Ayahnya itu yang mengajarkan dirinya agar tidak memanfaatkan keadaan? Pikir Fika.

Lalu sekarang?

"Beda dengan yang ini, si kunyit itu terlalu angkuh dan sombong." Ucap Bondan, seolah tahu dengan apa yang tengah di pikirkan putrinya. Bondan tahu si kunyit yang di maksud oleh putrinya itu adalah Antoni Turmeric. Bondan sangat geram dengan si kunyit yang sudah beberapa kali menantang putrinya.

Turmeric \= Kunyit.

"Ayah!" Seru Fika tertahan, lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayahnya.

"Lagi pula aku sudah puas karena membuat tulang rusuknya retak atau mungkin patah." Ucap Fika, membuat Bondan tersenyum bangga.

"Ha ha haa, kau memang keturunan Bondan Prakoso." Sahut Bondan lalu tergelak hingga tersedak ludahnya sendiri.

"Rasakan!" Seru Fika, saat melihat ayahnya tersedak.

Dasar anak kurang garam. 🤪

Di tempat lain Ema tengah bersedih hati dengan sikap ibunya yang membuatnya merasa muak.

Bagaimana tidak? Jika ibunya itu selalu memintanya segera menikah dan memberikan cucu. Mana ada wanita yang mau menerima keadaanya yang seperti itu di tambah lagi burung kutilangnya sudah lama hibernasi dan entah bisa berfungsi kembali atau tidak.

"Maunya apa sih?" Kesal Ema, sembari mengusap air matanya yang menetes dipipi dengan telapak tangannya.

Dia lelah dengan kehidupannya saat ini, bisakah dirinya kembali seperti sedia kala? Menjadi pria sejati?! Tidak seperti ini, dia sangat lelah!

"Kirimkan bidadari cantik untuk merubah hidupku ya Tuhan" Doa Ema sepenuh hati, setiap malam ia selalu berdoa dan meminta hal yang sama kepada Tuhan dan berharap doanya suatu saat itu terkabulkan.

Ema menangis didalam kamar itu. Kamar yang ia jadikan tempat mencurahkan isi hati dan perasaannya, sembari memandangi foto gadis cantik yang ada di meja riasnya.

"Jika kau tidak pergi meninggalkan aku, mungkin diriku tidak akan menjadi seperti ini." Gumam Ema, lalu mengambil foto tersebut lalu memeluk dan menciumnya beberapa kali.

"Aku merindukanmu dan juga sangat menyayangimu, maafkan aku karena menjadi pria yang tidak berguna. Kau pasti kecewa denganku bukan?" Ungkap Ema, dengan air mata yang sudah mengalir deras dipipinya.

"Maaf, maafkan aku." Lirih Ema, lalu mengusap matanya yang basah.

"Huh ... Huh .. ." Ema menarik nafasnya dengan dalam dan menghembuskannya dengan pelan dan ia melakukannya berulang kali agar dirinya lebih tenang.

Setelah tenang, Ema berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang terlihat kusut.

"Semangat Emanuel!!" Ucapnya sembari menepuk kedua pipinya berulang kali.

Yang sedih aja dulu🤧

Penasarankan dengan kisah masa lalu Miss Em? Ha ha haa

Kasih dukungan ya, tekan favorit, like, komentar, Vote dan kasih bunga dan juga kopi yang banyak!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!