NovelToon NovelToon

Hipotesis Cinta

Eps 1

Seorang dosen pengampu mata kuliah Educational Research Metodology memasuki sebuah kelas. Dosen itu bernama Dhiaz Alfahrezi, alumni Oxford University.

Tinggi badannya 184 cm. Usianya sudah 31 tahun, tapi belum juga memiliki istri. Padahal ia adalah dosen terfavorit di kampus.

Seperti namanya, ia selalu bersemangat dan disiplin dalam bekerja. Hal itulah yang menyebabkan ia dikenal sebagai dosen yang sangat cool tapi killer.

Sikap pak Dhiaz yang teramat dingin, membuat para mahasiswi jadi tertantang untuk mencairkannya. Dengan berbagai cara, mereka berlomba untuk mendapatkan perhatian dosen gagah ini.

“Sebelum membahas lebih jauh tentang mata kuliah Educational Research Metodology ini, kalian harus tahu terlebih dahulu definisi dari Educational Research Metodology itu apa. So guys, ada yang tahu definisinya? Yang bisa jawab akan aku kasih nilai plus.”

Dhiaz melirik ke sekitar ruangan, sembari menanti salah satu mahasiswa di kelas itu mengacungkan tangannya.

“Me sir,” ucap Aisyah. Satu-satunya mahasiswi yang tidak tergila-gila pada pak Dhiaz.

Aisyah adalah perempuan culun, ia tak tahu dandan layaknya perempuan cantik pada umumnya. Di kampus ia dikenal sebagai perempuan berkacamata dengan penampilan yang sama sekali tidak stylish.

Pak Dhiaz memetik jari. “Yup, you. Silakan jelaskan definisi dari Educational Research Metodology.”

“Menurut Prof. Dr. Sugiyono, metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.”

“You are right, bagus sekali. Anyway, what is your name?”

“Aisyah sir,” jawabnya seraya menunduk.

“Ketua tingkat tolong maju ke depan. Bawakan saya absen. Sesuai janjiku tadi, yang bisa menjawab pertanyaan akan kukasih nilai plus.”

Aisyah berdiri, ia berjalan ke depan dengan membawa absen di tangan kanannya.

“Kamu ketua tingkat di kelas ini?”

“Iya sir.” Ia memberikan absen ke pak Dhiaz.

“Thank you so much Aisyah. You may sit now!” Pak Dhiaz mengarahkan tangannya ke tempat duduk Aisyah.

“For your information guys, di mata kuliahku absen tidak dipegang oleh ketua tingkat. Kenapa? Karena aku juga pernah jadi mahasiswa seperti kalian. So, otomatis aku tahu betul sikap curang sebagian mahasiswa seperti apa. Ada banyak mahasiswa yang suka menitip tanda tangan padahal tidak masuk belajar. Kalau di kelas ini ada yang seperti itu, maaf-maaf saja karena kalian tidak akan bisa melakukannya di mata kuliahku.”

Setelah menuliskan tanda plus ke nama Aisyah, pak Dhiaz mulai menjelaskan tentang mata kuliahnya. Lalu membagi mahasiswa ke dalam beberapa kelompok. Dimana satu kelompok terdiri dari lima orang.

Kelompok sudah terbentuk, pak Dhiaz segera membagikan masing-masing satu materi untuk dikuasai oleh setiap kelompok.

“Mulai pekan depan, kita akan diskusi. Jadi tolong kalian semua pelajari baik-baik materi yang kalian dapat. Karena jika kelompok kalian tidak bisa menjawab pertanyaan dari kelompok lain, maka imbasnya ke semua anggota. Tentunya aku akan memberikan nilai rendah pada kelompok yang tidak bisa menguasai materinya dengan baik. So now, pilihan ada di tangan kalian sendiri. Mau tidak belajar silakan, tapi konsekuensinya tanggung sendiri. Satu lagi, aku tidak pernah memberikan nilai kasihan pada mahasiswa. So, jangan sekali-kali kalian berpikir bisa masa bodoh di mata kuliahku.”

Tidak hanya tugas kelompok, pak Dhiaz juga memberikan tugas individu yang harus diselesaikan mahasiswa sebelum Selasa depan. Ia meminta mahasiswa untuk membuat schedule penelitian.

“Ada yang bisa kasih contoh tahapan schedule penelitian? Yang bisa jawab akan kukasih nilai plus seperti ketua tingkat tadi.”

Aisyah menengok ke sekitar, membiarkan mahasiswa yang lain untuk menjawab. Tapi tak seorang pun yang mengangkat tangannya.

“Tidak ada ya, sayang sekali.” Pak Dhiaz meletakkan kembali absen yang dipegangnya.

“Can I sir?” tanya Aisyah dengan malu-malu.

“Yup, of course. You may, please!” Pak Dhiaz mengambil kembali absen yang baru saja ia letakkan di atas meja.

“If I am not mistaken di kampus ini tahapannya itu finalisasi judul, garap proposal KKN, ACC proposal, ujian proposal, PPL, penelitian, skripisan, Ujian hasil, revisi, ujian tutup, yudisium, dan wisuda.”

“Nice, thank you so much for your answer. Jadi benar ya yang dikatakan Aisyah tadi. Pertama-tama finalisasi judul. Setelah itu garap proposal, terus berangkat KKN. Nah, untuk mengefisienkan waktu penyusunan skripsi. Kalian bisa kerja proposal saat sedang tidak ada kegiatan di posko. So pulang dari KKN, kalian sudah bisa konsul proposal ke pembimbing. Kalau kedua pembimbing sudah mengACC, kalian bisa ikut ujian proposal. Setelah itu akan ada kegiatan PPL, nah di PPL nanti kalian bisa sekalian meneliti saat praktik mengajar. Kalau datanya sudah siap, langsung saja menyusun skripsi. Setelah skripsinya diACC, ikut lagi ujian hasil. Lalu revisi skripsi sebelum ikut ujian tutup. Setelah itu yudisum, then wisuda. Untuk contohnya nanti aku kirimkan di grup mata kuliah ini. Sekian dulu ya hari ini, assalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuhu.”

“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu,” jawab mahasiswa dengan rona bahagia.

Akhirnya, dosen killer itu akan keluar juga dari ruangan mereka. No pak Dhiaz, no tegang dalam kelas.

“Aisyah, tolong ke ruanganku di jam istirahat nanti. Ada hal penting yang ingin kubicarakan.”

Aisyah mengiyakan, meski akan sulit baginya untuk menemukan ruangan pak Dhiaz. Karena ia sendiri belum pernah ke ruangan dosen favorit mahasiswi itu.

Pak Dhiaz mengemasi barangnya, lalu keluar dari kelas. “Mau apa sih tu dosen? Nyuruh-nyuruh ke ruangannya, padahal kan bisa dibahas di sini. Bikin repot saja.”

“Kamu pasti malas kan cari ruangannya? Don’t worry Aisyah! Aku akan temani kamu cari ruangan pak Dhiaz,” ucap Ilham.

Ilham, lelaki yang mengaku mencintai Aisyah. Ia bahkan berjanji akan menikah dengan Aisyah setelah mereka lulus nanti.

“Ikut dong guys,” tukas Keysya. Sahabat Aisyah di kampus. Sahabatnya yang diam-diam menjalin hubungan dengan Ilham.

“Thank you so much guys. Kalian memang yang paaaaaling baik.”

“Sama-sama,” sahut mereka berdua secara bersamaan.

Di jam istirahat, Aisyah beserta Ilham dan Keysya mencari ruangan pak Dhiaz. Untung saja ada Ilham dan Keysya, jadi Aisyah tidak begitu kesulitan menemukan ruangan pak Dhiaz.

Aisyah mengetuk pintu. “Siapa di luar?” tanya pak Dhiaz dengan suara baritonnya.

“Aisyah sir, tadi disuruh ke sini di jam istirahat.”

“Oh Aisyah, langsung masuk saja. Pintunya tidak dikunci.”

Aisyah membuka pintu ruangan pak Dhiaz. Netranya menangkap suasana ruangan itu.

Menakjubkan, satu kata yang mewakili ruangan sang dosen. Selain sangat bersih, ruangan pak Dhiaz juga dipenuhi begitu banyak buku.

“Duduk,” titah pak Dhiaz sembari meletakkan gawainya.

“Tidak usah gugup begitu, aku dosen kamu. Bukan bos yang akan memarahi bawahannya. Mulai sekarang kamu harus terbiasa bertemu denganku,” lanjutnya.

Ucapan pak Dhiaz membuat Aisyah jadi bergidik. “Maksudnya apa yah sir?”

“Kamu aku angkat jadi asisten. Ini bukan pilihan, so kamu tidak bisa menolak. Don’t worry, kamu tidak akan dirugikan di sini. Bahkan ada banyak keuntungan kalau kamu menjadi asistenku. Jaminan kuota internet tiap bulan, ongkos kendaraan, uang capek juga akan kuberikan. Satu lagi, nilai akademik kamu juga sudah dijamin aman. So now, sebutkan nomor HP kamu.”

Aisyah menyebutkan 12 digit angka ponselnya.

Pak Dhiaz pun menyimpan nomor Aisyah. “Itu saja Aisyah, you may get out now. Jangan lupa tutup pintunya!”

“It is okay lah, tidak apa-apa ketemu dosen killer itu terus. Yang penting kan semuanya dijamin. Uang beasiswa bisa kukasih ke mama untuk memperbaiki warung. Uang dari pak Dhiaz untuk beli kebutuhan kuliah. Alhamdulillah,” batinnya saat keluar dari ruangan pak Dhiaz.

Eps 2

Di sore hari, Aisyah mendatangi rumah Keysya. Seperti biasa, ia tak perlu meminta izin dulu untuk masuk ke kamar sahabatnya itu.

Tak pernah terbayangkan, Aisyah disuguhi pemandangan yang luar biasa. Di kamar yang terbuka itu, tampak Ilham dan Keysya sedang bermesraan.

“Tega sekali kalian melakukan ini padaku,” ucap Aisyah dengan suara parau. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak tumpah.

Ilham dan Keysya tersentak kaget mendengar suara Aisyah. Mereka berbalik untuk memastikan.

“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Ai. I can explain this to you,” ujar Keysya. Ia cepat-cepat melepaskan pelukannya dari Ilham.

“Banyak alasan, kalau suka sama Ilham bilang saja. Tidak usah pakai acara menusuk dari belakang gini.” Bulir-bulir air mata terus berjatuhan dari mata Aisyah.

“Jangan disembunyikan lagi sayang, kita juga sudah ketahuan.”

“Maksud kamu apa bicara seperti itu?” tanya Aisyah pada Ilham.

“Selama ini kami berdua pacaran,” jawabnya tanpa memperdulikan lagi perasaan Aisyah.

Sakit tak berdarah saat mendengarnya, hancur sudah harapan Aisyah. Ilham yang dulu mengejar-ngejarnya sejak menginjakkan kaki di bangku universitas, ternyata selama ini berpacaran dengan sahabatnya sendiri.

“Kenapa kamu memacari dia Ham? Padahal kita sudah komitmen untuk menikah setelah lulus nanti.” Sesak mulai memenuhi dada Aisyah.

“Kamu harusnya sadar diri Aisyah, lelaki setampan aku mana mau menikah dengan perempuan culun seperti kamu. Selama ini kita berdua baik ke kamu, hanya supaya kamu mau mengerjakan tugas kita terus.”

“Kamu harusnya ngaca, apa kamu pantas untuk Ilham? Gayamu culun begitu, ya wajarlah Ilham lebih suka aku.”

Bak disambar petir, terlalu sakit cercaan Ilham dan Keysya padanya. Bayangan masa lalu bersama Ilham kian menambah perih di hatinya.

Aisyah melangkah mundur, tak berani lagi untuk mendekat pada dua sejoli yang tengah kasmaran di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia meninggalkan dua manusia terkutuk itu.

Setibanya di rumah, Aisyah mengunci diri di kamar. Saat ini ia hanya ingin menumpahkan semua dukanya. Dalam sekejap, kamar sederhananya itu dipenuhi tisu bekas air mata.

Di sisi lain, di rumah pak Dhiaz. “Calon istrimu kenapa tidak ke sini? Kamu sudah punya kekasih, tapi potongan kue pertama masih nenekmu yang dapat.”

“Hijabers seperti calon istriku itu tidak merayakan ulang tahun kek.”

“Kalau kamu berhasil menikahi calon istrimu itu, berarti tidak akan ada lagi perayaan ulang tahun seperti ini. Tapi tidak apa-apa, kamu kan sudah dewasa sekarang. Yang terpenting sekarang adalah kamu sudah dapat pasangan. Cepat halalkan dia ya, nenekmu sudah ingin sekali punya cucu.”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumahnya saja? Bawakan dia kue, sekalian silaturahmi dengan keluarganya.” Rona kebahagiaan tergambar jelas di wajah nenek saat mengutarakan usulannya itu.

“Jangan nek!” cegah pak Dhiaz.

“Kenapa kamu melarang nenek bertemu dengan calon istrimu?”

“Bukan melarang nek, tapi dia lagi sakit.”

“Sakit apa?”

“Sakit kepala nek,” jawab pak Dhiaz asal.

“Kelamaan sendiri buat kamu jadi bodoh ya dalam hubungan percintaan. Dimana-mana perempuan itu suka diperhatikan, Dhiaz. Apalagi kalau sedang sakit. Seharusnya kamu temani dia, bukan malah ogah menjenguknya karena takut mengganggu.”

“Duhhh, bagaimana ini? Tidak mungkin aku cerita ke nenek kalau sebenarnya aku berbohong. Mampus lah, aku kan belum punya calon istri.” Pak Dhiaz bermonolog dalam hati.

“Antar kami ke rumah calon istrimu sekarang. Kami mau jenguk dia.”

“Biar aku saja yang jenguk. Nenek sama kakek di sini saja.”

“Tidak bisa, kami juga mau jenguk dia.”

Cepat-cepat pak Dhiaz membuka kontak di gawainya, lalu menelepon Aisyah.

“Kirim alamat rumah kamu sekarang! Ada yang ingin kubicarakan langsung dengan kamu,” ucapnya lalu mengakhiri panggilannya.

Dengan berat hati, Aisyah mengirimkan alamat rumahnya. Bagaimana tidak berat, pak Dhiaz ingin berkunjung di saat yang tidak tepat.

Tak lama, mereka bertiga sudah tiba di rumah Aisyah. Dengan semangat empat lima, nenek mengetuk pintu seraya mengucapkan salam.

Adik Aisyah membalas salam dari tamunya. Ia pun bergegas membuka pintu. “Silakan masuk ,” ucapnya setelah membuka pintu rumah.

Wahdah meminta mereka untuk duduk. Setelah itu, ia bergegas ke dapur. “Yang datang laki-laki, dia datang bersama kakek dan neneknya.”

Bu Arni jadi sedikit khawatir mendengar informasi dari Wahdah. “Kenapa ada laki-laki yang datang bersama kakek dan neneknya? Jangan-jangan ada yang mau melamar Aisyah. Aduh, Aisyah kan cintanya ke Ilham.”

Dengan perasaan takut-takut, bu Arni membawa minuman ala kadarnya itu ke ruang tamu. “Bu guru,” ucap bu Arni keheranan.

“Ya ampun, ternyata kamu Arni ibu dari calon istrinya cucuku.”

Bu Arni tersentak kaget. “Calon istri?” pikirnya kebingungan.

Bu Arni melirik pada lelaki muda yang datang bersama gurunya itu. Saking malunya karena mengaku-ngaku, pak Dhiaz sampai tak berani menatap bu Arni balik.

“Wahdah, panggilkan kakakmu nak! Bilang ada yang cari.”

Wahdah segera melaksanakan perintah ibunya, ia berjalan ke kamar kakaknya. “Kak Aisyah ada tamu, katanya mau ketemu kakak.”

“Itu pasti pak Dhiaz,” batin Aisyah. Ia cepat-cepat mencuci muka. Dengan mata sembabnya, ia keluar kamar.

“Uhhh kasihan, matanya jadi bengkak begini. Sini, sini sayang, biar nenek pijat kepala kamu.”

Aisyah kebingungan, tapi menurut saja. Nenek pak Dhiaz mulai memijat kepalanya yang tidak sakit sama sekali. “Enak kan pijatan nenek?”

“Iya nek.” Senyum penuh kebingungan melekat di bibirnya.

“Nanti kalau sudah menikah, kamu harus perhatian ke istri ya. Kalau kepalanya sakit, kamu pijat seperti nenek.” Kakek menasehati pak Dhiaz.

“Ini dosen gila kali ya? Seenaknya saja dia mengaku ke neneknya kalau aku ini calon istrinya,” batin Aisyah.

Matanya menatap ke pak Dhiaz yang duduk tepat di depannya. Pak Dhiaz hanya bisa tersenyum kecut, karena semua memang salahnya.

Eps 3

Keesokan harinya, dengan tertatih Aisyah melangkah ke ruangan pak Dhiaz. Setelah mengucapkan salam, ia langsung masuk.

“Bagaimana kuenya, enak kan?”

“Iya, enak sir.” Aisyah membalasnya dengan nada tak bersemangat.

“Sudah pasti enak. Calon mertuamu memang pandai membuat kue,” kelakar pak Dhiaz demi mengembalikan mood Aisyah. Hanya di hadapan Aisyah pak Dhiaz bisa bercanda seperti itu.

“Keysya dan Ilham jadian sir.” Terlalu sakit, Aisyah jadi curhat pada pak Dhiaz.

“Memangnya kenapa kalau mereka jadian?”

“Ilham selalu bilang dia akan menikahiku. Tapi dia malah jadian dengan Keysya.”

“Wow, so cruel. Kamu yang sabar ya Aisyah. Itu tandanya Ilham laki-laki yang brengsek, jadi dia tidak pantas untuk jadi suami kamu.”

“Ditikung sahabat sendiri, ternyata sesakit ini sir.” Aisyah menangis sejadi-jadinya di ruangan pak Dhiaz.

“Aku tahu betul perasaan kamu seperti apa sekarang. Menangislah, tumpahkan semua kekesalanmu. Tapi setelah ini kamu harus move on. Kamu harus kuat Aisyah! Jangan biarkan mereka merasa menang karena penderitaanmu.”

“I can’t sir. Aku tidak bisa lagi berpura-pura kuat. Rasanya sakit sekali.” Aisyah tak berhenti menitikkan air mata.

Sejauh ini, ada banyak pengkhianatan yang menyakitkan baginya. Tapi ditikung sahabat sendiri adalah pengkhianatan paling sakit, yang pernah ia rasa.

Bagaimana bisa seseorang yang ia anggap sahabat, bahkan sudah seperti saudara kandungnya sendiri begitu tega mengkhianatinya? Mampukah ia menyembuhkan perasaan sakit yang Ilham dan Keysya berikan?

“Begini saja, saya bantu kamu balas dendam ke mereka. Tapi syaratnya, kamu juga mau bantu saya.”

“Bantu apa sir?” tanya Aisyah seraya mengelap air matanya.

“Kamu harus mau berpura-pura menjadi calon istriku. Sampai aku ketemu jodohku. Bisa?”

Aisyah mengangguk pelan. Perlahan ia berdiri, ia tak boleh menangis terus. Karena sebentar lagi akan ada kelas.

“Mulai sekarang, jangan pernah lagi bersedih di hadapan Keysya dan Ilham. Kalau mau menangis, lakukan tanpa sepengetahuan mereka. Jangan sampai mereka tahu kalau kamu sedih karena tahu mereka jadian.”

Terbukti, pengalaman adalah guru terbaik. Pak Dhiaz bisa begitu cakap menasehati Aisyah, karena ia pernah merasakan hal yang sama.

“Iya sir.”

Aisyah bersiap keluar dari ruangan itu. Saking sedihnya, Aisyah sampai lupa mengambil buku yang pak Dhiaz siapkan untuk bahan mengajarnya selama menjadi asisten nanti.

“Ini, gunakan saat di rumahmu.” Pak Dhiaz memberikan tisu berukuran besar.

Aisyah mengambilnya, “Terima kasih sir.”

“Makan coklat ini juga kalau sedang stress. Kalau habis, bilang ya. Nanti aku kasih lagi.”

Pak Dhiaz memberikan delapan bungkus SILVERQUEEN yang diambil dari lacinya. Banyaknya coklat yang ia simpan membuktikan, kalau ia sendiri juga masih rentan stress.

Aisyah mengangguk lagi, SILVERQUEEN itu dimasukkannya ke tas. Kemudian kembali ke kelas dengan wajah seolah sedang baik-baik saja.

Ia sudah bertekad, apa pun yang terjadi ia tak akan menampakkan kesedihannya di hadapan Keysya dan Ilham. Bahkan misinya saat ini adalah membalaskan dendamnya. Ia akan membuat mereka berdua menyesal telah menyakitinya.

Memasuki mata kuliah Writing. Bu Reka meminta mahasiswa menemukan satu kata yang tidak familiar, beserta dengan penjelasannya.

Aisyah dan teman kelasnya mulai mencari kata. Tiga puluh menit pun berlalu, bu Reka meminta semua mahasiswa untuk membacakan kata beserta maknanya.

“Next, Aisyah. Kata apa yang kamu dapat?”

Aisyah berdiri lalu mengucapkan kata yang ia dapat. “Mauerbauertraurigkeit ma’am.”

“Wow, unique. Lain daripada yang lain. Kata itu artinya apa ya?”

“Mauerbauertraurigkeit adalah perasaan ingin membuang teman atau sahabat dekat ma’am.”

Keysya dan Ilham saling melirik. Alih-alih merasa bersalah, mereka justru tertawa terbahak-bahak di kelas itu.

“Kalian berdua kenapa tertawa? Kalian pikir kelas ini kelas lawak? Sekarang juga kalian berdua keluar dari kelas ini. Saya tidak suka jika ada mahasiswa yang tidak serius dalam belajar di mata kuliah saya.”

Ilham dan Keysya terpaksa harus keluar. Tanpa sepengetahuan bu Reka, Aisyah melambaikan tangan pada mereka berdua. Senyum penuh kemenangan juga sengaja ia tampakkan.

Aisyah yang kemarin bukanlah Aisyah yang sekarang. Aisyah sudah keluar dari hubungan yang toxic antara ia dan Ilham.

Untuk apa juga ia bertahan pada sesuatu yang ia sendiri tak kuat untuk menghadapinya? Memang tak ada solusi terbaik dari sakit hati, selain move on dari masa lalu yang menyakitkan.

Hanya ada tiga kelas hari ini. Selesainya kelas bu Reka, Aisyah langsung pulang. Lagi, pak Dhiaz memberhentikan mobil di depannya saat ia menunggu angkot lewat. Ia diminta untuk masuk.

“Sesuai perjanjian kita tadi. Aku bantu kamu balas dendam dan kamu berpura-pura menjadi calon istriku.”

“Terus kita mau ngapain? Maksudnya apa yang bisa kubantu sir?”

“Kita ke rumah nenek, katanya dia mau kasih sesuatu ke kita.”

Di tengah-tengah perbincangan mereka, perut Aisyah berbunyi. Jam segitu, memang waktunya ia makan siang di rumah. Tapi hari ini tidak ia penuhi, karena pak Dhiaz langsung memintanya untuk ikut tanpa pulang ke rumah dulu.

“Nanti sekalian kita makan di rumah nenek,” ujar pak Dhiaz lalu melajukan mobilnya ke rumah nenek.

Di sepanjang perjalanan, mereka membisu. Namun mata mereka begitu aktif menangkap setiap keindahan yang mereka lalui. Sawah hijau nan membentang luas, memberi kenyamanan yang luar biasa saat memandangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!