...Hallo, Gengs .......
...Ada yang udah kangen sama Eska'er?...
...Kangen, dong! Kangen ajalah!...
...Wkwkwkwk ... maksa 🤣...
...Oh, iya. Eska'er mau ngadain giveaway....
...So... Jangan lupa buat selalu ngikuti cerita Seberkas Asa Untuk Cinta, akan ada hadiah menarik bagi komen terbaik dan yang mengikuti IG @EsKaEr10 Buat yang rajin koment dan promosiin ke saudara, tetangga, pacar, mantan pacar, mantan musuh ... pokoknya semuanya, deh 😁😉😉...
...Kuy, ramaikan 😍😍...
...Happy Reading...
...***...
Hari baru, bulan baru, dan tahun yang baru. Tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat. Widya, Harsa, dan kawan-kawan sudah memasuki semester lima di bangku perkuliahan. Widya, Nathan, dan Cindy berada di jurusan arsitektur interior atau biasa disebut desain interior, sedangkan Harsa dan Zakir berada di jurusan ilmu arsitektur. Karin dan Kartika memilih jurusan teknik industri. Mereka bertujuh masih dalam naungan satu fakultas yang sama, kecuali Edo yang terpaksa memilih masuk fakultas ekonomi dan bisnis jurusan ilmu manajemen karena harus meneruskan bisnis keluarga. Meski begitu, mereka masih tetap menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama. Kecuali Cindy yang jarang ikut kumpul karena dilarang oleh Nathan, mengingat perbuatan Cindy di masa lalu.
***
Hari ini seperti biasa mereka bertujuh akan berkumpul di kafe Hamber. Sejak pagi room chat ‘Sahabat Selamanya' sudah dipenuhi oleh pesan janji temu mereka, dan seperti biasa orang yang paling berisik di room chat adalah Zakir, sepertinya motto hidup Zakir hanya satu ‘Gak ada gue gak rame’.
Zakir: Gimana, guys, jadi ngumpul, 'kan?
Widya: Jadi, dong.
Karin: Jadi.
Kartika: Harus jadi.
Edo: Gue mungkin telat, guys. Ban motor gue bocor.
Harsa: Lo, nebeng mobil gue aja, Do. Bareng si Bokir.
Setelah beberapa menit pesan dari Nathan pun muncul.
Nathan: Widya sayang, nanti malam lo, Karin, sama Tika, gue yang jemput, ya! Kangen gue sama lo.
Widya: 🙄
Harsa yang membaca pesan Nathan merasakan sesak. Ia merasa cemburu dengan sikap Nathan yang sok romantis dengan Widya. Lantas ia memilih untuk mengabaikan percakapan teman-temannya tersebut dengan tidak lagi membalas pesan apa pun di sana.
...***...
Jingga mulai mewarnai langit sore, pertanda jika malam mulai menjelang. Nathan bergegas ke luar dari kampus dan berjalan menuju mobilnya usai mengikuti kegiatan tambahan, tetapi ia dikejutkan oleh kehadiran Cindy yang mendekat ke arahnya dengan senyum merekah, dengan tidak tahu malu gadis itu langsung menggandeng tangan Nathan. “Lo mau ke mana, Nath? Mau ngumpul bareng anak-anak di kafe Hamber, ya? Gue boleh ikut, nggak?” cecar Cindy dengan semua pertanyaannya. Sekarang Cindy memang jauh lebih berani dan terang-terangan mendekati Nathan, bahkan yang lebih ekstrim gadis itu mulai menjadi stalker. Di mana ada Nathan di situ pasti ada Cindy.
Namun, dengan sikap dinginnya, Nathan menepis keras tangan gadis itu, “Udah gue bilang berkali-kali, jauhi gue dan Widya! Gue nggak pernah mau ngelihat lo ada di dekat gue apalagi Widya.” Nathan memasuki mobilnya meninggalkan gadis berambut gelombang itu sendirian.
Dengan perasaan kesal dan tangan mengepal erat gadis itu mencoba menahan amarah. “Kalau gue enggak bisa ngedapetin lo, gue bakal bikin cewek lain juga nggak boleh deket-deket sama lo.” Cindy mendengus sebal, “Gue bakal terus gangguin lo, sampe lo bisa terima gue, Nath!” Gadis itu masih bergumam sendiri.
Tepat pukul tujuh malam mobil mini Cooper keluaran terbaru milik Nathan terparkir rapi di halaman rumah Widya. Setelah merapikan rambutnya, Nathan turun dari mobil kemudian mengetuk pintu rumah Widya. Selang berapa saat pintu rumah Widya terbuka, Arini muncul dengan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya, "Eh, Nak Nathan.”
“Selamat malam Bunda, Widya ada?” tanya Nathan dengan senyum sejuta watt yang bisa memberikan efek tidak sadarkan diri bagi yang melihat.
“Ada, kok. Yuk, masuk! Mungkin Widya sedang bersiap-siap," ajak Arini kemudian diikuti Nathan di belakang. “Sebentar ya, Nak Nathan, bunda panggilkan Widya dulu.” Arini menaiki tangga menuju kamar Widya yang terletak di lantai dua.
Sedangkan Nathan ngeloyor masuk ke ruang keluarga, menemui ayah yang sedang asyik bermain catur seorang diri. Ia terkekeh tertahan, melihat ayahnya Widya bermain catur sendirian. “Ini pasti karna ayah nggak punya teman main,” celetuknya sembari berjalan mendekati pria paruh baya itu. Pria itu tersenyum semringah melihat kehadiran Nathan.
Di dalam kamar, Widya yang tengah memperhatikan penampilannya di depan cermin terkejut saat melihat Arini sudah berdiri di depan pintu kamarnya ikut memperhatikan sembari tersenyum, “Anak bunda sudah cantik, kok. Pasti nanti Nathan suka. Kebetulan, Nak Nathan sudah nungguin kamu tuh, di bawah.” Bunda Arini mendekat dan membantu Widya merapikan pakaiannya.
“Ah, Bunda apaan, sih! Widya sama Nathan, kan, cuman sahabat.” Tanpa Widya sadari pipi seputih kapas itu berubah merona bak pualam etowah (batu pualam yang berasal dari Georgia) yang berwarna merah muda, ketika Arini menggodanya. Arini hanya tersenyum lucu melihat tingkah anaknya yang tersipu.
Tidak perlu menunggu lama, setelah pembicaraan singkat itu Widya dan Arini pun turun bersama menemui ayah dan Nathan yang tengah asyik bermain catur.
“Ayo, Nath, kita berangkat! Entar Karin dan Tika kelamaan nunggu.” Widya menepuk bahu Nathan pelan, membuat Nathan sedikit tercekat sebelum dirinya menoleh ke arah Widya.
“Eh, Sayang, kamu udah siap?” Nathan memperhatikan penampilan Widya lekat, “Gue nggak nyangka semakin hari cewek kesayangan gue makin cantik aja,” ucap Nathan menggoda dengan tampang jahilnya.
“Ish, resek lo, gue emang udah cantik kali dari dulu. Lo, aja yang baru sadar.” Widya berbicara sambil merotasikan matanya.
Ayah dan bunda yang memperhatikan interaksi antara Widya dan Nathan tersenyum bahagia. Pasalnya, memang hanya Nathan orang yang selalu bisa membuat Widya terlihat ceria dan bahagia setelah disakiti oleh Harsa.
“Udah-udah, jangan berantem terus! Keseringan berantem nanti kalian malah jadi jodoh, lho.” Ayah menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum jahil.
“Ayah, kok malah ngedukung Nathan, sih! Sebenarnya anak Ayah itu Widya apa Nathan?” Widya memberengut kesal dengan wajah imutnya berjalan menuju ke arah ayah kemudian memeluknya dengan manja. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu sontak tertawa melihat tingkah menggemaskan gadis kesayangan mereka.
“Yah, Bun, kalau gitu Nathan sama Widya pamit dulu. Kasihan kalau Karin dan Tika harus nunggu lama.” Nathan berpamitan kemudian mencium punggung tangan ayah dan bunda diikuti oleh Widya dengan wajah masih memberengut, tetapi tetap imut.
Di dalam mobil yang ada hanya keheningan dan itu membuat Nathan merasa bosan. “Sayang, kok diam aja, sih? Lo masih ngambek gara-gara diledekin ayah tadi?” Nathan berbicara diiringi senyum tipis di bibirnya.
“Apa, sih, lo dari dulu manggil gue sayang mulu. Entar kalau gue dikira cewek lo beneran gimana?” Widya berucap tegas, tetapi pandangannya tetap lurus ke luar jendela memandangi gemerlap lampu-lampu malam.
“Ya udah, biarin aja. Kalau beneran juga gak papa, 'kan? Memangnya lo nggak mau jadi cewek gue?" Nathan menoleh ke samping, tetapi Widya tetap bergeming karena menganggap apa yang diucapkan Nathan hanya sebuah candaan yang hanya membuatnya pusing. Tentu saja iya, Nathan memang bukan sosok lelaki yang bisa diajak serius. Sifatnya yang tengil dan slengean membuat dia suka bersikap konyol bahkan menyebalkan. Terutama bagi Widya yang setiap hari diganggu lelaki itu.
Perjalanan menuju rumah Karin pun tidak membutuhkan waktu lama. Di sana sudah ada Karin dan Kartika yang menghabiskan waktu menunggu dengan bercerita dan sesekali tertawa renyah. Entah apa yang mereka bicarakan, hanya mereka berdua yang tahu. Hanya mimik wajah ceria dari kedua gadis itu, yang bisa Widya dan Nathan lihat dari jauh.
Widya yang merasa rindu dengan kedua sahabatnya karena sudah seminggu tidak bertemu, berlari kecil menghampiri Karin dan Kartika, lalu memeluk mereka untuk melepas rindu. Lebay memang, tetapi seperti itulah perempuan. Jika sudah bertemu, dunia langsung ramai.
“Yuk, berangkat! Kasihan Zakir, Harsa, sama Edo, kalau harus nunggu lama,” Kartika yang pertama mengurai pelukan mereka, lantas mengajak kedua sahabatnya untuk melangkah menuju mobil Nathan. Nathan yang si empunya kendaraan malah ditinggalkan, tidak dihiraukan apalagi diajak jalan. Namun, lelaki itu bisa apa selain mengikuti dari belakang. Sekali lagi, dia harus mengalah kepada perempuan.
...***...
Di lain tempat, di sebuah kamar yang luas bernuansa hitam putih, sudah ada Zakir dan Edo yang sedang menunggu Harsa bersiap. Edo masih diam dengan game online-nya, tetapi tidak dengan Zakir yang sudah seperti cacing kepanasan karena sudah terlalu lama menunggu. Mereka akan pergi bersama ke kafe Hamber menggunakan mobil Harsa.
“Ah, elah, Sa. Lo udah kaya anak perawan aja kalau mau pergi. Persiapannya lama bener. Capek nih, gue nunggu,” gerutu Zakir seraya mendengus kesal, setelah dirinya lelah mondar-mandir di dalam kamar.
“Kenapa, sih, lo gak sabaran amat?” Kangen lo, sama Tika?” cicit Harsa pelan, tetapi masih terdengar oleh dua sahabatnya.
Zakir hanya melengos masam. Mengingat apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar adanya, sehingga tidak ada alasan untuk dia membantahnya. Sedangkan Edo hanya mendongak sejenak, lantas kembali sibuk dengan ponselnya. Harsa yang menyadari sahabatnya mulai kesal, lekas mempercepat gerakannya memakai baju sembari terkekeh kecil. Tidak lupa ia menyemprotkan ramuan ajaib yang membuat tubuhnya wangi. Ia juga merasa kasihan dengan sahabat yang sudah menemaninya dari semenjak TK itu, jika harus lebih lama menanti.
"Yok, pergi!" ajak Harsa kepada dua sahabatnya. Harsa langsung pergi ke luar dari kamar meninggalkan mereka berdua tanpa menunggu Edo dan Zakir. Hal itu membuat Zakir semakin kesal. Rasanya ingin sekali untuk mengumpat kasar, tetapi hanya helaan napas berat yang bisa terlontar. Apalagi ketika melihat Edo—si Raja cuek yang melewati tubuhnya begitu saja dengan wajah datar.
"Dasar! Punya temen nggak ada akhlak semua!" sembur Zakir sebelum ia mengikuti keduanya.
...***...
...To be continued.... ...
Gimana, gimana? Udah terobati kangennya?
Udah, dong, ya. Sekarang kasih komentar sama likenya. Bintang tujuh sama favoritnya jangan lupa, biar besok Eska'er up sudah ada pengingat.
Makasih 🥰🥰
...Happy Reading.... ...
...***...
Mini cooper yang dianggap sebagai ikon dari Inggris pada tahun 1960-an terparkir sempurna di pelataran parkir kafe HAMBER. Mini cooper adalah sebuah mobil kecil yang diproduksi oleh British Motor Corporation (BMC) dan penerusnya dari tahun 1959 sampai 2000. Mobil seharga 805 juta itu baru mulai dikemudikan oleh Nathan semenjak satu tahun yang lalu. Dari waktu SMA hingga kuliah di semester tiga, Nathan lebih nyaman menggunakan motor sport kesayangannya. Oleh karenanya, dia hanya menggunakan mobil milik papanya itu untuk acara tertentu saja.
Menit berikutnya, empat penumpang keluar dari dua sisi badan mobil yang berbeda. Tiga cewek cantik dan satu cowok yang seumuran, dengan gaya mereka masing-masing. Nathan, dengan gaya kasualnya memakai t-shirt warna hitam favoritnya dengan celana jeans abu tua, serta snackers putih berlabel brand ternama. Tiga cewek yang ikut serta dalam mobilnya yaitu Widya, Kartika dan Karin. Mereka kompak mengenakan celana jeans dan kemeja santai, hanya saja Widya masih mengenakan outer berbahan rajut, agar hawa dingin yang menerpa pori-pori kulitnya dapat berkurang .
Begitu masuk area kafe, mereka berempat langsung memindai keberadaan ketiga temannya yang telah menunggu sejak lima menit tadi. Sesuai informasi yang dibaca dari grup WhatsApp 'Sahabat selamanya'.
“Itu mereka.” Karin memimpin langkah kaki ketiga teman-temannya menuju meja Edo, Harsa dan Zakir yang lebih dulu mereservasi meja kepada pemilik cafe. Sebuah meja bundar dengan tujuh kursi sudah tersedia di sana.
"Hai, hai, udah lama nunggunya?" Karin mengepalkan telapak tangannya tanda menyapa ala anak muda zaman sekarang, yang disambut oleh kepalan tangan Harsa membuatnya berbenturan, lalu beralih ke Zakir dan Edo secara bergantian. Begitu juga dengan Nathan, Kartika, dan Widya, mereka melakukan hal yang sama. Usai saling menyapa mereka lantas memilih tempat duduk masing-masing.
Nathan menarik kursi yang sengaja ia pilihkan untuk Widya tempati. Tak ayal membuat mereka yang ada di sana jadi bersorak, "Huuuuuuu ... bucinnya gak ilang ilang," celetuk Zakir yang mendominasi.
Namun, itu semua hanya ditanggapi Nathan dengan santai. Ia mengedikkan bahu lalu duduk di kursi kosong sebelah Widya. Tidak jauh beda dengan Nathan, Widya pun tidak ingin ambil pusing dengan celotehan sahabat-sahabatnya. Ia hanya memutar kedua bola matanya, malas. Baginya, percuma bicara berkali-kali kepada Nathan untuk tidak berbuat yang membuat orang salah paham. Lelaki itu tidak akan mau mendengar.
Namun, tidak untuk Harsa, meskipun ia ikut bersorak, tetapi sebuah senyuman getir yang ia tarik dari sudut bibirnya, sudah cukup membuktikan jika dia tengah merasakan rasa nyeri di sudut hatinya karena telah memendam cinta.
“Oke, kali ini kita pesan seperti biasa aja, ya!” Edo meminta persetujuan kepada teman-temannya.
“Oke.”
“Siip.” Suara Harsa dan Zakir terdengar bersamaan.
“Kita bertiga ikut, deh.” Kartika menunjuk dirinya sendiri, Widya dan Karin.
“Apa ajalah.” Nathan terakhir berkomentar.
Setelah itu, Edo melambai pada waitress yang berada tidak jauh dari tempatnya. Memesan apa yang menjadi menu kebiasaan mereka. Tidak sedikit dari waitress di sana yang sudah mengenal mereka sejak SMA dan sudah hafal menu favorit mereka.
"Hei! Kenapa kalian bertiga kelihatan makin kurusan? Kalian kebanyakan tugas?” Dua bola mata Zakir memindai ketiga cewek di hadapannya sepeninggal waitress dari meja mereka setelah selesai mencatat pesanan.
"Iyakah?" Karin yang pertama menyahut lantas terkekeh, "ini karena diet gue berhasil, Zak!" jawab Karin antusias memperhatikan penampilannya saat itu juga. Dia orang yang sangat perfect dalam penampilan. Sehingga sangat menjaga pola makan serta seringnya perawatan.
"Iya, suerr, deh!” seloroh Zakir, lalu matanya mengarah kepada Widya dan Kartika. ”Lo berdua, kalian juga sedang diet kayak dia?” Zakir menunjuk Widya dan Kartika dengan jari telunjuknya, serta mengarahkan dagunya ke arah Karin yang sedang berkaca di fitur kamera pada ponselnya.
"Gak usah diet, pikiran kita udah terforsir sama tugas dan praktik, Zak. Itu aja udah cukup bikin badan kita kurus," jawab Widya, "ya, kan, Tik!" Widya menyenggol lengan Kartika yang malah melamun. Bukan melamun sebenarnya, dia sedang memindai penampilan Zakir yang terlihat semakin keren, menurutnya.
"Eh, apa? Iya, keren banget," jawab Kartika. Tentu saja jawaban itu malah mengundang gelak tawa yang menyimaknya. Jawaban Kartika yang ngawur dan tidak nyambung menurut mereka sangat lucu.
“Nanya apa, dijawab apa. Jaka Tingkir naik ojek, deh, nggak nyambung geblek,” ejek Nathan.
Sontak Widya langsung menyentuh kening Kartika, “Lo waras, ‘kan, Tik? Nggak demam, kok?” Aksi Widya semakin membuat semuanya tergelak.
“Lo mikirin apa, Tik? Apanya yang keren?” sambung Karin dengan tertawa puas mengejek sahabatnya.
Kartika salah tingkah, tidak tahu harus menjawab apa. Jangan tanyakan dengan rona wajah Kartika, wajahnya memanas dan mungkin semerah tomat. Di saat yang lain masih tergelak hingga mata mereka berair. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Zakir, lelaki itu hanya mengulum senyum tertahan, tidak berani menertawakan.
Semua tidak menyadari jika di antara Kartika dan Zakir sedang kompak mengendalikan debaran jantungnya. Namun, keduanya masih belum paham dengan apa yang sedang mereka rasakan.
"Udah, dong, kalian! Malu, 'kan, sama pengunjung yang lain. Emang cafe ini milik nenek moyang kalian?" Widya bersungut sambil menepuk pelan bahu Kartika yang menjadi pusat gelak tawa mereka. "Sorry, ya!" sesal Widya karena sudah ikut memperolok sahabatnya. Kartika hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Mereka masih mencoba menahan tawa, sebelum tawa itu benar-benar mereda dan menciptakan keheningan di meja mereka. Setelah sekian detik, Edo mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengingat masa ospek. "Eh, lihat Tika kayak gini, gue jadi inget masa ospek dulu," celetuk Edo.
Mendengar itu, Harsa pun teringat sesuatu, "Ah, iya. Gue jadi inget sama derita lo, Kir. Waktu lo dihukum saat ospek, terus disuruh loncat kodok sama kating (kakak tingkat) cantik, gara-gara lo jawab pertanyaan mereka telat satu detik."
Mereka yang mendengar sontak tertawa lebih kencang, memori mereka terbang ke dimensi di awal masa ospek. Waktu itu, Zakir menjadi incaran kating cantik yang terang-terangan naksir kepada Zakir. Kating cantik itu sengaja mengada-ada agar Zakir semakin mudah ia dekati.
Zakir berdecak malas, "Bener, sialan tuh si Ratu caper, bikin gue malu tahu, nggak! Gara-gara itu doang gue dihukum!"
Masih dengan gelak tidak tertahan, mereka mencoba mengingat tentang kejelekan atau kesialan satu sama lain.
"Ada lagi, lho. Inget, nggak, saat outbond di Bandung? Lo bahkan dikejar angsa nyasar saat lo coba ambil anaknya,” sahut Harsa dengan masih tergelak keras. Kedua netranya tidak sengaja menangkap sosok Widya yang tertawa lepas, membuat rambutnya tergerai menutupi wajah saking hebohnya tertawa. Entah kenapa tangan Harsa langsung terulur untuk menyelipkan rambut Widya ke belakang telinganya. Harsa tidak ingin rambut indah itu menutupi bagian indah yang lain yang ada pada diri Widya.
Widya sempat tercekat, tetapi kemudian tersenyum simpul dengan perhatian Harsa. “Thanks,” ujarnya pelan.
Harsa hanya mengangguk sembari tersenyum kikuk, ia juga tidak menyangka akan seberani itu melakukannya. Lalu beralih lagi ke Zakir untuk melanjutkan ejekannya, “Dan satu lagi, saran dari Widya yang nyuruh lo masuk lumpur, langsung lo jabanin aja.” Harsa semakin tergelak disusul yang lainnya, ingatan mereka seolah bertemu pada waktu Zakir masuk ke dalam lumpur untuk menghindari kejaran angsa yang tengah meledak amarahnya. Hal itu terjadi karena Zakir dengan gemasnya memainkan anak dari angsa tersebut.
Moment itu terlihat penuh kebahagiaan, tetapi tidak bagi Nathan. Walaupun ia ikut terkekeh, tetapi lelaki itu merasakan ada rasa yang berbeda saat melihat Widya tertawa lepas karena ocehan Harsa. Sedari tadi mata elangnya menelisik sinis, apalagi saat tangan Harsa yang tidak tahu malu menyelipkan rambut Widya. Nathan terlihat tidak suka. Mungkin ia merasa tidak terima jika ada orang lain yang dapat membuat Widya tertawa lepas seperti itu, karena selama ini hanya Nathan yang mampu membuat Widya selalu bahagia. Terlebih yang membuat Widya tertawa hingga terpingkal adalah Harsa. Orang yang pernah membuat Widya terluka.
“Udah, woy, stop! Tiap kita ketemu selalu gue aja nih, yang jadi pusat perhatian! Yang lain gitu, napa?” geram Zakir. Ia merasa aibnya dibongkar habis-habisan. Kekonyolannya kini menjadi bahan bully-an bagi teman-temannya.
Namun, sayangnya protes Zakir tidak didengar sama sekali. Mereka masih saja membuka aib lama Zakir yang entah mengapa hanya ia yang sering kali tertimpa kesialan. Jika saja dua orang waitress tidak datang membawa pesanan mereka, mungkin perut mereka akan kram karena terus tertawa.
Setelah pesanan terhidang rapi, mereka kembali membicarakan obrolan ringan juga segudang tugas dari dosen yang sering kali membuat mereka tidak dapat tidur nyenyak. Mereka akan antusias jika Edo yang bersuara karena ilmu bisnis yang dia terima sedikit memberi pengalaman yang berbeda dari mereka bertujuh.
Sesekali Harsa menyodorkan stik kentang ke mulut Widya, dengan sedikit canggung Widya menerima. Nathan melirik Harsa sinis, walaupun hanya direspon dengan mengangkat bahu oleh Harsa, seolah ingin membuat Nathan kesal.
Harsa kembali berniat menyuapkan stik kentang kedua untuk Widya. Namun, tidak akan ada kali kedua dan ketiga. Sesegera mungkin hal itu diserobot oleh Nathan. Tak ayal kejahilan Harsa tertangkap mulut lemes Zakir, “Kalian, ya! Heran gue!” Zakir melempar snack di depannya ke arah Nathan dan Harsa. “Enaknya, gue kawinin kalian berdua!” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
Dalam hatinya Zakir masih menggerutu kesal, "Dua curut ini nggak ada capeknya rebutan Widya!"
Ya, setiap Nathan dan Harsa bertemu mereka akan bersifat kekanakan, berlomba untuk mendapatkan perhatian Widya. Sedangkan Edo, Karin, dan Kartika, hanya akan jadi penonton setia melihat pertengkaran konyol Nathan dan Harsa. Bagi mereka itu sudah biasa dan wajar terjadi sejak dahulu kala.
Ribut kecil dengan bumbu kejahilan adalah salah satu yang membuat pertemanan mereka semakin berwarna. Mereka bersyukur bisa menjadi teman yang saling mendukung satu sama lain meski kadang pertengkaran kecil tidak lepas dari keseharian mereka.
“By the way, udah malem, nih. Cabut, yuk!” Karin mengecek jam tangan kesayangannya, lalu mengarahkan kepada Widya.
Kartika juga mengecek arah jarum jam di pergelangan tangannya. “Iya, yuk! Besok gue ada kelas pagi,” jawabnya seraya menggeser kursi dan berdiri.
“Ya udah, gue bayar dulu, abis itu kita cabut bareng.” Edo segera memanggil waitress untuk mendapatkan bill, lalu membayarnya. Setelah selesai, ketujuh mahasiswa berbeda jurusan itu menuju kedua mobil yang terparkir bersebelahan.
“Lo mau bareng gue, Wid?” tawar Harsa.
“Gue yang jemput, gue yang antar pulang,” sergah Nathan sebelum Widya menjawab.
“Nih ... buat belah Widya jadi dua, biar adil!” Edo memberi pisau buah kepada Harsa setelah mengambilnya di dashboard mobil Harsa. Benda keramat itu tertinggal di dalam mobil Harsa, bekas pakai sang mama yang mengupas buah mangga di dalam mobilnya.
Spontan Nathan dan Harsa saling menatap ke arah Edo.
“Kalian ribut mulu. Pusing gue! Cepet cabut!” Edo menarik lengan Harsa dan Zakir bersamaan dengan kedua tangannya. Seperti anak kecil, Harsa pasrah mengikuti Edo, walaupun hatinya agak kesal.
“Ck, sial! Lo yang bawa, deh!” Harsa melempar kunci mobilnya ke arah Edo. Sementara Zakir hanya menggelengkan kepala.
Akhirnya mereka kembali pada formasi awal saat berangkat. Edo yang menyetir mobil SUV kesayangan Harsa tengah diarahkan oleh petugas parkir untuk mencari celah jalan ke luar. Kafe Hamber semakin hari berkembang pesat, hingga menambah beberapa bangunan cafe di sisi kiri dan kanannya. Pelataran parkir pun juga semakin lebar mengikuti kapasitas pengunjung, terlebih jika sedang weekend.
“See you, kalian.” Edo melambai ke arah mobil Nathan.
“Dadah,” balas Karin
“Sampai jumpa.” Widya turut menimpali.
Kedua mobil berlawanan arah pun kembali membelah jalanan ibu kota yang semakin malam semakin ramai. Wajah mereka berbinar cerah, seusai melepas rindu dan rasa penat yang mengganggu.
...***...
...To be continued.... ...
Tebak-tebakan, yuk. Siapa kira-kira yang dipilih Widya?
Sama siapa yang kira-kira memperebutkan othornya? 🤣🤣🤣
Tulis di kolom komentar, ya 🤭
...Happy Reading.... ...
...***...
Kuliah dalam satu kampus tidak membuat Widya, Nathan, Harsa, Karin, Kartika, Edo, dan Zakir selalu bertemu. Alasannya bisa karena jadwal kuliah mereka yang berbeda dan jarak gedung setiap jurusan yang jauh. Saat Karin dan Kartika ada kuliah pagi, Widya dan Nathan bisa jadi jadwal kuliahnya siang. Begitu pula dengan Harsa, Zakir, dan Edo. Hingga meluangkan waktu untuk berkumpul pun sulit dilakukan karena kesibukan masing-masing. Seperti malam ini, mereka memutuskan melakukan video call karena sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu.
“Assalamualaikum.” Widya mulai melakukan video call bersama teman-temannya. Gadis itu duduk bersandar pada headboard ranjangnya.
"Waalaikumsalam,” jawab Karin dan Kartika bersamaan dengan posisi yang sama dengan Widya.
"Waalaikumsalam.” Harsa yang sibuk mencatat pun turut menjawab dengan ponsel yang ia posisikan berdiri di meja belajarnya.
"Waalaikumsalam, Cantik,” jawab Nathan tersenyum genit serta sebelah matanya mengerling nakal. Jangan tanya kerlingan itu untuk siapa, semua yang ada di sana pasti tahu jika itu untuk Widya.
"Kalau ada orang salam itu di jawab Edo!" Karin menegur Edo yang masih asyik bermain game pada layar komputer yang menyala.
"Waalaikumsalam." Spontan Edo menjawab, dia hanya melirik sebentar, lalu kembali fokus pada game-nya. Hal itu membuat temannya yang lain menggelengkan kepala melihat kelakuannya.
"Zak, lo ngapain, sih, sudah mulai ini?" Harsa meletakkan pulpennya dan kembali fokus dengan panggilan grup mereka. Ia merasa heran dengan Zakir yang layarnya masih mati padahal panggilan sudah tersambung.
"Tunggu, woy! Gue lagi di toilet."
“Ih, ngapain lo di toilet?” Kartika yang merasa kepo pun bertanya dengan wajah ingin tahunya yang kentara.
“Yakin, mau tahu?” goda Zakir.
“Apaan, sih?” cecar Kartika.
“Jangan bilang lo lagi itu?” sembur Harsa.
“Zakir jorok!” sarkas Karin seakan tahu apa yang sedang dilakukan Zakir di toilet.
“Emang lo tahu, gue lagi ngapain?” Zakir balik bertanya.
“Lo lagi BAB, ‘kan?” tuduh Karin.
“Ish ...,” desis Zakir, “Sok tahu, lo!” lanjutnya.
“Terus, lo ngapain, dodol?" Karin yang merasa dipermainkan Zakir mulai kesal. Sementara yang lain hanya diam menyimak perdebatan Zakir dan Karin.
“Lagi nyukur bulu ketiak.” Itu bukan suara Zakir, melainkan suara Harsa yang menjawab pertanyaan Karin.
“Sial!” umpat Zakir, “Kenapa lo buka rahasia gue goblek!” Zakir yang tidak terima rahasia besarnya terbongkar mulai emosi, sedangkan teman-teman yang lain seketika tertawa terbahak-bahak sampai Edo yang masih bermain game merasa sakit perut, karena menahan tawa. Zakir segera ke luar dari toilet lalu menghidupkan kameranya.
“Eh, seriusan, Zak, lo cukur bulu ketiak?” tanya Widya setelah tawa mereka reda.
“Kayak cewek aja, lo, Zak,” timpal Karin.
“Ya ... mau gimana lagi, gue ‘kan pecinta kebersihan,” jawab Zakir dengan entengnya.
“Gak macho lo, Zak!” ejek Nathan, “Atau ... lo kalo pagi jadi Zakir, tapi lewat tengah malam jadi Zava?” Nathan menaikkan sebelah alisnya kemudian tangannya melambai memperagakan seperti banci kaleng yang sedang ngamen di jalan, “Hey, Cin, mau mampir nggak?” Nathan masih dengan senang hati mem-bully sahabatnya itu. Lagi, tawa mereka pecah karena ulah Nathan hingga meneteskan air mata.
“Resek, lo!” Zakir hanya bisa pasrah menjadi bahan kejahilan teman-temannya. Ia tidak pernah marah meski kadang mereka kelewatan, karena dia tahu, semua itu hanyalah sebuah candaan. Bahkan ia rela melakukan apa pun, asal persahabatan mereka tetap rukun seperti ini. Baginya, cukup sekali persahabatan mereka pernah diambang kehancuran.
Usai pembahasan mengenai bulu ketiak selesai, mereka pun menceritakan apa saja yang menarik bagi mereka, hingga Harsa mengungkapkan niatnya untuk mengajak teman-temannya ke Sentul. "Guys, akhir pekan kita ke Sentul, yuk! Mumpung ada book fair di sana. Ada tugas dan kebetulan juga ada buku yang mau gue cari."
"Sorry, Sa, gue nggak bisa. Papa ngajak gue ke undangan," tolak Edo, sembari mengunyah kacang disko yang ia pangku di atas sofa kamarnya. Sementara, Zakir beralasan sibuk mengantar mamanya ke arisan. Sedangkan, Kartika dan Karin juga tidak bisa ikut, karena masih ada tugas kuliah yang belum diselesaikan.
“Lo, Nath, ada agenda juga?” tanya Harsa menatap Nathan. “Iya, sorry, ya, gue mau jemput adek gue di bandara.” Jawaban teman-teman yang sibuk, membuat raut wajah Harsa sedikit kecewa. Haruskan ia pergi sendiri ke Sentul. Hening sejenak sampai akhirnya Widya mengatakan bisa ikut.
"Gue ikut, Sa. Kebetulan ada buku yang mau gue cari juga.” Ucapan Widya bagaikan setetes air di padang gurun. Begitulah pikir Harsa. Akhirnya senyum manis kembali mekar di wajah dan hatinya.
Tidak berlangsung lama, senyuman itu sirna ketika Nathan bersuara lagi. "Gue nggak jadi ke bandara jemput adek gue, deh. Paling mereka minta dijemput supir atau papa. Gue ikut, lo, Sa,” sambung Nathan.
Mengetahui Widya bisa ikut dengan Harsa, Nathan tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Apalagi kalau Widya dekat dan harus pergi berduaan saja. Nathan tidak ingin hal itu terulang lagi. Oleh karena itu, lebih baik ia membatalkan menjemput adiknya.
"Wid, gue jemput, lo, ya?" Merasa searah, Harsa mencoba menawarkan diri.
"Nggak bisa! Gue supirnya, jadi Widya gue yang jemput," tolak Nathan tegas, merasa tidak rela jika Widya satu mobil dengan Harsa. Entah karena cemburu atau hanya khawatir akan masa lalu.
"Widya searah sama gue, jadi biar gue yang jemput biar menghemat waktu, tau!" Harsa mencoba menawar lagi. Ia sadar cukup sulit bisa lebih dekat lagi dengan Widya, karena ada Nathan yang selalu siaga di samping Widya.
"Pokoknya gue—" belum selesai Nathan bicara Widya menghentikan berdebatan itu,
"Gue berangkat sama lo, Nat. Nanti pulangnya sama Harsa, titik!" Keputusan Widya sudah bulat. Dari pada Harsa dan Nathan masih memperdebatkan dirinya, lebih baik ia mengambil jalan tengah agar adil. Keputusan Widya disetujui oleh temannya yang lain.
"Udah, gitu aja, Wid! Lo kalau punya cowok dua emang harus adil," celetuk Zakir. Sontak mendapatkan pelototan mata dari Widya. Zakir nyengir menunjukkan deretan giginya. Tak ayal yang lain pun jadi tertawa.
Obrolan mereka berlanjut membahas apa saja. Yang penting sudah melepas rindu mendengar suara mereka. Sampai pukul 23.00 WIB mereka menyudahinya.
***
Sentul merupakan kawasan kota pegunungan dengan luas sekitar 3000 hektar, terletak di Bogor tidak jauh dari Jakarta. Di sana banyak terdapat objek wisata yang intragamble jadi sangat cocok buat semua kalangan yang suka ber-selfi ria.
Akhir pekan tiba. Seperti keputusan terakhir di video call, Widya datang bersama Nathan. Mereka kemudian menghubungi Harsa yang katanya sudah datang duluan.
"Sorry, gue telat angkat ponsel, soalnya lagi ngobrol teman kampus yang kebetulan ketemu di sini," sapa Harsa menghampiri Nathan dan Widya yang masih di gerbang tempat book fair berlangsung.
Nathan memutar bola matanya malas. "Lo yang ngajak, malah lo yang ketinggalan,” cibir Nathan. Ia selalu berdebat dengan Harsa. Bukan meluapkan kekesalan. Ia justru memang senang jika menyinggung laki-laki jangkung itu. Entah kenapa ia selalu menganggap Harsa sebagai saingan. Begitu juga sebaliknya dengan Harsa.
Sementara itu, Widya sendiri geleng-geleng kepala melihat sikap Nathan. Sedang Harsa, ia sudah terbiasa adu mulut dengan Nathan, asal jangan adu fisik. Ia sudah trauma dengan aksi Nathan yang membuat dirinya babak belur semasa SMA.
"Gue bukan ketinggalan, tetapi nunggu lo,” jawab Harsa dengan sinis.
Merasa atomosfer di antara Harsa dan Nathan memanas, Widya lebih dulu melangkahkan kaki agar mereka menyudahi perdebatan. “Sudahlah, lebih baik kita masuk!”
Nathan menyusul Widya. Meninggalkan Harsa. Ia meraih tangan Widya. Keduanya berjalan beriringan. Sementara Harsa, laki-laki itu masih terpaku di belakang melihat kejadian itu. Rasanya kesal sekali melihat Nathan bertingkah seperti pacar Widya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia bukan siapa-siapanya Widya, dan kelihatannya Widya juga nyaman walau mencoba melarang Nathan menggandeng tangannya. Setelah tersadar Harsa mengikuti mereka berdua di belakang dengan wajah masam. Mereka habiskan waktu dengan mencari buku bersama dengan canda tawa dan perdebatan Nathan dan Harsa yang masih berlanjut di acara book fair.
"Aku ke toilet dulu, ya, kalian tunggu di sini!" perintah Widya, ketika mereka sudah selesai mencari buku. Saatnya beristirahat sambil mencari tempat nongkrong mengisi perut yang kosong.
"Lo kayaknya mau deketin Widya lagi, ya, Sa?" Dengan tatapan tajam Nathan bertanya pada Harsa.
"Maksud lo?"
"Lo sekarang jadi bodoh, ya? Pertanyaan seperti itu aja nggak bisa jawab!" Nathan berdecak mendengar jawaban Harsa.
"Enak aja, nilai gue selalu di atas. Bisa-bisanya lo bilang gue bodoh," sergah Harsa. Harsa memang tidak suka membahas tentang perasaannya pada Widya terutama pada Nathan dia merasa belum berani, dan tidak percaya diri mengungkapkan perasaannya mengingat kesalahannya dulu terlalu fatal.
"Gue nggak suka kalau lo deketin Widya, karena lo pernah bikin Widya terluka!”
"Karena gue pernah bikin Widya terluka, apa karena lo suka sama dia?" tanya Harsa, memandang intens Nathan, mencari cela yang membuat Nathan gelagapan sendiri. Lelaki itu memang belum bisa memahami perasaannya yang sebenarnya, apakah itu suka atau hanya karena merasa simpati saja pada Widya seperti SMA dulu. Tidak ingin dicurigai, Nathan malah membalikkan pertanyaan dengan santai.
"Maksud lo?" tanya Nathan pura-pura mengalihkan pandangan menatap sekitar area book fair.
"Lo itu pura-pura bodoh atau bodoh beneran, sih?" ejek Harsa. Mengingat respon Nathan seperti itu pada pertanyaannya yang pertama. Seolah dirinya membalikkan keadaan.
Nathan memandang Harsa penuh tanya, mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan Harsa, kedua matanya menyipit tajam, hingga beberapa detik mereka berpandangan.
“Kalo kayak gini, orang bakal nyangka kita lagi pacaran, pandangan mulu dari tadi,” ucap Harsa mencoba mencairkan ketegangan yang ada, keduanya pun tertawa, menertawakan kekonyolan yang baru saja terjadi. Dari kejauhan Widya merasa heran melihat tingkah laku kedua teman cowoknya yang layaknya sepasang kekasih. Embusan napasnya terlontar kasar ke udara, sebelum dirinya melangkah mendekati mereka berdua.
"Sepertinya benar kata Zakir, kalian ada hubungan yang kami semua nggak tahu!” ucap Widya setelah menghampiri Nathan dan Harsa.
Keduanya pun berpandangan sejenak, kemudian tangan Nathan dan Harsa bersamaan mengusap kepala Widya berniat mengacak rambutnya, karena gemas dengan ekspresi Widya. Justru yang terjadi, tangan Nathan bertemu tangan Harsa di atas kepala Widya. Secara spontan keduanya sama-sama menarik kembali tangannya sambil bergidik ngeri. Tak ayal perilaku mereka membuat Widya tertawa terpingkal-pingkal. Baik Harsa maupun Nathan senang melihat tawa cerah Widya, hingga mereka berdua pun saling memandang dan tersenyum.
Usai menikmati makanan yang ada di restoran, Harsa mengajak Widya pulang, berhubung hari sudah malam. “Kita pulang sekarang, ya!" Harsa menarik tangan Widya dan Widya pun ikut berdiri merespons ajakan Harsa, karena sesuai perjanjian ketika pulang Harsa yang mengantarnya.
"Woiii! Tunggu dulu! Kalian mau ninggalin gue?” Nathan sengaja menepis tangan Harsa yang sedang menggandeng tangan Widya. Ia merasa tidak terima Harsa menggandeng Widya begitu saja.
Harsa menoleh, "Lo, ‘kan, sudah besar. Bisa pulang sendiri!” Dengan senyum mengejek Harsa melambaikan tangan meninggalkan Nathan. Widya ikut melambaikan tangan tanda perpisahan dengan Nathan.
"Duluan, ya, Nat!” pamit Widya.
...***...
...To be continued.... ...
Berantem aja tu si Harsa sama Nathan. Kalian dukung yang mana, Gengs 😅
Jangan lupa kasih like sama komentarnya 🥰
Klik favorit juga, sama kasih bintang tujuh, ya 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!