NovelToon NovelToon

Queen Of Casino

BAB 1 : Bencana

...Sebelum membaca Jangan lupa untuk mampir ke Karya Rissa Audy yang lainnya. ...

...1. Dangerous Woman Jesslyn : Berkisah Tentang Mommy Jesslyn dan Daddy Nicholas ...

...2. Queen Of Casino: Berkisah tentang Jessica Light (Putri Jesslyn) dan Williams Scorpion....

...3. Istri Tawanan Tuan Arogan: Berkisah tentang Laura Orca dan Michael Bannerick. ...

...(kedua orang tua Nicholas)...

...Happy reading. ...

...Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar di setiap babnya. Tapi jangan di spam ya!...

______________________

Di sebuah gedung sekolah, seorang siswi berperawakan gemuk menggunakan seragam tengah berlari menaiki anak tangga. Langkah kaki gadis itu terasa begitu berat, bukan hanya karena tubuhnya, tetapi juga disebabkan beban hidupnya yang terlalu banyak.

Meskipun lututnya sudah terasa lemas, dia tetap bergerak naik menuju atap bangunan tersebut. Entah berapa banyak deraian air mata yang jatuh membasahi pipi tembam itu untuk kesekian kalinya, tetapi tak mengundurkan niat awalnya.

Beberapa saat kemudian, dia tiba di rooftop bangunan tersebut. Lalu, berteriak sekuat tenaga, meluapkan segala perasaan menyakitkan dengan buliran hangat yang tak henti mengalir di wajahnya. "Akh! Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" Suara teriakan terdengar begitu keras hingga guntur menggelegar seakan menyahutnya dari atas.

Berulang kali dia menangis sambil merutuki dirinya sendiri, nasib baik seakan tak berpihak kepadanya selama ini. Hanya ada kepahitan dalam hidupnya dan tak pernah mendapatkan keadilan. "Kenapa aku harus dilahirkan? Jika kehadiranku hanya menjadi bahan tertawaan, Tuhan," teriaknya sangat keras hingga tubuh itu pun terasa lemas tak bertulang.

Luruh sudah tubuh gadis itu di lantai dengan isakan tangis kuat dan terdengar begitu memilukan hati. Perlakuan dari orang-orang di sekitar, diterima layaknya sebuah belati tajam menghujam jantung–sakit–hanya itu yang dia rasakan. Buliran sebening kristal mengalir deras untuk kesekian kalinya layaknya rintik hujan yang tak memiliki keran. Jenni menepuk dada ketika rasa sesak dan nyeri di hati seakan menyeruak menjadi makanan setiap hari, bahkan lebih banyak daripada nasi jatah makanannya.

Sekujur tubuh gadis itu penuh dengan tepung karena perundungan oleh teman-teman di sekolah. Lemak menumpuk menjadi satu dengan daging di badan Jenni, wajahnya tak rupawan, serta berotak tumpul, menjadikan dia sosok sempurna untuk dijadikan bahan tertawaan dan hinaan orang-orang di sekitarnya.

Bukan hanya teman-teman yang membenci, tetapi juga sang ayah di rumah, serta keluarga tirinya yang seakan tak pernah puas menjadikannya samsak kemarahan. Ayahnya selalu menatap dengan tatapan kebencian setiap kali melihatnya. Tidak ada kasih sayang yang Jenni dapatkan, meskipun hanya secuil kebaikan. Semua perlakuan mereka bahkan lebih kejam daripada hewan yang masih memiliki kesadaran untuk menjaga anaknya dari serangan lawan.

Kehadirannya di dunia ini seakan tak pernah diinginkan oleh ayahnya sendiri, hingga pria itu membiarkan saja ketika Jennifer disiksa oleh ibu dan kakak tirinya serta membiarkan mereka memperlakukan putri kandungnya sendiri seperti seorang budak dengan alasan demi kebaikannya.

Jennifer To, putri sah dari pasangan Su Man To dan istri pertamanya Mar Ni. Akan tetapi, ibunya meninggal ketika melahirkan, sehingga membuat sang ayah sangat membenci Jenni. Dia bahkan menganggap gadis tersebut sebagai alasan di balik kematian istrinya, hingga anaknya sendiri harus merasakan pedihnya hinaan dari mulut orang yang seharusnya memberikan kasih sayang.

"Kenapa Engkau tidak adil padaku, Tuhan?" Tak henti-hentinya Jenni menangis, meraung, sambil berlutut, meratapi nasibnya yang malang.

Kelahirannya dianggap sebuah kesialan, membuat gadis itu tidak pernah merasakan kasih sayang. Sejak kecil tak ada yang mengajarkan kepadanya tentang pelajaran, sehingga membuatnya tumbuh menjadi gadis yang bodoh. Ditambah ibu tirinya memberikan nutrisi berlebih sejak kecil, menyebabkan tubuhnya semakin gemuk tak terkendali.

Hal ini dikarenakan kakak tirinya. Sejak kecil dia sudah cemburu pada kecantikan Jenni, sehingga mereka melakukan berbahagai cara agar gadis itu tumbuh dengan tidak semestinya. Bodoh, jelek, dan gemuk, sangat cocok untuk menambah alasan kebencian ayahnya sendiri.

"Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" Suara teriakan gadis itu seakan didengar oleh langit. Awan hitam seketika bergulung berkumpul di atasnya, disambut kilatan petir dan guntur yang semakin menggelegar begitu keras.

Perlahan rintik hujan terasa semakin deras serta sakit ketika titik demi titik berjatuhan dan mulai membasahi tubuhnya yang sudah berderai air mata sejak awal. "Haruskah aku menyusulmu, Ibu?"

Dia menengadah menatap langit yang luas, pikiran gadis itu melayang entah ke mana dengan rasa putus asa yang tak ada lagi obatnya. Perlahan Jenni mulai menegakkan tubuhnya, melangkahkan kaki ke tepian rooftop bangunan tersebut dengan langkah gontai.

'Kau adalah anak pembawa sial! Jika bukan karena melahirkanmu aku tidak mungkin kehilangan istriku!' Sepenggal kalimat yang selalu dia dengar di saat ayahnya sedang marah, terus menerus terngiang dalam benak kecilnya, menambah keyakinan Jenni untuk mengakhiri hidupnya sendiri tanpa ragu lagi.

Angin berembus begitu kencang disertai guyuran hujan yang berjatuhan. Jenni merentangkan tangan sambil memejam sesaat. Kepala gadis itu mendongak, melihat kumpulan awan hitam yang tengah menjadi saksi keputusannya mengakhiri hidup.

Dia menghirup napas dalam-dalam, menikmati udara untuk terakhir kalinya. "Mungkin jika aku mati, Ayah akan hidup bahagia. Tidak lagi melihatku, yang hanya mengingatkannya tentang kematian Ibu."

Semakin lama semakin kencang angin yang menerpa tubuhnya, suasana di atap berubah mencekam seketika. Namun, tak membuat gadis itu mengundurkan niatnya dan bertambah yakin jika apa yang dia lakukan adalah benar.

"Aku datang, Ibu." Dia langsung mencondongkan tubuh ke depan dan terjun bebas dari ketinggian. Semoga kau bahagia, Ayah, batinnya.

_________________________

Di sisi lain, seorang wanita tengah mengendarai mobil sport milik sang ibu dengan hati yang riang karena baru pulang dari kampus. Artinya dia bisa mampir dulu ke tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu hari ini. Di usia yang menginjak dua puluh tahun, perempuan itu sudah menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas ternama di Amerika.

Kecerdasan turunan kedua orang tuanya tak perlu diragukan lagi, hingga membuatnya mampu menempuh pendidikan lebih cepat dari teman sebayanya.

Dia tengah asyik mengemudi sambil mendengarkan musik dari negara lain kesukaannya. "Hajiman nan marya neoui bakkeseon sal su eopseo." Wanita tersebut ikut bernyanyi dengan sangat menghayati mengimbangi lagu yang diputar di dalam mobil tersebut.

Namun, di tengah kegiatannya menikmati alunan lagu, tiba-tiba dering ponsel di kursi samping membuat wanita itu lantas mematikan musik dan meraba benda pipih tersebut di dalam tasnya, sambil sebelah tangan masih memegang kemudi.

"Siapa yang menelepon siang-siang begini?" gerutunya dengan santai.

Jessica Light, si bungsu perempuan dari kelahiran kembar tiga, yang mana kedua kakak kembarnya adalah laki-laki. Dia selalu dimanjakan oleh mereka, meskipun Jessi kecil sangat nakal dan sulit untuk diatur.

Sifatnya yang mirip dengan sang ibu ketika masih muda membuat wanita tersebut sering dipanggil Jessi Kecil. Walaupun usianya sekarang sudah bukan anak-anak lagi, tetapi panggilan itu masih saja tersemat dalam dirinya, hingga saat ini.

"Dapat." Tangan Jessi berhasil meraih ponsel tersebut, di layar tertera nama 'Jessi Tua'.

"Ada apa mommy menghubungi siang-siang begini?" Jessi mengernyitkan dahinya terlebih dahulu memikirkan kembali kesalahan apa yang dia buat hingga sang empu tak sabar menunggunya pulang. Wanita tersebut lantas teringat mobil sport yang digunakan saat ini adalah kesayangan ibunya. "Mampus aku!"

Jessica adalah sosok wanita berparas cantik dengan otak cerdas dan kejahilan tak terbatas. Dia hidup bergelimang harta dan kasih sayang sejak dalam kandungan. Orang-orang di sekitarnya pun sangat menyayangi wanita tersebut seperti keluarganya sendiri. Hidupnya tak memiliki kekurangan dalam hal apapun, sehingga membuat orang lain iri dengannya.

Ditambah dia memiliki seorang ayah–Nicholas Bannerick–yang merupakan konglomerat ternama Bannerick Group. Ibunya pun bukan sembarang wanita–Jesslyn Light–pemimpin dari mafia terbesar di negara ini dengan segudang bisnis legal.

Hal tersebut, menjadikan hidup Jessica semakin sempurna dengan segala fasilitasnya. Namun, dia bukanlah wanita manja yang suka berfoya-foya. Hanya saja kenakalannya cukup merepotkan orang-orang di sekitarnya.

"Hello, Mom." Jessi langsung menjauhkan ponsel dari telinga setelah mengangkat panggilan dari sang ibu.

"Bocah sialan! Kenapa kau memakai mobil mommy lagi? Apa gunanya kau beli sendiri, hah?" Suara teriakan sang ibu karena kesal dengan kendaraan yang Jessi gunakan terdengar begitu keras hingga mampu memekakkan telinga jika dia menggunakan earphone.

Inilah salah satu kenakalan Jessi, suka menggunakan mobil sport milik ibunya tanpa izin dan selalu pulang dengan kondisi kendaraan yang tidak lagi utuh. Entah karena lecet, rusak, bahkan tertabrak hingga tak bisa digunakan kembali.

"Aku hanya meminjam, Mom." Ketika wanita tersebut berbicara dengan ibunya. Tiba-tiba saja sebuah mobil berkecepatan tinggi berbelok ke kiri tepat di depannya.

Keterkejutan membuat Jessi langsung menginjak pedal rem dan mobil pun berhenti seketika, hingga kepalanya terbentuk stir. Namun, keberuntungan sedang tak berpihak padanya karena dari arah belakang sebuah truk bermuatan berat tiba-tiba saja mengalami rem blong dalam kecepatan tinggi dan menabraknya tanpa aba-aba.

Jessi yang tidak siap dengan kondisi ini hanya bisa pasrah ketika berada di dalam. Entah berapa kali kendaraan itu terpental ke samping dan berguling-guling tak tentu arah. Namun, sesaat kemudian kembali didorong oleh truk dari arah lain. Hingga berakhir dengan menghantam pembatas jalan dalam posisi terbalik.

"Jessi! Jessi! Jessi!" Suara teriakan panik ibunya di sambungan telepon masih bisa dia dengar di sisa kesadaran diri Jessi.

Tubuh Jessi terbalik dengan luka parah dan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya membuatnya tak lagi mampu bertahan untuk meraih ponsel itu. "Mommy," lirih wanita tersebut memanggil sang ibu, sebelum akhirnya kesadaran hilang sepenuhnya.

To Be Continue...

Hallo teman-teman, selamat datang di novel kedua aku. Bagi yang mau tau identitas Jessi silakan baca novel pertama 'Dangerous Woman Jesslyn' ya. Karena ini adalah cerita anaknya.

Jangan lupa tap, love/favorit, gift, like dan tinggalkan komentar di setiap babnya.

BAB 2 : Jiwa yang Tertukar

Rintik air hujan telah mereda, berganti dengan sinar mentari yang kembali menghangat. Seorang gadis tengah berbaring di ranjang ruang kesehatan sekolah. Hanya ada dokter penjaga menemaninya sambil duduk di kursi untuk mengawasi. Entah bagaimana cara mereka mengangkat tubuh gemuk itu kemari yang jelas sekarang dia sudah ada di ruangan tersebut.

Perlahan kelopak mata sang gadis mulai terbuka, kepalanya terasa pening mengingat kembali apa yang dia alami. "Eugh." Sebuah lenguhan kecil keluar dari mulutnya dengan kedua tangan memijit pelipisnya.

Seluruh bagian tubuh gadis itu seakan remuk redam, kesadaran pun belum sepenuhnya terkumpul dan masih ada sisa nyawa yang melayang entah ke mana, hingga beberapa saat kemudian, kelopak matanya mulai terbuka. Dia mencoba untuk bangkit dari tidurnya, lantas memegang kepala yang terasa sangat pening.

"Di mana aku?" Ketika kesadarannya sudah kembali, gadis itu mengedarkan pandangan sambil mengernyitkan dahi, melihat ruangan asing yang baru pertama kali dilihatnya. Bukan rumah, bukan kampus, bukan pula rumah sakit, rasa bingung seketika membuatnya beberapa kali kembali mengerjapkan mata.

"Kau sudah bangun?" Suara bariton seorang dokter pria muda membuat gadis itu seketika menatap ke arahnya. Dia mendekat sambil memasukkan tangan ke dalam saku jas putih kebanggaannya untuk mengambil stetoskop. "Coba aku periksa sebentar!"

"Siapa kau?" Gadis itu langsung menapik tangan sang dokter yang ingin memeriksanya. Jenis wajah pria tersebut sangat asing baginya dan lebih mirip dengan pamannya—Mario. Namun, bagaimana ada pria seperti ini pula di negaranya?

"Di mana ini?" Dia kembali bertanya karena sungguh bingung dengan apa yang terjadi, hingga membuat sang dokter ikut kebingunan melihat sikapnya dan mengernyitkan dahi dalam waktu yang cukup lama.

Jangan-jangan dia amnesia? batin dokter tersebut.

"Apa kamu lupa? Kamu mencoba bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah ini. Beruntung kau mendarat di pagar tanaman yang tinggi. Jadi, tubuhmu hanya lecet dan tidak mati," jelasnya tanpa basa-basi sambil melihat kembali ekspresi gadis di depannya.

Namun, gadis itu sungguh terlihat sangat bingung dengan pernyataan dokter di depannya. Mengapa dia harus bunuh diri jika hidupnya saja sangatlah nyaman dan damai. "Apa kau gila? Bagaimana bisa kau sebut aku bunuh diri? Sangat jelas saat itu aku ditabrak ...."

Dia menghentikan kalimatnya ketika menyadari kata-kata yang digunakan untuk berbicara bukanlah bahasa kesehariannya. Meskipun, menguasai beberapa bahasa asing, tetapi bukan berarti dia bisa menggunakannya di sembarang tempat karena biasanya hanya digunakan ketika berlibur ke negara-negara tetangga saja.

Tunggu, tunggu. Dia kembali melihat persekitaran dengan tatapan aneh. Segala tulisan yang tertera di ruang kesehatan itu di tulis dengan aksara hangeul berasal dari Negara Korea. Bagaimana bisa aku di sini?

Pandangan gadis itu lantas beralih menatap ke bagian tubuhnya sendiri, kaki gajah dan tangan telapak tangan yang besar membuatnya melebarkan mata. "Apa kau punya cermin?"

"Cermin? Untuk apa? Kau sudah jelek, tak perlulah melihat cermin." Dokter tersebut mengejek, tetapi tetap melangkah untuk mengambil benda yang diinginkan siswi tersebut di laci mejanya. "Nah."

Gadis itu menerima cermin pemberian sang dokter, lalu melihat wajahnya sendiri di pantulannya. Dia memegang rambutnya kusut setelah kehujanan, pipi tembam layaknya babi, dan satu lagi, jerawat batu di dahi serta pipi yang kalau dipegang terasa sekali keasliannya. Melihat hal itu, Jessi seketika membelalakkan mata.

Saking syok dengan apa yang dilihat, wanita itu langsung melemparkan cermin di tangannya ke sembarang arah, hingga terdengar suara hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. "Siapa dia? Wajahnya mengerikan sekali." Tubuh gadis itu bergetar, jemari tangan Jessi mulai dingin karena hal itu. Otak jeniusnya seakan tidak mampu untuk mencerna kondisi yang dialaminya sekarang.

"Yak! Kenapa kau membuangnya? Apa takut melihat wajahmu sendiri?" teriak sang dokter yang hanya bisa menggelengkan kepala, sambil melangkah membersihkan pecahan kaca di lantai. "Mungkin karena itu juga kau mencoba untuk bunuh diri."

Ya selama bekerja di sekolah itu, dokter tersebut sangat tahu bagaiamana kondisi gadis itu. Dia tak pernah memiliki teman dan selalu dirundung hingga membuatnya mengawasi gerak gerik wanita tersebut setiap waktu.

Gadis itu tampak sangat kebingungan karena sejatinya, dia bukanlah Jenni yang gemuk, tetapi Jessi. Kecelakaan membuat jiwa wanita tersebut menempati tubuh lain tanpa tahu bagaimana hal seperti itu bisa terjadi.

"Aku mencoba bunuh diri?" Dia lantas menelisik tubuhnya sendiri, nama Jennifer Kim menempel di seragam putih yang dikenakan. Jika aku ada di tubuh Jennifer To, apa artinya aku sudah mati?

"Kau mengenal gadis ini?" Jessi bertanya kepada sang dokter sambil menunjuk diri sendiri seakan bukan dirinya lah yang ada di sana.

Dokter menghela napas sejenak sebelum menjawab, lalu membuang pecahan kaca ke tempat sampah terlebih dahulu. "Apa kau sungguh lupa ingatan?"

Sejenak Jessi memikirkan perkataan sang dokter. Tidak mungkin aku mengaku kalau diriku bukan Jennifer. Bisa-bisa, pria itu akan mengira aku gila.

Akhirnya Jessi pun hanya mengangguk. "Benarkah? Apa kau bahkan lupa dengan namamu?" Dokter yang terkejut lantas melangkah mendekatinya, memegang kepala gadis itu, melihat apakah ada luka yang dia lewatkan.

"Ish, apa yang kau lakukan?" Jessi kembali menapik tangan dokter yang menggerakkan kepalanya sembarangan, dan malah membuatnya terasa pusing.

"Tentu saja memeriksamu. Sepertinya kau harus dibawa ke rumah sakit." Dokter hendak melangkah pergi, tetapi tangannya ditahan oleh gadis itu.

"Tunggu, tunggu. Aku pikir tidak perlu seekstrim itu. Ceritakan saja padaku! Apa pun yang kau tahu tentangku."Jessi mengangguk kecil, berharap sang dokter memahami maksudnya. Dia sangat membenci rumah sakit, aroma obat sangat kuat di sana. Lagi pula tidak mungkin menjelaskan kejadian sesungguhnya kepada pihak medis tentang dia yang sesungguhnya. Bisa-bisa bukannya diberikan obat malah dilarikan ke rumah sakit jiwa.

"Benarkah?" Sejenak dokter tersebut mengamati kembali tubuh gadis di depannya dengan tatapan menelisik. Tidak ada tanda-tanda luka serius selain lecet, tetapi mengapa gadis itu bisa lupa ingatan. Mungkin dia hanya lupa sementara, pikirnya.

"Baiklah, aku akan memberitahumu. Namamu Jennifer Sumanto, biasanya kau dipanggil Jenni. Setiap hari kau datang kemari untuk meminta obat penenang, tapi aku tak memberikannya."

"Hanya itu yang kau tahu?" Gadis itu mengernyitkan dahi, mendengar secuil informasi yang didapat. Mengapa hanya ibarat sebongkah upil yang tak penting untuk didengar. Bahkan ocehan ibunya lebih panjang dari data seorang gadis.

"Kau pikir apa yang bisa diketahui oleh dokter penjaga sepertiku?"

Jessi mengangguk kecil. "Benar kau terlalu bodoh untuk mengetahui segala hal. Tak seperti ayahku."

"Yak! Kenapa amnesia membuatmu menjadi gadis yang menyebalkan?" Tangan sang dokter hampir melayangkan sebuah pukulan bercanda karena kesal dengannya yang kini berani menjawab. Akan tetapi, melihat sorot mata yang berbeda dari gadis di depannya membuat pria tersebut mengurungkan niatnya. "Ekhem, sepertinya kau sudah sembuh. Lebih baik kau segera pulang dan istirahat."

"Pulang? Di mana rumahku?"

"Oh, Tuhan. Kau ini sungguh lupa atau pura-pura lupa?" Pria tersebut terlihat cukup kesal menghadapi Jessi, gadis itu sungguh sangat berbeda dengan Jenni yang pemalu.

"Aku benar-benar lupa. Kenapa kau tidak mengantarkanku sekalian saja."

"Cih, menyebalkan." Pria tersebut melepaskan jas putihnya, lalu mengambil tas di kursi. "Cepat bawa tasmu itu! Ikuti aku!"

Gadis itu menoleh ke samping terlihat sebuah tas milik tubuh ini. Dia pun menyambarnya lantas turun dari ranjang mengikuti langkah kaki pria tersebut. "Ngomong-ngomong siapa namamu?"

Pria itu memicingkan mata menatap ke arah gadis di sampingnya. Benarkah dia lupa ingatan?

"Kenapa menatapku seperti itu? Mau kucongkel matamu?" Jessi mengancam dengan mengarahkan kedua jari ke wajah pria tersebut. Kadar galaknya seakan tiba-tiba saja overdosis membuat pria tersebut cukup heran melihat perubahannya dalam waktu satu hari.

Pria tersebut menghela napas sejenak. "Kau bisa memanggilku Richard."

Mereka kembali melangkah menuju area parkir. Namun, ketika tiba di depan sebuah kelas, Jessi yang memiliki kepekaan tinggi merasa ada seseorang yang mengintipnya dari belakang. Berulang kali gadis itu menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana.

"Sudah cukup mengikutiku!" Suara teriakan Jessi yang kesal mampu membuat pria di sampingnya mengernyitkan dahi karena kebingungan. "Kau tunggu di sini sebentar! Aku mau menyusulnya terlebih dahulu."

Jessi berbalik dan melangkah pergi mencari sosok yang mengikutinya tadi dengan perasaan kesal sekaligus penasaran.

Sementara itu, Richard dibuat kebingungan dengan tingkah gadis tersebut hanya bisa menggaruk kepalanya sendiri. "Sepertinya dia sungguh gila."

To Be Continue...

BAB 3 : Jessi dan Jenni

Sosok yang diam-diam mengikuti membuat Jessi merasa penasaran, dia pun pergi meninggalkan Richard dan melangkah menyusuri tempat yang dilalui bayangan itu.

"Yak! Berhenti kau!" Jessi berteriak memanggilnya dan terus berlari mengejar sosok yang dilihatnya tadi, bayangan itu terkadang berhenti untuk menoleh ke belakang. Namun, tubuh Jenni yang gemuk membuat Jessi kesulitan bergerak lincah seperti biasa ketika memiliki body ramping.

"Sialan! Ini tubuh atau babi sih! Merepotkan saja." Setiap melangkah Jessi menggerutu tak karuan untuk meluapkan segala kekesalan yang ada karena napasnya mudah terengah-engah hanya disebabkan sedikit saja gerakan tubuhnya.

Sejenak dia menghentikan lagkah, membungkuk untuk mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya untuk mengatur pernapasan. Kelincahan di tubuh kecilnya dahulu tidak bisa diterapkan sekarang. Keinginan berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya saat ini.

"Harusnya kau diet, bodoh!" Entah berapa kali Jessi memaki tubuh gemuk yang kini menjadi miliknya itu.

Perlahan, tetapi pasti gadis itu kembali melangkah, menaiki anak tangga dengan susah payah, sambil terus menggerutu kesal merutuki nasibnya saat ini. "Lihat saja! Aku akan membunuhmu jika sampai bertemu denganku!"

Cukup lama Jessi bergerak melangkah dengan tubuh barunya. Namun, sikapnya tetaplah Jessica sebelumnya, suka mengumpat jika merasa sial. "Terjebak di tubuh penuh lemak sangat menyebalkan. Kenapa kau tidak mengembalikan tubuhku saja, Tuhan?"

Berulang kali gadis itu berhenti hanya untuk mengentakkan kaki. Jika saja bangunan tersebut terbuat dari kayu pastilah sudah roboh karena ulahnya. Beberapa saat kemudian, dia tiba di ujung tangga, mengambil napas sejenak lantas menendang sebuah pintu di depannya dengan sangat keras hingga membuat kuncinya rusak seketika.

Ternyata itu adalah pintu menuju atap, Jessi mengedarkan pandangan sambil berkacak pinggang dengan napas tak terkendali dan buliran keringat asin yang mulai membasahi tubuh.

Di suatu sudut, matanya merlihat seorang gadis gemuk duduk meringkuk membelakanginya. "Apa dia pemilik tubuh ini?" gumamnya lirih.

"Hei! Kau!" Dia berteriak dengan keras sambil melangkah dengan jari menunjuk gadis yang tengah meringkuk itu.

Gadis itu pun menoleh dengan raut wajah ketakutan. "Si–siapa kau?" Dia menelisik setiap inchi bagian tubuh wanita di depannya yang tak lain adalah tubuhnya sendiri. "Ba–bagaimana bisa kau berada di tubuhku?"

"Seharusnya aku yang bertanya, Bodoh! Bagaimana bisa kau keluar dari tubuhmu?" Jessi melangkah mendekat dengan wajah merah padam akibat aliran darah yang naik karena kelelahan, tetapi sedetik kemudian dia menghentikan kakinya dan berdiri mematung di tempatnya, sambil memikirkan sesuatu. "Tunggu, tunggu, tunggu! Jika kau adalah pemilik tubuh ini, apa itu artinya sekarang kau adalah setan?" tanyanya lirih.

Secara spontan Jessi menanyakan kepada Jenni apa yang kini dalam benaknya. Suatu hal yang membuat dirinya sendiri kebingungan saat ini. Kenyataan hidupnya sekarang berada di luar batas logika manusia. Apa lagi dia sebagai orang jenius. Bagaimana bisa pemiliki jiwa berada di luar tubuh dan raga itu malah ditempati oleh jiwa lain, sungguh tak masuk di akal.

"Oh, Tuhan. Otak cerdasku tak mampu mencerna semua ini." Jessi memegang kepalanya sendiri memikirkan semua ini. Bagaimana bisa situasi kecelakaan menjadi sangat rumit ketika tersadar. Lalu, mungkinkah jiwa seseorang bisa berteleportasi begitu saja?

"Aku sendiri tidak tahu apa aku hantu atau manusia." Jenni menunduk tak berani menatap wanita galak di depannya, meskipun itu adalah tubuhnya sendiri. Perasaan rendah diri Jenni masih melekat dalam jiwa tanpa raga tersebut seakan bersatu dengan memori yang ada.

"Apa yang kau lakukan sebelumnya hingga kau kehilangan tubuhmu?" Jessi akhirnya melangkah mendekati wanita tersebut dengan hati-hati. Rasanya sangat kasihan melihatnya sedih seperti itu. Meskipun Jessi galak, tetapi dia juga memiliki perasaan dan dari yang dilihat, wanita tersebut hanya membutuhkan perhatian.

Jenni berdiri dari posisinya mendengar pertanyaan Jessi. Dia lantas melangkah ke tepian rooftop dan berdiri di sana. "Aku ingin menyusul ibuku, tapi aku malah tersesat sekarang."

"Jadi, kau sungguh bunuh diri dari sini?" Jessi melangkah mengikuti Jenni di atas rooftop. Dia melihat ketinggian dari atap tersebut, serta bekas kemungkinan tanaman yang ditimpa tubuh berat ini saat terjatuh sebelumnya. "Kasian tanaman itu. Bukan kau yang mati, tapi malah mereka, rusak karena tertimpa tubuh babimu."

Seperti itulah Jessi kecil, dia sangat mirip dengan ibunya ketika berbicara. Sangat menyakitkan, tetapi kejujurannya tak berarti menghina sepenuhnya. Bisa dia rasakan angin dari ketinggian yang menerpa tubuhnya, seberapa kuat embusan tersebut tak akan mampu menerbangkan tubuh sebesar gajah itu.

"Menurutmu bagaimana cara agar kau bisa masuk kembali ke dalam tubuhmu dan aku juga bisa pergi dari badan gemuk ini?" tanya Jessi sambil melihat kembali ke bawah.

Gadis itu hanya menggeleng. Mereka layaknya dua orang sahabat yang sangat dekat, membuat Jenni menatap wanita di sebelah cukup lama. Selama ini dia tidak memiliki satu teman pun, meskipun sekarang mereka terlihat seperti kembar beda jiwa, tetapi Jenni tetap merasa nyaman ketika seseorang berada di sampingnya.

"Siapa namamu? Kau sendiri bagaimana bisa memasuki tubuhku?" tanya Jenni dengan rasa was-was, tetapi memberanikan diri.

Sebuah helaan napas panjang terdengar begitu jelas dari Jessi. "Namaku Jessica Light, kau bisa memanggilku Jessi. Terakhir kali yang aku ingat adalah kecelakaan mobil." Dia memutar tubuh, hingga punggungnya bersandar dengan pembatas atap, sedangkan Jenni masih terduduk di tempat dia bunuh diri sebelumnya.

"Apa hidupmu juga menyedihkan sepertiku?" Jenni menundukkan kepala, dia enggan menatap dirinya sendiri. Meskipun itu juga tubuhnya, sedangkan jiwa di sana adalah Jessi. Namun, kenangan pahit mudah sekali membuatnya membenci kondisinya.

"Tidak! Hidupku sangat sempurna. Cantik, pintar, dan kaya, impian semua wanita." Jessi membanggakan diri sendiri karena memang begitu kenyataannya. "Ngomong-ngomong aku belum lihat kabarku di sana. Apa kau punya ponsel?"

Jenni hanya menggeleng. Jangankan memiliki ponsel, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Keluarganya tidak pernah memberikan fasilitas memadai seperti kakak tirinya. Gadis itu bagaikan tidak pernah ada di dalam keluarga.

Melihat reaksi Jenni, Jessi hanya bisa menatap dengan melebarkan mata. "Yak! Jangan bilang kau ini miskin dan berasal dari zaman purba! Kenapa ponsel saja tidak punya!" Gadis itu berteriak kesal. Tidak menyangka akan berada di situasi yang menyebalkan seperti ini.

Seorang gadis yang bahkan tak memiliki ponsel, bagaimana bisa masih hidup di dunia modern. Seharusnya dia sudah punah karena dimakan zaman.

Bukan hanya harus berwajah jelek dan tubuh gendut, tetapi juga miskin, mungkin bodoh. "Sial! Akh!" Berulang kali Jessi menghentakkan kaki sambil mengacak rambutnya sendiri saking kesalnya.

"Jenni! Pikirkan bagaimana cara agar kau bisa mengambil alih tubuh ini dan aku dapat kembali ke tubuh asliku!" Jessi berteriak sambil memegang bahu Jenni dengan kuat, meskipun hanya sesosok jiwa, tetapi wanita tersebut mampu menyentuh dan melihatnya. Kemampuan istimewa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

"Ba–bagaimana cara melakukannya?" Jenni cukup takut melihat Jessi yang lebih mirip dengan para perundung itu. Mereka selalu saja bertindak sesuka hati, hingga membuatnya mengalami trauma tersendiri.

"Cobalah untuk masuk ke tubuhmu!" Jessi merentangkan kedua tangan sambil memejamkan mata, memberikan isyarat agar Jenni masuk ke dalam tubuhnya.

Dengan ragu, Jenni melakukan apa yang diperintahkan oleh Jessi. Perlahan dia mulai melangkah untuk masuk ke dalam tubuh tersebut, tetapi sayangnya jiwa itu menembus raganya. Seakan tubuh itu transparan dan tak dapat bersentuhan.

"Bagaimana?" Jessi membuka mata, tetapi Jenni sudah tidak ada di depannya, dia pun berbalik dan gadis itu sudah membelakanginya. "Apa kau gagal?"

Sekali lagi bergantian Jessi yang mencoba memasukkan jiwa Jenni, tetapi dia layaknya sebuah bayangan. Tak bisa disentuh apa lagi kembali ke dalam tubuhnya.

"Ish, menyebalkan!" Jessi semakin kesal dengan kondisi saat ini. "Apa aku akan terjebak di dalam tubuh ini untuk selamanya?"

"Tidak, tidak, tidak! Ini tidak boleh terjadi!" Jessi bermonolog sambil berjalan ke sana kemari, memikirkan solusi apa yang bisa membantunya. "Apa aku harus lompat dari sini juga?"

Jenni hanya diam, sama halnya dengan sikap pemalu yang selalu dia tunjukkan sebelumnya. Meskipun sekarang gadis itu hanyalah arwah, tetapi tetap saja seorang yang rendah diri dan sedikit berbicara.

"Sepertinya aku harus mencobanya." Jessi hendak bergerak menaiki pembatas atap, tetapi suara di belakang membuatnya terkejut.

"Yak! Apa yang kau lakukan? Apa kau gila, hah?"

To Be Continue....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!