Zein menangis dalam diam. Nyatanya perpisahan ini sungguh menyakitkan baginya.
Zi, wanita yang ia nikahi, lalu ia ceraikan itu ternyata telah pergi meninggalkan kota ini, sesaat setelah menerima akte cerai darinya.
Zein terlambat.....
Semua teman-teman kerja sang istri yang ia kenal, bungkam. Tak ada satu pun di antara mereka yang mau memberi tahu ke mana wanita itu pergi. Karena mereka memang tidak tahu ke mana Zi pindah.
Zein tidak semudah itu percaya.
ia pun langsung pergi ke bagian administrasi. Bertanya pada bagian tersebut.
Namun lagi-lagi mereka juga tidak bisa membantunya. Karena menurut info, kepindahan Zi tidak ada sangkut pautnya dengan pihak rumah sakit, yang artinya Zi mengundurkan diri. Bukan dipindah tugaskan. Atau, mereka berbohong. Entahlah.... nyatanya, info yang Zein dapatkan memang demikian.
"Ke mana kamu, Zi?" tanya Zein dalam diamnya. Zein kembali berlari menuju mobilnya, ia yakin kalau Zi pasti pergi ke rumah keluarganya yang ada di kampung. Zein pun berniat menyusul wanita itu ke sana.
Sayangnya, setelah sampai di sana, Ia tak menemukan wanita yang ia cari. Zi tidak ada. Mereka malah menjamu Zein dengan sangat baik. Membuat Zein semakin merasa bersalah.
Zein tidak berani bertanya kepada mereka, karena mereka pasti akan menghakiminya. Menangih janji yang telah ia ikrarkan saat ijab qobul itu. Kali ini Zein benar-benar merasa seperti pecundang bodoh yang mengingkari janjinya. Janji untuk menjaga Zi, janji untuk melindungi Zi, janji untuk membahagiakan Zi. Semua ia ingkari.
Tak ingin berlama-lama di kampung keluarga, Zi. Zein pun memutuskan kembali ke Jakarta. Kembali ke rumah. Rumah di mana ia dan Zi pernah tinggal.
Perlahan, Zein masuk ke dalam kamar tersebut. Kamar yang biasanya di penuhi oleh aroma Zi selepas mandi. Aroma yang bisa membuatnya sangat-sangat tenang. Tak dipungkiri, bahwa Zein sangat merindukan aroma itu.
"Zi, aku rindu," gumam Zein sembari memeluk bantal yang biasanya Zi gunakan untuk tidur. Beberapa kali Zein terlihat mencium bantal tersebut.
Zein lagi-lagi menangis. Merindukan kebersamaan dengan Zi di kamar ini.
Ciuman Zi, pelukan Zi, bahkan ketika mereka bercinta. Zi melayaninya dengan sangat baik. Tidak pernah menolaknya meskipun Zein tahu, Zi pasti lelah bekerja.
Sedetik kemudian, Zein teringat pernah mencari keberadaan Zi melalui signal handphone milik Zi. Lalu ia pun mencobanya kembali. Zein segera mengambil ponselnya dan mulai melakukan pencarian. Sayangnya kali ini ia gagal. Ponsel milik Zi tidak aktif, atau bisa dibilang dimatikan. Zi seperti sengaja melakukannya.
"Kamu jahat, Zi. Kenapa kamu begitu cepat mengambil keputusan. Kenapa kamu nggak menungguku terlebih dahulu? Kamu kan tahu, aku labil. Apakah secepat ini kamu mengambil keputusan meninggalkan aku, Zi? Apakah tak ada maaf bagiku?" tanya Zein dalam isak tangisnya.
Rindu bertemu penyesalan itu ternyata sangat-sangat menyakitkan. Dan kali ini Zein sedang mengalami masa itu Tenggelam dalam kedua rasa itu. Tenggelam dalam rindu bertambah penyesalan. Zein sangat-sangat hancur.
Terusik malam sepi, Zein keluar kamar dan duduk di balkon tempat di mana dia dan Zi biasa menghabiskan waktu senggang mereka.
Bercengkrama dan mendiskusikan soal pekerjaan. Rencana mereka memiliki anak dan terkadang, Zein juga suka membicarakan gaya bercinta mereka. Lalu, dengan malu-malu, Zi pasti akan memukul paha Zein dan Zein akan membalasnya dengan memberikan kecupan penuh nafsu di bibir wanita cantik itu.
Zein tersenyum dalam diam mengingat kejadian manis itu. Zi memang berbeda dengan wanita yang pernah terlibat dengannya. Nyatanya, Zi lah orang yang memberinya kebahagiaan dan kenangan manis. Zi lah satu-satunya wanita yang tidak meninggalkannya ketika ia berada di titik terendah. Di saat semua mata wanita memandangnya sebelah mata, maka mata Zi lah yang memandangnya dengan penuh cinta.
Penyesalan... ya, hanya penyesalan yang saat ini merengkuh halus jiwa pria ini. Kini dia kesepian dalam pilihan bodohnya. Kini dia sendirian dalam pilihan konyolnya.
Keangkuhan Zein telah runtuh. Runtuh bersama pilihan yang salah.
***
Selepas perceraian itu, Zein jadi tidak bersemangat melakukan apapun. Makan pun dia enggan. Mandi enggan. Berangkat ke kantor enggan. Bahkan berkomunikasi dengan wanita yang ia gadang-gadang sebagai cinta sejatinya itu pun enggan.
Zein susah dihubungi. Ia mematikan semua alat komunikasinya. Mengurung diri di kamar. Hanya tidur dan tidur. Memejamkan mata. Mencoba melupakan semua yang telah ia lakukan. Mencoba melupakan senyuman wanita itu. Wanita yang ia ceraikan, namun ternyata sangat ia cintai.
Apa yang Zein lakukan ternyata membuat adik kandung beserta iparnya kalang kabut. Zein susah dihubungi. Seperti sengaja mematikan semua alat komunikasi yang ia miliki.
"Mas, kenapa bang Zein nggak bisa dihubungi ya, kak Zi juga ... apakah mereka sedang berbulan madu?" tanya Safira pada sang suami.
"Entah! Besok kita kan ke Jakarta. Coba kita cari tahu, ya!" ucap Lutfi sambil mengancingkan kemejanya.
"Masalahnya bukan itu, Mas! Mama sama papa nelponin, Fira, terus. Nanyain abang sama istrinya. Udah beberapa hari ini mereka nggak bisa dihubungi. Abang nggak ngantor. Mereka kek ngilang gitu aja. Mencurigakan nggak sih?" Safira semakin gelisah, mengingat hubungan suami istri itu, menurutnya sangat janggal. Terhitung sejak Zein kembali bertemu cinta lamanya.
"Jangan berpikiran buruk dulu. Mereka pasti punya alasan. lagi quality time, mungkin," jawab Lutfi, sedikit santai.
Namun, tak dipungkiri bahwa ia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Lutfi sangat tahu bagaimana Zein yang penuh rahasia. Lutfi sangat hafal bagaimana Zein begitu pandai menyembunyikan sesuatu. Bahkan ketika berteman dekat dengan Zi, keluarganya tidak ada yang tahu. Kembali lagi, ketika Zein memutuskan menikahi Zi, dia... selalu adik ipar pun tak tahu. Zein selalu bergerak cepat tanpa berpikir panjang. Dan itu sangat mengkhawatirkan...
Bersambung...
Terima kasih yang sudah mengikuti kisah Bang Zein dan Kak Zi... semoga kalian tetap suka😘Jangan lupa tinggalkan like komen dan Fav kalian Yes... syukur-syujur kalian berbaik hati mau kasih Vote😘😘😘Salam sayang buang kalian semua🥰🥰🥰
Bukan hanya Safira dan kedua orang tuanya yang kehilangan jejak Zein. Vita, sang kekasih juga kehilangan jejak pria itu.
Pesan yang ia kirim tidak sampai. Hanya centang satu. Panggilan telepon yang ia tujukan untuk pria itu juga tidak tersambung. Tentu saja, Vita dibuat khawatir oleh kelakuan aneh pria itu.
Tak ingin tenggelam dalam kekhawatiran yang mengusiknya, Vita pun memutuskan pergi ke kantor pria tersebut. Ya, mau bagaimanapun dia dan Zein sudah membuat komitmen untuk membangun kembali hubungan mereka, mau tak mau Vita harus tetap menjaga komunikasi.
Disamping alasan tersebut, tak dipungkiri bahwa Vita juga rindu. Merindukan pria yang sangat ia cintai itu.
Vita melajukkan kendarannya menuju kantor milik pria yang ia cintai itu. Sedikit berdebar, sebab dalam hati ia takut terjadi apa-apa dengan Zein. Vita takut, Zein sakit dan menyembunyikan kenyataan itu darinya. Vita sangat tahu bagaimana Zein, selalu menyembunyikan sesuatu yang membuat orang lain khawatir.
Kini sampailah Vita di kantor milik pria tampan itu. Lalu, tanpa menunggu waktu lagi, Vita pun langsung menuju ke tempat resepsionis dan bertanya pada pegawai yang bekerja pada sang kekasih itu.
"Maaf, Mbak! Bang Zein ada? Eh, maksud saya pak Zein?" tanya Vita pada pegawai Zein itu.
"Maaf, Bu. Bapak sudah beberapa hari ini tidak masuk. Beliau sakit," jawab sang resepsionis.
Tu kan, abang maaa.... Vita menggerutu dalam hati.
"Oh... makasih, Mbak!" jawab Vita sedikit sedih. Sebab Zein benar menyembunyikan keadaan yang sebenarnya kepadanya.
Setelah mendapatkan kepastian tersebut, Vita pun kembali ke mobil.
Diam dan berpikir sejenak.
Lalu, ia pun mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi pria itu kembali. Beruntung kali ini pangilan yang ia lakukan tersambung. Bukan hanya tersambung, Zein juga menyambut panggilan tersebut.
"Ya, Vit," sambut Zein. Terdengar lemah dan malas.
"Abang lagi di mana?" tanya Vita.
"Aku di rumah, ada apa?" tanya Zein balik, seakan tidak menyadari bahwa kekasihnya itu sangat khawatir dan merindukannya.
"Kok ada apa sih, Bang? Abang udah lama nggak ada kabar. Vita khawatir tahu," jawab Vita serius.
"Aku nggak kenapa-napa. Aku baik-baik saja," jawab Zein, masih terdengar lemah dan malas.
"Vita nggak percaya, sekarang Vita mau abang share lokasi, Abang. Vita mau ke sana!" pinta wanita ayu ini lagi.
"Ya," jawab Zein singkat.
Lalu tak ada perbincangan lagi. Vita menutup panggilan telponnya. Sedangkan Zein pun segera membagikan lokasi di mana dia berada saat ini.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Vita pun sampai di tempat di mana Zein berada.
Di tempat itu, Zein juga sudah menunggu di ruang tamu. Sudah mandi dan berganti pakaian. Terlihat lebih segar dan tampan. Karena dia memang sengaja tak ingin membuat wanita yang telah ia pilih itu terlalu mengkhawatirkannya. Apa lagi sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Terdengar deru mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Zein pun segera beranjak dari tempat duduknya, tentu saja untuk membukakan pintu bagi seseorang yang telah membuat janji temu dengannya. Siapa lagi kalau bukan wanita yang saat ini sedang dekat dengannya.
Benar saja, ketika Zein membuka pintu utama itu, terlihat Vita keluar dari mobilnya. Dengan senyum tercantik nya, wanita ayu ini pun segera menghampiri sang kekasih hati.
"Abang!" panggil Vita seraya berlari menuju kekasih hati.
Zein menyambut kedatangan Vita dengan merengangkan satu tangannya. Lalu mereka berpelukan, seperti halnya dia orang yang saling mencintai.
"Emmm, kangen," ucap Vita manja.
Zein tersenyum sembari mengelus punggung kekasihnya. Lalu ia pun menjawab, "Sama... Abang juga kangen!"
Zein dan Vita saling melepaskan pelukan. Lalu, Zein pun mengajak Vita masuk ke dalam rumah.
"Ini rumah, Abang?" tanya Vita sembari meng absen setiap sudut ruangan rumah yang ditinggali Zein.
"Ya," jawab Zein singkat.
"Adem, enak, Bang! Asri juga. Abang pinter banget ngedekor ruangan. Vita lihat di depan tamannya juga enak di lihat. Banyak banget bunga mawar Warna-warni lagi. Sejak kapan Abang suka bunga?" Vita telihat sangat antusias menilai tempat tinggal Zein.
Padahal di dalam hati, Zein merasa sangat sedih. Sebab, setiap sudut rumah ini adalah hasil kreativitas Zi. Sang mantan istri. Dan bunga itu... bunga itu adalah bunga kesukaan wanita itu. Dialah yang menanam itu semua. Termasuk beberapa sayuran organik dan buah-buahan di lantai atas rumah ini.
"Ada tukang kebun yang tanam, biarin lah suka-suka dia aja. Dari pada kosong," jawab Zein asal. Menjawab demikian, hatinya juga minta maaf pada Zi. Karena tidak mengakui hasil karyanya.
"Duduk, Vit. Mau minum apa?" tanya Zein basa-basi.
"Ah, nggak usah, Bang. Nanti kalo pengen minum, biar Vita cari sendiri. Oiya, kok sepi sih, Bang. Emang nggak ada mbak di sini?" tanya Vita, heran.
"Oh, mbaknya pulang yang biasa tinggal. Yang pulang sore, nggak dateng. Suaminya sakit katanya," jawab Zein, kali ini dia jujur. Karena itu memang keadannya.
"Ohhh, oke." Vita menatap sang kekasih. Hatinya serasa sangat berbunga. Sebab menurutnnya Zein terlihat sangat kalem dan tampan. Pas seperti pria idamannya.
Vita tersenyum sendiri sembari mencuri pandang pada kekasih hatinya itu. Dan tanpa Vita sadari, rasa kagum tersebut menghadirkan rasa ingin sekali segera memiliki pria itu. Ingin rasanya Vita agresif, mengajak secepatnya pria itu menikah. Namun ia malu, malu kalau sampai Zein tahu. Bahwa dirinya sangat tergila-gila pada kekasihnya ini.
"Abang!" panggil Vita gemas.
"Ya," jawab Zein.
"Abang makannya apa sih?" tanya Vita basa-basi.
"Makannya? makanya... ya nasi, ikan, ayam... " jawab Zein, sembari menghitung makanan yang ia makan. Namun, ucapannya itu terhenti mana kalau ia melihat Vita terus menatapnya gemas.
"Ada apa?" tanya Zein, merasa aneh.
"Abang kelewatan tahu," jawab Vita sembari tersenyum.
"Kelewatan apa?" tanya Zein.
"Kelewatan tampan, bikin Vita gemas. Pengen cium," ucap Vita sembari mendekati Zein dan mencoba mencium pria tampan itu.
Zein tersenyum mendengar rayuan tersebut. Ia juga hanya diam serta membiarkan wanita yang ia pacari itu melakukan apa yang ia mau. Tak ada salahnya, bukankah mereka pacaran dan sudah dewasa.
Namun, ketika bibir mereka bertemu. Ada dua orang masuk ke tempat mereka berada tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Karena pintu rumah itu memang tidak ditutup.
"Assalamu'alaikum!" ucap kedua tamu tersebut.
Tentu saja, ucapan salam dangat mengejutkan Zein dan Vita. Terlebih keadaan mereka sangat tidak pantas dilihat oleh orang lain.
Bukan hanya Zein dan Vita yang terkejut. Kedua tamu mereka pun jauh lebih terkejut.
Bagaimana tidak? Ini adalah pemandangan yang sama sekali tidak mereka duga. Sang abang sedang berciuman mesra dengan wanita yang bukan istrinya. Yang lebih mengecewakan, wanita itu adalah wanita yang sangat dikenal oleh kedua tamu tersebut.
Bersambung...
Like komen dan Vote kalian selalu emak nanti🥰🥰🥰
"Eh, Fira ... sorry," ucap Vita malu-malu. Ia pun segera berpindah dari tempat Zein dan kembali ke tempat duduknya semula. Sedangkan Zein membuang pandangan. Menghindar dari tatapan Safira dan Lutfi, karena ia tak nyaman dengan kedatangan mereka yang menurutnya tiba-tiba.
Zein menduga, bahwa kedatangan mereka pasti hendak menghakiminya. Zein sangat malas dengan itu.
Berbeda dengan Zein dan Vita yang salah tingkah, Safira sendiri mencoba menetralkan perasaannya, menjaga sikap di depan kedua insan itu. Meskipun jujur, ada puluhan pertanyaan yang saat ini menghinggapi pikirannya.
Sekali lagi, Safira mencoba bersikap tak terjadi apa-apa.Tentu saja agar sang kakak tidak malu di hadapan tamunya, terlebih tamu tersebut adalah sahabat karibnya.
Lutfi pun sama, meskipun ia tahu, bahwa apa yang dilakukan sang kakak ipar diluar nalar. Lutfi tetap berusaha menjaga sikap. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Ya, Fira dan Lutfi memang sedang menunggu saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tentu saja mereka ingin bertanya. Mengapa Zein begitu gegabah memasukkan wanita lain ke dalam rumahnya? Sedangkan yang Fira dan Lutfi tahu, Zein telah memiliki istri.
Ya, mereka berdua memang belum tahu, bahwa Zein dan Zi sudah bukan suami istri lagi.
"Nggak masalah, Vit. Kita tahu kok gimana rasanya kalo lagi Bucin. Kita berdua juga gitu kok, ya kan Mas?" jawab Safira sembari menatap Zein dengan tatapan penuh permusuhan.
"Hehehe, sorry ya... " Vita tertawa lirih, sebab ia memang benar-benar malu.
"Iya, Vit. Nggak apa-apa, santai aja. Oiya, udah pada makan belum? Kita bawain sate kesukaan, Abang, loh," ucap Safira bersemangat. Bersemangat menampar perasaan abang bodohnya ini. Sengaja ia mengucapkan kata Sate dengan intonasi yang penuh penekanan. Agar Zein sadar, bahwa Safira sangat kecewa padanya.
"Waahhh, sate apaan?" tanya Vita ikut semangat.
"Sate Ponorogo, kita juga belum lama tahu kalo abang sangat suka dengan makanan ini. Tunggu ya, aku siapin dulu!" ucap Safira sembari mengambil kantong kresek yang berisi makanan dari tangan Lutfi.
"Aku bantu ya, Ra!" jawab Vita menawarkan diri.
"Oh, boleh. Mari!" jawab Safira seraya berjalan menuju dapur.
Sepeninggal Safira dan Vita, Zein dan Lutfi saling berdiam diri. Saling sibuk dengan perasaan mereka masing-masing. Sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengelilingi pikiran mereka.
Sedangkan di dapur, Vita memberanikan diri meminta restu dari Safira perihal hubungannya dengan kakak kandung dari sahabatnya tersebut.
"Kamu nggak masalah kan, Ra. Kalo aku sama abangmu pacaran?" tanya Vita, sedikit ragu. Takut saja sebab tadi ia dan sang kekasih terciduk sedang melakukan sesuatu yang tidak pantas.
"Oh, kalo soal itu terserah kalian aja, Vit. Kalian dan sudah dewasa," jawab Safira singkat. Padahal dalam hati wanita ini sangat kecewa. Kecewa kepada dia insan tersebut.
Mengapa mereka berdua begitu tega bermain api di belakang Zi? Memangnya sebesar apa cinta mereka sampai mereka tak mau tahu bagaimana cara menjalin hubungan yang sehat.
Sungguh, ingin sekali Safira bertanya? Apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang hubungan yang tidak sehat ini.
Safira telah selesai menyiapkan makan untuk mereka. Lalu ia pun memanggil Zein dan Lutfi untuk ke bergabung di meja makan bersamanya dan Vita.
Tak ada perbincangan berarti di antara mereka. Sebab Lutfi dan Safira merasa sangat muak dengan tingkah Zein dan Vita yang sok romantis itu.
"Kalian nginep di mana?" tanya Vita.
"Oh, kami... kayaknya di hotel aja nanti. Kita mau bulan madu lagi kan, Mas? Itung-itung jalan-jalan sambil kerja," jawab Safira asal.
"Ohh, nginep aja di rumahku? Mau?" tawar Vita. Wanita ini bermaksud baik. Ingin ngobrol bersama sahabatnya yang lama tidak bertemu.
"Emmm, bukannya kami menolak, Vit. Tapi kami udah ada rencana, ya kan Mas?" jawab Safira sambil meminta dukungan dari sang suami.
"Ya, kami sudah ada rencana, Bu Vita. Insya Allah, nanti kalo kami ke Jakarta lagi, kami mampir," jawab Lutfi, tersenyum sekilas. Agar Vita percaya, bahwa mereka berdua serius.
"Oke, baiklah," jawab Vita sembari menilik jam tangannya. Lalu tak lama ia pun kembali berucap. "Emmm, sorry banget ya... aku nggak bisa lama-lama. Tiga puluh menit lagi aku mesti ketemu klient, nanti kapan-kapan kita sambung lagi ya. Makasih banyak loh ini makanannya, nanti lain kali aku yang traktir ya," ucap Vita, berpamitan.
"Oh, oke... kamu hati-hati ya, Vit. Semoga harimu menyenangkan," balas Safira sembari mengantar sahabatnya tersebut keluar rumah. Sedangkan Zein hanya diam dan melambaikan tangan mengiringi kepergian sang kekasih.
Selepas kepergian Vita, Safira langsung menatap tajam pada kakak kandungnya yang dinilainya keterlaluan itu.
Zein ingin menghindar, namun dengan cepat Safira pun mencegah pria brengsek itu.
"Katakan, apa maksud dari semua ini?" tanya Safira kesal.
"Maksud apa?" Zein membuang padangannya. Enggan menatap mata sang adik.
"Di mana kak Zi?" Safira tak mau menundanya lagi, ia ingin kejelasan di sini.
Zein diam, tak menjawab.
Safira kesal, lalu ia pun kembali mempertanyakan keberadaan kakak iparnya itu.
"Bang, aku peringatkan sekali lagi, jangan main-main dengan pernikahan, Bang! Jangan buat kesalahan yang sama!" Safira berjalan ke arah Zein, meminta pria itu menatap matanya.
"Bang, please.... kasih tahu aku, di mana Kak Zi berada?" desak Safira lagi.
"Untuk apa? kamu punya urusan apa dengannya?" akhirnya Zein mau membuka suaranya, meskipun terdengar ketus dan kesal.
"Bang, ini nggak bener. Abang pacaran dengan Vita, sedangkan abang masih sah suami kak Zi," ucap Safira lagi.
"Siapa bilang? Jangan sok tahu kamu! Aku dan Zi... kami... kami sudah berpisah," jawab Zein. Suaranya bergetar, terdengar sangat berat. Namun, inilah kenyataan itu. Kenyataan yang mencekiknya. Kenyataan yang membuat hatinya gelisah. Merasakan betapa dalamnya penyesalan itu.
"Abang jangan bercanda, Bang!" Safira terlihat meneteskan air mata kekecewaannya.
Zein tak sanggup menjelaskan apapun pada siapapun sekarang. Sebab ia sendiri juga masih sibuk menenangkan hatinya. Menghibur perasaannya, selalu membujuk hatinya untuk menerima kesalahan yang ia perbuat.
Zein melangkah meningalkan Safira dan Lutfi yang terlihat shock atas jawaban yang diberikan oleh kakak tercinta mereka.
Sungguh mereka tidak menyangka, bahwa Zein akan melakukan hal bodoh itu. Menjadakan istri demi menikahi seorang janda. Dan bagi Safira ini sangat-sangat gila. Safira kecewa.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!