Bagaimana kalau kamu hidup di dunia yang tidak kamu inginkan, di dunia yang menurut orang-orang adalah dunia hitam. Lembah penuh dengan dosa, tapi saat kamu berbuat baik, orang-orang tadi akan memuji keberhasilan dan kesuksesan yang kamu raih, meskipun sebenarnya, mereka tahu apa yang kamu lakukan selama ini. Bahkan, ada juga yang membandingkan keberhasilan mu itu dengan anaknya sendiri. Sungguh ironis memang, tapi seperti itulah kenyataannya.
Yati, hidup bersama dengan neneknya yang sudah tua. Yati tidak tahu, siapa ke-dua orang tuanya. Dia hanya tahu, jika sedari kecil, cuma neneknya saja yang dia kenal. Tidak ada saudara yang lain, yang ada di rumah. Mereka hanya berdua sedari dulu, dan itulah yang diketahui oleh Yati sejak kecil.
Tok tok tok!
"Mbok. Mbok Minah!"
(Author : Mbok, sebutan untuk perempuan yang sudah tua, selain sama dengan emak atau ibu, juga bisa diartikan sebagai panggilan untuk nenek, disebagian masyarakat pedesaan pada umumnya )
Pagi-pagi buta, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah Mbok Minah, neneknya Yati.
"Ngeh, sebentar!"
Mbok Minah, berteriak dari dalam rumah. Dia sedikit heran, karena ada tamu yang datang sepagi ini. Sekarang ini, kira-kira masih pukul setengah enam pagi.
Clek!
"Yati!"
Mbok Minah berteriak keras. Dia terkejut dengan kedatangan cucunya itu. Cucu yang dia besarkan seorang diri. Meskipun, mbok Minah memiliki banyak rahasia yang dia simpan sedari dulu. Dan tidak ada yang tahu, apa rahasia yang disimpan sendiri oleh mbok Minah itu.
"Iya Mbok. Yati pulang," jawab Yati, sambil menyalami mbok_nya dengan sopan. Setelah itu, dia juga memeluk mbok Minah, karena merasa kangen. Dia sudah terlalu lama tidak pulang ke kampungnya ini, menengok simbok_nya, yang sekarang ini sudah semakin terlihat tua.
Mereka berdua, saling berpelukan meluapkan rasa bahagia, dan kangen yang mereka rasakan selama ini.
"Kamu kemana saja Nduk, kok tidak ada kabar, tidak pulang-pulang juga?" tanya mbok Minah, meminta penjelasan dari cucunya, Yati. Meskipun sebenarnya, dia selalu mendapat kabar dari Yati, meskipun sebulan sekali.
"Yati kerja jauh Mbok. Keluar negeri. Jadi ya memang lama gak bisa pulang. Maaf ya Mbok, Yati tidak pamit dan minta ijin terlebih dahulu. Tapi, uang kiriman dari Yati di kasih sama kang Yoga kan?"
Yati menjelaskan pada mbok Minah, jika dia pergi ke luar negeri untuk bekerja. Tapi, setiap bulan, Yati akan selalu mengirimkan uang untuk biaya sehari-hari mbok Minah, melalui tetangga mereka, Yoga, yang bekerja sebagai guru di sekolah menengah pertama.
Mbok Minah mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yati. Dia juga menceritakan keadaan Yoga, yang saat ini sedang sakit. Yoga, sudah sakit dari tiga hari yang lalu.
"Memangnya, kang Yoga sakit apa?" tanya Yati, yang tidak pernah tahu, bagaimana keadaan tetangganya, yang sering dia mintai tolong.
"Tidak tahu Yati. Kata orang-orang, dia sakit 'jeroan' entah apa yang dimaksud dengan penyakit itu."
Mbok Minah, kembali menjelaskan tentang keadaan kang Yoga.
"Oh ya sudah, nanti biar Yati tengok dia. Kan Yati sering bikin kang Yoga repot."
Mbok Minah mengangguk setuju. Dia juga merasa lega, karena Yati, masih memiliki rasa kepedulian sosial dan rasa terima kasih pada orang-orang yang ada dikampung halaman ini. Terutama pada Yoga, yang memang sering mereka berdua repotkan, terkait dengan uang yang dikirim Yati, atau keperluan lain yang memerlukan tenaga laki-laki.
Untungnya, kang Yoga ini orang yang baik. Dia sudah pernah berkeluarga, tapi istrinya meninggal karena pendarahan hebat saat melahirkan, dan tidak bisa tertolong. Sedangkan anak satu-satunya yang dia punya, yang dilahirkan istrinya, diminta pihak keluarga istri, mertuanya, karena tidak punya cucu yang lain. Almarhum istrinya kang Yoga, adalah anak tunggal, karena adik iparnya kang Yoga, saudara satu-satunya istri kang Yoga, meninggal dunia terlebih dahulu, dua tahun sebelum kang Yoga menikahi istrinya.
"Kamu naik apa tadi pulangnya, kok Mbok gak denger ada suara motor tukang ojek?" tanya mbok Minah lagi, karena telinga tua_nya, masih tengen, pendengarannya masih tajam. Apalagi, di kampungnya, motor tukang ojek, rata-rata memiliki suara yang nyaring.
"Yati bawa mobil sendiri Mbok," jawab Yati, sambil meminum teh hangat yang disuguhkan Mbok Minah.
"Oalah... cah wedok kok nyuper dewe, nek ada apa-apa gimana? terus awakmu bisa nyuper to Nduk?" seru mbok Minah dengan beberapa pertanyaan, yang dia tidak percaya. Dia terkejut mendengar jawaban dari cucunya, Yati.
"Ngeh saget Mbok. Nek gak saget nyuper Yati gak sampai rumah sekarang," jawab Yati lagi, dengan tersenyum lebar.
Dia memaklumi bahwa, di kampungnya ini, masih jarang terlihat seorang wanita menyetir mobil sendiri. Itu adalah hal yang sangat istimewa, karena hanya ada beberapa orang saja yang bisa menyetir di kampungnya ini, dan itupun bukan orang sembarang.
Mereka-mereka adalah wanita kaya, yang memiliki mobil sendiri, meskipun bukan mobil keluaran terbaru.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, mbok Minah keluar dari rumah, untuk melihat mobil yang di bawa pulang Yati.
Saat melihat mobil tersebut, mbok Minah terkagum-kagum dengan model mobilnya. Di kampung, mobil yang di bawa Yati, belum ada yang punya, mbok Minah hanya biasa melihatnya di televisi-televisi saja.
"Uwapik tenan mobilnya Yat!" seru mbok Minah dengan mata terkagum-kagum.
Ternyata, beberapa tetangga mereka, sudah ada di sekitar rumah mereka. Tadinya, mereka semua, para tetangga, menyangka jika ada tamu 'besar' yang datang ke rumah mbok Minah.
"Lho, Yati to seng teko!"
"Kuwe muleh to Yat?"
"Mobile apik men Yat."
"Sukses Yo Yat, Kamu kerja di kota!"
"Tak melok Yat, kerja neng kota, ben Aku melu sukses koyok awakmu."
"Kerja apa Yat neng kota, kok langsung iso tuku mobil? wong awakmu gak duwe ijasah duwur, pengalaman yo gak ada juga."
Berbagai macam pertanyaan dan komentar dari para tetangga terdengar. Ada yang berpikir dengan rasa penasaran, ada yang curiga, ada juga yang merasa kagum dengan kesuksesan seorang Yati. Perempuan kampung yang tidak memiliki pendidikan tinggi, dan pengalaman hidup di luar kampung.
"Mungkin Yati nge_***** ya di kota?"
"Atau jadi simpanan orang kaya, atau pejabat negara, biasa ada kan di tipi-tipi?"
Komentar miring pun terdengar. Mereka semua jadi memiliki pemikiran dan pandangannya masing-masing.
"Sepurane Bulek, Budhe, dan yang lainnya. Ini Yati ada rejeki sedikit. Nanti buat beli jajan sendiri ya. Yati tidak sempat mampir toko buat beli oleh-oleh."
Setelah berkata demikian, Yati mengambil tas yang masih ada di dalam mobilnya. Dia membagikan satu lembar uang merah pada mereka satu persatu, yang ada di sekitar rumahnya.
"Wah... banyak sekali Yati. Terima kasih ya!"
"Sukses bener kan, bisa bagi-bagi uang sebesar ini."
"Besok ajak anaknya Budhe kerja bareng Kamu to Yat. Ben bisa seperti Kamu."
Orang-orang kampung itupun dengan senang hati menerima uang pemberian dari Yati. Mereka benar-benar merasa senang dan berbalik memuji-muji Yati, yang tadi mereka bicarakan sebagai seorang ***** di kota besar.
Hal yang lumrah terjadi di kampung. Dengan membandingkan penampilan Yati yang dulu dengan yang sekarang mereka lihat. Jauh berbeda, sehingga memunculkan spekulasi mengenai pekerjaan Yati di kota besar.
Pagi-pagi, kampung di hebohkan dengan beredarnya kabar tentang kepulangan Yati.
Yati, yang saat ini baru berumur dua puluh tahun itu, dulunya kabur dari kampung, begitu lulus sekolah menengah pertama, karena mbok Minah tidak bisa lagi membiayai sekolah selanjutnya. Akhirnya, Yati pergi ke kota tanpa seorangpun yang membimbing. Entah apa yang dia kerjakan di kota. Kata Yati, dulu, dia kerja di restoran.
Kepulangan Yati yang pertama, biasa saja. Tidak ada perubahan yang mencolok.
Begitu juga dengan kepulangannya yang ke kedua dan ketiga. Semua tidak ada yang begitu berbeda dari kepulangan-kepulangan Yati sebelumnya. Itu karena Yati pulang dalam jangka waktu setahun sekali. Dia beralasan, tidak bisa pulang ke kampung dengan bebas, karena aturan-aturan kerja di restoran, sangat ketat. Sama seperti aturan kerja di sebuah kantor.
Dan setelah dua tahun tidak pernah pulang, kali ini, kepulangan Yati ke kampung, mendapatkan sorotan dari tetangga-tetangganya.
Apalagi saat ini, Yati pulang dengan segala perubahan yang dia miliki. Baik secara fisik dan penampilan serta apa yang dia bawa saat pulang ke kampung, yaitu sebuah mobil dengan model keluaran terbaru, meskipun itu tidak bisa dibilang yang termahal.
"Neng kono kie Yati kerja opo?"
"Mosok gek kerja jadi pelayan restoran kok iso tumbas mobil, jan gak normal dan gak wajar."
"Opo Yati dagang?"
"Dagang apa?"
"Dagang awake lah, opo meneh?"
"Tapi, mau kie dia bagi-bagi uang lho. Aku yo entok kok!"
"Mosok? piro-piro nek bagi?
"Satus ewu!"
"Wihhh, akeh tenan. Kok Aku ora kebagian?"
"Lah iku mau seng do nututi, pengen weruh tamu sopo seng teko neng omahe mbok Minah isuk-isuk. Lah, malah jebul Yati muleh. Pas di tekok-tekok, malah di bagi uang. Lumayan banget, iki rejeki pagi-pagi. Bisa buat belanja enak nanti."
"Aku yo tak melu inguk-inguk ah, siapa tahu, masih dapat oleh-oleh dari Yati. hehehe..."
Berbagai macam gosip dan omongan, tidak bisa dihindari oleh Yati. Karena kali ini, dia memang tidak seperti biasanya.
Badannya berkembang dengan sangat baik. tinggi semampai, dengan kulitnya yang bersih. Meskipun tidak putih seperti kebanyakan artis yang ada di tivi-tivi, tapi dia bisa merawatnya dengan baik.
Rambut Yati, tidak lurus dan agak ikal di bagian bawah, bisa dia atur sedemikian rupa, sehingga tidak berantakan. Ini membuatnya tampil elegan, meskipun tanpa riasan yang berlebihan.
Pakaian yang dikenakan Yati, juga tidak sama seperti gadis-gadis kampung saat ini. Dia pasti sudah update model pakaian terbaru.
Apalagi, dia datang dengan membawa sebuah mobil, dan menyetir mobil itu sendiri. Hal yang sangat istimewa, dan itu menjadi sebuah pertanyaan besar untuk semua tetangga-tetangga Yati, yang sangat tahu, bagaimana latar belakang keluarga dan pendidikannya selama ini.
Akhirnya, rumah mbok Minah ramai dengan kedatangan para tetangga yang mau melihat keadaan Yati, juga bertanya-tanya tentang kabar, serta hal-hal lain yang ingin mereka ketahui.
Yati, hanya bisa tersenyum, jika tidak bisa menjawab pertanyaan dari para tetangganya. Dia juga tidak mengusir mereka, jika ada pertanyaan dan komentar mereka yang kurang enak di telinga.
Mbok Minah juga tidak menyalahkan mereka, para tetangga yang datang. Dia merasa memang ada yang tidak beres dengan cucu perempuannya itu.
Meskipun mbok Minah sudah tua dan tidak tahu apa-apa, tapi perasaan hati yang dia rasakan pada Yati, tidak bisa dibohongi, jika apa yang dikatakan dan perasaan curiga para tetangga itu ada benarnya.
Mbok Minah, hanya bisa menghela nafas panjang, sambil menyuguhkan minuman dan singkong rebus, untuk tetangga yang datang ke rumahnya.
Di warung-warung kopi, bapak-bapak yang sedang berbincang-bincang sambil menikmati kopi mereka, juga membicarakan tentang Yati.
Mereka semua, merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada seorang Yati, yang selama ini mereka kenal, sedari kecil, sudah menjadi seorang gadis dengan segala sesuatu yang tidak biasa.
"Bedo adoh ya saiki si Yati itu?"
"Iya, jare muleh gowo mobil, di supiri dewe juga."
"Mau yo jare bagi-bagi uang sama ibu-ibu yang datang melihatnya."
"Kerjo opo ya si Yati? anakku ben melu."
"Ati-ati Kang. Neng kota anakmu malah melu-melu dadi gak bener!"
"Gak bener piye sih? sukses ngono lho ya?"
"Iku seng ketok, awake dewe gak weruh asline koyok piye. Jal delok to kadang-kadang neng tivi iku, ada banyak cerita dan berita kang, dengan adanya para pedagang wanita, germo, dan pelacuran yang sedang ramai."
"Wah, Yo gak jadi lah. Gak mau aku, nek anakku dadi koyok ngono!"
"Eh, mosok Yati kerjone ngono?"
"Jal bayangke dewe, nek gak kerjo ngono, opo seng iso dikerjakan Yati dengan mendapatkan hasil besar, uang yang banyak? wong Yati yo mung lulusan SMP."
Akhirnya, mereka semua memiliki pemikiran seperti itu, untuk seorang Yati, yang memang sudah menjadi sebuah misteri, untuk kehadirannya di rumah mbok Minah, dua puluh tahun yang lalu.
*****
Mbok Minah, dari dulu dikenal sebagai seorang janda, karena suaminya pergi dan tidak kembali. Kabar tentang suaminya itu pun tidak pernah ada. Apakah masih hidup atau sudah tiada.
Dia tidak memiliki anak, karena memang suaminya pergi juga dengan alasan yang sama, yaitu mbok Minah tidak memiliki anak-anak. Sedangkan waktu itu, pernikahan mereka sudah sepuluh tahun lebih.
Mbok Minah, juga tidak ada niatan untuk menikah lagi dengan para laki-laki yang datang meminangnya.
Namun, pada suatu hari, saat dia pulang dari sawah, karena saat itu musim tanam, mbok Minah pulang dengan membawa seorang anak kecil, yang belum bisa berjalan.
Pada saat ada yang bertanya, mbok Minah menjawab jika itu anak saudara jauhnya, yang menitipkan anak itu, karena orang tuanya mau ikut transmigrasi. Dan anaknya, takut tidak betah di daerah baru yang belum mereka ketahui juga seperti apa, jadi dititipkan pada mbok Minah.
Meskipun banyak tetangga yang tidak percaya, tapi karena tidak ada orang yang merasa kehilangan anak, dan tidak ada berita juga dari pihak-pihak terkait, jadi mereka akhirnya percaya juga.
Tapi, kecurigaan mereka kembali muncul, saat Yati tumbuh dengan cepat dan tidak sama seperti kebanyakan anak-anak di kampung.
Badannya tumbuh tinggi, lebih tinggi dari ukuran anak-anak seusianya. Kulitnya yang bersih, tidak bisa dikatakan sebagai anak kampung pada umumnya. Tapi, para tetangga tidak lagi membicarakannya, sama seperti saat pertama kemunculan Yati waktu kecil dulu.
Dan ternyata, misteri tentang siapa dan bagaimana Yati, tetap tidak pernah terjawab dan terpecahkan hingga saat ini. Bahkan, Yati juga sama, memiliki pertanyaan ini, "siapa dan dari mana Aku?"
Namun, Yati tidak pernah bertanya dan mencari jawabannya juga. Dia tetap merasa bersyukur, karena mbok Minah dengan kasih sayang yang tulus membesarkan dirinya, menjaganya, dan menganggapnya sebagai cucunya sendiri.
Yati pun akhirnya tidak lagi mempunyai pikiran untuk mencari informasi tentang jati dirinya yang sebenarnya.
"Aku cucunya mbok Minah. Sekarang dan sampai kapanpun!"
Begitulah keyakinan Yati sekarang. Dia akan berjuang untuk membahagiakan orang tua itu, mbok Minah, apapun dan bagaimanapun caranya. Meskipun, orang-orang akan menggunjing dan mengolok-olok dirinya. Itu sudah tidak asing lagi bagi Yati, karena sedari kecil, dia selalu dijadikan bahan olok-olok teman sepermainan, bahkan orang tua mereka juga.
Di kota besar, Yati bekerja di rumah makan Jepang. Tapi restoran itu lebih mirip dengan bar atau club malam.
Dengan desain dan ornamen khas negara 'Matahari Terbit' ada banyak sekali yang bisa dinikmati di restoran tersebut.
Selain sushi, shasimi, origini, shabu-shabu, takoyaki, ramen dan makanan lain khas Jepang, ada minum-minuman yang didatangkan langsung dari negara Jepang juga. Selain teh hijau dan minuman non alkohol, ada juga yg beralkohol, seperti sake, shochu dan amazake.
Pengunjung tidak kaum laki-laki lajang, banyak juga satu anggota keluarga, yang ada wanita dan anak-anak. Mereka datang karena ingin menikmati makanan khas Jepang.
Yang datang tidak hanya warga negara Jepang saja, atau warga asing. Ada juga banyak orang-orang Indonesia yang datang.
Para pengunjung restoran, selain ingin menikmati makanan, mereka kadang-kadang juga ingin menikmati pijatan tangan, yang memang disediakan juga untuk para tamu, dan ini termasuk juga dalam manajemen restoran. Dia lantai pangling atas, ada panti pijatnya.
Jadi, yang tampak dari luar, restoran tersebut hanya sebuah restoran biasa, tapi di dalamnya, ada beberapa tempat, yang berbeda dengan restoran itu.
Meskipun pemilik dan pengelola jadi satu, itulah kelebihan dari restoran Jepang tersebut. Ada banyak sekali pilihan paket, yang bisa dinikmati oleh para pengunjung yang datang ke restoran, yang kebanyakan pelayanannya juga masih muda, dan tentunya mereka semua juga cantik-cantik. Karena mereka bisa di ajak untuk melakukan hal yang 'berbeda' di tengah yang berbeda juga.
Pihak management mempersilahkan, tapi tidak memperbolehkan menempati area usahanya. Jadi, mereka harus melakukan kencan di tempat lain. Kalau hanya sekedar menemani makan dan minum, tidak apa di restoran tersebut, tapi jika ingin 'lebih' dipersilahkan untuk mencari tempat yang lebih cocok.
Jadi restoran tersebut, murni untuk sebuah restoran dan panti pijat saja.
Begitu juga dengan Yati. Awal bekerja, dia hanya menjadi pelayan biasa. Kemudian diminta untuk menemani tamu yang ingin minum-minum, kemudian lama-lama berlanjut dengan 'kencan' yang lain.
"Kamu mau tidak kencan dengan Saya? Pasti akan Saya kasih uang banyak. Kamu tidak perlu capek-capek jadi pelayan, jika ingin dapat uang banyak untuk kehidupan Kamu. Nanti, setiap Saya datang, Kamu pasti Saya ajak untuk kencan. Jadi Kamu hanya khusus berkencan dengan Saya saja. Bagaimana?"
Begitulah awalnya, Yati ditawari untuk berkencan oleh seorang tamu restoran tersebut. Tapi karena Yati masih takut dan juga belum terbiasa, Yati merasa jika dirinya masih kecil. Dia takut dan juga merasa jijik. Itulah sebabnya, Yati selalu menolak setiap tawaran yang datang padanya.
"Maaf Mr. Saya belum bisa." Yati menjawab dengan tersenyum dan mengangguk ala orang Jepang, yang biasa dia lihat, dan dia pelajari saat baru masuk kerja.
Itu di awal-awal dia bekerja, dan Yati selalu mendapatkan tawaran yang sama seperti itu terus menerus. Mereka, para tamu restoran, tidak tahu, jika umur Yati masih terbilang remaja, karena baru berusia tujuh belas tahun.
Mungkin karena postur tubuhnya yang tinggi dan terbentuk dengan bagus, dia jadi terlihat lebih dewasa dari usianya.
Tapi, keyakinan Yati untuk menolak semua ajakan para tamu, membuat mereka semakin penasaran. Untungnya, pihak restoran ada pengawasan dan keamanan yang sangat bagus. Mereka sangat teliti, sehingga para tamu tidak bisa memaksa para pekerja restoran, yang tidak mau diajak mereka berkencan. Karena itu hanya diperbolehkan, jika pelayan resto menyetujui keinginan mereka saja, jika tidak, pihak restoran tetap menghargai dan menjaga keamanan mereka semua dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun ternyata, Yati hanya bisa bertahan sekitar satu tahunan, untuk menolak semua ajakan kencan para pria yang menggodanya. Karena pada tahun kedua dua Yati bekerja, godaan itu justru datang dari warga negara Indonesia sendiri, yang masih gagah dan tampan, meskipun tidak lagi muda, tapi usianya juga belum terlalu tua. Usia laki-laki yang mengajaknya kencan, baru empat puluh tahunan.
Yati mengiyakan ajakan laki-laki itu, karena Yati melihatnya beberapa kali berkunjung ke restoran tempatnya bekerja ini. Dia juga tampak sopan dan tidak merayu para pelayan yang melayaninya. Padahal, teman-temannya terlihat melakukan hal itu.
Hingga pada suatu hari, Yati yang berkesempatan untuk melayani meja tempat dia duduk, dan pada saat itu, laki-laki tersebut datang sendiri tanpa ada teman yang ikut datang.
Ada sesuatu yang menarik dari laki-laki tersebut. Entah apa, tapi Yati merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hatinya.
"Maaf Mr. Mau pesan sekarang, atau masih menunggu seseorang yang mau datang dulu?" tanya Yati seperti biasa.
Ini dilakukan Yati, karena biasanya, para tamu yang datang sendiri, akan memesan makanan nanti, setelah teman atau kekasihnya datang. Mereka kadang ada janji temu di restoran tersebut.
"Sekarang saja Miss. Saya pesan shabu-shabu. Tapi nanti temani Saya makan ya? Soalnya Saya datang sendiri," kata tamu tersebut, kemudian dia melambaikan tangan kepada pengawas restoran, yang memang selalu berjalan-jalan, mengawasi para pekerja dan tamu yang datang, agar bisa membantu mereka jika ada sesuatu yang terjadi.
Pengawas tersebut datang mendekat, kemudian bertanya, "ada yang bisa Saya bantu Mr?". Dia bertanya demikian, karena melihat Yati yang masih berdiri di sebelah tamu tersebut, dan belum ada hidangan apapun yang tersedia di meja.
"Saya mau makan, tapi mau ditemani dengan Miss ini juga, apa bisa?" tanya tamu tersebut, sambil menunjuk ke arah Yati, yang ada di sebelahnya.
Di restoran tersebut, semua orang di panggil dengan sebutan Mr dan Miss.
"Bagaimana Miss Yeti? Apa Anda mau menerima tawarannya?" tanya pengawas restoran pada Yati. Pengawas tersebut, menyerahkan semua keputusan pada Yati, dan memang selalu begitu, tidak hanya pada Yati saja.
Tidak seperti biasanya, kali ini Yati menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan tamu tersebut.
Pengawas restoran juga sedikit heran dengan keputusan Yati barusan, karena selama ini, hanya Yati yang tidak mau menerima tawaran para tamu, yang memintanya. Tidak seperti teman-temannya yang lain. Padahal, setiap menerima tawaran tersebut, para pelayan akan mendapat tips dari para tamu yang mereka temani.
Itulah sebabnya, mereka akan dengan senang hati, menerima setiap tawaran untuk menemani makan atau minum. Bahkan, sampai berkencan di luar juga.
Dan begitulah pada akhirnya. Yati menemani tamu tersebut untuk menikmati makanan yang dia pesan. Yati juga melayaninya dengan baik di meja makan tersebut.
Kejadian ini berlangsung beberapa kali, hingga mereka berdua jadi semakin dekat. Dan Yati, yang kada mulanya hanya mau menemani makan atau minum di restoran, sekarang jadi berani menerima tawaran untuk ke luar juga. Meskipun Yati melakukan di luar jam kerja.
Yati merasa mendapat teman, atau orang yang bisa diajak berbicara layaknya orang dewasa pada umumnya.
Mereka saling berbincang tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Yati menceritakan tentang keadaan dan kehidupannya, begitu juga dengan laki-laki itu. Mereka terbuka sebagai seorang teman, dan masih hanya sebatas itu saja. Belum sampai melakukan hal yang lebih jauh lagi.
Entah sampai kapan, Yati bisa bertahan dan mempertahankan keutuhan dirinya sendiri, dari lelaki yang kebanyakan 'berbisa' pada mulutnya.
Mungkin, hanya sang waktu yang tahu, apa dan bagaimana Yati bisa sampai di kenal orang dengan sebutan bukan PSK biasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!