"Ji, loe ga akan kaya orang orang gitu ?!" tunjuk Ica pada sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta dengan mesranya duduk dempet dempetan layaknya di bus kota kalo lagi penuh. Tak kunjung mendapat respon, Ica duduk bangku kayu panjang yang dibuat tangan oleh si pedagang bakso, untuk pelanggannya duduk. Bukan cafe cafe anak kaum borjuis, ataupun restoran mahal berbahasa Italia yang kalo kesana mesti bawa kamus buat terjemahin menunya. Hanya sebuah roda pinggir jalan raya, yang di tutupin spanduk bekas obat masuk angin, dan sebuah tenda biru sebagai penutup atasnya, mungkin bekas si mamangnya hajatan kawinan. Tak ada musik klasik indah, ataupun band cafe yang bermain live. Tapi hanya sekedar pengamen jalanan dengan cup aqua bekas sebagai tempat untuk reward recehan yang mereka harapkan agar bisa menyambung hidup.
"Orang orang ngapain ? ngutang ?! atau bayar pake ktp ?" tanya Jihad memandang gadis itu dengan alis terangkat sebelah.
"Ck, elah ! tarikin kek bangkunya, biarin ladiest first gitu ! ahh...gagal keren kaya di tv tv ! " decak Ica.
"Biar apa ?!" tanya Jihad dingin, senang saja pemuda ini menggoda Ica.
"BIAR LOE ADA KERJAAN !!" sarkas Ica tepat di depan wajahnya.
"Buruan pesen, laper gue !" decak kesal Ica. Gadis ini memang nomer wahid jika urusan makan, apalagi jika gratisan. Catat !!! gratis ! Jihad tertawa, jakun di tenggorokannya sampai bergetar, pemuda yang usianya 19 tahun ini harus kembali mengulang masa SMA nya karena permintaan bos ayahnya, sampai harus meninggalkan kuliahnya di London, dan terjebak masuk ke kelas X lagi, entah bagaimana ceritanya ia bisa masuk dan berbaur bersama ketiga gadis absurd, tak mudah pula, karena ia sampai harus menjadi seseorang yang lambe turah dan nyinyir yang jelas jelas bukan dirinya. Tapi karena terbiasa, maka ia pun jadi mendalami peran dan merasa nyaman dengan ketiga gadis itu, termasuk salah satunya Ica, gadis yang biasa saja, bukan dari kalangan orang orang yang bergelimangan harta cenderung bergelimang dosa, hidung pun tak terlalu mancung, layaknya sudut segitiga 45 derajat, cukup lah untuk lubangnya bernafas, menghirup oksigen. Sikapnya pun jauh dari kata anggun, mulutnya pedas dan nyablak, menjengkelkan so pasti, tapi justru Jihad bisa menyukainya setengah mati.
"Mau pake apa aja ?!" tanya Jihad melongokkan kepalanya menengok macam macam topping dan pelengkap bakso di roda yang bertuliskan bakso berkah wong solo.
"Baso urat pake sayur toge, jangan pake mie ! " jawab Ica.
"Pake bawang goreng?"
"Engga ! takut bau badan !"
"Pake seledri?" tanya nya lagi.
"Pake biar seger, se seger kalo liat oppa korea !" jawab Ica.
"Pake kuah ?" kekeh Jihad, hanya tinggal menunggu gadis ini menghembuskan nafas seperti bantengnya saja, maka boom ! kata kata absurd bin nyeleneh pasti terlontar.
"Engga usah biar gue pake aer comberan !"
"Di mangkok apa di plastikin ? tanya nya lagi hampir meledakkan tawanya.
"Gue ditangkup aja pake tangan, biar kaya debus ! mangkoknya pisah, mau gue cemil !" jawab Ica, jangan sampai sambal di depannya ia guyurkan di kepala Jihad buat keramasin rambut pemuda itu.
"Denger kan mas, pesenan cewek kurang waras disitu ?!" tanya Jihad.
"Sat !" Ica tak terima disebut tak waras oleh pemuda yang lebih tak waras yang sedang nyemil tahu kering.
"Tuh kan mas, mana ada cewek bahasanya kaya gitu ! cuma cewek jejadian doang yang bilangnya sut sat, " ujar Jihad. Pedagang itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, suatu hari jika anaknya laki laki Ica akan menjadi nama yang ia blacklist dari daftar menantu idaman.
"Kompor ! ga tau malu tuh mas, masa tahu kering dicemilin gitu..maen ambil aja ! awas mas dia kalo abis cebok ga pernah di cuci lagi tangannya !" ucap Ica.
"Uhukkk !!" bukan Jihad yang tersedak tapi pelanggan lainnya yang tengah sedapnya menyantap bakso.
"Bohong..bohong Mas..mbak ! Ca, jangan fitnah ! tuh orang orang lagi makan, mulut loe jangan toxic, gue celupin juga nih ke tempat kobokan mangkok !" ucap Jihad kembali duduk.
"Ya loe yang duluan ! kaya minta dikeramasin pake sambel !" jawab Ica.
2 mangkuk baso porsi munjung melambai lambai penciuman Ica. Perutnya sudah seperti genderang perang negri Narnia.
"Wahh, mantep !" Ica sudah menyeruput salivanya sendiri menguarkan aroma daging dan kaldu ke lubang hidungnya. Kebetulan tadi di kantin ia kena omel dokter Caramel, temannya itu memang paling cerewet jika pasal makanan, meskipun satu kubu dengannya yang menjunjung tinggi perut kenyang apalagi gratisan, tapi temannya itu benar benar apik. Tak seperti dirinya yang apapun masuk selama itu enak di lidah.
Sejak mengenal Ica dan Kara, Jihad lebih merakyat. Ia tak pilih pilih pasal makanan. Bahkan Jihad sempat diare gara gara seblak buatan kedua gadis ini.
"Biasa aja muka loe, kaya ga makan seminggu !" Jihad mengusap kasar wajah Ica. Sontak saja si empunya menatap Jihad tajam.
"Tangan loe bekas tahu kering peakk ! muka gue berminyak bau bawang putih !" sewot Ica.
"Sorry gue lupa !" tawanya.
**************
"Arrhhhh..." bunyi sendawa Ica.
"Dih, jorok banget sih loe jadi cewek !"
"Sesuatu yang nikmat tuh jangan ditahan tahan, " jawabnya santai.
Jihad menatap Ica lekat, gadis itu terlihat menggemaskan saat sedang menyeruput teh dalam botolnya
"Ca,"
"Apa loe manggil manggil ?! suka ?!" jawab Ica.
" Iya, "
"Hahahahaha, mas..tuh air kaldu di dandang masih panas kan ?" tanya Ica.
"Nggeh mbak, "
"Buat apaan peak !"
"Mau siram loe biar sadar !" Jawab Ica.
Baru kali ini Jihad menyatakan perasaannya pada seorang gadis malah mau disiram kuah kaldu rebusan bakso.
"Gue sadar Ca, elah ! gue suka sama loe !" Jihad memastikan kembali ucapannya.
"Dibilangin jangan baper sama gue Ji, gue lagi ga pengen pacaran !" jawaban klasik seorang gadis jika menolak secara halus. Tidak, tidak halus. Bagaimana disebut halus jika ia saja ingin menyiramkan kuah bakso yang jelas jelas sedang mendidih.
"Selulus nanti, bahkan mungkin sebelum kelulusan gue balik ke London, nerusin kuliah gue yang tertunda !" jawab Jihad.
Ica diam sejenak, hatinya belum bisa membuka lagi ruang untuk lelaki manapun setelah Revan.
"Gue ga mau loe menaruh harapan terlalu besar sama gue Ji, apalagi loe mau pergi jauh dan lama. Gue ga mau lah kaya bininya bang toyib, nungguin sesuatu yang ga pasti. Galau ? bukan gue !" jawab Ica menggidikan bahunya santai.
"Jadi yes or no ?!" tanya Jihad.
"Or !" jawab Ica.
Sontak Jihad menoyor kepala gadis yang tak pernah bisa diajak serius ini.
"Or itu atau peak ! nilai b. inggris loe berapa sih ?!" ucap Jihad. Tapi Ica malah terkekeh.
"Tau gue ! loe pikir gue oon !" Ica balik menoyor Jihad.
"Dih nih anak, berani sama yang lebih tua !"
"Abisnya orangtuanya kurang aj4r," jawab Ica. Seperti biasa jika sudah terlampau jengkel, Jihad akan memasukkan Ica ke dalam kaus yang dipakainya.
"Jujur, dulu memang gue suka sama Caramel. Tapi ga mungkin gue sama Kara, dan ternyata itu hanya perasaan suka sesaat doang, ditambah alasan gue bisa kejebak disini ya karena Caramel, gadis pilihan Milo."
"Terus apa yang bikin loe suka sama gue ?!" sungguh Ica tak ingin melihat manik mata Jihad, ia hanya so sibuk dengan sedotan teh nya, padahal isinya sudah tandas.
"Gue ga bisa jawab, apa harus ? menyukai seseorang itu ada alasannya, karena hati yang memilih, mungkin karena kita sering bersama, "
"Kalo cuma karena sering bersama kenapa ga suka sama ka Milo, atau ka Raka, atau ka Kean?"
"Loe pikir gue belok?" Jihad gemas, ingin sekali ia memasukkan otak Ica dalam cairan nitrogen, biar beku sekalian. Ica tergelak.
"Gue ga bisa jawab sekarang Ji, dulu gue pernah berjanji sama diri gue sendiri untuk nutup hati gue. Kalo dipikir pikir ko hidup gue ngenes banget sih, jadi tempat pelarian. Dulu juga gitu, emang muka gue mirip tpa ya ?!" tanya Ica.
"Muka loe lebih mirip tps !" jawab Jihad.
"Dipikir mau nyoblos ! udah ahhh, gue mau balik, udah sore..ntar rebutan tv sama si Peter !" jawab Ica.
"Ji, " panggil Ica, Jihad mendongak.
"Jangan lupa bayar !" jawab Ica.
Entah kenapa ia bisa menyukai Ica, padahal hati besarnya ingin sekali melipat Ica seperti pesawat kertas dan menerbangkannya agar pergi menjauh. Gadis itu sukses membuatnya menjadi manusia paling galau di muka bumi saat ini.
.
.
.
Kelulusan tiba, Kara yang sudah memiliki tiket kampus di luar negri menatap masa depan cerah. Dimana ada Kara disitu ada singanya, Armillo yang dikenal sebagai macan Asia nya sekolah ini, mendadak bertekuk lutut dan menyatakan diri sebagai bucin sejatinya Kara. Meskipun berbeda kampus keduanya berada di negara, kota, bahkan satu kompleks kost kostan yang sama. Sudah seperti hape dan kuota, tak dapat terpisahkan. Ayu yang harus bekerja di cafe milik Keanu, diam diam menjalin hubungan dengan Erwan, bagaimana bisa ? namanya juga takdir ! bisa sekamvrettt itu.
Jihad yang sudah mengatakan jika dirinya akan kembali berkuliah di London pun, benar benar pergi. Katanya suka, katanya sayang tapi ga mau nengok lagi ke belakang. Ica manyun,
"Kejar kek ! yakinin gue kek!" gumamnya, kebaya tak menjadikan Ica jadi gadis kalem, beberapa kali ia menghentak hentakkan hak sepatunya di tanah.
"Kasian tuh tembok loe hentak hentak pake heels nya nyokap loe Ca ! lagian loe sih, so cantik, so jual mahal ! nyesel kan loe !" sahabat macam apa ini, bukannya mengobati malah semakin mengompori, itulah Kara.
Jihad hanya pamit sekali, tak ada pamitan khusus sampai tabur kembang setaman. Sejak 2 minggu yang lalu ia sudah terbang ke London.
Kuliahnya yang baru saja semester 4 harus tertunda karena tugasnya mengawasi Milo dan Karamel.
"Ra,loe juga tega nih ninggalin gue ?! kalo nanti gue mau minta makan gimana ?!" tanya Ica.
"Loe tuh punya rumah, Ca ! jangan kaya anak pungut deh ! belaga terdzolimi ! "
"Gue bakalan kangen sama loe ! " mendadak suasana mengharu biru, bagaimana tidak keduanya sudah seperti pinang dibelah kampak naga geni. Dimana ada di kamvrettt Ica pastilah ada si kamvreett Kara, duo kamvreett yang jika disatukan pastilah akan mengguncang dunia.
"Gue tanpa loe udah kaya raga tak bernyawa, Ra !" meweknya.
"Lebay loe ! " sarkas Kara.
"Gue ga lama, Ca ! cuma 4 tahun, lagian kan Ayu ada," jawab Kara. Tak pernah ada mewek melow diantara keduanya.
"Ca, udah kali..gantian sekarang giliran gue sama Kara !" Milo meraih dan menarik tangan Kara.
"Elah ka Mil, besok besok Kara udah ga sama gue ! sama loe terus ! jadi sampe Kara pergi, biarin Kara sama gue !" rengek Ica.
**************************
"Ra, hati hati di negri orang, jangan lupa makan !" Ica memeluk erat Kara di bandara, masa depan sahabatnya ini begitu beruntung, bak tertimpa durian runtuh beserta pohon pohonnya. Kuliah di luar negri, dicintai oleh seorang crazy rich nan tampan. Nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan.
"Iya bawel, jaga diri disini ! jangan makan mie instan mulu Ca, ga sehat ! nanti tiba tiba gue denger kabar, seorang gadis mati dengan keadaan usus kebelit mie ! " kekeh Kara.
"Kamvrett loe Ra, dikira sinetron azab !" gidik Ica.
"Nanti balik, loe bawa oleh oleh ya Ra, salju juga ga apa apa, pokonya yang penting judulnya oleh oleh aja, biar gue bisa sombong di kampung, kalo gue punya temen yang tinggal sama kuliahnya di London !"
"Iya, nanti gue bawain salju se truk, buat loe bikin usaha es kepal !" jawab Kara.
Kepergian Kara sukses membuat Ica nangis bawang, nangis yang sampe ing*usnya tumpah tumpah tak terkontrol.
Penyesalan memang selalu datang di akhir, kita baru tau rasa memiliki dan membutuhkan setelah merasakan kehilangan......
****************************
Kehidupan Ica back to nature, kembali sebagaimana seharusnya. Tinggal di perkampungan yang bisa dikatakan padat penduduk, bukan deretan mansion mewah yang pintu gerbangnya saja terbuat dari emas 24 karat. Bukan rumah bertingkat dengan gaya klasik, melainkan rumah susun atau rumah 2 lantai yang banyak tergantung dalaman dan pakaian di jam jam tertentu, seperti sedang di pasar senen. Itu kenapa Ica selalu membawa bekal payung lipat, bagai peribahasa sedia payung sebelum hujan, hujan disini adalah hujan lokal ! hujan yang asalnya dari tetesan pakaian pakaian yang baru saja di cuci pemiliknya. Begitulah kehidupan gang senggol Ica dimulai setiap harinya.
Api asmara yang dahulu pernah membara, terasa lembut bagai ciuman yang pertama......
Ica menutup kepalanya dengan bantal, suara radio tua yang di stel kencang mengganggu tidurnya.
"Euhhh ! kalo bukan kake kake, udah gue bakar tuh radio ! gue museumin juga orangnya ! ga tau apa, gue semalem lembur !"
Engkong Rojak, tetangga yang setiap paginya selalu mendengarkan lagu dangdut di stasiun radio kesayangannya, sambil ngopi di depan rumahnya. Radio butut yang masih berfungsi yang ia akui adalah radio dari jaman Soeharto masih menjabat. Beliau selalu menggaung gaungkan cerita heroiknya saat ikut mengamankan kerusuhan Trisakti pada setiap tetangga dan anak anak muda di kampungnya.
"Markisa !!!"
"Icottt !!!"
Di rumah ini Ica tidak tinggal sendiri, ia tinggal bersama keluarga besarnya, mulai dari ayah, ibu, kakek, kaka, kaka ipar dan keponakan, semua ada disini. Diantara semuanya hanya kakek dan neneknya lah yang memanggilnya sedikit manusiawi. Lengkap sudah gejala gejala penyebab penyakit dartingnya, jangan salahkan Ica jika nanti masa tuanya ia akan mengidap komplikasi. Darah tinggi, budeg, juga kanker alias kantong kering. Bagaimana tidak, keponakannya ada 4 , tiap Ica gajihan keempatnya selalu minta traktir, jika ada makanan disini tidak menunggu satu jam, makanan masih ngebul saja sudah habis diserbu sejuta umat.
"Cot, udah jam 7 ! anak gadis jangan bangun siang siang. Nanti jodohnya di samber orang !" kaka perempuannya Novi membangunkan Ica.
"Disamber, emang jodoh gue ikan !" Ica bangun dengan malasnya. Masuk toilet pun harus ngantri, bergantian dengan anggota keluarga lainnya.
Ica menyambar handuknya, ia menguap sambil duduk di kursi depan kamar mandi.
"Oyyy, yang di dalem buruan !" ketuk Ica.
"Bentaran Ca, tanggung ntar putus di tengah jalan ! ga masuk rekor !" ini lah dia kaka laki lakinya Riski.
"Njirrrr, jijik gue bang ! bok3r jangan lama lama ! gue telat ke toko !" dumel Ica.
"Lagian loe kalo bok3r suka sambil rokoan bang, gue sumpahin loe keselek puntung rokok yang masih nyala !" pekik Ica.
"Sue loe, do'ain tuh yang baik baik. Do'ain gue ketiban rejeki kek, atau punya bini muda gitu, " jawab abangnya Riski.
"Iya ntar gue do'ain, loe ketiban buah duren, pas kena kaki loe durinya ! gue do'ain juga loe kepergok sama teh Mira," kekeh Ica.
Ica berjalan mendekat ke arah pintu kamar mandi yang satunya lagi, sama sama tertutup dan terkunci.
"Bang Galih !!! buruan ga usah sambil on4ni !" tawa Ica.
"Sat ! sue boga adek, ga ada kerjaan gue sambil begituan ! masih waras gue, cewek masih banyak di luar sana yang mau ngasahin pedang sakti gue !" pekik abang Ica lainnya.
Ica memiliki 3 orang kaka, 2 laki laki dan satu perempuan. Jika Riski dan Novi sudah menikah. Lain halnya dengan Galih, ia masih lajang.
"Ca, buruan atuh nanti telat, " ucap kaka iparnya Mira, teh Mira orang Bandung, sedangkan bang Dante suami ka Novi dari Padang. Fix ini rumah mencerminkan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika...rasa nusantara, alias gado gado.
"Ca, gue pake shampoo loe, abisnya shampoo gue abis !" jawab Galih.
"Ahhh, emang dasar loe nya aja ga modal ! loe balikkin lagi ga botolnya ?! ini udah akhir bulan ! udah tetes tetes terakhir tuh ! ya kali gue ga shampoan ?!" ketus Ica.
"isiin aer, ntar juga berbusa !" kekeh Galih.
"Bang Galihhh !!!! loe abisin shampo gue !!! tanggung jawab !" pekik Ica masuk ke dalam kamar mandi. Galih tertawa puas seraya mengusap usap rambutnya yang basah dan wangi.
Pagi pagi saja sudah ramai, sudah menjadi hal lumrah disini.
"Kalian berdua ribut terus, mamah kawinin massal dua duanya !" lerai mamah Ica.
"Itu mah, masa shampo Ica diabisin bang Galih, ga modal, mereki ! pantes aja jomblo !" gerutu Ica.
"Pelit, lagian masih ada ko beberapa tetes, Galih lupa beli !" santainya menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Lupa...lupa, loe masih muda udah pikun !" sarkas Ica.
"Bentar lagi loe ga ngenalin keluarga, udah tinggal masukin panti jompo !" lanjutnya.
"Suka suka loe Icot, " jawab Galih.
"Terus kamu ga shampoan?" tanya mamah.
"Shampoan pake shamponya Peter !" jawab Ica manyun.
"Bwahahahahahah !" tawa Galih meledak.
"Peter peter, anak gue Robi, Markisa.." jawab ka Novi.
"Lagian ngasih nama Robi, sekali kali yang kerenan dikit ka, Peter tuh keren !" jawab Ica.
"Gue bilangin bapaknya, loe dibikin rendang, Ca !" jawab ka Novi.
"Loe pake shampo merk komodo Ca ? punya Robi ?" tanya bang Riski yang baru bergabung.
"Daripada pake sabun colek ?!"
"Dimana tukang cobek ?" tanya neneknya yang memang sudah sedikit berkurang pendengarannya.
Mereka lantas terdiam.
"Ya Rabb !! bunuh gue !" benak Ica.
.
.
.
.
Ica berangkat menumpang motor abangnya Galih. Bukan tidak mau membeli, Ica sengaja menabung uang gaji nya untuk persiapan masuk kuliah. Ia sadar bukan terlahir dari keluarga yang cukup, cukup membeli jet pribadi, atau membeli mie instan dan pabriknya sekalian.
"Ca, " Galih nyengir.
"Dorong ? bensin?" tanya Ica malas. Kebiasaan buruk kaka ketiganya ini memang patut diberi penghargaan sebagai abang paling menyebalkan.
"Belum sempet beli, di depan ada pom ga jauh ko !" kekehnya.
"Kebiasaan banget nih laki ! keringetan lagi gue ini mah ! kalo kata teh Mira dasar borokokok ! percuma motor bagus tapi bensinnya kering ! mendingan loe loak aja ! jual ni motor buat beli bensin !" omel Ica menepuk jok belakang motor matic ber cc lumayan yang baru saja di kredit Galih di leasing. Terlihat masih mengkilat di bagian body nya.
Bukannya sakit hati Galih malah tergelak, "kan ada loe, itung itung ongkos !" jawab Galih.
"Kalo kaya gini gue jamin sampe lebaran mo*nyet loe bakalan jomblo terus !" dumel Ica tapi tak urung merogoh lipatan lembaran uang yang ada di saku seragam merah kuningnya.
"Itu aja yang biru Ca !" tunjuk Galih.
"Apaan ! ini udah akhir bulan, gue cekak ! jajan aja pengiritan cuma jajan cilok !" Ica menyerahkan selembar uang berwarna ungunya.
"Kembalian !" sarkas Ica.
"Njirrr pelitnya gusti ! palingan kembalian 1 ribuan !" jawab Galih.
"Seribu juga duit, sejuta kalo kurang seribu ga akan jadi sejuta !" belum habis kedua adik kaka ini meributkan pasal uang seribu, karyawan spbu mengatakan.
"Dimulai dari nol ya mas !"
"Bener banget mbak, dia mah nol banget jadi cowok ! ga modal, cuma cewek yang kelewat sholeha yang mau sama dia !" Ica berjalan menuju tempat yang teduh dan menunggu Galih selesai mengisi bensin. Si karyawan spbu mengulum bibirnya ingin meledakkan tawanya.
"Naik, "
"Besok besok gue numpang bang Riski aja ahh ! males gue sama loe, "
"Iya sorry, besok besok gue kontrol deh !" jawab Galih.
Keduanya sampai di sebuah minimarket yang tak terlalu besar. Disitulah Ica mengais rejeki recehannya.
"Sun tangan sama abang, biar rejeki loe berkah !" ucap Galih masih dengan helm bogo nya. Ica meraih tangan Galih dan salim.
"Gue masuk bang, ati ati loe !" ucap Ica berlalu.
Tatapan biasa dan sinis dilayangkan seseorang pada Ica.
"Udah salim saliman kenapa ga dihalalin aja, biar ga kegatelan sama supervisor !" sindiran tajam ditujukan pada Ica.
Tapi Ica tak bergeming, kupingnya sudah tebal setebal kulit tapir. Bahkan ia menganggap salah satu temannya ini adalah wanita stress yang gagal move on dari si boli alias botak licin, supervisor nya yang berkepala plontos dan berlesung pipi.
"Stress !" gumam Ica.
Ica menyimpan tasnya di loker, lalu memulai harinya untuk bekerja.
"Ga usah di dengerin Ca, biasa si botak lagi gandeng cewek baru di depan mbak Rini," bisik teman seshift nya Meri.
"Kapan ?" tanya Ica.
"2 hari yang lalu, " jawab Meri terkikik.
"Paling paling si uni, pegawai rumah makan padang depan !" jawab Ica.
"Si botak kan suka gombal sana sini, " lanjutnya.
"Iya, ceritanya pengen jadi playboy, " kikik Meri.
"Tapi dia ga peka, ada gadis berumur yang ngejar ngejar sama dia, salut deh ! hari ini loe abis makan apa Ca, bisa kalem gini ?" tanya Meri.
"Udah biasa gue mah Mer, makanan sehari hari di sindir sama dia mah !" Ica menepis udara dengan tangannya.
"Lagian dia kesel tuh karena udah umur segitu belum merit !" jawab Meri. Ica mengangguk setuju, usia 30 untuk perempuan sudah mulai worry bila belum menikah. Gadis yang tingkat ke kepoannya diambang batas ini memang doyan gosip di tempat kerja.
"Kalo suka kenapa ga bilang aja sih, jadinya ga sindir sindir orang terus, kalo takut cowoknya disalip orang kekepin !" jawab Ica mengambil barang yang akan di taruh di rak barang barang minimarket. Barang dengan expire yang masih jauh ditaruh di paling belakang.
"Ca, kamu jadi kuliah ?" tanya Meri, gadis ini seumuran dengan Ica.
"Jadi, udah diterima juga. Cuma tinggal tunggu buat daftar ulang aja !" jawab Ica.
"Gosip terusss, disini bukan warung sayur..kerja kerja ! jangan makan gaji buta !" suara dari belakangnya membuat keduanya terkejut.
"Mbak fikir gue lagi ngapain ?! lagi karokean ?! " tanya Ica kesal. Sedangkan Meri memilih diam.
"Yee dibilangin malah sewot, " jawabnya. Ica menekan emosinya sampai kerak bumi, hari ini ia akan menghemat energinya, pagi tadi ia hanya sarapan sedikit karena takut terlambat, istirahat masih lama jangan sampai ia pingsan saat bekerja. Manusia modelan begini nih yang harus di lelepin ke larutan asam sulfat, biar ancur lebur. Menanggapi mbak Rini sama gilanya, tidak ditanggapi ia sudah sangat kelewatan. Bukan dirinya jika harus mengalah, wanita yang sudah berkepala 3 ini masih betah melajang. Tak tau dibetah betahin karena belum ada yang nyantol. Pantas saja karena mulutnya ini seperti seblak ceker level 100.
"Udah deh mbak, gue males debat sama orangtua, takut kualat !" jawab Ica.
"Weduzzz ! saya belum tua !" jawabnya marah. Jelas saja, jika menyangkut umur wanita ini begitu sensitif. Mungkin karena Ica adalah gadis saingannya dalam hal menarik perhatian Wandi, ditambah mulut Ica yang selalu mendebat, mbak Rini menandai Ica sebagai gadis rivalnya.
"Udah udah, malu nanti ada pelanggan liat ga enak !" lerai Meri.
"Hay ladiest, semangat ya !" sapa Wandi. Mbak Rini langsung sibuk merapikan pakaiannya.
"Iya mas, pasti !" jawabnya. Ica dan Meri saling pandang tak lama keduanya meninggalkan mbak Rini dan pak Wandi, lebih memilih sibuk sendiri. Mereka tak mau mata mereka dinodai dengan drama Marimar setelah ini.
*****************
Hari ini struk gaji nya keluar, brangkas kasir bulan ini minus lagi sekitar 50 ribu. Terpaksa gaji Ica kena potong untuk mengganti uang yang minus. Memang begitu aturannya.
"Huwaaa ! kalo gini terus gagal kaya gue !" rengeknya.
"Kenapa Ca, kena potong berapa ?" tanya Meri.
"50 ribu !" jawab Ica.
"Masih mending nah gue ampir cepe !" jawab Meri nelangsa. Keduanya menyeduh mie instan dalam cup dan minum teh dalam kemasan yang dingin. Itu saja sudah cukup untuk menyambut euforia hari gajihan yang kena su*nat.
"Gue mau ijin sama pak Wandi, kalo gue mulai minggu depan kuliah sambil kerja !" jawab Ica menyeruput kuah mie. Tak ada kursi mahal ataupun dekor cafe yang instagramable, hanya duduk melantai diantara tumpukan kardus barang di sebuah gudang penyimpanan barang barang minimarket, bertemankan mop lantai dan sapu.
"Ikut gabung, " tiba tiba saja pak Wandi datang dengan mie yang sama dan duduk di sebelah Ica.
"Gue udah selesai Mer, gue balik depan. Takut dikira gue nyosor gebetannya kaya bebek !" Ica melengos pergi.
"Yahh Ca, masa saya ditinggal. Baru juga gabung !" ucap pak Wandi. Mata mbak Rini langsung mengilat melihat Ica didekati Wandi, tapi ia sendiri malah so jual mahal.
"Jadi cewek tuh jangan plin plan dong, jangan sana sini oke, tapi php ! so cantik," matanya memang menatap layar ponsel tapi jelas jelas sindiran telaknya ditujukan pada Ica, mbak Rini lalu so sibuk dengan merapikan rak barang.
Ica menghela nafasnya, jika harus dikeluarkan hari ini, Ica ikhlas..toh uang gajinya bulan ini sudah ia terima dan masuk ke dompetnya. Masalah pekerjaan ia akan mencarinya lagi, begitupun uang untuk tabungan kuliahnya, sudah ada untuk 2 semester ke depan. Ica menarik lengan bajunya ke atas pundak, ia meraih mop lantai yang berada di gudang dengan hentakan kaki dan amarah. Bahkan Wandi dan Meri saja bisa merasakan aura kelam sang ratu kegelapan dari tubuh Ica.
"Ca, loe kenapa?" tanya Meri.
"Mau cuci otak orang, biar ga suudzon terus !" jawab Ica.
"Gawat mas Wan !! Ica kayanya mau ngamuk !" jawab Meri menyimpan sembarang cup mienya, malahan belum sempat minum.
Ica menenteng mop lantai yang masih basah, kebetulan sekali mbak Rini sedang berjongkok merapikan produk makanan. Tau yang melintas adalah Ica, ia kembali melayangkan sindiran telaknya, lidah memang tidak bertulang sangat fleksibel dalam bicara.
"Jadi cewek ko kesannya mur4han, sini oke sana oke !" Ica melotot, ia langsung mengarahkan mop lantai ke arah kepala dan rambut mbak Rini lalu mengelapnya kasar bak lantai kotor.
"Makan tuh lap !! cuci otak dulu dari kotoran dan debu, biar ga selalu berfikiran negatif sama orang !" dengan emosi ia mendusel dusel lap di kepala mbak Rini yang mengaduh dan berontak, ia menepis mop itu.
"Heh, cewek gemblung ! dasar gila !" mbak Rini tak mau kalah, ia menjambak Ica. Perkelahian tak terelakkan. Meri dan Wandi melerai keduanya. Meri tak kuasa menahan kedutan di bibirnya melihat kepala mbak Rini yang basah dan semrawut juga bau pengharum lantai.
"Cewek saravvvv !" pekik mbak Rini, meraih raih Ica, tapi karena Ica sudah dibekali dengan tekhnik taekwondo saat SMA, ia dengan mudah menepis dan membalas mbak Rini.
"Ca, udah !! mbak Rini !! malu diliatin orang !" lerai Meri.
" Meri, Ica sudah ! kalian seperti anak kecil saja ! tak malu apa ?!" ucap Wandi.
"Mas Wandi, dia perempuan gila ! dia yang mulai duluan mas, masa kepalaku di tempeli mop lantai kotor dan basah, " adu nya.
"Mulut mbak Rini dijaga ya, dari awal gue masuk aja mbak Rini udah sindir sindir. Kenapa? sirik, karena gue masih muda dan oke ?! Sekarang mbak Rini udah kelewatan, sabar itu ada batasnya ! gue udah cukup sabar !" teriak Ica.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!