NovelToon NovelToon

PEJUANG NIP

BAB 1 : MIMPI BASAH

Nandang Batuah adalah seorang anak laki-laki beranjak remaja yang saat itu duduk di kelas IX atau kelas 3 SMP. Ia tinggal bersama ibunya Puspa seorang janda cerai mati, setelah ayahnya Dehen Suhardi meninggal karena penyakit maag kronis. Dulunya ia adalah guru Matematika di Sekolah Menengah Pertama di kecamatan tempat mereka tinggali sekarang. Yang pada masa beliau bertugas jatuh cinta pada anak penjaga sekolah tempat ia mengajar.

Nandang memiliki seorang adik perempuan bernama Andini Maharati. Yang saat ini baru saja senyum simpul sendiri, bangga dengan rok biru yang baru sepekan ia gunakan sebagai seragam sekolahnya yang baru. Ya, Andini baru saja menjadi siswi kelas VII di sekolah yang sama dengan kakaknya Nandang.

Sepeninggalan ayahnya, tentu hidup mereka tidak bisa di katakan berlebihan pun bukan berarti berkekurangan. Karena dulunya kakek Nandang atau ayah bu Puspa adalah penjaga sekolah, maka mereka memang mendapat rumah dinas penjaga sekolah. Dan mendapat kesempatan untuk menjadi pengelola kantin sekolah. Sejak jaman nenek Nandang hingga kini akhirnya ibu Puspa (emak Puspa) yang menjadi pengelola kantin tersebut.

Dari gaji pensiun janda dan hasil berjualan di kantin sekolah itulah Puspa bisa mempertahankan roda kehidupan mereka bertiga.

Puspa terkenal dengan rasa khasnya dalam membuat kue berbahan tepung yang biasa di sebut dengan untuk-untu isi inti kelapa dan roti panggangnya. Walaupun pembelinya adalah anak remaja yang mungkin seleranya bukan kue tersebut, tapi Puspa tidak patah arang untuk terus membuat makanan yang sangat ia kuasai tersebut.

Nandang dan Andini adalah anak yang baik, prihatin dengan keadaan ibu mereka yang seorang janda tersebut. Tiap pukul 3 dini hari Puspa sudah harus bangun untuk membuat induk adonan roti dan kue untuknya. Sebab kue itu 2 jam kemudian baru bisa mekar dan siap di goreng juga di panggang. Kadang Bukan hanya pelajar saja yang membeli kue olahan Puspa. Tapi mereka sudah punya langganan tersendiri yang selalu membeli kue itu untuk pengganti sarapan pagi, untuk teman menyeruput kopi atau secangkir teh.

Maka setiap pagi, sebelum berangkat kesekolah Nandang sudah mengayuh sepda pacalnya untuk mengantar pesanan kue tersebut sebelum pukul 6 pagi. Dan tidak pernah terbesit rasa malu atau minder apalagi gengsi dalam hati seorang anak laki-laki tersebut. Terkadang ia bersama Andini adiknya, jika pesanan sedang banyak atau ibu mereka membuat agak banyak, artinya mereka harus menjajakan pada orang desa yang tidak memesan kue tersebut.

Di suatu subuh Puspa cukup terkejut melihat ia bagai di terkam oleh Nandang. Ketika keluar dari kamar tidurnya. Sebelumnya Nandang membuka tirai penutup kamar emaknya dan Andini, memastikan jika adiknya itu masih tidur.

“Mak… emak. Nandang ngompol mak.” Bisiknya tepat di telinga ibu yang mereka panggil emak itu.

“Ish… sudah besar kok ngompol. Cepat lepaskan sarungnya, rendam dulu nanti bau pesingnya lengket Nan.” Jawab Puspa tenang.

“Eng… anu…eng…” Nandang agak ragu.

“Kamu kenapa sih Nan…?” Puspa agak heran melihat gelagat anak lelakinya.

“Ngompolnya aneh mak… ga banyak tapi lengket. Aduh … gimana sih bilangnya. Seperti ingus mak. Tapi, kenapa banyak dan bikin basah celana col or Nandang ya mak?” ujarnya agak pelan.

“Masyaallah… itu bukan ngompol Nan. Dalam ajaran agama kita namanya ihthilam. Nanti kamu tanyakan dengan pa ustadt jika emak kurang benar menjelaskannya. Itu namanya kamu sudah jadi laki-laki yang berada pada masa remaja yang normal. Anak laki-laki itu wajib di sunat, kemudian akan mengalami perubahan fisik. Tumbuh buah jakun di lehermu, suaramu berubah berat, di ketiakmu juga nanti akan tumbuh rambut-rambut halus, termasuk di area jalan kemih mu. Itu memang wajar terjadi dan harus terjadi. Itu artinya kamu sudah akil baliq.” Jelas Puspa panjang.

“Jadi emak ga marahkan kalau Nandang ngompol?”

“Bukan harus marah. Tapi kamu memang harus segera membersihkan bekasnya hingga bersih, begitu juga dirimu. Kamu harus mandi wajib. Sucikan dirimu dengan mengguyurkan air keseluruh tubuhmu dengan air suci, agar ibadahmu sah.” Lanjut emak pada Nanda.

“Harus begitu ya mak?”

“Wajib Nan. Kamu tau, cairan yang kamu bilang lengket itu namanya air ma ni. Itu bisa buat anak gadis atau perempuan hamil. Kamu tau hamil? Itu lho yang perutnya besar selama 9 bulan lalu punya anak. Mau?”

“Hah… kok bisa mak?” Tanya Nandang penasaran.

“Ya memang begitu. Nanti semakin besar kamu akan tau bagaimana caranya. Yang pasti, kalau sudah pernah ngompol yang seperti itu, kamu tidak boleh dekat dekat dengan sembarangan pada lawan jenismu. Nanti anak orang hamil olehmu, bisa kasih makan anak orang? Mak, belum ijinkan Nandang punya bayi ya, kalau emak masih bangun subuh buat adonan kue seperti ini.” Ucap Puspa seolah menakut-nakuti Nandang.

“Aneh ya mak… masa cairan begitu bisa jadi bayi? Terus, gimana caranya Nandang bisa atur kapan bisa keluar, orang tadi Nan cuma lagi tidur mak.” Nandang mengingat-ingat bagaimana prosesnya dia bisa ngompol tadi.

“Coba mak tanya, tadi kenapa jadi bisa ngompol?” usik mak Puspa agak kepo.

“Ga tau juga…?”

“Jangan bohongin emak… emak tau anak emak lagi bohong. Tuh hidung Nan kembang kempis lhoo.?” Tebak emak asal.

Nandang lagi menoleh kiri dan kanan lalu merapat pada emaknya.

“Mak… tadi Nandang mimpi dekat dengan Naila. Temannya Andini.” Bisiknya.

“Hmmm… lalu.”

“Ga ngapa-ngapain mak. Awalnya Cuma liat-liatan gitu, terus duduk deket-deketan.”

“Terus…?”

“Dia lagi makan es cream mak, terus belepotan bibirnya.”

“Terus…” cecar mak Puspa.

“Nandang mau bantu bersihin pake tangan. Tapi tangan Nan kotor, jadi Nan bersihinnya pake lidah Nan. Ya ketemulah lidah Nan sama lidah Naila mak. Setelah itu, rasanya Nan kejang-kejang mak, kejer-kejer gitu, karena Naila malah gigit lidah Nan. Terus lengket mak, ga bisa di lepas. Sampai Nan nyunsep jatuh berdua rasanya. Nah, ketar-ketir gitu mak, sampai Nan rasa mau pipis, Nan pegang lah ini si borokokok. Eh, basah. Makanya Nan kaget dang langsung kebangun ini.” Cerita Nandang demikian polosnya pada mak Puspa.

Mak Puspa terkekeh dengan cerita lugu anaknya.

“Nan, yang kamu lakukan dalam mimpi itu, biar jadi mimpi saja ya nak. Jangan sampai besok kamu ketemu Naila lagi makan es cream kamu bersihin pake lidah. Yang aneh-aneh saja.”

“Emang kenapa mak?”

“Ya ngapain orang ciptain tissue kalo bersihin apa-apa pake lidah. Ada-ada saja kamu. Sudah cepat bersihkan bekas ompolanmu sana, jangan lupa mandi wajib. Dan hari ini biar emak yang antar kue, kamu sholatnya di mushola saja biar agak lamaan.” Perintah emak Puspa.

“Iya mak.” Jawab Nandang patuh lalku beringsut ke kamarnya untuk melepas alas tidurnya dan akan melakukan sesuai perintah emaknya.

Tapi, langkahnya kemudian mundur mendekati sang emak.

“Mak…” Panggilnya.

“Ada apa lagi?” Tanya mak Puspa.

“Mak jangan bilang-bilang Andini ya kalo Nan ngompol.”

“Iya.”

“Rahasia ya mak…?”

“Iya.”

“Mak..?”

“Apa lagi…?”

“Itu yang ngelap bekas es cream juga jangan kasih tau Andini ya mak.”

“Kenapa..?”

“Malu lah mak.”

“Iya.”

“Beneran ya mak…?”

“Iya..”

“Janji ya mak…?”

“Bawel banget siih…. Iya janji.”

“Hayooo kakak ada janjian apa sama emak…?” Suara Andini dari kamar sebelah yang rupanya sudah bangun.

Bersambung…

Haii readers

Karya baru nih semoga di sukai ya

Jamin ini no pelakor deh

Bawang mungkin ada

Gulali…? Pasti

Kaedah dan falsafah hidup? Akan selalu othor selipkan

Happy reading ya

Hayuk ramaikeun

BAB 2 : RUMAH DINAS

“Hayooo kakak ada janjian apa sama emak…?” Suara Andini dari kamar sebelah yang rupanya sudah bangun.

Nandang panik lalu segera masuk kemarnya untuk mengalihkan kejaran Andini.

“Mak… kakak ada janji apa sama emak? Andin ga di ajak?” rengek Andini pada mak Puspa.

“Tidak ada janji apa-apa. Tadi cuma janji hari ini emak saja yang antar kue ke langganan?” bohong Puspa pada Andini.

“Masa… gitu aja pakai janjian?” Andini mencuci mukanya dan tangan kemudian melumuri telapak tangannya dengan minyak goreng untuk segera membantu mak Puspa menguleni adonan kuenya.

“Masa gitu aja Andin ga percaya sama emak?” Puspa balik bertanya.

Andini pun tertawa pada emaknya.

“Tempat tidur sudah rapi Ndin?” mak Puspa Memastikan.

“Sudah mak. Lebih sebentar merapikan tempat tidur mak, tidak sampai 5 menit, ketimbang ga di rapikan. Bisa 5 jam di omelin oleh mak.” Kekeh Andini pada Puspa.

“Tentu saja, tempat tidur itu adalah tempat paling pribadi Ndin. Sama seperti WC. Dengan sepintas orang melihat suasana kamar mu atau WCmu, orang akan dapat menilai bagaimana kualitas pribadimu. Sebab di dua tempat itulah kita paling lama berdiam diri, sendiri setiap hari.”

“Masa mak? Andin mana pernah lama di WC?”

“Iya tapi tiap pagi absennya di sanakan? Coba kalau WCnya kotor, sedangkan itu adalah tempat pertama yang kita datangi setelah bangun tidur. Kita bisa bete seharian lho Ndin kalau bangun pagi liat yang kotor-kotor. Kalo sudah bête, lalu wajah merengut seharian, kalau sudah merengut, membuka pintu dan jendela di pagi hari saja dengan wajah masam. Itu rejeki yang tadinya mau datang beramai-ramai kerumah kita, ga jadi datang, liat tuan rumahnya cemberut macam limau purut.” Puspa memberikan filosofi pada anak nya yang belum jadi gadis ini.

“Hm… begitu ya mak. Pantesan emak selalu marah jika sore-sore Ndin atau kakak Nan belum bersihkan kamar mandi.” Urai Andini mengingatkan topik utama sang emak biasanya ngedumel.

“Kalau tempat tidur, tak perlu mak jelaskan ya. Bahwa wajib dalam keadaan bersih dan rapi.”

“Wajib juga dong ma di jelaskan, emang kenapa mak?”

“Ya supaya penghuninya selalu betah masuk untuk beristirahatlah. Apalagi nanti jika kamu sudah menjadi gadis lalu menikah punya suami. Tempat itu harus selalu kencang, rapid an wangi. Agar suamimu betah untuk selalu tidur dan beristirahat di dalamnya bersama kamu.”

“Haha…haha… mak lucu. Kalau suami istri kan memang pasti selalu tidur bersama dalam kamar bersama istrinya mak. Masa akan tidur bersama orang lain. Emak-emak.” Tawa Andini mengguruh, Sungguh tak mengerti dengan arah pembicaraan sang emak, yang sudah melewati hampir mendekati setengah abad itu.

Puspa hanya menghela nafasnya, sadar jika lawan bicaranya masih bocah yang baru berseragam putih biru bahkan belum mendapat haid pertamanya.

”Wooii… tumben kakak subuh-subuh sudah ngelepas seprei. Ngompol yaaa….?” Ledek Andini tiba-tiba saat melihat Nandang berjalan pelan membawa gumpalan alas tidur di tangannya.

“Ye.. siapa yang ngompol?”

“Laah itu… bawa alas tidur buat di cuci, ini masih subuh kakak.” Cecar Andini.

“Terus… tunggu mataharinya ketawa di atas kepalamu gitu, kakak baru nyuci?” Ketus Nandang agak kesal di ledek oleh Andini.

“Ya.. ga gitu juga. Setelah panggang roti juga bisa.”

“Suka-suka lah. Kamu mau nyuci buat kakak?”

“Ya ga juga sih.” Jawab Andini melemah.

“Makanya jangan bawel.” Umpat Nandang. Yang kemudian terdengar sibuk mengucek alas tidurnya yang ternoda oleh mimpi basahnya beberapa jam yang lalu.

“Ndin… sepagi ini, di hindari lah bicara yang sekira membuat emosi lawan bicaramu. Hal itu juga akan menimbulkan kemarahan yang berkelanjutan, juga akan menimbulkan kekesalan terhadp orang lain. Itu dosa nak.” Tegur puspa pada Andin. Yang entah pagi ini tiba-tiba mellow. Terutama setelah mengetahui jika putranya sudah memasuki mas pubertas.

Andini hanya mengangguk keki, mencoba mecerna dan tidak menolak semua yang ibunya sampaikan padanya bagai kuliah subuh itu.

“Mas Dehen… jika saja mas tidak cepat kembali ke sang pencipta, mungkin mas yang akan menjelaskan dan membimbing Nandang memasuki masa akil baliqnya ini.” Batin Puspa nelangsa mengingat suaminya yang sudah 5 tahun meninggalkan mereka.

Sinar mentari sudah muncul lurus, selurus jemuran alas tidur yang Nandang cuci tadi pagi. Tampak kencang membentang di atas tali tambang. Tes… tes, Nampak air menetes, pertanda tak kuat Nandang peras tampak berjatuhan ke tanah. Ya, mereka hanya mengandalkan perasan manual untuk mencuci pakaian, berharap matahari di siang hari dengan galaknya menjilati bahkan mengisap uap yang timbul dari pakaian yang mereka cuci agar segera kering. Maka dalam keadaan pakaian itu masih panas dari jemuran, adalah tugas Andini untuk segera memetiknya untuk segera melipat dalam keadaan panas tersebut, agar hasilnya kencang seperti habis di setrika, rapi.

Puspa selalu mendidik kedua anaknya dengan disiplin tapi bukan berarti kejam. Lebih ke arah tertib saja. Tugas Nandang dan Andini terkoordinir dengan jelas, dalam hal pembagian tugas. Bahkan tidak peduli dengan jenis kelamin kedua anaknya yang berbeda, Puspa tetap mengajarkan keduanya bisa bekerja di dapur untuk memasak, membersihkan rumah dan pekarangan. Apalagi selama anak-anaknya menimba ilmu, Puspa juga menghabiskan waktunya di kantin untuk berjualan.

Kadang di hari-hari tertentu Puspa kadang membuat nasi goreng, kadang juga membuat soto, godokan mie instan sudah pasti semua ia sediakan di kantin tersebut. Kantinnya juga menyediakan aneka snack ringan dan minuman dingin segar yang tentu menimbulkan sampah di jam akhir sekolah. Alhasil, tidak semua warga sekolah dapat menjaga kebersihan sesuai dengan petunjuk guru, juga tidak sepenuhnya sadar akan pentingnya kebersihan sekolah.

Maka tiap menjelang senja, tugas Nandang lah memunguti dan membakar sampah tersebut. Agar keadaan sekitar sekolah selalu bersih terjaga. Dengan demikian mereka akan tetap dipercaya untuk boleh mendiami rumah dinas penjaga sekolah tersebut. Walau kini bukan mereka lagi penjaga sekolah.

Namun, Nandang pernah di panggil oleh penjaga sekolah yang kini menjabat di sekolah tersebut, bahwa meminta mereka mengosongkan rumah dinas tersebut. Sebab dialah kini yang mejabat sebagai penjaga sekolah tersebut. Dan hal itu pun Nandang sampaikan pada Puspa.

“Mak… Kemarin pak Andi datang menemui Nandang di kelas. “

“Pak Andi siapa?”

“Itu penjaga sekolah yang baru saja di terima di sekolah ini mak.”

“Oh… apa yang di katakana beliau saat menemuimu?”

“Katanya… sebaiknya kita tidak menempati rumah dinas ini lagi mak. Karena beliaulah yang menjadi penjaga sekolah sekarang. Bukan Kita.” Ucap Nandang dengan pelan pada Puspa.

“Iya dia benar Nan. Tapi, dulu waktu ayahmu masih ada, rumah ini sudah di beli oleh ayahmu. Jadi statusnya bukan rumah dinas lagi. Hanya, jual beli itu terjadi pada masa jabatan kepala sekolah sebelumnya. Waktu pak Sarwo masih ada. Tapi sekarang baik pak Sarwo dan ayahmu semua sudah meninggal. Apa mungkin orang akan percaya jika rumah ini sudah menjadi milik kita?” Puspa sedikit meragu.

Berambung…

Jangan lupa tinggalkan jejak like n komen agar Otor selalu semangat menulis yaaa

Terima kasih 🙏🙏🙏

BAB 3 : NOTA JUAL BELI

Nandang mendengar cerita yang emaknya sampaikan dengan seksama.

"Kalau memang rumah ini pernah di beli. Pasti ada bukti pembeliannya kan bu?"

"Ya tentu saja ada Nan. Nanti malam bantu emak buka berkas ayah ya Nan. Supaya besok ibu bisa menghadap kepala sekolah, agar kita tidak di pindah dari sini." pinta emak pada Nandang.

"Baik mak. Mak, Nan ijin bermain volly di lapangan ya. Bulan depan ada lomba antar desa, biasa tujuhbelasan mak."

"Iya... kamu hati-hati. Bawa minum dari rumah Nan. Supaya ga beli-beli." saran Puspa yang memang selalu irit.

"Iya pasti lah mak." Jawab Nandang juga yang sudah sangat hapal dengan permintaan sang emak. Kemudian memacu sepedanya.

"Kakak kemana mak?" tanya Andini yang barh selesai memetik jemuran, agak kewalahan sebab alas tidur Nandang juga termasuk tanggung jawabnya untuk mengangkat dan melipat.

"Latihan volly katanya."

"Hmm... setelah selesai ini, Ndin juga pamit latihan karate ya mak di lapangan SD." Ujar Andini yang memang sejak duduk di kelas 4 SD sudah menekuni olahbraga bela diri tersebut.

"Iya... tapi. Sepeda sudah di bawa kakakmu."

"Ga papa mak, nanti Ndin berjalan kaki saja. Tidak sejauh lapangan tempat kakak bermain Volly juga kok, mak." Ujarnya dengan gerakan tangan yang makin cepat melipat pakaian.

"Nanti, biar emak yang masukan pakaian ke dalam lemari. Supaya Ndin tidak terlambat latihan karatenya." Emak Puspa memang pengertian.

Sang penguasa langit malam telah bertengger dengan angkuhnya, memberi sinar terang seluas jagad raya. Dalam sebuah rumah kecil seorang janda beranak 2 itu sudah sejak sore terlihat sibuk membongkar tas berkas yang sudah usang. Siapa lagi kalau bukan Puspa yang tidak tau di mana kuitansi jual beli rumah yang mereka huni sekarang.

Hatciiis

"Mak.. Ndin sudah bersin-bersin nih banti emak cari yang emak maksud kok ga dapet-dapet siih?"

"Iya gimana namanya emak lupa." jawab Puspa yang sudah 3 kali membongkar tempat berkas yang sama.

"Mak... kalo memang pernah terjadi jual beli, apa bukan suratnya di miliki oleh kedua pihak mak?" tanya Nandang tiba-tiba.

"Iya benar. Tapi pas Sarwo kan juga sudah Alm. Nan." Jawab emak frustasi.

"Tapi kan itu di beli dari pihak sekolah mak, bukan untuk kepentingan pribadi. Pasti ada arsip di sekolah. Cape mak.. udah hampir pukul 9 ini. Bisa telat ngadon bahan kue untuk besok." Rutu Nandang.

Puspa mendengus kesal. Kenapa seceroboh itu dia menyimpan hal sepenting itu.

"Ya sudah. Bantu mak beresin lagi. Besok mak menghadap kepala sekolah saja. Seperti yang kamu bilang, Nan. Semoga masih ada arsip surat jual beli itu di sekolah." Harap Puspa.

Pagi menjelang, jualan kue untuk-untuk Puspa sudah siap di antar dan jajakan oleh kedua anaknya. Untuk urusan pencatatan pemesan Andini urusannya. Sebab, ia lumayan baik dalam hal mengingat dan rapi menulis. Nandang tentu orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan pengantaran.

Nandang paling suka jika yang memesan adalah pas Camat. Selain selalu memesan dalam jumlah banyak, Nandang pun punya kesempatan melihat Naila adik kelasnya juga teman akrab Andini.

Naila anak tunggal, kulitnya putih badannya agak tambun, sehingga pipinya sangat chubi membuat parasnya semakin imut. Entah kenapa, tiap kali Nandang melihatnya, seolah ada magnet yang membuatnya tertarik untuk selalu memandang bahkan tanpa berkedip. Mungkin itu sebabnya, sampai Naila yerbawa ke dalam mimipinya Nandang.

Naila sering jadi bahan olok-olokan temannya karena postur tubuhnya itu kadang menjadi sasaran empuk untuk di bully. Ia kadang hanya berlari menangis dan meminta pembelaan dari sahabatnya Andini. Yang pasti selalu memberikan pelukan perlindungan untuk Naila.

Walau tubuh Andini jauh lebih kecil dari Naila, tapi karena ia menguasai ilmu bela diri. Naila selalu disegani teman atau lawan jenisnya. Belum lagi kalau sampai mereka di laporkan pada Nandang. Hmm... bisa habis mereka di hajar oleh Nandang.

"Ka Nan. Ayoo pulang. Bu Tatik sudah bayar harga kuenya." tegur Andini sebab sedari tadi Nandang hanya melongo ke arah dalam rumah pak Camat, karena sangat ingin melihat Naila.

"Oh... eh.. iiyaa." Buyarlah lamunan Nandang.

"Liatin apa sih Kak?" Andini menengok, ikut memandang kedalam rumah Naila.

"E.. ga... ga liat apa-apa." Gugup Nandang yang kemudian memalingkan arah sepedanya akan kembali pulang dengan kecepatan penuh. Sebab pukul enam sudah lewat.

"Permisi pak Kepala Sekolah. Boleh saya masuk. Ada yang ingin saya tanyakan." ucap Puspa setelah mengetuk pintu yang sudah terbuka.

"Oh... bu Puspa. Ia silahkan masuk bu." Ramah pak Chaerul sang kepala sekolah.

"Ah... begini pa. Sebelumnya maaf lancang. Saya mau bertanya, apakah di sekolah ini benar sudah ada petugas penjaga sekolah yang baru?" tanya Puspa bertanya dengan sopan.

"Oh... iya bu. Pak Andi baru 1 minggu ini mendapat SK akan bertugas menjadi penjaga sekolah di sini." Jawab pak Chaerul tak kalah sopan.

"Nah... jadi. Beliau sudah menemui anak saya Nandang. Beliau meminta agar kami tidak lagi menempati rumah dinas yang sekaranh kami huni pa."

"Oh... untuk itu. Seharusnya saya yang meminta maaf. Karena mestinya saya yang harus mengatakannya langsung pada ibu. Sebab, kita juga tau rumah yang ibu tempati sekarang adalah rumah dinas, rumah milik negara yang hanya boleh di tempati oleh orang yang bertugas di area sekolah sesuai SKnya." papar Pa Chaerul.

"Iya... saya sadar pa. Saya memang bukan penjaga sekolah yang memiliki SK. Saya hanya janda pegawi yang pernah bertugas di sekolah ini. Tapi, dulu alm. suami saya sudah pernah membayar senilai 15jt untuk menebus rumah itu, agar bisa menjadi hak milik pribadi pak."

"Waah... maaf bu. Setau saja, rumah dinas atau barang dinas milik negara itu tidak bisa di perjual belikan. Sebab, itu hanya bisa di tempati sesuai pemangku jabatan yang bersangkutan."

"Tapi mengapa alm. Pak Sarwo dulu menerima uangnya pa?" tanya Puspa agak kebingungan.

"Nah... untuk masalah mengapa beliau terima, saya justru baru tau sekarang jika rumah itu pernah di lakukan jual beli." tambah Chaerul lagi.

"Jadi... kami bagaimana pak?"

"Seandainya pernah terjadi jual beli pun. Apakah ibu masih memiliki surat menyuratnya? Lalu keterangan di surat itu apa? Perihal sertifikat atau lainnya bagaimana? Sebab setau saya, rumah dinas di sini, sertifikatnya menjadi satu kesatuan dengan surat tanah sekolah. " Jelas pa Chaerul lagi.

"Itulah masalahnya pak. Saya tidak menemukan bukti jual beli rumah tersebut. Semalam saya hanya menemukan kuitansi di tahun yang sama. Tapi isinya bukan jual beli rumah itu, tapi tanah yang saya juga tidak mengerti itu di mana?" polos Puspa pada pa Chaerul.

"Boleh saya lihat suratnya bu?" pinta pa Chaerul masih dengan nada bersahabat.

"Oh... ini pak." tunjuk Puspa pada sebuah nota jual beli.

Chaerul memicingkan matanya untuk membaca isi nota tersebut.

Bersambung...

Selalu tinggalkan jejak likenya ya

Readers biar makin lancar up nya

Makasih ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!