Siang yang cukup terik di sebuah pesisir pantai Italia. Dari kejauhan, di sebuah bibir tebing yang terletak di salah satu sisi teluk wilayah Palermo, tampak beberapa orang pria tengah berdiri di sana. Salah seorang dari mereka yang berdiri paling depan, memakai kemeja putih tanpa jas. Sedangkan, beberapa orang pria tinggi besar di belakangnya, hanya memakai kaos berwarna gelap. Pria dengan kaca mata hitam itu terlihat cukup gelisah. Berkali-kali ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling pantai yang sepi, karena kebetulan tempat itu bukanlah tujuan wisata. Tanah yang mereka pijak begitu keras. Berwarna putih karena terbentuk dari bebatuan, hampir seperti sebuah gunung kapur yang tentu saja jauh lebih kokoh.
Silvio Moriarty, ia merupakan adik kandung dari Vincenzo Moriarty. Pria itu adalah ketua dari geng mafia yang sudah sangat terkenal di dunia hitam. Mereka menguasai hampir setengah dari wilayah Italia. Narkoba, perdagangan wanita, dan tentu saja jual beli senjata secara ilegal. Seluruh bisnis gelap dan kejahatan mereka, nyaris tak pernah tersentuh hukum sama sekali.
Silvio berkali-kali melihat arloji di tangan kirinya. Ia kemudian mengeluh pelan. Sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah mobil Jeep Wrangler yang baru tiba, dan diparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia lalu menyunggingkan sebuah senyuman sinis di sudut bibirnya. Silvio kemudian menjatuhkan rokok yang sejak tadi diisapnya, dan mematikan rokok tersebut dengan kakinya.
Seorang pria bertubuh tegap, keluar dari dalam mobil jeep dengan perpaduan warna merah dan hitam. Pria dengan kaca mata hitam dan gaya rambut ala man bun-nya. Ia melangkah penuh percaya diri ke arah Silvio berada. Pria itu tiada lain adalah Matteo de Luca, putra mahkota dari keluarga de Luca yang terkenal kaya raya dan sangat terpandang. Ayahnya yang bernama Roberto de Luca, merupakan seorang pemilik dari beratus-ratus hektar perkebunan anggur di daerah Brescia, yang berada di bagian utara Italia. Akan tetapi, tentu saja itu hanya sebuah kedok. Bisnis asli dari keluarga de Luca adalah jual beli senjata hasil dari rakitan mereka sendiri. Tidak ada wilayah konflik di belahan bumi manapun di dunia ini, yang tidak mendapat suplai senjata dari Klan de Luca.
Matteo termasuk salah satu keturunan de Luca yang memiliki keahlian khusus itu. Sejak ia beranjak remaja, Matteo sudah mahir dalam merakit berbagai jenis senjata. Melihat potensi yang ada dalam diri putranya, Roberto pun terus mengasah bakat yang dimiliki calon penerus dari kerajaan bisnisnya. Akan tetapi, hal itu justru membuat Matteo menjadi merasa selalu hidup dalam kungkungan sang ayah.
Kini usia Matteo telah menginjak dua puluh enam tahun. Matteo merasa jika sudah saatnya ia untuk melangkah sendiri, meskipun Matteo dinilai masih terlalu minim pengalaman. Karena itulah, Roberto de Luca belum melepasnya begitu saja. Hari ini, Matteo mencoba untuk melepaskan diri. Ia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia mampu untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih dari sekadar merakit senjata.
Beberapa hari sebelum hari itu, Silvio Moriarty telah menghubunginya. Ia mengajak Matteo untuk bertemu dan bekerjasama. Tentu saja, Matteo tidak akan menolak hal itu. Ini adalah sebuah kesempatan emas bagi Matteo untuk unjuk gigi.
Lagi pula, tidak ada yang dapat menolak nama besar Moriarty. Terlebih, karena Silvio juga merupakan teman masa kecil dari Matteo.
Dengan langkah tegap dan penuh percaya diri, Theo, begitulah kedua orang tuanya biasa memanggil dirinya. Ia terus berjalan menghampiri Silvio yang tampak gelisah. “Ciao,” sapanya hangat. “Apa kau sudah lama menunggu, Amico?” tanya Matteo dengan akrab.
“Lima belas menit,” jawab Silvio sambil tersenyum kecut. Ia lalu mengusap dahinya yang berkeringat, karena cuaca yang cukup panas.
“Baiklah. Kita tidak usah menunggu lama! Aku sudah membawakanmu contoh senapan rakitan khusus buatanku. Sangat efektif untuk melumpuhkan musuh,” papar Matteo. Pria dengan tato yang terdapat di beberapa bagian tubuh dan juga di bagian leher sebelah kirinya itu, masih terlihat tenang.
“Berapa buah yang kau bawa?” tanya Silvio. Tangannya terlihat gemetaran saat mencengkeram lengan Matteo. Sedangkan sorot matanya terlihat begitu antusias.
“Hanya satu. Sekadar untuk contoh,” jawab Matteo. “Jika sudah ada kata sepakat, maka aku akan menyerahkan sebanyak yang kau pesan,” lanjut pria berambut gondrong itu dengan kalemnyanya. Ia mengangkat salah satu alisnya. Tampaknya Matteo merasa agak curiga dengan gelagat aneh, dan tingkah gugup dari pria yang berdiri di hadapannya.
“Begitu ya? Jadi, itu artinya kau tidak bias mendapatkan uangnya sekarang,” Silvio melepaskan cengkeramannya dari lengan Matteo.
“Tidak masalah. Jika kau menyukainya, maka aku dapat menyediakan lebih. Bukankah kita teman?” Matteo tersenyum seraya menepuk bahu Silvio dengan pelan. Akan tetapi, hal itu justru semakin membuat keringat bercucuran, dari kening pria dengan postur yang tidak jauh tinggi dari Matteo.
“Aku sangat percaya diri dengan hasil rakitanku, seandainya aku boleh bersikap sedikit sombong,” Matteo merengkuh pundak Silvio dari samping. Ia mengajak Silvio untuk berjalan menuju mobil jeep, yang ia parkir tidak jauh dari titik pertemuannya dengan Silvio.
Silvio yang terlihat semakin gugup, kemudian mengangkat salah satu tangannya seraya menjentikkan jarinya. Tidak berselang lama, beberapa orang dari anak buahnya setengah berlari mengikutinya dari belakang.
“Kenapa, Sobat? Apa yang membuatmu ketakutan sampai-sampai kau harus memanggil pengawalmu kemari?” selidik Matteo. Pria berambut gondrong itu bersikap kian waspada.
“Tidak ada apa-apa," jawab Silvio mencoba untuk terlihat tenang. "Aku tidak biasa terlalu jauh dari para pengawalku,” dalih Silvio seraya mengusap kepalanya sendiri. “Baiklah, tunjukkan hasil karyamu, Sobat!” pintanya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
Matteo kemudian membuka bagasi mobilnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kotak besi berwarna hitam dan berukuran besar. Matteo menjatuhkan kotak itu dengan begitu saja ke atas tanah. Setelah itu, ia lalu membukanya dengan sangat hati-hati. Tampaklah senjata laras panjang dengan ukuran 1 m, dengan laras yang terbuat dari steel berwarna hitam. Matteo kemudian menjelaskan spesifikasi dari senjata itu dengan lebih detail.
“Senjata ini merupakan senjata otomatis yang berkaliber besar dan mampu melesatkan beberapa peluru dalam satu tembakan. Senjata ini juga dirancang khusus, karena dapat menembus baja hingga 10 mm dalam jarak 1 km, dengan kecepatan yang sangat presisi, bahkan melebihi kecepatan suara," jelas Matteo dengan bangga. Sementara Silvio menunjukan rasa takjub yang luar biasa, atas penjelasan dari Matteo.
"Apa lagi kelebihan daru senjata ini?" tanya Silvio. Ia merasa semakin tertarik dengan senjata rakitan Matteo tersebut.
"Senjata ini dilengkapi dengan peredam suara yang super senyap, sehingga musuh tidak akan mungkin dapat mendeteksi keberadaan penembaknya. Kau tidak perlu khawatir, karena senjata buatanku ini sangat mudah dirakit. Jadi, sudah dapat dipastikan jika senjata ini sangat mudah untuk dibawa ke mana saja, tanpa terdeteksi oleh siapapun. Aku berani memastikan jika ini adalah senjata yang paling mutakhir, dan kau tidak akan menyesal,” terang Matteo lagi dengan panjang lebar. “Jika kau mau, aku bisa menunjukkan seberapa luar biasanya senjata ini,” lanjut Matteo dengan bangga. Sementara Silvio semakin ternganga ketika mendengar semua penjelasan lengkap dari Matteo.
Silvio berpikir jika itu adalah senjata yang ia butuhkan untuk Klan Moriarty. Ia harus mendapatkan senjata itu, bagaimanapun caranya.
“Luar biasa!” Silvio bertepuk tangan dengan rona penuh kekaguman, meskipun masih terlihat sedikit kegelisahan di dalam matanya. Matteo dapat melihat hal itu dengan jelas, tapi ia tidak ingin berprasangka buruk terhadap teman masa kecilnya. Namun, hal itu bukan berarti membuat Matteo lalai dan lepas dari sikap waspadanya.
Matteo memasukan kembali senapan itu ke dalam peti dan segera ia tutup dengan rapat. Setelah itu, Matteo berdiri dan membalikkan badannya. Posisinya kini membelakangi Silvio. Sesaat kemudian, dengan secepat kilat pria berambut gondrong itu mengeluarkan pistol yang tersembunyi di balik jaket kulitnya. Ia lalu segera menodongkan pistol tersebut ke arah Silvio, yang saat itu juga telah menodongkan pistolnya ke arah Matteo.
Dalam posisi saling menodongkan pistol, Matteo bergerak perlahan mendekati peti senjata miliknya. Ia sedikit membungkukkan badannya dan berniat untuk mengambil peti berisi senjata itu. Akan tetapi, belum sempat ia mengambil peti tersebut, tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke arahnya. Matteo bergerak dengan sangat gesit. Ia segera menghindar dan berlindung di balik batu besar. Sementara itu, seorang dari anak buahnya telah tumbang bersimbah darah.
Rodrigo, seorang imigran dari Peru. Pria berkulit coklat itu merupakan tangan kanan kesayangan Matteo. Pria yang kemarin baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Namun, kini Rodrigo rebah tak bernyawa. Peluru itu sudah berhasil menembus jantungnya.
Matteo dan kedua anak buahnya yang masih tersisa segera berlari dan merunduk . Tanpa memedulikan berondongan timah panas yang diarahkan kepada mereka bertiga. Mereka terus berusaha untuk mendekat ke arah mobil jeep milik Matteo. Namun, jarak mobil itu terlalu sulit untuk mereka jangkau, karena anak buah Silvio yang berjumlah banyak dan bersembunyi di setiap sudut area itu, terus menghujani mereka dengan tembakan.
“Sial! Sepertinya kita masuk jebakan!” umpat Matteo kesal. “Lindungi aku! Aku harus mengambil senjataku!” perintahnya.
Kedua anak buah Matteo mengangguk. Mereka sudah paham dengan tugas masing-masing.
Matteo bergerak perlahan di antara letusan senjata yang terus ditujukan ke arahnya. Sigap, kedua anak buahnya membalas dan memberi kesempatan kepada Matteo untuk terus bergerak. Namun, ternyata dari arah lain muncul sebuah tembakan yang tidak terduga. Seorang dari anak buah Matteo tewas terbunuh. Anak buahnya yang tinggal tersisa seorang, sigap membalas tembakan yang terus menghujani mereka.
Matteo baru sadar jika dirinya sudah terkepung di tempat itu. Ia diserang dari segala arah. Sementara peti berisi contoh senjata yang ia bawa, telah raib dari tempatnya. “Brengsek! Silvio mencuri contoh senjata milikku!” gerutu Matteo. Emosinya semakin memuncak. Matteo dan seorang anak buahnya, terus membalas tembakan yang seakan tiada habisnya.
“Tuan, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini! Jumlah mereka terlalu banyak dan kita sudah terkepung,” ujar anak buah Matteo.
“Aku pikir juga begitu. Ayo!” sambil mengendap-endap dan sesekali membalas tembakan yang menghujani, mereka berdua terus bergerak menuju mobil. Nahas, sebuah tembakan mengenai anak buah Matteo. Tembakan itu, bersarang tepat di lehernya.
Matteo kini tinggal sendiri. Ia terus bergerak menuju mobilnya. Namun, sayang sekali ketika ia berhasil sampai ke dekat mobilnya, sebuah tembakan lolos dan mengenai lengannya. Seketika Matteo meringis. Darah segar mengucur dan menetes ke ujung jarinya. Matteo memaksakan dirinya untuk masuk dan segera menyalakan mesin mobilnya.
Tembakan bertubi-tubi kembali menghujaninya yang kini telah berada di dalam mobil. Dengan kecepatan penuh, Matteo menjalankan mobilnya dan pergi dari tempat itu. Jeep Wrangler-nya tak lagi terlihat garang. Sejumlah lubang terlihat menganga di sana-sini. Untungnya tak sampai mengenai tangki bensin, sehingga kendaraan itu masih bisa digunakan.
Matteo mengemudi dengan kecepatan penuh, menuruni lereng perbukitan kapur menuju jalan raya. Supaya aman, ia berniat keluar dari Pulau Sicilia. Kendaraannya kini ia arahkan ke pelabuhan. Sebentar lagi feri terakhir akan segera berangkat. Akan tetapi, sebelum keinginannya terlaksana, iring-iringan mobil anak buah Silvio menghalangi jalannya. Mereka seakan tak ingin Matteo lolos dalam keadaan hidup.
Matteo sendiri tak ingin menyerah begitu saja. Dengan menggunakan tangan kiri, ia memutar kemudi ke gang-gang sempit untuk meloloskan diri dari kejaran musuh. Sementara, tangan kanannya terus mengucurkan darah.
Dalam sekejap, terlintas bayangan sang ayah Roberto, dan sang ibu, Gabriela. Selama ini, ia sering menentang keinginan ibunya yang melarangnya terjun terlalu dalam ke dunia yang penuh dengan kekerasan. Sedangkan, Roberto selalu berusaha melindunginya, meskipun pada akhirnya tampak seperti mengekang Matteo. Ternyata yang mereka lakukan hanyalah demi melindungi putra semata wayangnya.
Setitik penyesalan muncul di hati Matteo. Namun, ia bukanlah pria lemah. Karakternya sudah ditempa habis-habisan oleh sang ayah dari sejak kecil. Maka yang harus Matteo lakukan sekarang adalah pantang pulang ke rumah, sebelum ia berhasil membereskan kekacauan yang telah dibuat oleh Silvio, seorang diri.
Dengan kecepatan penuh, Matteo membelokkan mobilnya ke arah pelabuhan. Tak disangka, mobil anak buah Silvio muncul dari arah berlawanan dan memaksa Matteo untuk mundur hingga ratusan meter. Perjalanannya kini terhalang. Matteo harus memutar otak sedemikian rupa, agar ia tidak ketinggalan feri. Sedikit nekat, jeep yang awalnya berjalan mundur, ia putar balik ke arah berlawanan dan mencari jalur yang berbeda.
Nahas, saat tiba di sebuah perempatan, ia berpapasan dengan mobil Silvio. Tanpa ragu Silvio menabrak mobil Matteo dengan kencang hingga terguling beberapa kali. Jeep merah itu berhenti ketika bodinya membentur pagar pembatas jalan raya.
Matteo tak sempat memakai sabuk pengaman, sehingga badannya terlempar ke sana kemari. Guncangan terakhir yang paling kuat membuatnya terlontar keluar, melewati pagar pembatas dan hampir terjun ke lereng tebing yang curam. Beruntung, ada akar tumbuhan yang mencuat dari sela bebatuan. Matteo meraih akar tersebut dan mencengkeramnya dengan kencang.
Sekuat tenaga Matteo bertahan di sana. Darah masih menetes dari lengan kanannya. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan luka memar. Sedangkan tangan kirinya mulai mati rasa.
Sayup-sayup terdengar suara Silvio yang berteriak memerintahkan anak buahnya, untuk memeriksa keadaan sekitar.
Matteo harus memutar otaknya sedikit lebih keras, sebelum akhirnya ia menemukan sebuah lubang sempit yang mirip gua, dan terletak sedikit lebih jauh dari tempatnya bergelantungan. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Matteo mengayun-ayunkan tubuhnya hingga mampu mencapai mulut gua. Ia lalu merangkak dan bersembunyi di dalamnya.
Matteo melirik jam tangannya. Dua jam lagi, feri terakhir akan meninggalkan pelabuhan. Suara Silvio masih melengking nyaring, memaki anak buahnya yang kini sudah kehilangan posisi Matteo. Mereka tak menyadari, jika pria itu sedang meringkuk di bawah kaki mereka.
Beberapa kali desingan peluru kembali terdengar. Sepertinya, Silvio sedang menembak secara acak ke titik di mana Matteo terjatuh. Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil yang menjauh dari sana. Setelah meyakini bahwa Silvio dan anak buahnya telah pergi, Matteo merangkak naik dengan perlahan. Tangannya menggapai pinggiran pagar pembatas. Susah payah Matteo melompat kembali ke jalan raya.
Dilihatnya Jeep Wrangler kesayangannya yang hancur tak berbentuk. Sudah jelas, Matteo tidak mungkin memakainya lagi. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan, adalah berjalan tertatih menuju pelabuhan. Tujuannya adalah kota Venice. Kota indah yang selalu menjadi tempat persinggahan pada setiap liburan musim panas, yang selalu ia habiskan bersama sang kakek.
Venice adalah salah satu kota yang terkenal akan keindahan dan suasana romantisnya yang sudah tidak diragukan lagi. Terletak di Timur Laut Italia, Venice merupakan kota yang terdiri dari banyak kanal dengan gondola sebagai alat transportasi utamanya. Selain itu ada juga yang disebut vaporetto, yaitu semacam perahu yang dapat menampung penumpang dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Di sepanjang pinggiran kanal, terdapat beberapa kedai yang memang tersebar di seluruh penjuru kota kecil itu. Salah satunya adalah kedai milik Soebagio Danuarta, atau lebih dikenal dengan sebutan Mr. Gio.
Mr. Gio adalah seorang pria berusia hampir setengah abad. Pria asli Indonesia, yang telah sekian lama hidup dan menjadi bagian dari kota kecil yang indah itu. Mr. Gio dulu merupakan seorang pegawai swasta di kota Milan. Istrinya juga berasal dari kota mode tersebut. Akan tetapi, setelah sang istri meninggal dunia, ia memutuskan untuk pindah ke kota Venice dengan membawa putri semata wayangnya yang masih berusia dua belas tahun, yaitu Mia.
Di kota Venice, ia bertemu dengan seorang janda beranak dua yang bernama Magdalena. Mereka akhirnya menikah. Magdalena sendiri memiliki dua orang anak yang juga merupakan perempuan, di antaranya bernama Daniella dan Francesca, si bungsu yang ketus.
Semenjak menikah dengan Magdalena, Mr. Gio membuka sebuah kedai sederhana yang menjadi sumber penghidupannya selama ini. Ada beberapa menu yang disuguhkan di sana, yang tentu saja tidak lepas dari espresso dan capuccino. Dengan ditemani oleh putri kandungnya Mia, yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun. Mereka berdua bahu-membahu dalam mengelola kedai sederhana itu. Kedai yang biasa buka dari mulai pukul satu siang hingga pukul delapan malam.
Siang itu, Mia baru selesai bersiap-siap. Masih setia dengan gaya rambut kuncir kuda, ia jarang sekali menggerai rambut panjang bergelombangnya. Rambut berwarna coklat tersebut selalu terikat dengan rapi, hampir dalam setiap suasana.
Mia adalah seorang gadis yang manis. Senyuman lembut dengan sorot mata yang teduh, selalu menjadi ciri khas dari gadis berkulit kuning langsat tersebut. Postur tubuh yang ramping dengan tinggi 170 cm, membuatnya terlihat sangat menarik meskipun hanya dalam balutan celana jeans dan kaos press body putih. Ya, Mia sangat menyukai warna putih.
Warna putih seakan melambangkan dirinya. Mia merupakan seorang gadis yang lugu dan naif. Hingga usianya saat ini, ia belum pernah terlihat menggandeng seorang pria sekalipun. Padahal, secara fisik ia memiliki modal yang lebih dari cukup untuk dapat memikat lawan jenisnya. Namun, gadis itu seakan belum berniat untuk memikirkan sesuatu yang berkiatan dengan urusan asmara.
“Mia! Tolong pastikan semua kotak tisunya sudah terisi!” seru Mr. Gio dari balik meja kasir. Pria dengan rambut agak botak itu tengah bersiap-siap. Biasanya, kedai tersebut akan langsung dipadati oleh pengunjung yang sebagian besar merupakan wisatawan, setiap kali kedai itu baru dibuka.
Kedai milik Mr. Gio, memang terkenal dikalangan para guide, yang biasa membawa para wisatawan dari luar kota atau bahkan luar negeri. Meskipun itu hanya sebuah kedai kecil yang sederhana, tetapi kedai itu menawarkan beragam menu dengan cita rasa yang luar biasa. Terlebih di daerah sana, memang agak sulit untuk dapat menemukan kedai dengan rasa yang dapat diterima baik oleh lidah. Karena itu, rekomendasi dari orang lokal memang akan sangat membantu bagi para pelancong yang ingin menikmati indahnya kota Venice.
Perkiraan Mr. Gio memanglah tidak keliru. Beberapa saat kemudian, sudah mulai bermunculan pengunjung yang singgah di kedai sederhana miliknya. Kebanyakan dari mereka, lebih memilih meja yang berada di luar. Dari sana, para pengunjung dapat menyantap makanan yang enak dengan disuguhi pemandangan kanal dengan gondola yang terus hilir mudik seakan tanpa henti. Mia pun mulai sibuk melayani beberapa pengunjung. Ia tidak pernah mengeluh apalagi bersikap malas-malasan.
Jika pengunjung sedang tidak terlalu ramai, maka gadis itu mampu melayani semua pelanggan sendirian. Namun, jika pada akhir pekan atau musim liburan, maka Mr. Gio akan dengan sigap membantunya. Mereka memiliki tugas ganda di kedai itu.
Sebenarnya, di rumah masih ada Magdalena dan putri sulungnya Daniella. Akan tetapi, kedua wanita itu tidak bisa diandalkan secara terus menerus.
Magdalena sudah mulai sakit-sakitan. Dokter menganjurkannya untuk mengurangi aktivitas agar tidak terlalu lelah. Sedangkan Daniella, gadis itu hanya akan datang ke kedai jika Mr. Gio dan Mia sudah benar-benar kewalahan. Selebihnya, Daniella hanya sibuk membaca majalah fashion sambil mengasah kukunya. Mr. Gio pun tidak dapat mengandalkan Francesca. Gadis belia itu masih sibuk dengan urusan sekolahnya.
Seperti itulah kesibukan Mia dan sang ayah setiap harinya. Itu semua ia lakukan di sela-sela jadwal kuliah dan tugas akademik yang terkadang harus Mia bawa dan ia kerjakan di kedai ketika ada waktu senggang.
Sekitar pukul lima sore, Mr. Gio mendapat telepon dari Daniella. Gadis itu mengabarkan jika sang ibu terjatuh setelah keluar dari kamar mandi. Mr. Gio merasa begitu cemas, ia tidak berharap terjadi sesuatu yang buruk kepada sang istri. Sepertinya ia belum siap untuk kembali menduda. “Mia, hari ini kita akan tutup lebih awal,” ucap Mr. Gio sambil membantu putri semata wayangnya yang saat itu tengah merapikan meja dari piring dan gelas kotor bekas pengunjung.
“Ada apa, Ayah? Apa ada sesuatu yang tidak beres dengan ibu?” tanya Mia dengan wajah cemas.
"Seperti biasa, Mia. Katanya ia terjatuh setelah dari kamar mandi. Baru saja Dani yang mengabarkan,” jawab Mr. Gio. Ia terlihat cekatan memainkan lap di atas meja berlapis taplak cantik dengan plastik bening di bagian luarnya.
Mia tertegun untuk sejenak. Sesaat kemudian ia mengela napas pelan dan berkata, “Ayah pulang saja. Aku yang akan menutup kedai nanti. Jangan khawatir, aku bisa menanganinya.” gadis itu mencoba meyakinkan sang ayah.
Mr. Gio menghentikan pekerjaannya. Ditatapnya wajah Mia yang cantik dan sudah beranjak dewasa. Pria itu kemudian membetulkan posisi kacamata yang dipakainya.
Mr. Gio merasa bahagia karena ia telah berhasil dalam mendidik sang putri dengan baik. Ia telah menjalankan amanat dari mendiang istrinya sebelum meninggal dunia. Ia hanya berharap semoga Mia akan selalu menjadi Mia yang manis dan penurut, hingga saatnya nanti ia harus benar-benar melepaskan gadis itu untuk dibawa oleh suaminya.
Dihampirinya gadis dengan rambut kuncir kuda itu. Mia tersenyum lembut kepada sang ayah, yang makin hari semakin memiliki banyak kerutan di wajahnya. Tentu saja, Mr. Gio sudah semakin tua. Sudah seharusnya Mia membiarkan pria dengan tubuh agak gemuk itu, untuk beristirahat dan membiarkannya menikmati masa tua, tanpa harus terus-menerus bekerja mencari nafkah untuk menghidupi seluruh keluarga.
“Aku bisa, Yah! Jangan khawatir!” ucap Mia. Ia seakan sudah mengetahui apa yang akan dikatakan sang ayah kepada dirinya. Mia kembali tersenyum manis.
Mia menatap ayahnya yang buru-buru meninggalkan kedai. Sementara dari kejauhan, seorang pria dengan sorot mata tajam dan sayu, juga sedang memandang ke arah gadis cantik itu.
Dengan langkah lunglai, pria itu berjalan mendekat ke arah Mia, tetapi tak langsung mendatangi gadis itu. Ia menunggu hingga suasana benar-benar gelap, barulah pria tersebut beranjak menghampiri Mia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!